64. Apa Kau Takut Padaku?
Embusan angin dingin menusuk tulang berembus pelan tepat di belakang leherku, begitu lembut seperti embusan napas, tapi sangat dingin seperti angin di musim dingin yang paling beku.
"Tapi tentu saja dia tidak sedang berada dalam wujud manusia. Karena anehnya, kau berhasil menetralkan seluruh kekuatan kami kecuali Azran." Ada jeda yang cukup lama. "Atau mungkin kau memang sudah tidak sanggup menetralkan semua energinya setelah memakan semua energi di satu kota ini. Tapi jangan tanya aku kenapa dia masih berwujud seperti itu, aku tidak tahu apa-apa."
Apa? Aku memusnahkan sihir satu kota? Penyihir ini tidak sedang berbohong kan? Ah, tidak. Sekalipun ia berbohong, kebohongan yang terlalu jelas ini benar-benar menyedihkan.
Puluhan penyihir dan bahkan satu raja juga ikut menjadi korbanku. Kalau begitu, kenapa aku tidak memakan energi sihir Azran sekalian? Aku ingat sebelum mengeluarkan energi sihirku sebebas-bebasnya, tidak ada Azran sama sekali dalam kepalaku. Yang kupikirkan hanya Sigmon dan seluruh anggota klannya. Tidak, aku bahkan memikirkan untuk tidak menyerang Azran bersama mereka juga sekaligus. Apa itu berpengaruh? Apa keinginan sekelebat yang mendadak muncul itu berpengaruh?
[Benarkah itu?] Terdengar dengung lagi di dalam kepalaku, tidak perlu kutanya lagi siapa pemiliknya. [Kau bisa mendengarku?]
Aku diam, tak mau memberi jawaban pada siapapun yang sudah bertanya di dalam kepalaku ini. Karena sikap diamku yang keras kepala ini, sedetik kemudian terdengar geraman rendah di belakang dan ada sesuatu yang mendorong tubuhku pelan. Seperti dorongan yang menyengol tubuhmu ketika sebuah mobil nyaris menabrakmu.
"Ya." Aku akhirnya menjawab setelah menelan ludah dengan susah payah. "Aku bisa mendengar suaramu di kepalaku. Dan itu mengganggu sekali."
[Kenapa kau tidak pernah bilang?] Geraman itu terdengar semakin kecang, seakan sedang kesal.
Terdengar suara dehaman yang didramatisasi. "Akan kuberi kalian waktu untuk bicara." Suara Sigmon.
Omong kosong. Penyihir, apalagi Royalis, tidak akan memberikan kami waktu bicara dan menunggu jika sudah tidak punya keperluan. "Jujurlah dan katakan saja kau sedang mencoba memikirkan cara lain untuk menyingkirkanku! Jangan bicara hal menjijikkan seperti itu! Kau menggelikan, Penyihir!"
"Tuduhan jahat." Langkah maupun suara Sigmon terdengar semakin jauh. "Meski tuduhan itu wajar dialamatkan kepadaku, sekarang aku tidak punya niatan untuk membunuh kalian sama sekali. Aku bukan lagi penyihir, Penjaga Gerbang Muda. Aku tidak lagi berkewajiban untuk menangkapmu."
Jawaban itu membuatku tertegun, tanpa sadar berpikir keras karena jawaban aneh itu, lalu setelah jembatan logika terbentuk dan terbangun di dalam kepalaku, semuanya menjadi jelas, termasuk kenapa rasanya jawaban Sigmon tadi terdengr sangat aneh.
Aku mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. "Itu memang tujuanmu dari awal."
Tidak ada penjelasan yang lebih masuk akal daripada dugaan dia melakukan semua ini dengan sengaa dari awal. Tindakan dadakannya yang mengambil dua temanku, kemudian tindakannya kemudian yang berlawanan dengan percobaan pembunuhanku yang sebelumnya, lalu ucapannya tadi, tidak ada dugaan yang lebih kuat dibanding dugaan ini. Sepertinya dia memang sengaja memancing kekuatanku untuk keluar dan menghilangkan kekuatannya beserta seluruh kota ini. Dia sengaja menghilangkan statusnya sebagai penyihir.
"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," kilahnya. "Aku hanya melaksanakan tugasku dan gagal. Sudah tidak ada alasan untuk mempertahankan tensi tidak mengenakkan di antara kita lagi."
Alasannya tadi benar-benar menyedihkan, sangat tidak masuk akal, maksudku. "Aku tidak akan pernah bisa mengerti jalan pikiranmu." Dia bilang suka. Hanya karena rasa suka pada manusia, dia mengorbankan dirinya dan klannya sendiri? Apa dia tidak memikirkan keempat klan lain yang mungkin akan tahu keadaan ini dan memanfaatkan keadaan untuk menghancurkan klannya? Aku tidak tahu apakah para penyihir saling menghancurkan satu sama lain atau tidak, tapi kemungkinan selalu tidak terbatas.
"Karena inilah aku tidak ingin memberitahumu dari awal." sahutnya dengan suara yang mengingatkanku pada suara kedua orang tuaku. "Logikanya sederhana saja, sebenarnya, Penjaga Gerbang Muda. Kalau kau tinggal bersama terlalu lama dengan seseorang, melihat semua sisi baik dan buruk mereka, pada akhirnya kau akan sulit untuk membenci mereka, bahkan mungkin saja kau akan terikat dengan mereka. Bukan begitu, Azran?"
Tidak ada jawaban sama sekali selain embusan kasar dan geraman rendah yang terdengar jengkel—jika memang dia benar-benar jengkel sekarang ini.
"Baiklah, kuberi kau waktu dua menit karena aku juga butuh menjelaskan ini kepada semua orang."
Terdengar bunyi langkah menjauh. Hanya dua langkah, kemudian benar-benar lenyap. Tidak terdengar lagi langkah kaki Sigmon. Kericuhan yang samar-samar kudengar di bawah pun perlahan sirna, tertelan kesunyian. Entah apa benar Sigmon sudah pergi atau hanya membual dan ingin membuat posisiku jauh lebih memalukan.
Mungkin yang kedua.
Karena kalau jelas dia jujur, artinya kami sedang benar-benar merugikan banyak orang sekarang.
Azran tidak berada dalam wujud Manusia? Kami di tengah Istanbul! Ada berapa banyak kerusakan yang sudah terjadi? Ada berapa banyak yang sudah terbunuh?
"Sebaiknya kau kembali ke wujud Manusia, Kapten." Aku mencoba bangkit, tapi gagal. Energiku benar-benar habis dan belum terkumpul lagi. Sambil menyumpah serapah, aku duduk dengan napas tersengal. "Ekormu yang kurang ajar itu mungkin saja sedang menyiksa seseorang sampai sekarat sekarang."
[Tidak.]
Satu kata itu terdengar dari Azran. Kemudian tanah kembali bergetar. Panas internal kembali mengaliri nadi dan darahku. Sihir mengalir di udara yang nyaris terbebas dari Jalinan. Seperti aliran udara, sihir menyatu dan mengalir bagai jerat duri yang menyelinap ke dalam setiap pori-pori kulitku, menyentak alam sadarku ketika sekali lagi udara turun ke bawah titik beku.
Semakin dingin dan semakin dingin. Lalu terdengar bunyi dentuman keras di langit Begitu keras hingga telingaku berdengung dan tuli sesaat.
"Aku kira aku akan benar-benar tuli." Bahkan di saat aku tidak bisa melihat, aku bisa tahu, napasku pasti mengepulkan uap yang tebal sekarang. Sekujur tubuhku merinding. Hanya toleransiku pada rasa sakit yang membuatku terjaga saat ini. "Apa kau baru saja menghancurkan Istanbul, Perompak?"
[Tidak satu pun. Sedikit api yang membekukan tidak akan membunuh Penyihir.] Azran menyahut. Terdengar sangat tenang bahkan di dalam kepalaku. [Aku hanya menyingkirkan mereka untuk sementara. Sesuai janji Sigmon yang memberiku waktu.]
"Dia tidak pernah berjanji."
[Begitu pula dirimu.]
"Benar. Tidak sepertimu," sahutku tenang. "Aku tidak punya janji, karena itulah aku tidak melanggar apa pun."
Panas internal tiba-tiba menggelitik mataku. Kesal oleh sensai dadakan yang tidak enak, aku pun tanpa pikir panjang, mengusap mata kuat-kuat—menggaruknya bahkan—berusaha menyingkirkan semua rasa gatal, panas sihir, serta warna hitam pekat yang menghalangi pandanganku selagi menahan semua sakit kepala dan panas yang membakar tubuh ini.
[Berhentilah menyakiti matamu.] Terdengar desisan tak ramah di belakangku.
"Ini mataku," sahutku jengkel. "Aku bebas melakukan apa pun dengan mata ini. Dan apa pun itu, jelas bukan urusanmu, Penyihir!"
[Kau masih akan membutuhkannya.]
Aku ingin membalas kata-katanya satu itu, bahwa tidak ada yang sependapat dengannya. Tapi aku lantas sadar, kami bukan di Inggris dan tidak ada banyak waktu tersisa. Aku harus memanfaatkan semua aset yang aku punya ke potensi maksimal.
Sial. Penyihir berpengalaman yang sialan.
Kemudian panas internal itu kembali. Sejumput sihir kembali menyala dalam nadiku. Sensasi gatal itu kembali. Tapi anehnya, kali ini, aku merasakan gatal itu tidak begitu parah. Bahkan, ada sesuatu yang terasa berbeda. Tepat di mataku.
"Kau tidak sedang mencoba memulihkan mataku kan?"
Terdengar geraman rendah dari Azran. [Kalau ya?]
"Aku akan menghentikanmu." Tanpa ragu, kukeluarkan sedikit sihir yang kutahan, mengembalikan rasa sakit itu ke mataku.
[Coba saja.] Azran terdengar sama sekali tidka terganggu, tapi desisannya semakin kencang. [Bukan aku yang akan menyerah lebih dulu.]
Titik-titik hitam dan kegelapan mulai menghilang, menampakkan sedikit siluet di sekitarku. Walaupun siluet itu terus dihalangi titik-titik kelabu gelap yang tidak berhenti bergerak dan bergetar, setidaknya aku sudah bisa mengenali objek-objek di sekitarku.
Kemarahan membumbung tinggi dalam kepalaku. Sihir menggelegak dalam denyut jantungku.
"Jangan main-main, Penyihir tolol!" hardikku habis sabar. "Yang kita bicarakan di sini adalah waktumu! Usiamu! Jangan menyia-nyiakan waktu royalis sepertimu untuk budak seperti—
[Ini tidak sia-sia.]
Ah, benar. Dia memang tidak akan pernah melakukan segala sesuatu tanpa imbalan. "Karena aku aset yang langka."
[Ya.] Azran menyahut tanpa ragu. [Hanya satu-satunya.]
Aku tertawa semakin kencang. Semakin lancang. Tapi anehnya, sesuatu dalam diriku meronta. Merana. Aku mencoba menutupi suara rintihan menyedihkan yang diiringi retakan itu dengan suara tawakau yang semakin lama terdengar semakin menyedihkan.
"Setelah mengelak berulang kali, kau akhirnya mengakuinya," ujarku antipati. "Kau sepertinya tidak bisa berbohong dalam bahasa ini, Kapten."
[Aku tidak akan melepaskanmu.] Azran mengulangi kata-kata sampah itu. [Aku tidak berbohong soal itu.]
"Ah, ya, penyihir dan sumpah mereka yang katanya abadi," cibirku. "Kau tidak cukup pintar ya? Kau seharusnya membiarkanku mati lebih cepat jika ingin terbebas dari sumpah konyol itu."
[Tidak,] Azran menjawab dengan ketegasan yang membuatku tersentak. [Aku tidak mau terbebas.]
Keningku berkerut-kerut ketika kata-kata itu berputar dalam kepalaku dengan cara paling membingungkan. "Apa?"
[Aku sudah bilang, bukan? Kau menghancurkanku.] Napas dingin itu terasa sangat dekat. Membekukan belakang leherku. [Kau pasak yang tertanam di jantungku. Jika kau lenyap, aku pun akan lenyap.]
Sesuatu menyala dalam dadaku dan itu bukan perasaan senang.
"Kau tolol!" sentakku keras-keras. "Apa maksudmu ikut mati? Kau ini royalis! Penerus raja klan Therlian! Berhentilah mengatakan omong kosong seolah kau bergantung pada satu orang Manusia!"
[Kau satu-satunya. Artinya tidak akan ada orang setelah ataupun sebelum dirimu.] Suara Azran mengalun dalam kepalaku. Tidak lagi seperti dengung. Lebih menyerupai desau dedaunan. Dan suaranya berbisik tepat ke dalam diriku, seolah ia membisikkan semua kata-kataku di jantungku pada setiap denyutnya. [Tidak akan ada artinya jika bukan dirimu.]
Aku menggeleng. Entah untuk alasan apa. Aku hanya tidak ingin mendengarnya lagi. Tapi tanganku tidak bisa bergerak. Tanganku tidak mau terangkat, tidak peduli seberapa pun aku ingin menutup telinga. Dadaku sesak. Sakit oleh sesuatu yang aku yakin bukan berasal dari bebat di dadaku. Sakitnya menusuk, menyesakkan. Seperti hendak membunuhku.
"Cara yang bodoh untuk menggantungkan hidup."
[Mungkin.] sahutnya. [Tapi tempat di dunia tolol ini, untuk pertama kalinya aku merasa hidup. Setelah bertemu gadis yang dengan cerobohnya menyelamatkan nyawa perompak--
"Hentikan itu! Apa-apaan ucapan melanturmu itu?" tukaskuseiring rasa sakit yang menggema menghancurkan satu demi satu tulang rusukku. "Jangan seenaknya menyerahkan seluruh hidupmu untuk seorang—
[Aku tidak menyesal.] Suaraku berhenti seketika ia memanggil namaku. Waktu berhenti. Angin berhenti. Seluruh kehidupan membeku kecuali kami berdua, terperangkap di tengah kebekuan. [Aku tidak menyesal takluk untukmu.]
Seketika aku berbalik ke belakang, menyaksikan siluet gelap menjulang tinggi di hadapanku. Siluetnya sama gelap dari yang lain. Angin dingin berembus sekali lagi, kali ini tepat ke kakiku yang bersimpuh di tanah. Aku kemungkinan sedang berada di depan mulutnya. Namun ia, Azran, tidak sedang menatapku lekat-lekat. Mataku yang belum seberapa pulih mungkin tidak bisa membedakna, tapi embusan napasnya yang begitu rendah hingga menyentuh kakiku, hanya bisa menandakan satu hal: Azran tengah menunduk dalam-dalam.
"Kami hanya akan menunduk pada orang yang memegang kesetiaan abadi kami," Suara ibuku di masa lalu bergema. "Bagi klan Therlian, sumpah semacam itu hanya berlaku bagi dua orang. Kepada Tuan yang begitu kau hormati dan kepada...."
Gigiku bergemeretak. "Hentikan ... hentikan itu, Penyihir!" hardikku kuat-kuat. "Jangan merendahkan diri di hadapan Manusia sepertiku!" Caci maki terus keluar dari mulutku untuk serentetan waktu yang seolah berhenti selamanya. Hingga aku lelah. Hingga suaraku habis dan hanya menyisakan getar menyedihkan dari pita suaraku yang lelah, Azran tetap menundukkan kepala di hadapanku.
Hanya untukku.
Kini aku kehilangan kata-kata.
"Kau benar-benar bodoh. Perompak yang bodoh dan keji...." Aku menundukkan kepala. "Kau tidak salah. Aku ini hanya wadah. Aku yang asli sudah lama mati. Sekarang aku hanya tubuh yang diisi energi Lazarus. Kalau kau memperlakukanku sebagai benda, tidak akan ada yang menyalahkanmu. Jadi berhentilah bersikap peduli! Perlalukan saja aku seperti barang seperti kau yang biasanya, daripada--
[Kau mungkin aset, tapi aku adalah baja yang melindungimu.] Bisa kurasakan Azran mendekat. Sesuatu menyodok perutku. Sebuah dorongan kecil yang disertai embusan napas ke arah perutku. [Kalau kau hancur, artinya aku sudah lebih dulu hancur.]
Rasa sakit itu menang. Ia melelehkan jantungku dengan panas yang teramat menyiksa. Napas benar-benar tidak lagi berembus dari hidungku yang megap-megap mencapai udara yang entah sejak kapan terasa sangat langka.
Aku mendongak, sekali lagi bertatapan dengan monster yang kini menjulang demikian tinggi di hadapanku. Siluet yang begitu gelap dan hitam, dengan sepasang cahaya yang anehnya masih tampak menyala keemasan dalam duniaku yang hitam putih.
[Ada apa, Al? Kau takut padaku?] Ia berkata. [Wujud ini membuatmu takut?]
"Konyol kalau aku tidak takut pada monster sebesar ini." Walaupun pada kenyataannya tidak demikian. Tanganku meraba denyut dalam dada, merasakan degupnya yang hidup dan menyala cepat, walau bukan karena ketakutan. Degup ini berdentam untuk sesuatu yang lain.
Sesuatu yang dengan terpaksa, kusadari. Di hadapan seorang penyihir. Di hari ini, setelah kami nyaris saja mati.
Sekali lagi sunyi yang mendadak merebak. Jawaban itu membuatku membelalak dan kuharap ekspresiku tidak begitu mudahnya terbaca sampai membuatnya mendapatkan ide untuk mengerjaiku lagi.
Tidak ada dari kami yang bicara selama beberapa lama. Tidak mau menghabiskan waktu berlama-lama untuk bicara dengannya, aku berbalik, terang-terangan tidak memedulikannya lagi. Perhatianku seutuhnya tertuju pada dua sosok gelap yang terbaring di sana, tak jauh dari tempaku duduk, tak bergerak. Mereka berdua ada dalam jangkauan dan denyut yang teraba di tanganku masih stabil. Dua sosok ini terlihat sangat meyakinkan jika mereka ingin menipu dengan meyakinkanku bahwa ini benar dua sahabatku.
"Apa mereka benar Edward dan Suri?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku, didorong oleh keputus asaan untuk tahu keadaan dua orang yang selalu bersamaku selama bertahun-tahun, untuk tahu bahwa dua sosok ini memang benar mereka, mengetahui bahwa Sigmon tidak berbohong, dan mengetahui bahwa memang mereka baik-baik saja. Aku bahkan tidak pernah memikirkan kemungkinan apakah pertanyaan ini akan dihiraukan dan dijawab oleh Azran, pun bertanya langsung dengan menyebuat namanya.
Aku tahu seharusnya menyebut nama penyihir itu. Tapi apa yang dia katakan di kapal malam itu, apa yang dia akui telah dia lakukan dan telah dia niatkan untuk lakukan, sama sekali tidak bisa berubah ... tidak peduli meski perasaannya telah berubah sekalipun. Tidak peduli jika pada akhirnya aku jatuh ke lubang yang sama.
Kekecewaan dan luka itu tidak akan pernah sirna.
[Benar.] Azran menjawab. [Sigmon tidak berbohong. Mereka berdua baik-baik saja.]
Napas lega berembus dari mulutku. Aku menarik tanganku dari dada yang berdetak itu. "Jadi memang dia tidak berbohong."
[Dia bisa dipercaya.] Azran berkata lagi. [Aku tidak akan meragukannya jika dia bilang tidak akan membunuh. Dan aku juga tidak akan meragukannya ... ketika dia bilang matamu dalam kondisi memprihatinkan.]
Aku terdiam sambil mengumpat dalam hati karena sudah membiarkan seorang penyihir mengumbar kelemahanku begitu saja di hadapan Azran.
[Sejak kapan kau bisa mendengarku?] Azran bertanya lagi.
"Sejak masih ada di Black Mary." Aku pun tidak tahu kenapa kekuatan ini sampai muncul malam itu, malam ketika Oryziel melakukan penyerangan terahdap kapal. Jika memungkinkan, aku juga ingin tahu kenapa semua ini muncul tiba-tiba.
[Dan kau tidak berniat bilang apapun?]
Ditelan oleh amarah, aku menoleh menatap monster yang kini kepalanya rendah sekali dan berada dalam jangkauan tanganku itu. Aku tidak bisa melihat matanya karena semua titik-titik kelabu dan semua hitam-putih ini, tapi aku merasakan dengan kuat dia sedang menatapku.
"Aku juga tidak tahu kalau dengung ini artinya kalian bicara. Aku awalnya tidak tahu. Aku baru tahu ketika semua ingatan itu kembali," dengusku. "Lagipula ini bukan sesuatu yang sebaiknya kuumbar ke hadapan kalian penyihir. Jika aku punya rahasia dari penyihir, sebaiknya aku menutupi rahasia itu sampai mati karena tidak akan ada yang tahu kapan rahasia itu bisa jadi senjata mematikan bagiku. Saat di kapal malam itu dan sekarang adalah buktinya."
[Karena itulah kau tahu rahasia di dalam kepalaku.]
Setelahnya, tidak ada lagi dengung yang terdengar di dalam kepalaku. Baik aku maupun Azran terdiam. Kepalaku benar-benar terasa sangat berat dan pening, pandanganku mulai berubah gelap kembali, tenagaku pun semakin habis, tapi kesadaran enggan pergi dariku.
[Kau harus beristirahat.]
Kali ini aku mendengar Azran menggeram marah.
[Kau membutuhkan istirahat. Matamu membutuhkannya. Energi di tubuhmu membutuhkannya.]
"Kita tidak punya banyak waktu." Aku berusaha bangkit lagi, tapi gagal. Kedua kakiku tidak punya tenaga sama sekali untuk menopang tubuhku. Keduanya gemetar hebat seakan terbuat dari sekeping kayu tipis yang mudah patah. "Daripada istirahat, sebaiknya kita ke tempat kuil yang masih ada. Kau tahu tempatnya kan?"
[Kau harus istirahat.]
Kali ini kesabaranku habis. "Tidak ada waktu!" geramku dengan nada yang sedikit lebih tinggi dari biasa. Energiku yang tadi kukira sudah habis, ternyata masih bisa meletup sesuai dengan emosiku yang sedang naik sekarang ini.
[Dengan keadaan seperti ini, kau tidak akan jadi apa-apa selain beban yang menyusahkan!] Azran terdengar menggeram setengah hati, mengembuskan angin dingin yang terasa menyakitkan di kulitku yang sudah terasa dingin dengan semua peluh yang tak henti bercucuran ini. [Sekali-kali pedulilah pada dirimu sendiri!]
Tanpa takut, aku menatap sosok monster yang mulutnya dekat sekali denganku itu, menghadapi mulutnya yang dapat menelanku tanpa perlu mengunyah, menghadapi puluhan atau mungkin ratusan taringnya yang bisa merobek dagingku dari tulang-tulangnya dengan mudah, dan menghadapi energi sihirnya yang masih sangat melimpah. Jika mau, dia bisa saja memakanku sekarang juga, mengunyah, dan meludahkanku lagi dengan hinanya ke lantai, tapi tidak. Dia tidak melakukan apapun selain bicara padaku tentang hal-hal tidak berguna hingga detik ini.
Hal-hal tidak berguna yang benar-benar membuatku kesal.
"Kau benar-benar pelindung yang menjengkelkan." Aku tertawa miris. "Segalanya terasa lebih mudah saat kau hanya menganggapku sebatas alat, Kapten." Seulas senyum tipis tersungging di bibirku. "Sekarang siapa yang tidak memedulikan diri sendiri?"
Geraman Azran berubah serupa bunyi angin di tengah musim dingin yang keras. Sekali lagi kepala monster itu menunduk semakin dalam, semakin rendah, seperti seseorang yang sedang menundukkan kepala ke hadapanku. Dengung statis di dalam kepalaku melemah.
[Kata gadis yang bersedia mengorbankan dirinya untuk jutaan orang asing.] Dengung statis miliknya melemah di dalam kepalaku. [Aku seharusnya tidak pernah membiarkanmu menolongku tiga tahun lalu atau membelimu. Kau benar-benar kiamat bagiku.]
"Kalau begitu mati saja sana." Aku mendecih kesal.
[Andai aku bisa bertindak seegois itu.] Dengung miliknya semakin lirih di dalam kepalaku. [Tapi kau tahu lebih baik dari siapapun saat ini bahwa aku tidak bisa mati dulu. Aku tidak bisa mati sebelum tujuanku tercapai dan aku tidak bisa mati dengan memikirkan kemungkinan yang akan terjadi ketika aku meninggalkanmu.]
"Tidak akan ada kemungkinan." Aku mendebatnya. "Apa yang terjadi setelah kau mati dan aku masih hidup, sama sekali bukan urusan yang perlu kau risaukan."
[Aku pun ingin tidak terlalu memikirkannya.] Azran mengakui. [Tapi aku tidak bisa tidak memikirkannya setiap waktu.]
Sosoknya sekarang, persis sosoknya di malam itu. Meski saat itu dia dalam wujud manusia, kesan lemah dan menyedihkannya waktu itu kembali muncul sekarang, tercermin dengan jelas di wujud monster ini, menunjukkan padaku bahwa mereka berdua memang benar satu orang yang sama. "Dan kenapa kau tidak bisa melakukannya?"
[Aku pun ingin tahu.] Monster itu sedikit bergerak dan mengarahkan ujung kepalanya kepadaku, seperti anak anjing lemah tak berdaya yang minta dielus. [Aku ingin tahu kenapa aku bisa selemah dan semenyedihkan ini di hadapanmu dan hanya di hadapanmu saja.]
Kata-katanya membungkamku. Jika ini termasuk salah satu trik manipulasinya, dia benar-benar sempurna. "Mungkin karena kau ini sebenarnya penyihir yang sangat menyedihkan."
[Mungkin saja.]
"Tapi kau ini perompak. Seharusnya kau bisa mendapatkan banyak sekali wanita dalam satu malam. Jangan merepotkan dirimu untuk sebuah komitmen seumur hidup," Aku tertawa. "Ini sama sekali tidak seperti dirimu."
[Benar.] Azran mengakui. [Sudah kubilang, aku hancur. Seorang gadis yang benar-benar cantik, cerdik, dan keji sudah menghancurkanku luar dan dalam.]
"Gadis yang sangat pintar," ujarku, sedikit bergurau. "Kudengar penyihir butuh waktu lama untuk jatuh hati pada apa pun."
[Mengherankan, bukan?] Azran menyahut. [Hanya butuh tiga tahun dan yang perlu ia lakukan hanya menyelamatkanku dari segerombolan tentara untuk membuatku tak bisa berpaling darinya.]
Kuharap ini mimpi. Sungguh, kuharap ini hanya mimpi. Tapi rasa sakit kepala dan semua sensasi tidak menyenangkan yang semakin parah yang mendera tubuhku saat ini adalah tanda nyata bahwa semua ini bukan mimpi. Ini nyata. Semua ini nyata, kata-katanya pun nyata.
Aku bukan anak kecil yang awam soal perasaan seperti ini. Aku sudah pernah mengalaminya beberapa kali seiring waktu. Tapi mengalamainya di tengah situasi seperti ini, dengan orang seperti penyhir di hadapanku ini, sama sekali bukan hal yang baik.
Azran lebih berpengalaman soal ini dan dia juga punya pengalaman lebih banyak soal memainkan perasaan wanita di telapak tangannya lebih baik dari siapapun juga. Jika di terowongan maupun tiga tahun lalu dia menggunakan cara yang benar-benar menggoda dan tanpa ragu menunjukkan dominansinya sebagai laki-laki, kali ini dia menggunakan strategi lain dengan bersikap lemah padaku.
Entah ini hanya aktingnya yang terlalu bagus, ataukah aku yang terlalu sentimentil sampai jadi sangat tersentuh seperti ini.
Ketika sadar, tahu-tahu saja tanganku sudah terulur untuk menyentuh puncak kepala Azran. Seperti ketika di terowongan waktu itu, tubuhku bergerak di luar kendali lagi, tapi mungkin kali ini lebih parah.
Telapak tanganku yang menyantuh puncak kepalanya merasakan kerasnya dan dinginnya sisik-sisik Azran yang kelihatannya sangat keras dan sulit ditembus oleh senjata manusia apapun. Di bawah sentuhanku, dia terasa mendekat, semakin menempel padaku.
"Kau tahu ini salah, kan?" bisikku. "Kau tahu kita tidak seharusnya jadi seperti ini."
[Mungkin.] Azran menyahut. [Tapi sejak awal tidak ada yang benar di antara kita.] Azran berhenti sejenak. [Tapi jika kau memutuskan sebaliknya, aku akan menghargai keputusan itu.]
Kedua lenganku lantas memeluk Azran semampu yang aku bisa, meski yang kulakukan sebenarnya tak lebih dari merentangkan kedua tangan karena besar kepala Azran saja melebihi lebar kedua lenganku direntangkan sekalipun. "Dan menurutmu, kuasa apa yang membuatku bisa melakukan hal yang sebegitu besar?"
[Entahlah.] Azran mendekatkan dirinya. Nyaris mendorongku balik. [Kuasa atas diriku, mungkin.]
Tawa yang tak terhindarkan lolos dari mulutku. Tawa yang berasal langsung dari dalam diriku, bukan sebuah wujud pelarian kekecewaan atau sebuah dusta seperti sebelumnya. Benar-benar sebuah tawa dan laki-laki ini, penyihir sekaligus perompak ini, berhasil membuatku melakukannya.
[Sigmon benar. Kondisimu benar-benar memprihatinkan.] Azran mengganti topik tiba-tiba. Dia menggeram rendah lagi. [Kita harus mencri dokter.]
"Tidak ada waktu untuk itu, kau tahu itu lebih dari siapapun. Kau merasakannya."
[Alto, matamu ....]
"Ini hanya mata."
[Tetap saja kau akan merasakan kesakitan.]
Tawa pahit lolos dari mulutku. "Sejak keluar dari penjara itu, aku sudah lupa bagaimana caranya meresapi rasa sakit. Mati dan terbunuh berkali-kali dalam satu hari memang berpengaruh banyak padaku."
Azran diam. Untuk sekali ini dia tidak mendebatku, entah karena kata-kataku itu punya kebenaran yang tidak bisa dibantah ataukah dia sudah kehilangan stok kata-kata untuk membalas ucapanku barusan.
[Jika ada yang bisa aku lakukan, apa saja ... katakan. Jangan pernah ragu. Berjanjilah, Alto.]
"Kau memintaku berjanji hal yang mustahil," gumamku, tanpa sadar semakin lirih. "Aku tidak bisa menepati janji seberat itu, tidak jika harus membuka diri dan membuka semua rahasia yang aku punya kepadamu." Dan aku tidak bisa membiarkanmu melihat sisi lemah yang selalu aku tutupi dari semua orang ini.
[Aku bisa menunggu.]
Dia benar-benar berubah dari perompak kasar jadi pria aneh yang lembut dan penuh pengertian. Kuharap tadi aku tidak salah mendengar dan mengartikan kata 'menunggu' yang keluar dari mulutnya sebagai penantian pada janji yang dia tawarkan. "Kalau ini semua kebohongan, kau sudah melakukannya dengan sangat baik. Aku tidak bisa membedakan lagi apa ini sandiwara atau bukan."
[Jika ini hanya tingkahmu untuk menarik kelemahanku, kau juga sudah melakukannya dengan baik.]
"Aku tidak sedang berpura-pura," dengusku. "Aku memang lemah, lebih lemah dari yang kau kira. Terutama ... karena aku perempuan."
Kemudian, entah dapat keberanian dari mana, aku mencium puncak kepala Azran tanpa ragu. Kedua mataku terpejam, aku mengecup puncak kepalanya lama dan tertahan di sana, merasakan dua energi sihir kami beradu dan saling bertarung. Sosok raksasa di bawah pelukanku dengan cepat menyusut, terasa menguap menjadi udara yang lepas dari jangkauan tanganku, menjadi udara yang sulit sekali kutangkap. Kedua lenganku dalam sekejap mata hanya memeluk udara kosong.
Aku berhenti mencium dan berhenti merentangkan tangan ketika sadar tidak ada lagi yang bisa disentuh. Masih dalam keadaan mata menutup, aku merasakan udara kosong itu memadat kembali di sekitarku, mengurungku dalam pusaran udara dingin yang sejuk seperti angin di musim gugur yang biasa berembus di Netherfield, bukannya menusuk sumsum seperti tadi. Sosok yang sempat hilang dalam rengkuhanku, kini kembali. Dia berbalik memelukku lebih dulu, menenggelamkanku ke dalam dekapan yang menghanyutkan. Seketika itu juga, rasa kantuk yang tidak bisa diabaikan, menyerangku. Kini tubuhku bersandar pada dadanya yang sekeras dinding batu. Tanganku menggenggam sedikit kemejanya. Napas dingin miliknya berembus pelan di lekukan leherku, mengirimkan sensasi dingin yang menambah rasa kantukku menjadi berlipat-lipat.
Tangannya dengan lembut memain-mainkan rambutku. Pelukan di sekitar tubuhku mengendur dan pemuda itu, tanpa ragu, langsung mendaratkan kecupan di puncak kepalaku, memberiku energi aneh yang menentramkan, mendinginkan seluruh panas internal membara yang tadi membakar tubuhku dari dalam dan terasa menyesakkan.
"Beristirahatlah, Alicia. Kau membutuhkannya." Bisikan itu mengalun lembut ke telingaku, membuai, hingga tanpa sadar aku dibawa ke dalam alam mimpi olehnya.
***
A/N:
Apa? Kenapa saya posting bab begini di tengah puasa? Gak ada yang minta kalian baca pas puasa juga sih. //sok inocent. //dihajar massa
Pokoknya nikmati saja bab ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya adalah murni sebuah misteri bagi par apembaca baru. Ada yang bilang bab selanjutnya bikin baper, tapi saya secara pribadi ... ah nanti spoiler.
Akhir kata, jangan lupa vote dan komentarnya. Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro