Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

63. Tujuan yang Jelas

"Makhluk Lain itu penyihir?"

Di tengah cahaya muram lilin yang menerangi kamar kami, aku mendongak, menatap wajah Ibu yang tengah bercerita. Buku tentang Makhluk Lain terbuka di pangkuanku yang sedang dipangku Ibu. Cahaya lilin menghangatkan kami berdua yang duduk diam sementara hujan badai masih mengamuk di luar. Entah kenapa udara di dalam kamar ini terasa lebih hangat dari biasanya dan suara badai itu perlahan reda di kejauhan.

"Benar," jawab ibuku. "Sebenarnya yang kami lakukan ini bukanlah sihir, tapi kalian menyebutnya sebagai sihir. Yah, walaupun salah, sebutan tidak punya banyak arti sebenarnya, jadi tidak masalah kalaupun kalian salah menyebutkannya."

Sebuah pertanyaan yang muncul langsung mengganggu benakku. "Kalau begitu Ibu Makhluk Lain?" Mengingat Ibu bisa sihir, artinya Ibu adalah penyihir bukan?

Ibuku tertawa. "Kalau ya, apa kau takut, Alicia?"

"Ibu bohong." Aku merajuk, kemudian menunjuk gambar makhluk mengerikan di buku. "Ibu dan makhluk ini sama sekali tidak sama."

Ibu tersenyum lembut menanggapi omelanku yang kurang ajar itu. "Itu karena ada Jalinan, bukankah Ibu sudah menjelaskannya?"

"Oh, soal pelindung di dunia ini yang dibuat penyihir baik?" Aku menolak untuk mengangguk, masih merajuk. "Aku masih tidak mengerti. Makhluk di buku besar, bagaimana jadi menyusut sekecil Ibu?"

Ibuku lantas menggaruk-garuk kepalanya yang kelihatannya tidak gatal. "Itu penjelasan yang cukup rumit untuk diterangkan padamu, Alicia. Bagaimana kalau kita bicarakan nanti kalau kamu sudah bisa memperbaiki mobil Ayahmu yang masih rusak itu?"

"Lagi-lagi begitu." Aku semakin dongkol saja. "Terakhir kali alasannya harus bisa membetulkan boiler Nenek Prue. Sekarang alasannya itu. Ibu benar-benar tidak mau memberitahuku!"

"Tapi Ibu tidak berbohong. Kau masih belum akan memahami penjelasannya sekarang." Ibuku terus meyakinkanku dengan nada lembut membujuk yang tak kutahu kapan akan habisnya.

"Kalau begitu aku tidak akan percaya Ibu sebenarnya seperti ini!" Telunjukku mengetuk gambar monster itu dengan marah.

"Memangnya kau ingin melihat wujud asli Ibu, Alicia?" tawar ibuku tiba-tiba. "Ibu rasa itu bukan ide yang bagus. Kau pasti akan takut."

Setetes keringat meluncur menuruni dahiku yang berlipat-lipat. "Kenapa aku takut?" Semua ini semakin membingungkan dari waktu ke waktu.

Percaya atau tidak, Ibu kelihatan sangat sedih setelah aku bertanya demikian. "Karena Ibu mungkin ... mirip monster yang sering muncul di mimpi burukmu."

Itu tidak mungkin. Monter di mimpiku punya banyak rambut, mulutnya bertaring, dan ileran. "Karena Ibu penyihir?"

"Ya."

Aku menekuri gambar di buku, membalik ke halaman berikutnya yang menampilkan monster yang berbeda, monster dengan ekor, cakar, kaki, leher panjang, dengan mulut lebar yang sedang mengaum, memamerkan taring, dan sepasang sayap mirip kelelawar yang mengembang gagah.

Therlian.

"Ibu bilang, ibu dari klan Therlian kan?" Ibuku mengangguk, lalu aku menunjuk gambar di buku. "Ibu berwujud seperti ini?"

"Tidak seperti itu juga sebenarnya." Ibuku menggumam sebentar, lalu menghela napas. "Andaikan Ibu bisa mengajakmu pergi ke tempat itu sekarang, mungkin akan lebih mudah."

"Tempat apa?" Hilang sudah semua rajukanku. Hanya dengan satu kalimat itu, aku jadi benar-benar penasaran.

Ibu hanya tertawa menanggapiku. "Suatu tempat yang jauh dari sini, tempat yang airnya jernih berwarna keperakan. Jika kita bercermin di sana, kau akan bisa melihat bagaimana wujud asli Ibu."

"Ayah juga?" Ibu mengangguk, meningkatkan antusiasmeku menjadi berkali-kali lipat. "Tempat jauhnya itu di mana, Ibu?"

"Di tempat tinggal asalmu."

Dahiku berkerut-kerut, berusaha mengingat nama suku yang susah sekali disebut itu. "Err ... suku ... Caterpillar itu?"

Ibu tergelak. "Carpantia, Sayang. Yang benar itu Carpantia."

Meski ibuku tergelak, aku tidak ikut tergelak. Sejak tahu aku bukan berasal dari desa ini, aku tidak suka semua topik yang membahas tempat asalku. Meski Ibu berulang kali membujuk dan terus membahas mereka, aku tidak pernah dan tidak bisa suka. Membayangkan akan bertemu dengan orang tua asliku, orang-orang yang tidak kukenal seumur hidup tapi mengaku sebagai keluarga dan meninggalkan semua yang aku kenal di sini, berdua saja dengan Lizzy di dunia yang tidak aku kenal, rasanya menakutkan.

"Nama mereka aneh," keluhku.

"Bukankah nama Ibu juga aneh?" sahut ibuku. "Nama ibu sama sekali tidak terdengar seperti nama orang Inggris kan?"

Kalau itu, aku tidak akan mengelak. Nama ibuku, Andrea Serdin, bukan nama yang umum di Inggris, pun dengan nama belakang ayahku, Regalius. Kedengarannya kami seperti berasal dari negeri asing, padahal wajah kami tidak ada bedanya dengan penduduk desa Netherfield yang lain, hanya mata kedua orang tuaku saja yang sedikit berpendar indah seperti kunang-kunang yang biasa kulihat di hutan di musim panas.

"Kenapa Ibu tidak ganti nama kalau memang merasa nama itu aneh?" usulku.

"Mungkin memang bisa, tapi kebanyakan dari kami tidak menyukai ide untuk berganti nama, terutama klan kami, Therlian," jelas ibuku. "Ah bagaimana kalau kau melihat foto klan lain, apakah kau melihat ada perbedaan?"

Aku mengangguk. Sudah puluhan kali aku membaca buku ini dan menyadari memang ada perbedaan dari kelima klan—apapun artinya itu—penyihir yang ada dan perbedaan itu sangat mencolok. Ibu membantuku mulai dari klan pertama. Therlian.

Aku mengelus sayap besar dan mengerikan milik salah satu Makhluk Lain dari klan Therlian di buku. "Klan ini bentuknya mirip seperti naga di buku cerita."

"Ibu tahu." Ibuku mengangguk. "Bukankah itu aneh? Padahal kami berasal dari dunia yang berbeda, tapi wujud kami malah mirip sekali dengan makhluk-makhluk dari dunia ini," gumam Ibu.

Aku mengerjap bingung. "Maksud Ibu apa?"

"Tidak apa-apa. Ibu hanya bicara sendiri." Kemudian Ibuku membalik halaman buku, menunjukkan nama klan selanjutnya. Sigmon.

"Burung." Aku bersuara tanpa ragu. Foto klan Sigmon memang menampilkan burung raksasa berwarna merah menyala dengan beberapa helai ekor indah yang membentang menutupi angkasa dengan kedua sayap lebarnya.

"Dan mereka yang paling dekat dengan manusia," ibuku menambahkan. "Kau tahu, Alicia? Mereka adalah Donor paling banyak sejauh ini. Setiap kali ada pergantian Penjaga Gerbang, mereka selalu menjadi yang paling pertama bekerja sama."

Sejujurnya, aku tidak terlalu paham penjelasan itu. "Jadi mereka baik?"

"Sangat baik." Ibuku tersenyum lalu membalik halaman selanjutnya. Klan Eusena.

"Ular raksasa." Sekali lagi aku bersuara tanpa ragu. Klan Eusena menguasai Benua Baru, tempat yang kata ibuku tidak pernah sangup dikunjungi oleh siapa pun di masa lampau saking jauh dan beratnya perjalanan menuju ke sana. "Tapi ular ini menakutkan. Taringnya banyak sekali."

"Semua klan selain Sigmon adalah pemakan daging." Ibuku memberitahu. "Jadi wajar punya banyak gigi kan?"

Aku mengerjap, menatap ibuku, tanpa sadar mencoba melihat taringnya, tapi tidak menemukan apapun selain gigi yang rapi di sana. "Ibu juga punya banyak gigi?"

"Tentu saja." Pendar di mata ibuku semakin terang ketika aku menanyakan hal ini. "Karena ibu ini naga, kau lupa?"

Benar juga. Lalu ibuku membalik halaman lagi. Kali ini klan Klaid, penguasa Dunia Harapan, benua yang kata Ibu jauh sekali dari sini dan setiap orang yang mencapainya dikatakan seperti menemukan sebuah harapan. "Bentuknya mirip kucing. Tapi kenapa dia punya tanduk, Bu?"

"Ini singa, Sayang, bukan kucing dan dia memang punya tanduk," ibuku membetulkan. "Tapi soal kenapa dia punya tanduk, ibu juga tidak tahu."

Kemudian ibuku membalik halaman terakhir, klan Bastili. Berbeda dari keempat klan lainnya, wujud Klan Bastili lebih menyeramkan dan kebanyakan tubuh mereka tertutup warna biru dan hitam. Seperi laut dalam. Mereka seperti ikan, tapi lebih menyeramkan dengan banyak taring dan sesuatu seperti ekor yang berbentuk mirip cambuk dari tubuh mereka dan mata yang terang.

"Mirip monster laut." Aku menyuarakan pikiranku keras-keras.

"Mereka memang mirip monster." Ibuku mengakui. "Kami sendiri tidak bisa mendekati mereka karena sifat mereka benar-benar penyendiri. Tapi kau tahu, Sayang, klan ini tadinya tidak berwujud seperti ini. Katanya mereka jauh lebih cantik dari ini."

"Cantik?" Aku mengerjap bingung. Gambar di buku ini jelas jauh dari cantik.

"Ibu tidak bohong. Mereka memang cantik, tapi ...." Wajah Ibu berubah murung. "Di masa Jalinan terbentuk, merekalah yang paling banyak melakukan perlawanan. Ketika Jalinan kembali terbentuk pun, mereka banyak membuat masalah. Tidak hanya manusia, penyihir lain pun kesal dibuatnya. Akhirnya sampai raja klan Sigmon sendiri dan beberapa penyihir dari klan lain turun tangan."

Degup jantungku meningkat oleh antusiasme. "Ibu juga?"

"Bisa dibilang begitu." Entah untuk alasan apa, ibuku tersenyum berseri-seri, tapi bukan tipe senyum cerah Ibu yang biasa. Ini senyum ketika Ibu sedang memikirkan hukuman bagi aku atau Lizzy ketika kami berdua berulah sampai menguji kesabaran beliau. "Bastili perlu diberi pelajaran sedikit, jadi Ibu senang sekali bisa mencakar wajahnya lima kali. Tapi yang menyenangkan memang menyegel kekuatannya."

Ada satu kata yang asing di telingaku. "Segel?"

"Sesuatu yang membuat mereka tidak bisa bergerak, seperti gembok dan rantai," jelas ibuku. "Bedanya, gembok dan rantai ini membuat wujud mereka jadi sangat jelek dan sifatnya permanen. Itu hukuman untuk pengacau."

Baru kali ini aku melihat ibu sangat bangga dan berser-seri, jadi kubiarkan saja, meski Ibu jadi kelihatan sangat menakutkan kalau menceritakannya lebih jauh.

"Beruntunglah berkat segel itu, klan Bastili tidak terlalu berisik lagi," tambah ibuku. "Mereka tidak bisa lagi berubah ke wujud asli mereka."

"Bukannya Ibu juga sama?" Pertanyaan ini serta merta menghapus seluruh keceriaan dari wajah ibuku. Suara badai mendadak saja terdengar kembali di luar. Suhu ruangan pun perlahan menurun sampai terasa dingin menggigil.

"Memang, tapi ...." Tangan lembut ibuku mengelus kepalaku. "Daripada membuatmu takut, lebih baik Ibu dalam wujud ini selamanya."

***

Kenangan itu menghilang ketika aku kembali disadarkan ke kenyataan yang terus berlangsung selagi aku dengan tololnya malah terbawa masa lalu.

Ketakutan? Hanya karena tidak ingin membuatku takut, Ibu rela ingin terjebak dalam wujud manusia, wujud yang paling dibenci penyihir, selamanya. Dia benar-benar penyihir yang aneh, penyihir yang berbeda dari semua penyihir yang pernah kutemui seumur hidup. Baik mungkin kata yang tepat untuk menjelaskan sifat ibuku. Tapi hanya dia yang baik. Sisanya, semua penyihir selain Ibu, sama buruknya, sama busuknya, dan sama liciknya.

Meski kesal setengah mati, aku tidak punya banyak pilihan, pun tidak punya banyak sisa tenaga untu terus menerus bangkit. Setelah kehabisan tenaga, aku jatuh berlutut, tak lagi berdaya setelah menggunakan seluruh kekuatan yang aku punya.

Cahaya yang menyelimuti mataku sirna sudah, berganti kegelapan yang tak berujung dan terlihat semakin pekat setiap detiknya.

Langit yang tadi masih siang, kini berubah menjadi langit malam berselimut kegelapan. Jika ada yang memilih untuk menyerangku sekarang, inilah kesempatan emasnya. Aku benar-benar tidak berdaya sekarang. Kepalaku berat, mataku tidak bisa lagi diandalkan, dan tubuhku terlalu panas untuk bernapas dan berlari, seperti boiler yang over heat. Suara di sekitarku semakin sunyi, semakin jauh dan tidak terdengar bunyinya.

Apa pertarungan sudah selesai? Ataukah hanya aku yang sekarang sedang tak sadarkan diri dan bicara sendiri dalam mimpiku?

"Aku tahu kau memang mampu melakukannya." Aku mendongak dan langsung mundur ketika mendengar suara Sigmon berada dekat sekali denganku.

Sigmon terkekeh. Saat itu juga, syaraf waspada di seluruh tubuhku terjaga. Seseorang yang terkekeh bisa berarti baik ataupun buruk, tidak bisa ditebak, jadi tidak ada alasan bagiku untuk menurunkan kewaspadaaan, tak peduli meski kekehan Sigmon terdengar sangat ceria dan lepas sekalipun.

Agaknya hal ini disadari oleh Sigmon sendiri karena dia tidak memilih mendekat meski aku menjauh. "Jangan takut, aku tidak lebih kuat darimu sekarang."

"Dan kau berharap aku akan memercayainya begitu saja, Penyihir?"

"Aku tidak menyangka akan mendengar pertanyaan seperti itu dari seorang Penjaga Gerbang." Sigmon berkata dengan nada yang terdengar seperti mengasihani. "Matamu yang berdarah itu ... apa masih bisa digunakan?"

Bahkan dia pun bisa menyadarinya.

"Diam kau."

Aku buru-buru menghapus seluruh sisa darah dari mataku yang sialnya ternyata masih saja meneteskan darah, namun kemudian aku menyadari tindakan ini hanya akan terlihat seperti pengelakan remeh seorang anak kecil yang baru saja ketahuan mencuri uang orang tuanya. Singkat kata, aku terlihat seperti pecundang sekarang ini.

"Kurasa bukan tempatku untuk mengasihanimu. Kalau begitu, biar kukatakan ini, Penjaga Gerbang Muda." Angin berembus di sekelilingku, membuatku sadar betapa tubuhku basah oleh peluh yang tak henti mengucur deras dan darah yang masih menetes dari kedua mataku, turut membawa serta aroma lain yang tidak kukenali: aroma wewangian dan aroma lain yang berbau seperti darah. "Kau sudah membuktikan diri berhasil sebagai Penjaga Gerbang." Satu tangan menyentuh pundakku dan butuh segenap tenaga untuk tidak langsung menepis tangannya sekarang juga dan menebasnya dengan pisau yang ternyata masih ada dalam genggaman tanganku. "Teman-temanmu aman. Mereka ada di sini."

"Kau bisa saja berbohong," sinisku. "Aku melihat dua anggota klanmu menjatuhkan mereka dari ketinggian."

Terdengar helaan napas. "Itu tidak sengaja. Dua anggota klanku itu sudah menebus kesalahannya dengan menolong serta membantu menyembuhkan teman-temanmu."

Penjelasan itu mengalir tanpa ada jeda mencurigakan, tanpa ada kata yang tergagap, maupun keraguan, benar-benar penjelasan yang sangat meyakinkan. Sial, ak tidak bisa memastikan apapun karena semuanya terlalu gelap.

"Kau terlalu banyak menggunakan sihir dan menerima sihir. Itu tidak baik sama sekali untuk alergimu."

Keningku berkerut. Aku ingin sekali memelototi Sigmon saat ini, tapi jangankan melotot, melihat sosoknya saja aku tidak bisa. "Bagaimana kau tahu aku punya alergi?"

"Setiap Penjaga Gerbang punya alergi sihir. Alergi itu awalnya tidak terlihat mencolok, tapi ketika setelah penggunaan sihir yang berlebihan, alergi itu akan memiliki dampak yang signifikan." Sigmon menghela napas. "Dan kau tahu? Selama kau masih menjadi Penjaga Gerbang, alergi ini akan terus ada karena energi kami tidak seharusnya ada di wadah manusia. Jadi berhati-hatilah menggunakan kekuatanmu kalau kau tidak ingin ada kejadian fatal menimpamu."

Segera kuhapus air mata darah yang tak henti menetes dari mataku. Sudah cukup dikasihani dan dinasehati oleh penyihir tanpa harus terlihat lemah juga. Terlihat lemah dan tak bisa berbuat apapun kecuali menangis di hadapan penyihir adalah hal terakhir yang aku inginkan di dunia ini.

"Matamu berdarah banyak sekali dan pupilmu sudah mulai sobek." Sigmon berbisik. "Apa kau bisa melihat?"

"Bukan urusanmu," desisku tajam.

Sejujurnya tidak bisa. Penglihatanku malah semakin buruk dan semuanya semakin tidak jelas sejak beberapa menit lalu. Jika di awal semuanya berwarna hitam dan buram, sekarang semuanya hampir hanya tinggal siluet hitam samar yang tidak bisa menjelaskan bentuk asli pemiliknya. Ketika mencoba melihat lebih jelas dengan berkonsentrasi dan mengusap-usap mata, kepalaku malah semakin berat dan tubuhku terasa panas sekali sampai rasanya pakaian yang kini aku kenakan menempel ketat ke tubuhku, tak mau lepas saking basah kuyupnya oleh peluh. Darah yang tidak berhenti mengalir memenuhi lubang hidungku dengan bau amis yang semakin lama semakin kuat.

"Sepertinya kau tipe orang yang tidak akan berhenti meski aku menasehatimu." Sigmon berkata lagi. Meski tidak bisa melihat, ada perasaan yang mengatakan raja klan Sigmon itu berdiri di dekatku. "Azran sudah mengetahui ke mana kau harus pergi selanjutnya."

"Aku tidak punya alasan untuk percaya pada omongan penyihir sepertimu," tegasku sinis.

"Mantan, lebih tepatnya."

Karena kaget, tanpa sadar aku mendongak bahkan mencari-cari sosok Sigmon, namun tidak ada yang terlihat selain siluet yang terlalu samar untuk dikenali.

Di dalam kegelapan yang mengelilingi, sekali lagi dahiku mengernyit. "Apa maksudmu?" Pikiranku terbagi antara berharap kata-katanya tadi benar dan dia tidak serius mengatakannya.

"Kau sudah memakan seluruh energi sihirku, menyegel seluruh kekuatan sihirku, Penjaga Gerbang Muda." Jantungku mencelus. Jadi aku tidak salah dengar tadi. Tapi benarkah aku melakukannya? Ataukah raja ini hanya sedang bermain denganku agar aku lengah? "Aku, pasukanku, dan seluruh penyihir di kota ini sudah tidak lagi berbahaya bagi manusia. Dan aku bersumpah, tidak sedang berbohong sekarang."

Satu kota? Aku menelan ludah, setengah takut, setengah tidak percaya. Aku menghilangkan sihir satu kota? Kedengarannya sangat mustahil untuk menjadi nyata. Meski aku memang punya kemampuan untuk melakukannya, semua itu masih terlalu dini. Aku seharusnya belum bisa melakukannya. Tapi penyihir ini, raja klan Sigmon sendiri, bersumpah dan sumpah penyihir adalah segel bagi lidah mereka sendiri. Jadi tidak mungkin dia berbohong.

"Kenapa kau memberitahuku hal ini?" Aku menelan ludah lagi, berusaha untuk tidak tersandung kata-kataku sendiri. "Kau tidak perlu memberitahu hal ini. Kau masih bisa membunuhku dengan senjata manual. Memberitahu hal ini hanya akan membuatku tahu betapa lemah kau saat ini."

[Mungkin karena kedekatan klanku dengan kalian.] Berbeda dengan suaranya yang semakin sunyi, dengung di kepalaku malah sangat keras. [Biar bagaimanapun, Sigmon adalah Donor terbanyak bagi Penjaga Gerbang selama berabad-abad. Kau tidak berpikir tidak ada yang tahu perbuatan Andrea Serdin sebagai agen ganda kan? Dan kau tidak berpikir dia bekerja sendiri kan?]

Kenapa mendadak dia bicara dengan bahasa kaumnya seperti ini? Apa dia sedang merencanakan sesuatu yang tidak aku tahu? "Kau mau bilang kau membiarkan ibuku melakukan pengkhianatan diam-diam dan membantunya?"

Terdengar suara tawa pelan Sigmon. "Ah, maaf, bukannya aku menertawakanmu." Dia berdeham. "Hanya saja rasanya sudah lama sekali dari terakhir aku bertemu dengan manusia yang bisa mendengar bahasa kami."

"Terserah." Seharusnya aku tidak menjawabnya tadi. Sekarang dia tahu aku bisa mendengarnya. "Asalkan kau tidak bisa membaca isi kepalaku, aku tidak peduli kau mau bicara apa."

[Ketus sekali. Tapi kau benar, aku memang tidak bisa tahu isi kepalamu.] Sigmon bicara dengan dengung yang semakin lama semakin mengganggu ini. [Baiklah, aku sudah selesai di sini. Kau mengalahkanku dan semua orang di kota ini. Tapi asal kalian tahu, bantuan yang bisa aku berikan hanya sebesar ini. Aku menghormati aliansi antar klan.]

"Aku masih tidak mengerti." Aku menyuarakan ketidak pahamanku yang masih mengganjal. "Ada di pihak mana sebenarnya kau berada?"

Sigmon terdiam, tidak ada jawaban terdengar darinya.

Kalau dia memang di pihak kami, seharusnya dia tidak perlu meledakkan kapal dan membahayakan dua temanku. Jika dia berada di pihak para penyihir, tidak seharusnya dia sebaik ini. Tindakannya ini terlalu kecil untuk dikatakan baik dan tidak sebanding dengan apa yang dia lakukan sebelumnya. Aku berani bersumpah dia punya nafsu membunuh yang serius ketika nyaris berkali-kali mencambukiku ketika bersama Azran dan ketika nyaris mendorong kami ke arah baling-baling kapal. Tapi sekarang membiarkanku hidup, berkata bahwa teman-temanku baik-baik saja, berkata bahwa dia mendiamkan bahkan membantu pengkhianatan ibuku dulu, dan bahkan bersumpah bahwa apa yang dia katakan sekarang ini sama sekali bukan kebohongan.

Segala kata-kata dan tindakannya membingungkan dan masih belum bisa dibuktikan kebenarannya. Pria ini benar-benar berada di zona yang disebut sebagai zona abu-abu.

"Aku hanya ingin melihat kalian, kaum manusia, tidak tertindas di dunia kalian sendiri lagi," jawabnya dengan nada yang terdengar sendu.

Sungguh omongan yang terlalu manis untuk terucap dari mulut seorang raja klan dan juga seorang penyihir royalis seperti dirinya. "Apa motifmu?"

"Hubungan selama dua abad lebih tidak akan bisa dimengerti dalam waktu dua menit, Penjaga Gerbang Muda." Dia berkelit. [Dan kalaupun ada alasan satu lagi, mungkin karena aku hanya ingin kami tidak terlalu berkuasa seperti ini.]

Sekali lagi aku terkejut. "Apa maksudmu? Kau berpihak pada manusia?"

"Sudah kubilang, kau tidak akan mengerti," Sigmon sekali lagi berkelit. "Lagipula bagi kebanyakan penyihir dan manusia sekalipun, kesukaanku pada manusia sangatlah aneh."

Kesukaan? "Kau ... suka manusia? Omong kosong."

"Sudah kubilang kau tidak akan mengerti kan?" Sigmon membuktikan kebenaran kata-katanya sebelum ini. "Sebanyak apapun aku mengatakannya, kau tidak akan percaya. Kebencianmu sudah terlalu besar sampai kata-kata penyihir mana pun aku yakin tidak akan bisa menyentuhmu. Tapi kurasa peraturan itu tidak berlaku bagi satu penyihir kan?"

Satu penyihir? "Ibuku adalah kasus yang berbeda."

"Bukan ibumu yang aku maksud." Sigmon berkata dengan nada senyum. "Tidak akan ada yang bisa menghentikanmu dari memperbaiki Jalinan, aku yakin itu, tapi apa kau tidak memikirkan risikonya baik-baik?"

Satu lagi orang yang bicara seperti ini. "Aku sudah memikirkannya masak-masak."

Entah kenapa, aku merasa Sigmon sedang berlutut di hadapanku. "Keadaan matamu sudah memprihatinkan, Nak. Jika kau memaksakan diri, kau tahu artinya kan?"

Tiba-tiba, tanganku dengan lembut ditarik oleh tangan lain yang terasa hangat, tangan yang kelihatannya adalah tangan Sigmon. Sekelumit perasaan jijik menyerangku, memaksaku dari dalam untuk menepis tangan hangat ini, tangan yang hampir membunuhku berkali-kali ini. Tapi kemudian aku teringat kata-katanya, kata-kata yang mengatakan bahwa dirinya sudah bukan lagi penyihir, bahwa dirinya dan seluruh kota ini sudah tidak bisa lagi menggunakan kekuatannya, dan kemudian sisi diriku yang memberontak itu perlahan tenang. Pelan-pelan, tanganku diletakkan di atas dada seseorang, merasakan detak jantungnya yang berdetak stabil.

"Ini temanmu," bisik Sigmon. "Kau masih bisa merasakannya kan? Dia masih hidup dan sehat-sehat saja." Kemudian tangan itu terlepas dari tanganku, membiarkanku sendiri.

Kuhargai bantuannya, tapi aku masih belum sebegitu percayanya pada penyihir untuk membiarkan lidahku mengucapkan kata terima kasih. Dia baik hari ini bukan berarti dia akan baik di kemudian hari. Lagipula belum berarti detak jantung ini benar-benar detak jantung temanku. Bisa saja dia memanfaatkan ketidak mampuanku untuk melihat dan malah membohongiku. Bisa saja yang aku sentuh ini orang lain. Aku harus bersiap untuk segala kemungkinan buruk yang mungkin menanti sebelum ini.

Tapi sebelum berpikir terlalu jauh, ada seseorang yang harus aku pikirkan lebih dulu. "Di mana Perompak itu?"

"Hm?" Nada bicara Sigmon mendadak berubah. Dan aku tidak suka nada bicara semacam itu. "Siapa yang kau maksud?"

"Penyihir perompak yang membawaku ke mari."

"Kau tidak tahu namanya?" Sigmon bertanya dengan nada menjengkelkan yang semakin jelas. Dan entah karena alasan apa, setiap kali ia bicara, aku meraskaan—dan aku benar-benar yakin ini bukan sekadar halusinasi akibat terlalu lelah—suhu menurun perlahan ke titik beku. Sekujur tubuhku merinding kedinginan. "Kau bisa mendengar seluruh percakapan kami tapi menolak memanggil namanya?"

"Ada apa? Apa ada yang salah? Kau boleh memanggil nama asliku sementara aku tidak boleh memanggil nama aslimu?"

"Sebuah nama tidak akan ada artinya."

"Bagi kalian, mungkin." Sigmon mengakui. "Tapi nama cukup serius di kalangan kami."

Ini konyol. Semua percakapan ini konyol. Dan entah bagaimana aku bisa tertarik ke dalam semua kekonyolan ini. Sekali lagi aku mengusap darah yang mengalir dari mataku. Darah itu tidak kunjung berhenti. Mematikan semua rasa sakit. Menyisakanku dalam tabir hitam putih yang kini terlihat sangat abadi.

"Kalau seorang penyihir mengizinkanmu memanggilnya tanpa syarat apa pun," Suara Sigmon menjauh. Sepertinya dia memang berniat untuk segera pergi. "Kau berarti baginya."

Tanganku menutupi mata, mencoba menghalangi semua bilur kekecewaan yang pernah menyayat nadiku ini untuk berhenti menggentayangiku sekali lagi. Tapi kuasaku tidak sekuat itu, terutama di kondisi seperti sekarang ini. Bahkan di tengah kegelapan sekalipun, yang aku lihat hanyalah dirinya, kata-katanya, dan segala kekecewaan tanpa alasan yang menyerangku malam itu.

Kini ia tidak sendiri. Bersamanya, disusul wajah-wajah lain. Mereka tidak terlihat manipulatif ataupun licik. Tapi wajah-wajah pengharapan mereka, wajah putus asa mereka yang tertuju padaku, semua menyuarakan satu hal yang sama. Satu muara yang sama dari dua cabang berbeda.

Aku ini berguna. Bagi mereka. Bagi dunia ini. Aku berguna bagi semua orang dan mereka ingin menggunakanku. Mereka ingin aku berguna.

Dan itulah yang akan aku lakukan. Itu yang harus aku lakukan. Untuk mengakhiri semua ini.

Ah, pikiran ini benar-benar memuakkan.

"Tentu saja baginya aku berharga," sahutku. "Aku ini aset mahal yang sulit didapat."

[Kau bukan aset.]

Embusan angin dingin yang membekukan meniup helai-helai rambutku. Menghentikan denyut nadiku. Perlahan, tanganku terulur ke udara kosong, lalu turun ke tanah, merasakan dingin permukaan yang menusuk tulang di bawah kakiku. Seperti es.

Apa yang terjadi?

[Tolong jangan banyak bergerak, Azran. Kau sudah menghancurkan separuh Istanbul dan aku tidak mau ganti rugi untuk semua rempah yang kau sia-siakan tadi.] Suara Sigmon bergema dalam kepalaku. Bersamaan dengan itu, sayup-sayup aku mendengar banyak suara lain. Bersahutan. Bergerombol. Seperti sekumpulan tawon yang saling berdengung. Sekumpulan orang sedang protes. Panik. Entah di mana. [Sekarang bantu aku dengan tetap diam sementara aku menenangkan dan mengungsikan penduduk yang panik di bawah sana.]

"Hei," Tanpa rasa hormat sama sekali, aku memanggil Sigmon—memanggil siapa saja yang bisa membalasku saat ini. "Kau tidak bilang dia ada di mana! Kau menjebakku?"

"Kalau hal sejelas itu saja kau tidak bisa merasakannya, kau benar-benar butuh istirahat, Nona."

Penyihir ini benar-benar menguras kesabaranku. "Katakan saja tanpa berbelit-belit!"

"Di mana lagi? Dia tidak meninggalkan sisimu sejak pertarungan ini dimulai." Sigmon berkata dengan tenang, sementara jantungku melompat dalam dada.

Instingku bisa menebak ke arah mana jawabannya. Aliran dingin yang meniup leherku ini sudah menjadi bukti yang kuat pula. Tapi aku bahkan tidak bisa membuat mulutku mencegah jawaban jelas itu keluar pada akhirnya dari mulut Sigmon.

"Azran," ujar sang Raja benua Asia. "Dia tepat ada di belakangmu."

***


-

A/N:
Entah kenapa pikiran saya tertujunya ke Lazarus terus sejak pagi. jadi daripada saya kebawa mimpi, mending saya update sekarang aja deh. Itung-itung bonus karena part selanjutnya .... yah begitulah. 

Sekali lagi, saya berikan visual untuk lima klan. Kira-kira begitulah mereka dalam gambaran saya. Haruskah saya bikin Lazaruspedia khusus ini untuk? Kayaknya gak afdol kalau sampai gak kesampaian ya

Akhir kata, sampai jumpa di chap selanjutnya. Jangan lupa vote dan komentarnya! See you next chap!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro