Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

62. Sekali lagi Melawan Sang Raja

Selama sesaat, aku hanya bisa tertegun. Tak mampu berkata-kata dan tak mampu memahami apa yang baru saja terjadi.

Sedetik tadi kedua tanganku masih penuh, masih menggenggam tangan Edward dan Suri dengan erat, tapi sekarang, yang kugenggam hanyalah kehampaan. Mataku membelalak, sama sekali tak berkedip ketika helai halus bulu-bulu itu beterbangan di depan mataku, beriringan dengan sihir Azran yang pecah terurai di sekitarku. Embusan angin ketinggian yang kembali menerpa wajahku sampai mataku menutup paksa, tak tahan dengan embusan angin ketinggian yang berembus sangat kencang.

Memaksakan diri untuk membuka mata, dua burung raksasa dalam warna kuning keemasan dan biru gelap dengan sayap membentang lebar membelah angkasa itu muncul tiba-tiba di dekatku, menatapku dengan mata mereka yang menyala terang. Mataku berpindah dari mata mereka, melihat tubuh Edward dan Suri dijepit di antara paruh-paruh mereka. Edward tampak melawan sementara Suri masih tidak sadar.

Kedua tanganku terentang, berusaha meraih tubuh mereka yang masih ada dalam genggaman tangaku, tapi embusan angin kencang dari kepakan sayap-sayap makhluk itu mendorongku, membuat kedua sahabatku itu keluar dari jangkauanku.

Kedua tanganku mengepal keras, lebih tersiksa oleh kehampaan yang bersarang di sana daripada tersiksa oleh rasa sakit akibat kuku-kuku yang menancap dalam-dalam di kulit dan dagingku. Mulutku ingin berteriak, tapi angin ini mencegah suaraku keluar. Mataku ingin membuka, tapi air mata dan darah yang semakin buruk karena embusan angin ini tak mengizinkanku melihat sama sekali sementara kehampaan yang tersisa di kedua tanganku sama sekali tidak bisa diabaikan.

Tubuhku mendarat dan terseret beberapa kaki di atap bangunan entah yang mana. Tanpa menghiraukan rasa sakit akibat terseret, aku mencoba bangkit, tepat ketika suara kaokan dan raungan kencang memekakkan telinga itu bergema di sepenjuru angkasa.

Dalam posisi setengah duduk, aku menyaksikan ada setidaknya belasan burung raksasa yang tiba-tiba muncul. Langit tertutupi oleh bulu-bulu mereka yang beragam dalam warna-warni yang kini kelihatan sangat mengerikan dengan ukuran mereka yang sangat besar.

Di antara belasan, ada satu burung yang cukup besar dibanding yang lain dengan bulu berwarna merah api terang seolah berpendar dari dalam. Burung itu berhadapan dengan satu monster lain dengan ukuran yang sama dengannya, dengan kekuatan yang kelihatannya setara, satu-satunya monster yang tidak memiliki sayap, dan satu-satunya monster yang tetap berada di tanah, dengan bentuk yang lebih menakutkan dibanding para burung raksasa.

Monster hitam dengan belasan ekor yang menyambar-nyambar seperti cambuk di samping kepalanya dan burung dengan warna sayap merah terang itu pernah kulihat sebelum ini. Mereka pernah berhadapan sebelum ini.

Azran dan Sigmon. Kedua makhluk paling besar di arena, tidak salah lagi adalah mereka berdua.

Pada kesempatan terdahulu, mereka bertarung di malam hari, sehingga aku tidak bisa melihat sosok mereka berdua dengan jelas. Sekarang mereka bertarung di siang hari, wujud asli mereka terlihat jelas. BUlu-bulu Sigmon menyala dalam warna api terang, seumpama api unggun yang membara. Azran berwarna seperti lautan dalam yang gelap. Biru di sisiknya nyaris menyentuh hitam jika saja tidak ada sinar mentari di atas sana yang menerangi kemilau birunya. Di mataku dipenuhi energi sihir melimpah yang tidak bisa dibandingkan jumlahnya dengan energi sihir makhluk manapun yang pernah kuhadapi sebelum ini. Seolah setiap inci nyawa yang berdenyut di kulit mereka mengembuskan sihir alih-alih napas.

Aku bangkit berdiri dengan kedua kaki masih gemetar dan menyaksikan dua monster itu berhadapan. Dua monster itu beserta burung-burung raksasa yang terbang memenuhi langit terus diam, dengan pandangan terkunci pada lawan masing-masing dan energi sihir yang terkumpul di tubuh masing-masing dari mereka. Atmosfer berubah tegang, dapat pecah sewaktu-waktu jika ada yang memutuskan untuk bergerak.

Mereka semua bukan terdiam tanpa alasan. Meski ini pertama kalinya kulihat Makhluk Lain bertarung, kurasa cara bertarung makhluk apapun sama.

Mereka sedang mencari kelemahan lawan masing-masing.

Tapi ada sesuatu menggangguku. Butuh beberapa detik untuk menyadarinya, tapi setelah sadar pun, aku masih tidak mengerti. Di kesempatan sebelumnya, Sigmon lebih besar dari Azran, tapi kini mereka berdua tampak berukuran sama. Azran kelihatan dapat mengimbangi Sigmon.

[Kau semakin bertambah kuat, Azran. Apa segelmu sudah terlepas seluruhnya?] Ada seseorang yang bicara, entah siapa, tapi sepertinya Sigmonlah yng bicara. Selama aku ada di benua ini, tidak ada yang berani memanggil Azran dengan namanya kecuali sang raja penguasa benua Asia, tapi itu pun jika memang benar dia yang bicara.

[Kelihatannya keadaan ini mengancammu, Sigmon.] Kelihatannya Azranlah yang baru saja membalas ini.

[Aku tidak merasa terancam, aku hanya kasihan pada siapapun yang sudah mengorbankan banyak usianya untuk melepasmu sampai ke tahap ini.] Sigmon membalas. [Dia tidak mungkin punya sisa usia yang banyak lagi.]

Azran tidak menjawab, hanya menggeram semakin keras. Selagi atmosfer tegang mencekam dan energi sihir berkumpul semakin besar di udara, mataku terus terpaku pada dua burung di kedua sisi Sigmon, dua burung dengan bulu berwarna biru gelap dan kuning keemasan yang paruhnya tertutup dan sama sekali tidak berbunyi karena sibuk mencengkam tubuh manusia di dalam jepitan paruh mereka berdua.

Dengan tenang, mereka terbang di kedua sisi Sigmon seperti pengawal setia, masih membawa kedua temanku di dalam jepitan paruh mereka, memaksa dua manusia itu ikut serta dalam pertarungan tidak masuk akal ini.

Aku mencoba mengambil langkah pertama namun langsung berhenti. Kepalaku mendadak saja jadi sangat berat, sangat berat sampai menarik tubuhku jatuh ke tanah kembali. Kedua kakiku yang sedari tadi berdiri, tak bisa berhenti gemetar hebat, seakan memang sudah tidak sanggup lagi menuruti kemauan kerasku yang ingin terus berdiri.

Tidak, aku tidak bisa jatuh. Tidak di sini, tidak sekarang. Edward dan Suri, dua orang yang tidak ada hubungannya dengan semua ini, berada di tengah-tengah pertarungan dua monster yang tidak akan ingat apapun saat bertarung.

[Mengambil sandera sama sekali tidak kedengaran sepertimu, Sigmon.] Azran berkata lagi. [Kelihatannya gaya bertarungmu sudah berubah jauh.]

Sandera, kelihatannya mereka sedang membicarakan dua temanku yang diikut sertakan ke dalam pertarungan ini.

Mereka berdua, dua manusia yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan semua ini, dijadikan sandera di tengah pertarungan dua monster yang bahkan mungkin tak akan sanggup melihat tubuh kecil mereka terinjak, cukup dengan hal ini, amarahku menggelegak mendidihkan kepalaku. Sihirku keluar tak terkendali, dikendalikan oleh amarahku seorang.

[Karena kalau tidak seperti ini, kalian tidak akan mau diajak bicara baik-baik.] Dengun yang kelihatannya milik Sigmon berdengung di dalam kepalaku.

Azran menggeram lagi. Sesuatu di dalam diriku lega sekali melihat dia marah. Senang rasanya mengetahui bukan hanya aku yang marah di sini.

Bersamaan dengan atmosfer kemarahan yang kental, suhu di sekitarku menurun. Sihir Azran memenuhi udara. Aku berinisiatif untuk menghentikan energiku dari keluar terlalu banyak walaupun rasanya sulit sekali di tengah kepala yang benar-benar mendidih ini.

[Pembicaraan baik-baik sudah sangat terlambat untuk dilakukan sekarang, Sigmon.] Azran berkata.

[Kata terlambat bukan berlaku untukku saat ini, Azran. Kalianlah yang terlambat.]

[Apa maksudmu?] Terdengar geraman dan desisan dari Azran. Terlihat uap yang lebih putih dari kabut ketika mulutnya yang penuh taring itu membuka, memperdengarkan desisan dan geraman yang menggetarkan tulang.

[Percuma saja kalian mencari ke sekeliling Asia maupun Eropa.] Sigmon berkata lagi. [Karena adikmu, Azran, punya strategi yang terlalu jelas untuk dibaca. Bukankah begitu?]

Suasana di dalam kepalaku hening untuk sementara mataku terus mengawasi kedua burung yang membawa teman-temanku. [Jadi sekali lagi si tolol itu berusaha menarik kami ke satu tempat.] Akhirnya penyihir itu terdengar lagi di dalam kepalaku. [Kurasa seluruh kuil di Asia sudah kalian hancurkan, ya kan?]

Tidak ada jawaban.

Sekali lagi Azran menggeram. [Seharusnya info ini tidak diberitahukan kepada kami, Sigmon. Sesuatu seperti ini biasanya berharga sangat mahal.]

[Entahlah.] Sigmon menyahut selagi kepakan sayapnya bertambah kencang. Gelombang sihir berwarna merah api berkumpul lebih banyak di kedua sayapnya.

Di tengah suhu yang semakin turun, angin tiba-tiba berembus kencang, menambah rasa tidak nyaman yang harus kurasakan di bawah lindungan baju budak yang tipis ini semakin parah. Mencoba terus berdiri di antara deru angin yang semakin lama semakin terasa tidak wajar, mataku perlahan berubah aneh.

Gelombang sihir yang tadi kulihat memancar demikian jelas dari Sigmon kini tidak bersisa sama sekali, padahal angin ini malah semakin kencang dan suhu semakin turun. Seluruh warna sihir lenyap dari pandangan mataku, menyisakan citra polos tanpa warna aneh apapun. Tidak lama setelahnya, seluruh warna lenyap dari mataku, menyisakan hanya warna hitam putih tak berujung dalam gradiasi warna yang membuatku tak nyaman. Mataku terus mengeluarkan darah dalam diam, pertanda sihir masih ada di udara. Hanya aku yang tidak bisa melihatnya, sementara sihir-sihir itu masih terus ada dan semakin kuat. Sial, penglihatanku semakin parah.

[Aku tidak tahu persis alasanku melakukan ini, tapi mungkin karena aku percaya ini akan jadi saat terakhir kalian.] Kepakan sayap Sigmon membuka selebar-lebarnya dan mengepak dengan keras, mengirimkan angin yang menerbangkan segalanya.

Dengan cepat aku mengambil bayonet yang kusembunyikan di pahaku dan menancapkannya ke tanah. Berhasil, tapi tidak terlalu dalam, sementara angin hasil dari kepakan sayap Sigmon semakin kencang setiap detiknya. Mataku kesulitan melihat di antara embusan angin sekencang badai ini. Mendongak, aku melihat langit pun ikut gelap berselimut warna hitam, seolah ikut mendukung serangan Sigmon. Sensasi dingin yang menusuk tulang itu berubah menjadi lebih tajam.

Saat aku sadar, sesuatu sudah terlebih dulu lewat di wajahku dan memotong beberapa helai rambutku. Membuka mata dengan kaget, aku mendapati beberapa bagian tubuhku sudah tersayat dan berdarah sementara beberapa bagian bajuku sobek seperti dipotong pisau. Ketika masih tercengang dan berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, beberapa bagian atap di dekatku bertahan mendadak tersayat, seperti ada sayatan pisau yang baru saja menggoresnya padahal tidak ada apapun yang melintas di atasnya selain angin.

Sensasi dingin tajam menusuk itu kembali terasa lewat di dekatku. Ketika sadar, sekali lagi tanganku tergores.

Ini bukan angin, pikiranku menyimpulkan.

Ada sesuatu di balik angin ini. Yang lebih buruk, goresan akibat pisau tak terlihat itu lama kelamaan terlihat semakin besar seolah pisau yang menyerangnya pun ikut tumbuh dan bertambah lebar di setiap serangan.

Seolah semua pisau tak terlihat di antara angin ini belum cukup buruk, kabut tiba-tiba turun. Sekali lagi kepalaku mendongak, melihat awan di langit berputar cepat dalam gerakan tak wajar yang membuatku gelisah. Suhu yang tadi menurun perlahan, kini menurun dengan drastis hingga embusan napas yang keluar dari mulutku berubah menjadi uap putih seperti yang biasa terjadi di musim dingin.

Sebelum aku bisa bereaksi, kabut sudah menutupi seluruh pandangan mataku tanpa menyisakan jarak pandang sama sekali. Semuanya tertutup warna putih. Sekilas terlihat wajar, tapi suhu hangat yang terselip di balik suhu yang sangat dingin ini hanya bisa menyiratkan ada sihir dengan konsentrasi tinggi berkumpul. Sosok dari monster-monster bersayap itu nyaris lenyap di balik kabut. Hanya sesekali terlihat sayap-sayap raksasa belasan burung itu tampak mengepak di antara kabut. Meski tidak bisa melihat, suara dan suara kepakan sayap itu semakin kencang terdengar, seperti ikut gelisah sepertiku. Anehnya walaupun terdengar semakin kencang, kabut ini sama sekali tidak menipis, sama sekali tidak memperluas jarak pandang yang hampir nol ini.

Raungan yang memekakkan telinga terdengar membahana di angkasa, berusaha membekukan seluruh keberanianku yang tersisa. Jika ada yang salah menyerangku di tengah kabut ini, aku tidak akan bisa lari dengan hanya mengandalkan penglihatan.

Bunyi cabikan itu terdengar di antara kesunyian yang merajai langit dan bumi.

Angin kencang itu kemudian berhenti. Angin kencang yang tadi nyaris menerbangkanku, tiba-tiba saja berhenti seolah baru saja ada yang menarik tuas entah di mana yang langsung memberhentikan semua angin itu.

Suara kaokan menyusul setelahnya sebelum berubah sunyi dengan cara yang membuat jantungku mencelus. Aku menelan ludah. Suasananya semakin menegangkan. Seluruh urat di dalam tubuhku seperti dipaksa untuk waspada. Uap yang keluar dari embusan napas dari mulutku berubah semakin putih di setiap embusannya, menandakan suhu memang semakin dingin.

Kedua kakiku yang telanjang terasa basah. Menunduk, aku melihat air telah menggenangiku hingga semata kaki.

Aku mengernyit heran. Tadi tidak turun hujan, jadi tidak mungkin ada air menggenang selain ada kebocoran. Tapi kebocoran di mana? Aku sedang berada di atap setinggi puluhan kaki dari tanah sekarang ini.

Arus yang terasa mendorongku itu memberiku kesimpulan baru yang sedikit banyak membuatku tercengang. Seolah berusaha menepiskan ketidak percayaanku, arus itu kembali terasa dan kali ini semakin kencang hingga tubuhku oleng.

Tidak mungkin.

Tapi kemudian aku mengutuk diriku sendiri. Peluh yang semakin deras bercucuran meski suhu sangat minim ini sudah menjadi buktinya. Air ini dibawa dengan sihir. Memang mustahil dan terdengar mengerikan, tapi bukannya tidak mungkin menggenangi seluruh kota sampai setinggi atap seperti ini.

Bersamaan dengan kesimpulan itu, suara kaokan semakin ramai terdengar di angkasa, semakin ramai pula sihir yang mengotori udara. Suara cabikan pun semakin ramai terdengar, diselingi suara raungan kencang yang terdengar berkali-kali. Arus air yang terasa berubah semakin kencang dan deras. Gelombang kecil muncul ketika suara berdebum itu terdengar lagi dan lagi. Tanah sempat bergetar dan angkasa dikuasai suara kaokan panik dan kesakitan.

[Demi aliansi kita, Sigmon, aku tidak ingin membunuh satu pun anggota klanmu.] Azran bicara lagi, dengung miliknya bergema di dalam kepalaku bagai dengung lebah.

[Kau memang sebaiknya tidak menyentuh mereka, atau tidak akan ada alasan bagiku untuk memberimu kematian yang cepat dan mudah, Azran.] Lalu suara kaokan yang nyaring membelah gendang telinga terdengar.

Sedetik kemudian, langit menumpahkan airnya, menambah buruk situasi yang sudah sangat mencekam ini. Aku baru saja menarik napas lega ketika tubuhku dihunjam rasa sakit tak berkesudahan. Menunduk, aku melihat tanganku sudah dipenuhi jarum-jarum jernih seukuran rumput. Tidak hanya tangan, tapi tubuh, kaki dan juga lantai di sekitarku dipenuhi jarum-jarum jernih itu. Terdengar raungan kesakitan yang tak kalah kencang dari kaokan tadi.

Masih dalam keadaan tercengang, aku langsung meringis ketika merasakan seluruh tubuhku mendidih oleh panas dari luar. Ini bukan panas karena menahan energi sihir. Mendelik, aku melihat jarum-jarum yang menusuk tanganku mengeluarkan uap. Tanpa pikir panjang lagi, aku menggenggam beberapa jarum itu sekaligus, mencabutnya dari kulitku, dan langsung saja kepanasan.

Dari sinilah panas membara itu berasal.

Ringisanku semakin keras saat jarum-jarum lain tanpa ampun ikut menghujaniku, menambah parah rasa sakit yang aku rasakan. Tidak akan ada waktu untuk mencabut semua jarum mendidih ini tanpa membunuh diriku lebih dulu.

Jarum ini jelas bukan hasil alami. Ini sihir. Kalau begitu hujan tadi bisa dikatakan adalah bentuk awal sihir ini sebelum dimanipulasi lebih jauh. Mendinginkan, membekukan, sebelum mendidihkan air dalam jarak waktu secepat ini hanya bisa dilakukan oleh pemilik sihir berkekuatan tinggi. Kurasa Sigmon tidak menjadi raja tanpa satu alasan.

Di tengah rasa sakit yang menghunjam tanpa belas kasihan, kupaksa diriku untuk berpikir. Jika ini sihir, artinya sihir waktu dapat berfungsi melawan sihir ini karena pada dasarnya konsep dasar sihir waktu adalah mengembalikan semua perbuatan sihir kembali ke awal, dengan kata lain, memanipulasi keadaan sesuai waktu yang diinginkan.

Ucapan Ibu terngiang di telingaku. "Meski bukan berarti kamu kebal, setidaknya kau bisa membuat energi sihir yang tertuju padamu kembali ke keadaan sebelum sihir berlaku atau dengan kata lain, menetralkan kekuatan sihir sampai ke titik nol."

Kubiarkan energi yang tadi terkurung di dalam tubuhku untuk keluar sebebas-bebasnya, menjangkau seluruh area yang bisa kujangkau saat ini, memanipulasi seluruh energi sihir. Ibu bilang energi tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan. Hukum yang sama juga berlaku pada energi sihir. Dulu aku tidak mengerti maksudnya, tapi sekarang kurasa aku sedikit bisa mengerti.

Mesin mengubah oli menjadi deru yang membuat kendaraan berjalan. Air membuat mesin uap bisa berjalan dan menggerakkan berbagai sendi kehidupan, begitu pula energi sihir. Sihir waktu mengubah batas usia pemiliknya menjadi energi sihir. Jika digunakan, energi yang ada dalam tubuhku akan mengubah energi sihir yang keluar dari tubuh penyihir lain kembali menjadi energi tubuh atau dalam beberapa kasus, menjadi energi yang dibebaskan ke bumi. Efeknya, energi yang demikian besar dapat membuat luka yang tidak mungkin sembuh dengan sihir biasa dapat disembuhkan dengan mudah oleh sihir waktu karena energi yang berubah dan mampu meperbaiki kerusakan suatu wilayah, walaupun bayarannya adalah usia sendiri.

Seluruh jarum jernih yang membanjiri bumi dari awan dengan cepat berubah kembali menjadi hujan yang tidak menyakiti. Hujan itu pun dengan segera lenyap dan langit yang memayungi kepalaku berubah terang kembali. Kabut yang tadi menutupi segalanya, seketika tersingkap, memperlihatkan daratan yang seluruhnya sudah tertutup oleh air dan langit yang dipenuhi oleh puluhan burung raksasa dalam berbagai warna sihir, murni maupun tidak murni.

Burung yang paling besar dengan sayap merah mengepak lebar menutupi angkasa tampak terdiam. Meski tadi hujan, tidak sedikit pun bulunya terlihat basah. Kepalanya menoleh. Makhluk Lain bersayap itu, sang raja penguasa benua Asia, Sigmon, sedang menatapku.

[Kau boleh juga, Penjaga Gerbang Muda.] Dia berdengung di dalam kepalaku. [Tapi kalau kau berpikir kekuatan seperti itu saja cukup untuk menghentikan kami ... kau salah besar.]

Aku sempat tidak mengerti apa yang ia bicarakan sampai permukaan air di sekitar kakiku tiba-tiba saja membeku, memerangkapku di dalam lapisan es yang mematikan sekujur indera perasaku. Tidak berhenti sampai di sana, permukaan yang membeku itu berubah menjadi puluhan tombak es tiba-tiba yang muncul, mencuat tepat ke arahku dalam jumlah banyak. Mengepungku tanpa memberi celah satu jaripun untuk keluar. Serangan ini tidak bisa kuhindari.

Lalu yang aku tahu selanjutnya, bayangan gelap memenuhi pandangan mataku.

***

Suara gaduh itu terdengar dari luar, terdengar sangat jauh seperti teredam dinding yang sangat tebal.

Dalam hati, aku mengumpatkan semua kata makian yang aku tahu pada cakar raksasa yang seenaknya saja mengurungku. Tanah di bawah kakiku sedikit berguncang. Es yang membekukan kakiku melelehkembali menjadi lapisan air dan ratusan tobak air beku itu lenyap, atau tepatnya ditahan oleh siapapun yang telah melindungiku ini.

"Apa-apaan kau?!" Berteriak bukanlah kebiasaaanku, terutama setelah menjadi budak, tapi demi terdengar oleh dia yang menjulang tinggi dan berukuran ratusan kali lipat lebih besar, aku harus berteriak sekeras mungkin.

Cakar itu bergeming.

"Kau dengar aku, Brengsek!" makiku sekali lagi. Kepalaku mendongak, mendelik ke arah cangkang yang masih mengurungku di tengah suara gaduh yang semakin ramai di luar sana dan guncangan yang terasa semakin sering. Cairan menetes ke wajahku, cairan yang tercium amis, sama amisnya dengan darah.

Ketika cakar itu akhirnya lepas, membiarkanku sekali lagi melihat langit, mulutku langsung bungkam seribu bahasa. Tubuh dan sisik gelap Azran tampak meneteskan cairan berwarna gelap yang terus menetes hingg menggenangi air di bawah kakiku, menjadikan warna airnya gelap dalam warna yang tidak menyenangkan.

Azran terluka parah.

Banyak bekas gigitan dan cakaran di tubuhnya. Cakar yang tadi menjadi tempurung yang melindungiku pun tak lolos dari serangan. Darah terus menetes dari seluruh bagian tubuhnya yang tersayat dan tak kunjung pulih. Itu belum dihitung dengan tanda yang berdenyut di tubuhnya dan masih sama mengeluarkan darah meskipun dirinya sedang dalam wujud seperti ini sekalipun. Meski demikian, Azran tidak kelihatan sedikit pun lelah. Dia tetap menjulang tinggi dengan kepala menantang langit, mendongak tanpa takut ke arah puluhan monster klan Sigmon yang terbang di atas kepalanya.

[Kau benar-benar gadis yang susah diatur.] Terdengar dengung miliknya di dalam kepalaku, mengalihkanku dari pemandangan mengerikan yang sanggup merenggut sebagian napasku itu. [Tidak bisakah kau lihat aku sedang mengalihkan perhatian mereka darimu? Kenapa kau tidak lari saja?]

Untuk beberapa alasan, seluruh urat di tubuhku berkedut kesal. "Jangan konyol, aku belum sepengecut itu untuk meninggalkan dua temanku di tangan mereka!"

Ketegangan merebak di udara.

Terlonjak oleh kata-kataku sendiri, aku berbalik, menyadari bahwa aku sudah dnegan cerobohnya melupakan keberadaan dua sahabatku yang terpaksa harus terlibat daam semua pertarungan ini. Hujan jarum beku tadi, belum lagi serangan entah apa yang membuat Azran terluka begini parah, aku tidak bisa membayangkan sama sekali keadaan kedua sahabatku yang tengah disandera itu.

Aku mendapati Sigmon tengah menatapku.

[Kau benar-benar Penjaga Gerbang. Kalau begini, sudah tidak ada alasan bagiku untuk membiarkanmu hidup, Bocah Manusia.]

Aku mendongak, melihat energi sihir yang lebih banyak dari yang pernah kuperkirakan, berkumpul di kedua sayap Sigmon yang mengepak keras. Angin berembus kencang menerpa tubuhku. Sekali lagi Azran menggunakan cakarnya untuk melindungiku. Sempat sedikit terkena angin itu, aku merasakan panas yang membara di tanganku. Menengoknya, aku langsung tercengang melihat sebagian kulit lenganku melepuh, tepat di bagian angin kencang tadi mengenai kulitku.

Dari celah yang ada di antara cakar-cakar Azran yang panjang, aku dapat mengintip apa yang terjadi di luar. Suhu panas itu menyusup masuk, membuatku sesak dan bermandikan peluh. Kepalaku mulai terasa berat dan berdenyut cepat. Baru saja ada panas yang timbul, ada angin lain yang muncul. Kali ini Azran meraung marah, menggetarkan tanah dengan raungannya sebelum angin yang kencang itu dengan cepat mengempas Sigmon menjauh. Angin itu tanpa ampun menerbangkan semua yang ada dalam jangkauannya, termasuk seluruh anggota klan Sigmon yang lain.

Dua burung yang mencengkam dua sahabatku itu terbang semakin tinggi, sayap mereka berdua mengepak semakin keras, berusaha melawan angin yang muncul, namun sia-sia. Entah disengaja atau tidak, paruh kedua makhluk itu terbuka lebar ketika posisi mereka sangat tinggi di langit. Dua manusia kecil yang dari jauh tampak seperti dua semut itu jatuh bebas tanpa ada apapun yang menghentikan.

Dua tubuh itu, jika jatuh dari ketinggian seperti itu, sudah pasti akan mati.

Tapi tidak ada yang berusaha menghentikan. Tidak ada yang berusaha menolong mereka berdua. Semua hanya tertuju pada pertarungan masing-masing.

Azran menjulurkan leher panjangnya dan mencoba meraih kedua tubuh itu, mulutnya membuka lebar, entah untuk menangkap atau untuk menelan kedua sahabatku yang tak sadarkan diri itu.

Dengan marah, aku menatap Sigmon yang masih setia memandangku, menonton keputus asaan yang kuyakin mulai merebak di wajahku saat ini.

"Kau berani melibatkan mereka, Penyihir," geramku dengan gigi bergemeretak. "Kalian benar-benar monster."

Suaraku terdengar seperti cicitan di tengah semua suara yang perlahan menjauh, terutama karena suaraku yang pelan alih-alih berteriak. Aku tidak ingin berteriak. Rasanya peruma saja kalaupun ingin teriak. Mereka bukan makhluk yang bisa dihadapi dengan jeritan, hardikan, maupun teriakan, apalagi suara pelan mengancam seperti ini, tapi aku tidak peduli. Aku sama sekali tidak peduli.

"Kalian benar-benar monster rendahan!"

Energi meledak di dalam tubuhku, mengalir, memanaskan seluruh tubuhku sampai mendidih. Peluh bercucuran membasahi baju budakku, menjadikannya menempel di tubuhku, tapi aku tidak peduli. Aku terus memacu seluruh energiku untuk keluar, sebanyak yang aku pikir akan kubutuhkan jika ingin menghabisi seluruh kekuatan sihr para penyihir di sana termasuk sang raja Sigmon sendiri.

"Kekuatan yang lebih di atas manusia ini benar-benar tidak pantas untuk kalian!"

Kepalaku menjadi semakin berat, tapi aku tidak menggubrisnya. Gelombang energi berwarna putih keluar dari tubuhku. "Ingat ini, klan Sigmon." Aku menatap lekat-lekat sang raja dengan tekad berapi-api. "Namaku Alicia, putri angkat Andrea Serdin, manusia yang membawa tugas dari dua belas Penjaga Gerbang! Orang yang akan mengakhir kekuasaan kalian satu per satu dari dunia ini!"

Lalu energi itu meledak tanpa pernah coba untuk kuhentikan lagi.

***

A/N:
Dan sekaranglah saat-saat klimaks mulai mengalir. Saya berusaha membuat adegan klimkas sehalus mungkin, tapi karena sumur imajinasi saya sedang paceklik, kalian pasrah saja ya sama bahasa yang ala kadarnya ini. 

Oh ya, Alicia sudah tanpa sengaja mengungkapkan kalau dia tahu ucapan Azran. Dia bisa mendengar Azran di dalam kepalanya. Akankah ini mengubah satu hal? Atau justru mengubah segalanya? 

Yang udah baca, plis jangan spoiler, oke? 

Akhir kata, jangan lupa vote dan komentarnya. Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro