Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

61. Melawan Sigmon

Berada di wilayah kekuasaan Sigmon, kurasa itu sudah jadi pengetahuan umum yang basi saat ini karena siapapun juga tahu kami berada di benua kekuasaannya sekarang.

Sedikit lagi dari jatuh ke tangan kekuasaan raja yang lain: Therlian.

[Dan kurasa kau tidak akan melepaskan kami kan, Tuan Sigmon?] Dengung yang sepertinya milik Azran bergema di dalam kepalaku lagi. Dengung ini memang tidak memiliki nada yang jelas, tapi kata-katanya sudah cukup mewakili nada menantang yang sepertinya akan dikeluarkan Azran seandainya dia bicara dengan mulut.

Dia bicara menggunakan bahasa Makhluk Lain, bahasa para penyihir.

Bahasa yang berada di level berbeda, dimensi yang berbeda dari lisan Manusia. Bahasa yang tidak bisa didengar ataupun dimengerti oleh manusia biasa.

"Kami bicara dengan bahasa yang tidak memerlukan mulut, bahasa yang tidak dimengerti oleh manusia biasa, yang seharusnya tidak bisa didengar oleh manusia biasa," Ibu pernah menjelaskan dulu. Di tengah salah satu dari banyak pembicaraan kami di sore hari yang temaram. Ibu terlihat sedikit sedih saat melanjutkan ceritanya: "Tapi sejak Jalinan terbentuk, kami tidak bisa lagi menggunakan bahasa ini. Ibu dan semua yang lain, tidak memiliki pilihan lain selain bicara dengan bahasa manusia."

Aku ingat belaian lembut Ibu di kepalaku di momen-momen itu.

"Tapi itu tidak sepenuhnya buruk." Ibu berkata dengan lembut sembari memelukku. Memberiku kehangatan yang tidak akan pernah kulupakan. "Kalau tidak begitu, kita tidak akan bisa bicara seperti ini."

Tapi sekarang para penyihir kelihatannya bisa bicara dengan bahasa ini lagi sesuka hati, sesuatu yang hanya bisa berarti Jalinan sudah berada dalam tahap sangat memprihatinkan.

Bahasa yang seharusnya... tidak bisa aku dengar. Tapi pada kenyataannya, justru kata-kata mereka terdengar jelas sekali di dalam kepalaku, meski hanya berupa dengung tanpa nada yang jelas untuk memisahkan para pemilik suara.

Kelihatannya Sigmon tidak ingin pembicaraan ini terdengar oleh siapapun dan kemungkinan Azran pun berkeinginan sama.

[Tentu saja tidak.] Sigmon menjawab dengan cepat, tidak sampai dua detik.

Dia yakin sekali ketika menjawabnya. Kelihatannya sang raja serius ingin membunuh kami di tempat.

[Kalau begitu, bukankah seharusnya aku tidak membuang waktu untuk bicara dengan kalian?] Sihir berkumpul di kedua tangan Sigmon dengan konsentrasi tinggi yang sangat mengerikan dan dalam waktu sangat cepat. Mataku seketika terbakar oleh panas internal yang membara, merespons sihir Sigmon yang meledak-ledak.

Belasan xifos yang ditodongkan kepada kami itu kembali menyala.

Sihir di sekitar kami tiba-tiba semakin kental. Suara deru angin lenyap. Azran sudah mengembalikan fungsi kedap suara pada pelindung ini, mempertebal sihirnya sendiri. Kelihatannya serangan belasan xifos itu benar-benar akan jadi serangan serius yang fatal jika tidak ditanggulangi. "Aku tidak akan bisa menahannya, Alto." Azran berbisik padaku. "Jangan lepaskan tanganmu."

"Itu tergantung apakah kau akan membiarkanku menolong teman-temanku atau tidak." Tanganku sudah siap di atas pisau di dalam tubuhku, siap menariknya jika memang dibutuhkan dan siap menariknya jika Azran berani menyentuhku tanpa izin. "Kalau kau tidak mau melepaskanku untuk menolong mereka, tanganmu yang akan kupotong."

Tangan Sigmon sudah terangkat ke udara, tapi Azran malah menyunggingkan senyum yang ia tujukan untukku. "Dan kau sama sekali tidak peduli apa yang mungkin terjadi padaku kan?"

"Tidak," jawabku tanpa ragu. "Kau penyihir, kau bisa mengatasinya. Setidaknya kau bisa menahannya selama waktu yang diperlukan."

Terdengar helaan napas. "Asal kau tahu, jika Sigmon sudah di sini, artinya seluruh kapal ini adalah jebakan untuk menangkap kita," jelasnya, tak melepaskan pandangan dari tangan Sigmon yang dipenuhi sihir dengan tingkat kepadatan tinggi. "Dan kapal ini baru saja mengudara beberapa menit lalu."

Aku bukannya tidak sadar kami sudah mengudara. Suara baling-baling yang sempat kudengar tadi sudah mengatakan fakta itu dengan jelas sekali. Kami sudah mengudara. Hitungan menit bisa membawa kami ke ketinggian beberapa puluh kaki dan kelihatannya kapal ini tidak berjalan dalam kecepatan penuh yang gila-gilaan, tapi tetap saja, jika aku menghitung jarak waktunya, tidak mungkin kami bisa mendarat dengan selamat di tanah tanpa menghancurkan separuh tulang di tubuh kami.

Dan aku harus menghemat sihirku untuk memperbaiki Jalinan.

Pilihannya hanya melawan Sigmon yang, menurut Azran, sudah pasti akan dimenangkan oleh sang raja penguasa benua Asia, atau lari dan mengancam nyawa kami yang ngomong-ngomong, suatu tindakan yang mustahil dilakukan di tengah kepungan Sigmon dan pasukannya seperti ini.

Sayangnya, kami tidak punya lagi waktu untuk berpikir. Kata-kata Azran keburu mewujud menjadi kenyatan lebih cepat dari yang pernah aku duga.

Tangan Sigmon berayun, tangannya dipenuhi energi sihir dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Dalam sekali ayunan cepat yang tidak bisa diantisipasi satu pun dari kami berdua, pelindung Azran hancur berkeping-keping. Gelombang sihir Azran mengurai di sekitar kami, pecah menjadi benang-benang tipis yang semakin lama semakin redup dan lenyap sementara nyala cambuk sihir itu sekali lagi berayun ke arah kami.

Gelombang kejut akibat hancurnya pelindung mementalkanku dengan mudah dari Azran, membuatku benar-benar jadi sasaran empuk tak berpelindung yang dapat mati dengan mudah hanya dalam satu kali cambukan. Hal ini disadari Sigmon. Penyihir itu memperlebar jangkauan energi sihirnya. Cambuknya semakin besar dan aku berada dalam jangkauannya.

Tangan Azran meraih tanganku tanpa pikir panjang dan langsung menggenggamnya erat, tapi deru angin di ketinggian lebih kuat menarikku keluar dari ruangan yang sudah berlubang itu. Tanganku lepas dari tangannya.

Azran hendak meraih tanganku lagi namun Sigmon tak memberi kami ruang sama sekali. Belasan xifos ditembakkan lagi. Kali ini tidak ada pelindung yang berada di antara kami dan mulut-mulut senapan itu, menjadikan kami sasaran empuk bagi puluhan peluru sihir. Aku melepaskan gelombang sihir, berusaha melakukan seperti yang kulakukan saat pemeriksaan tadi: memakan sihir dari penyihir lain tanpa menyentuh sihir Azran, tapi jangankan melakukannya, berkonsentrasi di tengah ancaman akan melayang ke arah baling-baling saja rasanya sudah sangat sulit.

Aku mendengar bunyi pelan tembakan belasan xifos yang dilepaskan dalam saat yang bersamaan, namun aku tidak melihat atau merasakan peluru-peluru itu melesat ke depan wajahku.

Tubuh itu membungkus tubuhku yang lebih kecil, menenggelamkannya dalam pelukan yang langsung berubah kaku ketika peluru-peluru dalam berbagai warna sihir itu melesat membelah udara, mengenai sasaran dengan tepat, menembus tubuh Azran, melukainya dari dalam tanpa mengeluarkan darah sama sekali di luar.

Tidak ada ringisan, tapi tubuh Azran berubah kaku setip kali peluru xifos melesat dan terlihat seolah lenyap di punggungnya. Pelukannya bertambah erat dan tubuhnya semakin tegang. Ia jelas kesakitan dan sedang menahan rasa sakit itu mati-matian. Xifos itu masih terus membidik dan memuntahkan peluru. Sigmon masih berdiri di sana, tidak sedikit pun ingin memberi belas kasihan pada Azran. Energi di tangannya masih berkumpul dalam kepadatan tinggi sementara tubuh kami berdua melayang di udara.

Mendadak saja, semuanya terlihat berjalan dalam gerakan yang sangat lambat. Sihir keluar dari tangan kiri Sigmon. Gelombang berwarna merah api itu meliuk-liuk di udara sebelum lenyap, menjadi angin yang mendadak berembus sangat keras.

Angin yang berembus tiba-tiba berubah arah secara abnormal, berubah menjadi embusan kencang yang tanpa ragu mengempas kami keras-keras dari ruangan itu. Tangan kanan sang raja sekali lagi mengayun sementara kami terlempar keluar, dalam perjalanan cepat ke arah baling-baling raksasa kapal yang berputar cepat. Jika mundur dan pasrah, tubuh kami akan tercincang habis, tapi jika berani menyerang balik, belasan xifos itu sudah siap melubangi seluruh organ tubuh kami sampai tak berbentuk lagi sebelum akhirnya mengempaskan kami ke tujuan yang sama: baling-baling kapal.

Maju ataupun mundur, akhir bagi kami sama saja. Sial.

Dengan cepat, aku mengumpulkan segenap konsentrasi yang bisa terkumpul di saat genting seperti ini. Sulit, tapi bukan berarti mustahil. Kubayangkan tanganku memegang xifos, merasakan pelatuknya di tanganku dan moncongnya yang mengarah kepada kami.

Energi sihir mengalir dari tubuhku dengan kecepatan yang tidak pernah kusangka. Dari tulang punggung, energi itu mengalir memanaskan seluruh tubuhku dan berpusat di lengan kananku yang terulur ke arah Sigmon. Bagai moncong senapan, semua konsentrasi energi itu meledak dari tanganku langsung ke arah para penyihir. Warna hijau zamrud memenuhi udara.

Seketika saja aku langsung merasa kewalahan. Sihir mereka jauh lebih banyak dari yang aku duga. Meski sihirku sudah mengenai sasaran dengan sempurna dan keluar dengan intensitas yang tidak main-main, sihir mereka, terutama Sigmon, bahkan belum berkurang separuhnya. Aku mengerahkan energi lebih banyak dan barulah belasan xifos itu pun berhenti bersinar oleh energi sihir. Energi yang tadi tertahan dari Sigmon kini bergejolak tak tenang, menampakkan wujudnya yang sangat banyak dan melimpah, jauh di atas level para penyihir biasa yang aku hadapi selama ini, membuatku tercengang sampai tidak bisa memikirkan apa-apa lagi.

Itu energi sihir yang sangat besar dan banyak.

Seumur hidup, hanya dua orang yang kulihat bisa menyamai jumlah sihir sebanyak ini: Azran dan Oryziel. Jadi inikah level kekuatan sihir para royalis garis utama para raja pemimpin klan?

Sang raja menatapku lekat-lekat. Matanya yang gelap mulai hilang warna putihnya.

"Alto!" Teriakan di antara suara deru angin yang ribut itu menyadarkanku.

Kami berdua sudah berada di luar kapal dan arah angin berubah lagi. Kali ini arahnya berbelok, mendorong kami ke samping. Warna sihir merah membara samar-samar terlihat di angin yang mendorong kami tepat ke baling-baling samping kapal yang sedang berputar cepat.

"Peganganlah yang erat!" Tanpa berpikir dua kali, aku memeluk tubuh Azran. Penyihir itu cepat tanggap dengan langsung mendekapku, tak berkomentar sinis atau bicara barang sepatah atau dua patah kata. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk bicara apalagi saling menghina.

Nyawa kami saling tergantung satu sama lain saat ini dan itu bukan sekadar kiasan. Sekilas melirik ke bawah, aku semakin sadar betapa keadaan kami sedang sangat gawat.

Mataku hanya bisa melihat deretan bangunan yang berwarna abu-abu jauh di bawah sana dengan warna hijau dan biru yang terlihat di sekeliling. Entah kami sekarang ini ada di berapa kaki dari permukaan bumi.

Selagi kami melayang dalam gerakan lambat di luar kapal dan terbang tepat menuju baling-baling, kapal mengudara sedikit lebih tinggi. Sosok Sigmon dan pasukannya menjauh dariku.

Tapi tidak terlalu jauh. Mereka masih berada dalam jangkauan sihirku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Aku sedikit melepaskan rangkulan dari Azran, hanya mengaitkan satu lenganku pada lehernya sebelum kembali mengulangi apa yang tadi kulakukan pada sihir Sigmon. Kukerahkan energiku kepada sihir merah itu namun tiba-tiba sihir berwarna hitam yang muncul di udara, meliuk pelan sebelum lenyap, menciptakan arus angin baru yang mendorong kami ke arah yang berlawanan dengan arah kami terbang melesat.

"Jangan mengganggu!" Aku berteriak mengatasi deru angin.

"Kau yang mengganggu!" balas Azran sangat kencang tepat di telingaku. "Diam saja dan biarkan aku yang menangani masalah ini!"

Mau tidak mau, aku berpaling ke sisi lain, ke arah baling-baling raksasa yang berputar demikian cepat dan kelihatan sangat dekat hingga aku tidak bisa lagi melihat masing-masing tangan dari baling-baling itu berputar. Aku tidak yakin apa mungkin akan pulih lagi jika satu saja bagian tubuhku mendarat di atas permukaan yang berputar cepat itu.

Angin hasil sihir Sigmon terus mendorong kami ke arah baling-baling itu sementara sihir Azran terlihat semakin pekat di udara, mencoba melawan sihir milik Sigmon dan mengempaskan kami ke arah sebaliknya.

Didorong oleh inisiatif, aku menyentuh punggung Azran dengan maksud untuk melepaskan segelnya. Seperti biasa, segel itu merespon dengan cepat. Energiku mengalir ke tubuh penyihir yang mendekapku ini, mengikuti lekuk yang masih tersisa di tubuhnya. Segel itu dengan cepat menyala. Tubuh Azran sekali lagi berubah kaku, tapi kemudian angin baru yang mendorong kami menjauh dari baling-baling semakin keras, mengalahkan angin keras yang tadi mendorong kami mendekatinya.

Kelegaan itu sudah hampir menghampiri hatiku ketika hawa dingin menusuk itu datang, membekukan pipiku.

Tangan Azran berayun, tangan yang penuh energi sihir dengan kepadatan tinggi itu mengayun persis seseorang yang hendak mengayunkan cambuk. Energi sihir Azran yang berwarna hitam pekat mengayun dan baling-baling itu ada dalam jangkauannya. Dalam satu kedipan mata, setelah sihir Azran menyentuh tubuh besi baling-baling yag tengah berputar itu dan menghilang di udara, baling-baling itu tiba-tiba saja meledak.

Azran mendekapku lebih erat ketika gelombang kejut sekali lagi mementalkan kami. Untunglah Azra tidak mendarat di ruang semula. Mungkin dia juga melihat para penyihir masih menunggu dengan sabar di dalam kamar itu, mengantisipasi jika saja kami bisa selamat dari dorongan sihir Sigmon.

Sial. Baru sebentar ditinggal dan xifos mereka telah berganti senjata manual.

Angin dari gelombang kejut mementalkan kami jauh melewati par apenyihir yang tengah berjaga itu. Sayangnya, para penyihir itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Senjata-senjata itu sekali lagi meluncurkan puluhan peluru ke arah kami, kali ini peluru manual. Tapi berbeda dengan peluru sihir xifos, peluru yang ditembakkan senjata manual berbelok dengan mudah ketika diterpa angin keras dan terpental ketika dua sihir milik Azran bekerja sama dan melindungi kami berdua.

Sebelum sempat terpental hingga ke haluan kapal, tubuh kami berdua berhenti dan secara ajaib, Azran dapat berdiri dalam posisi vertikal terhadap dinding kapal, hanya dengan satu tangan berpegangan, bersama aku masih dalam dekapannya.

Aku menoleh, mencoba mencari tahu kenapa kami bisa berada di posisi berbahaya seperti ini tanpa goyah sedikit pun, lalu aku menemukan jawabannya di dinding kapal yang koyak.

Lengan Azran berubah. Lengannya membesar menjadi dua kali lipat ukuran lengan normal dan memang lengan itu bukan lengan dengan bentuk yang normal. Lengan miliknya bukan lagi lengan manusia. Dengan lima cakar hitam yang berukuran lebih besar dari tiga jariku dijadikan satu, lengan hitam besar itu mengoyak badan kapal udara dalam-dalam, menancap dan mempertahankan kami dengan sempurna di posisi seperti ini tanpa goyah sama sekali.

Aku kehilangan kata-kata di depan lengan monster itu. Lengan itu, tidak salah lagi, sama persis dengan lengan dari sosok Azran ketika berubah seutuhnya di malam itu, malam ketika dia melawan Sigmon.

Lima bekas cakaran panjang membelah badan besi kapal sepanjang beberapa kaki, meninggalkan kerusakan yang lebih besar dan lebar dari goresan iaraghi namun lebih kecil dari goresan yang mungkin dapat disebabkan oleh benturan badan kapal lain. Bekas cakaran itu berhenti dan lenyap di tempat lengan monster milik Azran menancap.

Selesai mengamati lengan itu, pandangan mataku langsung bertabrakan dengan Azran yang terdiam. Matanya menatapku lama-lama dalam cara pandang yang tidak aku mengerti.

Tanpa aku sadari, deru angin ketinggian di sekelilingku terasa tenang dengan sihir Azran yang menyelubungi kami berdua dan suara ledakan yang tadi seharusnya memekakkan telingaku, nyatanya sama sekali tidak terdengar. Sihir Azran sudah melindungi kami berdua dan di sinilah aku, selamat tanpa banyak terluka sementara dia sudah mengeluarkan banyak sekali darah dari mulutnya tanpa aku pernah sadari hingga detik ini. Apa luka akibat sernagan xifos tadi memengaruhinya sedemikian parah?

"Kau baik-baik saja?" Dia bertanya lebih dulu.

Aku baru akan menjawab pertanyaan itu ketika tiba-tiba saja kapal mulai oleng. Serta merta pikiranku dilanda berbagai tindakan yang berebut untuk meminta diprioritaskan lebih dulu.

Aku memandangnya dengan tekad baru. Meski rasanya tidak enak karena seperti mengabaikan kondisinya yang berdarah, aku yakin inilah yang benar. Lagipula darah dari mulutnya tidak berarti apapun. Dia penyihir. Darah itu bisa saja sisa dari lukanya yang sudah pulih.

"Aku akan cari Edward dan Suri!" Aku berseru dengan lantang dan mantap.

Azran tidak menjawab, hanya menoleh ke arah badan kapal. Aku mengikuti arah pandangannya dan menyadari kami ternyata berhenti tepat di tempat yang sangat dekat dengan salah satu pintu darurat.

Tanpa berpikir dua kali, aku melepaskan salah satu tanganku dari Azran, meraih kenop pintu, dan menariknya hingga terbuka lebar. Tiba-tiba kapal berguncang. Tak pelak, tubuhku yang berada dalam posisi menggantung langsung jatuh ke dalam pintu darurat yang membuka lebar dengan badan lebih dulu mendarat ke lantai.

Sialnya, bagian dalam kapal miring. Tubuhku tentu saja langsung meluncur di atas lantai licin tanpa ada yang menghentikan.

Mengambil tindakan cepat, mataku melihat ada banyak pipa uap yang bisa diraih. Tanganku buru-buru terulur dan meraih salah satu pipa uap itu tanpa pernah berpikir akibatnya.

Panas tajam langsung menusuk tanganku yang berpegangan pada pipa uap. Kapal semakin miring, mencegahku untuk melepaskan pipa uap panas ini. Sepertinya tadi ada lebih dari satu baling-baling yang hancur. Selagi berpikir bagaimana caranya agar dapat menyusuri lorong dan menemukan dua sahabatku, pintu darurat di sisi lain kapal membuka lebar. Jika aku sampai melepaskan pegangan dari pipa uap mendidih ini, tubuhku akan langsung meluncur ke sana dan keluar dari sisi lain kapal, jatuh bebas dari ketinggian kapal yang semakin naik.

Satu masalah lagi bertambah.

Sementara berpikir mencari jalan keluarnya, tiba-tiba saja ada seseorang yang meraih pinggangku. Beban yang bertambah tak pelak membuat tubuhku meluncur begitu saja menuruni lantai yang licin, tepat ke arah pintu darurat di sisi lain yang membuka.

Aku memelototi Azran yang sudah tiba-tiba saja ada di sampingku ketika tubuh kami berdua meluncur dengan bebasnya di lantai. "Kau gila?"

"Kalau kau mau cepat," sahutnya tenang sebelum dengan cepat meraih satu pipa uap selagi kami meluncur cepat dan mendorong tubuh kami berdua ke salah satu pintu yang menutup.

Dengan kakinya, Azran membuka paksa pintu itu. Sambil mendekapku erat, dia membawa kami ke lorong lain. Kapal perlahan berubah sedikit lebih seimbang. Kami pun mendarat di lantai yang sudah lebih bersahabat, tidak lagi meluncur bebas di lantai. Butuh beberapa saat bagiku untuk sadar tangan yang digunakannya untuk memeluk pinggangku sekarang adalah tangan yang sama yang tadi digunakannya untuk menggores badan kapal, dengan kata lain, tangan yang tadi berubah menjadi cakar itu.

Tangannya sudah kembali normal.

"Al!" Terdengar teriakan dari arah samping. Aku berpaling, melihat Edward dan Suri berlari dengan langkah gontai mendekati kami, tampk kesulitan berlari di lantai yang benar-benar miring. Beberapa bagian tubuh mereka terluka.

"Kau baik-baik saja?" Suri menghampiri kami berdua.

"Ya," jawabku. "Kalian sendiri?"

"Hanya lecet." Edward menjawab dengan suara tersengal. "Para penyihir sudah mengepung kapal ini! Kita harus cepat keluar!"

Aku menoleh pada Azran. "Kuharap kau bisa membawa tiga orang."

Azran baru akan membuka mulutnya ketika matanya membelalak. Sesaat setelahnya, aku menyadari sesuatu mengalir keluar dari mataku, langsung saja mengalir membanjiri pipiku sampai basah. Energi sihir melimpah itu mengalir dari satu titik. Kepalaku berputar, memandang ke arah datangnya sihir itu dan melihat ledakan energi sihir berwarna merah membara datang tepat ke arah kami.

Hampir secara refleks, aku mendorong Azran dan meraih kedua sahabatku.

***

Cahaya merah itu menutupi semuanya. Sunyi selama beberapa saat sebelum segala cahaya merah itu tergantikan oleh api yang membara.

Aku membelalakkan mata. Dalam keadaan hampir panik, aku melihat sekelilingku yang dikepung api sebelum sadar kedua tanganku penuh. Edward dan Suri sudah berada dalam genggaman tanganku. Dengan lega, aku menatap mereka berdua bergantian. Edward dalam keadaan sadar sama sepertiku, tapi Suri pingsan.

Sebenarnya aku berniat bertanya apa dia baik-baik saja, tapi kemudian aku tersadar api yang mengepung ini tidaklah sedikit. Mataku beredar, melihat tidak ada satu pun ruang yang selamat dari api. Meki begitu, tidak satu inci pun tubuh kami bertiga disentuh api. Lalu aku tersadar, tadi pun tidak ada bunyi ledakan terdengar. Ada energi sihir lain yang membungkus kami, energi sihir berwarna hitam pekat yang terlihat hampir transparan. Energi milik Azran.

Pandangan mataku sempat beredar, mencari-cari Azran, tapi sosok penyihir itu tak kutemukan di mana pun. Hanya ada aku dan dua sahabatku di dalam perlindungan sihir yang memisahkan kami dari api yang menyelubungi dan mengancam akan membakar tubuh kami berdua jika lengah.

Terdiam, aku melihat gelombang energi berwarna merah menyelimuti seluruh api yang membara ini. Api ini bukan api normal dan dia terus menyerang pelindung yang melapisi kami bertiga dengan intensitas yang tidak main-main. Berkali-kali aku melihat sihir milik Azran hampir terurai karena serangannya.

Di tengah pertarungan dua energi sihir yang sengit, titik-titik hitam itu muncul, dengan cepat semakin banyak dan memenuhi pandangan mataku. Ketika tersadar, pipiku telah basah oleh sesuatu. Aku mengusapnya, mendapati kenyataan tak menyenangkan yang lain. Sekali lagi mataku berdarah dan kali ini jumlahnya banyak.

Perlahan, angin berembus di sekitar kami yang tadi sunyi. Suara jilatan dan kemeretak api mulai terdengar. Aku sempat cemas, tapi kemudian semua api itu lenyap, berganti asap yang gelap sebelum akhirnya langit biru cerah benar-enar terlihat jelas di sekeliling kami. Kepalaku mendongak, melihat sumber ledakan di atas kepala kami bertiga yang masih terus meledakkan bunga api dan dipenuhi asap hitam yang tebal.

"Kapal itu meledak?" Edward bertanya.

"Kelihatannya begitu." Aku menjawab sambil masih terus menatap ledakan yang tadinya kapal sipil itu. "Dan ledakan ini bukan ledakan alami."

"Intinya kita dijebak." Edward menyimpulkan. "Dan akan mati jika saja penyihir itu tidak mengambil tindakan cepat.

Setelah Edward menyebutkannya, aku jadi terpaku pada sihir yang menyelimuti kami, tak lagi terpaku pada ledakan di atas sana yang mulai mementahkan banyak serpihan ke berbagai arah.

Gelombang energi milik Azran terlihat meliuk-liuk dan menghilang di antara aliran udara di sekitar kami, membuat aliran angin menjadi tenang dalam cara yang tak normal. Dalam perlindungan sihir Azran, kurasakan tubuh kami melayang dan bukannya jatuh bebas. Melongok ke bawah, puluhan atau bahkan ratusan bangunan sudah terlihat sangat dekat, berbeda dari saat aku melihat di atas sana tadi. Kami sudah semakin dekat ke tanah, melayang dan jatuh perlahan ke arah salah satu bangunan itu dalam kecepatan yang mustahil akan melukai kami seandainya memang benar kami akan mendarat di sana.

Perlahan, kami mendarat di atap salah satu bangunan itu.

"Ini ... sihir perompak itu?" Terdengar suara Edward di sampingku.

Menoleh, aku melihat dia juga terheran-heran, sama herannya sepertiku. "Ya," Aku menjawab, lalu memutuskan untuk menanyakan pertanyaan itu. "Kau baik-baik saja?"

"Ya," jawab sahabatku itu dengan ringan, meski pelipis dan lengannya yang berdarah berkata lain.

Aku berpindah ke Suri, melihat gadis itu masih menutup mata. Aku menggenggam tangannya erat, merasakan denyut masih ada di tubuh Suri, meski aku tidak tahu persis denyut itu asalnya dari mana. "Sepertinya dia hanya pingsan."

"Baguslah." Edward menyahut, bersamaan dengan hilangnya api dari sekeliling kami. "Ngomong-ngomong, di mana penyihir itu?"

Aku terdiam, tidak tahu jawaban atas pertanyaan itu. Yang aku ingat, aku melepaskan Azran untuk meraih mereka berdua dan cahaya merah itu menyelimuti segalanya. Tapi adanya sihir ini melindungi kami hanya bisa berarti satu hal: Azran baik-baik saja.

Dia mungkin hanya mendarat agak jauh dari kami.

Saat memikirkannya, kepalaku tiba-tiba saja terasa sangat berat. Semua warna menghilang dari mataku, menyisakan hanya warna hitam putih yang sangat menyedihkan untuk dilihat, seperti pantulan wajah pada air yang keruh.

Tubuhku tanpa daya terus terbawa arus angin hingga benar-benar sampai ke dekat atap datar salah satu rumah. Setelah menarik napas lega karena tidak mendarat di atas atap bangunan yang menyulitknan, aku sudah bersiap untuk mendarat ketika tiba-tiba saja suara pelindung yang pecah itu memenuhi telingaku.

Deru angin di ketinggian kembali terasa. Suara ledakan sekarang terdengar jelas dan tiba-tiba saja kedua tanganku kosong.

***

-

A/N:
Haruskah saya mulai menghitung mundur menuju bab terakhir? Belum dulu kali ya. Nanti kalau udah 3 bab terakhir ye. 

Btw, lama-lama, bab akan sepanjang ini. Jadi persiapkan diri kalian. 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro