Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

60. Serangan di Atas Kapal

[Warning: Adegan ranjang!]

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyusul Azran karena dia berjalan dengan normal sekeluarnya dari lorong di dekat bagasi kapal, berbeda dari ketika pergi meninggalkan kami tadi.

Tepat sedetik setelah aku berhasil mengekorinya dan berada lima langkah di belakangnya, Azran berhenti dan menoleh padaku. Dia tidak repot-repot menutupi kejengkelannya. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Memastikan kau tidak mendadak kabur."

"Kau punya hal yang lebih penting untuk dipastikan, kurasa," sahutnya sinis. "Bagaimana kalau kau memastikan agar tidak ada penyihir yang kebetulan akan menghampiri teman-temanmu? Aku rasa pemeriksaan tiket akan dilakukan sebentar lagi."

Aku menatap lorong di depan sana yang penuh dengan para penyihir yang hilir mudik. "Maka seharusnya di sana juga ada pemeriksaan terhadap penumpang," sahutku dengan berani. "Kau melangkah tepat ke dalam bahaya. Bisa saja kau menjadikan alasan ditangkap sebagai dalih agar kau bisa kabur."

"Kalau menyangkut soal keselamatan teman-temanmu, kau pandai sekali bicara." Azran berbalik dan menatapku jengkel selama beberapa lama sebelum kemudian dia lanjut berjalan.

Suara keramaian mulai terdengar meski kami masih berada di lorong yang sepi dari penyihir dan masih beberapa langkah lagi sebelum sampai ke tengah keramaian. Mataku berair seperti akan menangis, tapi aku yakin cairan apapun yang menumpuk di pelupuk mata ini bukanlah air mata. Kuhapus cairan itu dan membuktikan kebenaran kata-kataku tadi.

Mataku berdarah lagi.

Kutatap dinding yang dialiri banyak sekali energi sihir murni. Sepertinya kami sedang melintasi ruang mesin. Mungkin sebaiknya aku mengekorinya lebih lama, sekadar untuk mengawasinya lebih jauh. Sayangnya, meninggalkan Edward dan Suri tidak ada dalam agendaku hari ini.

Aku memutuskan untuk berhenti mengikuti Azran. Biar bagaimanapun, dia penyihir, pasti bisa melindungi dirinya sendiri. Dua temanku adalah urusan lain.

"Berjanjilah!" Aku berseru, terdengar lantang di tengah lorong yang sepi, hanya diselingi bunyi mesin dan deru baling-baling yang mulai berputar di luar.

Langkah penyihir yang saat ini berwujud wanita itu berhenti. Asap perwujudan sihir hitam yang menyelimuti tubuhnya kelihatan semakin banyak saat dia berbalik menatapku, menunjukkan gejolak emosinya yang meningkat.

"Apa?" sahutnya setengah membentak. "Apa mendengarku bersumpah satu hal padamu tidak cukup?"

Dia mengira aku akan memanfaatkannya. Bukan pemikiran yang buruk, andaikan aku memang sepicik itu. "Berjanjilah kau tidak akan menghentikanku di kuil kali ini."

Sepasang mata cantik Azran membelalak. Kemudian mata itu menyipit, kedua alisnya turun dan nyaris bertemu. Bibirnya yang sedari kami berangkat selalu menyunggingkan senyum lebar, kini memberengut, mengerucut jelek, penuh amarah.

"Ulangi. Sekali. Lagi." Bibir merahnya membentuk satu garis tipis. Giginya terkatup rapat, memperdengarkan suara marah yang lebih mirip desisan daripada kata-kata. Pendar di mata emasnya menyala lebh terang. Sihir hitam di tubuhnya semakin pekat. Darah menetes sekali lagi dari kedua mataku. Udara berubah panas oleh energi sihirnya seorang.

Dia butuh usaha lebih keras untuk jika berniat untuk membuatku takut.

Aku menggerutu, sengaja menunjukkan padanya kalau ancaman, gertakan, dan efek intimidasinya sama sekali tak berpengaruh. "Aku bilang, jangan hentikan aku. Jangan cegah aku."

Dan tahu-tahu saja Azran sudah ada di hadapanku, menutup sebagian besar jarak di antara kami. Matanya mendelik marah, napasnya tersengal. "Dan kau pikir aku mau melakukannya?" geramnya. "Kau pikir aku melakukan itu atas kemauanku sendiri?"

"Apa maksudmu?"

Sebelum aku sempat sadar, pintu di sampingku terbuka. Tanganku digenggam dan sedetik kemudian tubuhku ditarik oleh Azran, memasuki pintu yang berada tepat di samping kami. Asap dengan cepat menyelimuti seluruh tubuh penyihir itu ketika ia menarikku ke dalam ruangan yang ternyata kamar tidur. Dengan cepat tangan lentik yang tadi menggenggam pergelangan tanganku terasa lebih besar dan lebih bertenaga.

Dan dalam sekejap, wajah wanita cantik yang tampak tidak akan sanggup melakukan hal-hal berbahaya tadi lenyap. Berganti sepenuhnya menjadi wajah keruh seorang lelaki Inggrsi dengan mata emas yang tampak lebih seperti makhluk buas dibanding manusia, menatapku seakan ingin menerkamku.

"Kau benar-benar membuatku habis kesabaran." Azran menggeram ke depan wajahku.

***

Energi sihir milik Azran mengalir deras ke arah pintu, menutupnya dengan suara berdebam keras di belakangku tanpa menggunakan tangan sama sekali. Sihir Azran keluar semakin banyak, memanaskan kamar beraroma cat segar itu, mengubah suasananya menjadi pengap meski ada ventilasi berukuran separuh tubuh Azran tak jauh dari kami. Sulit sekali bernapas dengan semua energi sihir ini dan jarak, sangat tipis ini, dan atmosfer gelap di antara kami berdua. Penyihir itu masih mencengkam tanganku, erat meski tidak sebegitu kencangnya sampai terasa menyakitkan.

Azran menarikku beberapa langkah dan asap hitam yang mengelilingi tubuhnya sirna dan telah kembali menjadi laki-laki dengan pakaiannya sebelum berubah. Penyihir itu, tanpa buang-buang waktu, segera menarikku melintasi ruangan beraoma bunga yang kuat itu, mendekat ke arah kasurnya yang masih halus dan kelihatan sekali belum pernah ditiduri semenjak keluar dari pabrik. Kemudian, tidak sampai satu kedipan mata setelahnya, tubuhku didorong hingga jatuh dan memantul berkali-kali di atas kasur paling empuk yang pernah kurasakan seumur hidup. Meski empuk, rasa kasur ini di tubuhku bagai ranjang dari tumpukan jarum dengan kedua tangan Azran menekan pundakku, menahan tubuhku tetap di kasur.

Laki-laki itu kembali tampil mengintimidasi, terutama dalam posisinya masih setengah berdiri, membuatnya bisa saja mencekik atau membunuhku dengan mudah tanpa perlawanan sekarang. Tanganku bergerak, bersiap untuk meninjunya sebelum tangan Azran tiba-tiba saja sudah meraih tangan kananku, membuka kepalannya yang kuat dengan sangat mudah dan menautkan jari jemari kami, mencegahku meninjunya. Tidak butuh waktu lama, dia melakukan hal yang sama pada tangan kiriku. Sebelah kakinya naik ke atas ranjang dengan aku terbaring di bawahnya, benar-benar menciut di bawah tubuhnya yang besar bagai raksasa.

Matanya yang memiliki iris tipis seperti ular itu menatapku nanar. Wajahnya tampak gusar. "Itu salahmu. Semuanya salahmu."

Mendadak saja kemarahan mengisi setiap ruang kosong di dalam kepalaku. "Aku?" Nada tajam dalam suaraku meningkat.

"Ya, kau!" Azran menegaskan dengan keras. Panas yang menyesaki ruangan ini semakin membara. Suara mesin dan segala suara keramaian dari luar mendadak senyap, menjadikan kami seolah tidak lagi berada di kapal udara, hanya berada di kamar di dunia yang hanya berisikan kami berdua. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?"

Hah? "Apa maksudmu?" Kejengkelanku bertambah satu tingkat. Kakiku sudah terangkat, siap menyingkirkan tubuh Azran dalam sekali tendangan.

"Jangan pura-pura tolol!" desisnya. "Kau sengaja melakukannya. Tiga tahun lalu kau malah menolongku di saat kau bisa mengabaikanku begitu saja. Kau bisa membunuhku, tapi kau malah menolongku, padahal kau membenci penyihir. Kau bahkan membawaku sampai ke alun-alun, mengikuti perintah egoisku tanpa pernah meminta bayaran! Kau tahu betapa baiknya perbuatan itu? Betapa kau menjijikkan dalam cara yang sangat manis dan menyiksaku?"

Berbeda dengan saat kami di terowongan, sekarang Azran mengungkapkan semuanya dengan berapi-api yang malah mungkin akan membuat wanita lain takut dan tidak mau mendengar satu pun kalimatnya. Aku pun malas mendengarkan pria marah-marah tak jelas juntrungan, tapi dia, hanya untuk dia, aku benar-benar menikmati kegusarannya yang penuh keputus asaan.

Mungkin aku memang tolol karena memilih mendengarkan ocehannya daripada langsung menendang dan menyingkirkannya dari hadapanku, tapi melihat wajahnya yang gusar, marah, dan putus asa, alih-alih lemah dan penuh tipuan, membuat sesuatu di dalam tubuh dan hatiku terdiam, tidak bisa berbuat apa-apa selain menonton dan mendengarkan.

"Lalu saat aku akhirnya mendapatkanmu, kau tahu betapa menjengkelkannya kau karena selalu menjauh sampai membuatku benar-benar tak bisa mengendalikan diri lagi?" lanjutnya. "Kau tahu betapa marahnya aku tidak melihat penolakan dari dirimu ketika tahu siapa aku sebenarnya? Setelah tahu siapa aku ini, kau seharusnya semakin membenciku! Kau bahkan seharusnya tidak mau melihat wajahku atau berada di ruangan yang sama denganku lagi! Tapi apa kau ingat apa yang kau lakukan?

Kau malah menerimaku dengan tangan terbuka itu! Kau bahkan merelakan sebagian usiamu untuk menolongku! Kau benar-benar menjengkelkan, kau tahu itu?! Aku benar-benar berharap tidak pernah bertemu dengan wanita sepertimu seumur hidupku! Dan apa yang kau lakukan padaku sampai aku mengucapkan semua hal di terowongan itu? Kau tampil begitu jujur dan memukau sampai aku lupa diri, Sialan!" Azran terus meyembur tanpa henti.

Amarah semakin menguasai diri sang penyihir yang biasa tenang. Kebingungan tak berujung membayangi warna emas matanya yang kini kelihatan sangat pucat. "Kau ini hanya satu di antara sedikit. Meski sulit, bukannya mustahil mendapatkan Lazarus sepertimu lagi. Kami bahkan bisa membuatnya, tapi kau sudah melakukan sesuatu padaku sampai aku berubah tidak mau melihatmu mati! Kau membuatku tidak mau melihatmu terluka seujung jari pun! Kau membuatku hampir gila hanya saat kau nyaris tidak bisa berdiri di altar! Kau membuatku kehilangan sabar hanya karena darah keluar dari matamu! Kau membuatku tidak bisa berpikir saat aku sadar kau sudah berada di ambang kebutaan!"

Napas Azran memburu. Panas internal tubuhnya merambat kepadaku. Membuat baju budak ini semakin tidak nyaman dikenakan.

Terlalu panas. Terlalu lembab.

Kenapa jantungku ikut bertalu-talu? Ini tidak menakutkan sama sekali. Ini tidak mengancam nyawa. Aku bisa menghilangkan seluruh tetes sihirnya dalam sekejap, lantas kenapa?

Kenapa ketidak berdayaan ini terasa sangat menjengkelkan?

"Kau pikir aku mau mencegahmu? Asal kau tahu, aku tidak mau mencegahmu, hanya saja aku merasa kau ini—Kau ini hanya asetku yang berharga, Demi Lagit, tapi aku malah menganggapmu...." Kesadaran melintas di sepasang manik emas itu. Ia melirik turun ke jarak di antara kami, lalu seolah sedari tadi kabut menutupi penglihatannya, kali ini menatapku. Benar-benar menatapku. Dan telinganya memerah. "Sialan, kenapa aku malah—Arrgh!"

Azran buru-buru bangkit, menyingkir dariku tanpa pernah perlu dipaksa. Penyihir itu pergi ke tengah ruangan sebelum menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

Setelah semua omelan penuh amarah yang tidak buruk-buruk amat dilihat itu, setelah dikekang sedemikian keras olehnya, akhirnya aku terbebas. Aku tidak pernah sadar cengkamannya begitu kuat hingga tanganku terlepas dari tautan jari jemarinya, menyisakan warna merah terang di telapak tangan dan sela jari jemariku.

Dengan kasar, aku mengembuskan napas, tak mengerti sama sekali kenapa dia menyembur-nyembur seperti itu dan tidak mengerti apa inti dari semua penjelasannya yang tidak berarti tadi. "Jadi kau tidak akan mencegahku lagi?" Aku mencoba menarik kesimpulan.

Tiba-tiba saja tangan Azran berhenti memegangi wajahnya. Penyihir itu berbalik, matanya menatapku tajam. "Dalam mimpimu!"

Sekali lagi aku mengembuskan napas. Dengan jengkel, aku melangkah bangun dari kasur dan berjalan ke arah pintu besi, bersiap membukanya lagi. "Semua ini sia-sia. Sepertinya aku memang tidak bisa percaya lagi padamu," gerutuku kesal ketika sampai ke depan pintu. "Kau sama saja seperti penyihir lain di luar sana." Dan tanganku pun membuka pintu.

BAM!

Dua lengan terentang di kedua sisi kepalaku, memerangkap pergerakanku. Jantungku sempat melonjak naik mendengar suara berdebam yang sangat keras itu, namun dengan cepat aku kembali dapat meraih ketenangan yang tadi nyaris terlepas. Sihir Azran yang menggelegak di sekitarku sempat terasa bergolak hebat seperti kobaran api yang membumbung tinggi ke langit selama beberapa lama sebelum mereda, ditekan secara paksa ke dalam tubuhnya yang menghimpitku ke daun pintu.

Dengan berani, aku berbalik menghadapinya, menatapnya lurus-lurus.

Azran menatapku murka. "Jadi menurutmu, jika aku membiarkanmu mati demi dunia ini, itu membuatku berbeda dari penyihir lain? Membuatku lebih baik dari mereka?"

"Kau punya tugas dan sumpah, Kapten! Dan kalau kau sampai melupakan tugasmu itu—seperti perompak dan penyihir lain—kau sudah gagal sebagai makhluk berotak!" balasku tak kalah murka, sambil menunjuk dadanya. "Kau tolol kalau tidak bisa memanfaatkan aset yang ada di hadapanmu—

"Kau bukan aset!" tukasnya galak.

Pendar di matanya semakin membara. "Kau bukan aset! Kau ini...." Ucapan Azran berhenti. Napasnya yang memburu berangsur-angsur tenang. Ia menundukkan kepala. "Kau kira aku bisa mengendalikan segala hal? Asal kau tahu, aku juga ingin menganggapmu sebagai hanya sebatas alat, tapi aku tidak bisa! Seberapa bebal otakmu sampai tidak mengerti penjelasan semudah ini? Aku tidak bisa menganggapmu sebagai alat!" Ketika ia mendongak lagi, kesakitan terlihat jelas di wajah Azran dan semakin jelas ketika wajahnya mendekat.

Aku buru-buru berpaling, menolaknya terang-terangan, tapi kelihatannya itu tidak menghentikan usahanya mendekat. HIngga kepalanya jatuh di sebelah telingaku.

"Kau hidup. Kau manusia. Kau perempuan. Tidak peduli seberapa kalipun aku berusaha memanggilmu alat, semua kenyataan itu selalu menghantam dan mematahkan pendapatku." Kuku-kuku Azran menancap ke pintu besi dalam-dalam. Tanpa ragu, dia mengepalkan tangannya, meninggalkan bekas cakaran di pintu malang itu. "Kau benar-benar ... menghancurkanku pelan-pelan ... Alicia."

Aku menoleh dengan kaget, bertepatan ketika Azran menarik kedua lengannya dari pintu. Tanpa repot menutupi kemarahan, aku mendeliknya, tak terima nama itu keluar dari mulutnya.

"Ada apa? Apa ada yang salah? Kau boleh memanggil nama asliku sementara aku tidak boleh memanggil nama aslimu?" Sebelum aku memberi jawaban, Azran sudah mengulurkan tangan lagi, kali ini meraih gagang pintu di belakang tubuhku, membukanya hingga besi dingin itu menyentuh punggungku yang tertutup pakaian budak yang tipis dan sudah basah oleh keringat akibat panas internal yang membakarku dari dalam.

Wajah Azran tampak sangat lelah, padahal bukan dia yang sedari tadi diomeli. Gantian dia yang mengembuskan napasnya keras-keras. "Sudahlah, lupakan saja semua kata-kataku."Pintu berklik terbuka di belakangku. "Apa yang kukatakan tadi—

Kedua mata Azran membelalak lebar. Horor melintas di wajahnya. Sesaat, aku mengira akulah yang ditatapnya dengan sorot mata ketakutan yang sampai menguras seluruh warna mukanya itu, tapi tidak. Dia bukan membelalak menatapku.

Dia membelalak pada apa yang ada di belakangku.

Aku menoleh, tapi semuanya terjadi lebih cepat dari yang aku duga. Tubuhku ditarik oleh Azran, didekap olehnya, pintu dibanting kembali, dan kami berdua beringsut mundur dari pintu.

Sedetik kemudian, tembakan xifos menembaki ruangan yang kami tempati secara membabi buta.

***

Besi yang menjadi penutup ruangan dan ini juga pintu kamar dipenuhi lubang-lubang seukuran peluru senapan. Pelindung milik Azran berdenyut dalam warna hitam kelam ratusan kali, memperjelas bagaimana seluruh peluru yang jumlahnya puluhan itu ditembakkan ke arah kami tanpa ragu, tanpa pandang bulu.

Azran melepas pelukannya. Tangannya sempat kukira akan melepasku, tapi ternyata dia hanya menurunkan tangan itu dan memegang pergelangan tanganku. Dia tidak punya niatan untuk melepasku sama sekali Matanya, sama sepertiku, tertuju hanya ke depan. Bersiap untuk segala kemungkinan yang ada. Suara baling-baling muncul kembali, tapi tidak ada suara lain lagi dari luar. Benar-benar hanya ada suara baling-baling, seolah tidak ada keramaian sama sekali di luar, seakan suara ramai yang tadi kami dengar di menit awal kami masuk ke kamar ini, hanyalah ilusi.

Sepertinya firasat burukku benar.

Sejurus kemudian, seisi ruangan meledak. Suara keributan yang seharusnya terjadi, malahan sunyi. Tidak ada suara ledakan. Pelindung Azran menahan semua api yang muncul itu dengan cepat. Di sekelililingku, dalam radius lima kaki dariku, semuanya dilalap api.

Dari balik pelindung Azran, aku menyaksikan bagaimana api melahap seluruh isi ruangan, bagaimana seluruh besi meleleh ditelan api, bagaimana pecahan besi melayang, dan melesat sebagai pasak mematikan yang beberapa kali membentur pelindung milik Azran. Aku berputar, melihat tembok di belakang kami ikut hancur, ditembus api yang menyembur bagai keluar dari mulut seekor naga: banyak, membara kuat, dan mematikan.

Sihir berwarna merah membara terlihat meliuk-liuk di sekitar nyala api yang menyilaukan selama sesaat sebelum lenyap sama sekali, memberiku jawaban jelas bahwa semua api ini dikendalikan oleh sihir.

[Kalian benar-benar mudah dibaca.] Dengung itu terdengar lagi di dalam kepalaku, membuat jantungku mencelus.

Api mereda, menghilang dari sekitar kami, menyisakan satu ruangan yang hitam penuh bara api dan besi yang meleleh.

Tembok di belakang kami lenyap, memperlihatkan langit biru di luar kapal, tanda kami sudah mengudara. Jika pelindung Azran ini hilang, kami akan langsung keluar terempas dari ruangan ini karena terbawa angin di luar yang kemungkinan akan langsung mengarah ke baling-baling. Tapi untungnya tidak. Pelindung Azran membuat tidak ada angin sama sekali di dalam sini kecuali udara yang digunakan untuk bernapas. Suara baling-baling yang harusya terdengar karena ada lubang sebesar itu pun, pada kenyataannya sama sekali tidak terdengar.

Berbalik ke depan, kami berdua sudah berhadapan dengan seorang pria dengan rambut pirang yang menyala dalam warna pucat. Mata hitamnya yang kontras dengan warna pirang pucat rambutnya, berpendar dalam pusaran yang tidak menyenangkan ... seperti kegelapan yang tidak punya dasar.

Entah kenapa mata itu terlihat agak tidak asing.

Dengan tenang, dia berdiri dengan banyak penyihir dengan warna gelombang sihir murni berdiri di belakangnya. Belasan xifos teracung kepada kami.

Tadi jelas sihir putih yang mengendalikan api. Kelihatannya percikan api dari xifoslah yang digunakan oleh pria itu untuk membuat ledakan tadi.

[Jadi menghancurkan kuil di negara ini juga termasuk bagian dari rencanamu, Sigmon?] Dengung asing yang tak pernah mau pergi itu sekali lagi terdengar di dalam kepalaku. Dari cara bicaranya, sepertinya Azranlah yang baru saja bicara.

Dan lagi, yang dia sebut itu Sigmon, salah satu nama dari lima raja.

Senyum pria berambut pirang itu bertambah lebar. [Kalau membaca strategi semudah itu saja kau tidak bisa, kau masih belum bisa mewarisi nama Therlian di belakang namamu, Azran.]

Dia mengenal Azran, dia bahkan mengetahui tentang Therlian. "Kau ... siapa?" Aku bertanya pada penyihir berambut pirang itu. Azran memanggilnya Sigmon, hanya bisa berarti dia keturunan langsung dari sang raja atau ... kemungkinan terburuknya.

Sesaat setelah pertanyaan itu terucap, sihir di sekitar kami memudar, mengembalikan suara ke sekeliling kami. Suara angin dari belakang terdengar sangat bising, meski begitu tidak ada satu pun dari kami yang goyah karena arus angin yang keras itu.

Pria di depan sana tersenyum padaku. "Perkenalkan." Dia sedikit menurunkan tubuhnya, tapi tidak sampai membungkuk. "Aku Sigmon," ujarnya dalam bahasa Inggris beraksen asing. Aku terkejut dia bisa bicara langsung juga. Kalau begitu seharusnya dia tidak perlu mengeluarkan dengung itu, "Raja pertama klan Sigmon."

Ternyata kemungkinan terburuklah yang jadi nyata.

"Dan kalian ...." Sang raja melanjutkan dengan tatapan yang semakin tajam, tatapan seseorang yang tidak akan melepaskan kami. "Kalian sekarang berada dalam wilayahku."

***

-

A/N:

Bagi yang berpuasa, harap baca ini pas udah buka aja! 

Apa? Saya telat kasih peringatan? Yah, anggap aja saya mau kalian berkurang juga pahala puasanya. 

Gimana adegan ranjangnya? Howt? 

Apa? bukan adegan ranjang? Kan terjadi di atas ranjang. yang penting terjadi di atas ranjang. Apa pun itu. Namanya jadi adegan ranjang. Saya gak salah dong. 

Kalian itu, puasa-puasa 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro