Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Lari, Lari

"Apa yang kau lihat?" Geramnya tak senang dari sela-sela gigi yang terkatup rapat dan rahang yang mengeras.

Sekuat tenaga, aku tetap memasang wajah tenang selagi menahan perih yang meningkat karena jarak yang memendek tiba-tiba. "Maaf, Sir." Aku menepiskan tangannya yang kurang ajar tanpa kesopanan sedikit pun. "Aku tidak mengerti maksudmu."

Dia tergelak. "Jangan sok suci di hadapanku. Aku melihat caramu memandang tubuhku tadi," ujarnya penuh kepercayaan diri yang sedikit banyak membuatku mual. "Aku berani bersumpah liurmu hampir jatuh."

Tanganku langsung mengusap bibir, takut benar-benar ada iler di sana yang ternyata tidak ada. Laki-laki di hadapanku tergelak puas. Mengherankan bagaimana bisa dia sedetik tadi kelihatan hampir mati dan sekarang tampak baik-baik saja. Mungkin aku sudah terlalu buruk menilai keadaannya.

Setelah menggeram kesal, aku mengusap luka basah itu lagi. Dengan sengaja, aku menekan sedikit lebih keras ketika membersihkan lukanya sebagai pembalasan. Tindakanku itu sukses membuatnya meringis. Membungkam mulut terlampau percaya dirinya seketika. Kami bertukar pandangan kesal.

"Aku ini laki-laki," tegasku.

Pemuda itu memberengut. Matanya menyisir penampilanku dari kepala hingga kaki sebelum tubuhnya kembali rileks. Terdengar dengusan pelan darinya.

"Tatapanmu jelas menyiratkan rasa iri yang kental sampai memenuhi udara." Ia menyeringai. "Mau tahu rahasia bagaimana aku membentuk otot-ototku sampai seperti ini?"

Malas meladeni tingkat kepercayaan dirinya yang kelewat tinggi, aku pergi membersihkan kain ke tepian kolam. Bolak-balik aku membasahi kain pembersih, membersihkan luka, dan membersihkan kain berdarah-darah ke kolam secara bergantian. Bersihnya darah dari tubuhnya memberiku pandangan lebih jelas apa yang ditutupi oleh cairan merah itu.

Lima luka sayatan pedang menganga di tubuhnya, menampilkan kerat daging yang terbelah mulus. Sayatannya cukup dalam hingga membuatku yakin dapat memasukkan jari utuh ke dalamnya.

Setelah yakin tidak ada sisa darah, aku mengeluarkan salep pemberian Suri dan mulai mengoleskannya ke atas luka-luka itu. Pertama aku mengoles salep itu pada luka di pelipisnya lalu bergerak turun ke luka-luka di tubuhnya. Berkali-kali tubuh pemuda itu tegang saat aku mengoleskan salep di lukanya yang membuka lebar. Dahinya berkerut semakin dalam, peluhnya semakin deras bercucuran, dan aku berani bersumpah mendengar giginya bergemeretak.

"Tato ini kelihatan rumit." Aku mencoba mengalihkan perhatiannya sekaligus perhatianku sendiri dari rasa sakit yang mendera masing-masing dari kami. Dari reaksinya, rasa sakit luka ini kuasumsikan sama buruk dengan sakit akibat cambuk sihir. "Kau punya selera tato yang bagus, Sir. Seniman mana yang mengukirnya?"

"Bukan urusanmu!" desisnya tak suka.

Rasa sakit yang tak mau pergi akhirnya memaksaku berhenti. Aku menundukkan kepala, meringis, menekan kedua mata, dan beringsut menjauh ke tepian kolam sambil berharap rasa sakitnya berkurang.

"Ada apa?"

"Sihir keparatmu! Aku alergi sihir!" Aku menggeram kesal.

Lalu mendadak saja rasa sakit itu lenyap. Tidak ada denyut tersisa. Sama sekali. Aku mengerjap bingung. Berulang kali aku berkedip, berusaha meyakinkan diri bahwa mataku memang tidak sakit lagi. Dan memang benar rasa sakitnya sudah lenyap. Benar-benar musnah. Tidak lagi terasa sakit.

"Sudah baik-baik saja?" Pemuda itu bertanya lagi. Aku memandangnya dengan pandangan bertanya-tanya apa yang sudah terjadi dan apa yang ia sudah lakukan, namun kontak mata kami terputus sebelum sempat ada jawaban muncul.

"Ya." Aku mengangguk, lalu mendekat lagi, melanjutkan pengobatan yang tertunda. Dalam diam aku bertanya-tanya, apa yang membuat rasa sakitnya hilang begitu cepat. Biasanya memang hilang sendiri, tapi proses hilangnya biasanya berlangsung lama, tidak sekejap seperti tadi.

Di tengah pertanyaan yang berkecamuk, sudut mataku menangkap kilau merah asing di dalam telapak tangan sang penyihir yang terbuka. Sebongkah batu bulat berukuran kelereng dan berwarna merah delima tergeletak tak bergerak dalam kungkungan telapak tangannya. Mataku melihat pendar sewarna api menyala di dalam batu kecil merah itu namun tangannya dengan cepat mengatup. Sekali lagi kami bertemu pandang dan sekali lagi pula, pemuda itu tampak kesal padaku.

"Batu bertuah." Aku bersuara, lebih ke pernyataan daripada pertanyaan.

Kedua alisnya bertaut marah. "Matamu itu benar-benar kurang ajar," geramnya.

Aku mengedikkan bahu. "Aku bisa apa? Batu itu benar-benar mencolok." Aku terus mengoleskan salep itu hingga luka terakhir.

Secepat mungkin aku membalut luka di tubuhnya dengan sisa perban yang ada. Beruntunglah karena perban yang kubawa ternyata cukup untuk membalut semua lukanya. Selesai dengan semua perawatan luka yang merepotkan, aku membantu pemuda ini berdiri dan sekali lagi memapahnya tanpa diminta. Seperti di awal, kali ini dia juga mempermudahku dengan tidak banyak berontak maupun protes saat tubuhnya yang berat kuajak berdiri.

"Ke alun-alun." Dia bergumam.

"Apa?" Bukannya aku minta pengulangan karena tidak dengar, aku hanya takut telah salah dengar.

Alun-alun jaraknya cukup jauh dari sini. Dengan semua kebakaran, tembakan, dan huru-hara, adalah tindakan sangat bodoh untuk membawa orang terluka seperti dirinya ke alun-alun. Salah satu atau mungkin kami berdua bisa terkena tembakan xifos—senapan berpeluru sihir—yang salah bidik, kena ledakan meriam, atau serangan tak terduga lainnya. Pemuda ini memang membawa pisau, tapi aku tidak yakin apakah cara memegang pisau yang aku tahu adalah cara memegang pisau yang benar, tidak tahu caranya berkelahi, dan pemuda yang terluka jelas tidak bisa diandalkan untuk membantuku.

Kami berdua ke alun-alun dalam keadaan seperti ini, namanya cari mati.

"Ke alun-alun," ulangnya tak sabar. "Aku berjanji menemui seseorang di sana."

Aku memutar bola mata dengan kesal. Pria dan kisah romantis mereka yang buang-buang waktu. Entah bagaimana seseorang bisa hidup untuk mengurusi romansa dalam hidup yang sudah demikian rumit. Setengah menggeram, segera kuputar otak demi menemukan rute paling tersembunyi ke alun-alun. Tidak ada jalan lain teraman selain lewat jalan belakang dengan melewati banyak gang sempit mirip jalan tikus. Konsekuensinya, jarak yang ditempuh jadi dua kali lebih jauh dibandingkan dengan lewat jalan utama. Aku tidak mau lewat jalan utama yang membara, tapi jalan belakang yang memakan lebih banyak waktu juga bukan pilihan bagus. Waktu adalah sesuatu yang aku takut tidak banyak tersisa bagi pemuda ini. Tapi aku harus memilih salah satu dengan cepat.

"Aku harap kau kuat berjalan, Sir."

***

Suasana semakin tidak terkendali.

Api-api semakin menjulang tinggi sekokoh menara pandang di bandar udara. Suara letusan meriam tidak seramai sebelumnya, tapi tetap saja masih ada dan kapan datangnya benar-benar tidak dapat diduga. Semakin banyak kata-kata kotor, sumpah serapah, dan pekikan pembangkit semangat yang dilontarkan. Telingaku hampir-hampir pecah terperangkap di antara semua kebisingan ini. Jika semua ini sudah selesai, suatu keajaiban jika telingaku tidak tuli.

Udara panas oleh api dan energi sihir yang kental memakan semua oksigen. Ada ratusan bahkan ribuan sulur cahaya yang meliuk-liuk di udara bebas. Mereka menari cepat dalam berbagai warna, masing-masing mencari jalan yang tepat untuk disalurkan.

Panas internal merambat sepanjang tulang belakangku, memberikan sensasi geli di ujung-ujung jemari, persis sengatan listrik. Sulur-sulur hijau zamrud itu sekali lagi keluar, memakan sulur-sulur energi lain dengan cepat. Memadamkan mereka.

Kami aman dari semua sihir yang mungkin dapat merintangi, tapi di sisi lain sakit di mataku juga semakin tak bisa ditoleransi. Rasanya aku mau berbaring di tanah, jauh dari semua kekacauan ini, jauh dari semua sihir yang beterbangan tak beraturan di udara ini dan jauh dari semua panas menyesakkan ini.

"Kenapa apinya masih saja menyala?" Aku menggerutu dari sela-sela gigi yang terkatup rapat menahan sakit. "Apa penyihir-penyihir sombong bernapas kalkun itu sama sekali tidak tahu sihir untuk memadamkan api?"

"Netrolium."

Sepertinya aku mendengar seseorang bicara. "Kau bicara sesuatu, Sir?"

"Bom dari senyawa Netrolium. Senyawa turunan alkali tanah yang efektif. Apinya sulit padam dan air hanya akan membuat apinya semakin besar," jelas pemuda ini dengan napas terengah. "Hasil yang bagus kan?"

Kenapa dia bicara seolah bom-dari-apapun-itu adalah buatannya dan dia yang meledakkan ibukota ini?

"Tapi aku tidak pakai meriam." Ia menambahkan. "Aku tidak pernah memberi perintah untuk memakai meriam."

Aku bermaksud menanyakan perintah macam apa yang ia maksud ketika bau besi menyengat hidungku. Perban di tubuh pemuda itu menggelap, basah oleh darah. Lukanya benar-benar membuka lagi dan kelihatannya semakin parah. Sia-sia. Salep pemberian Suri sia-sia untuk kutukan seberat stigma.

Tidak ada waktu lagi. Nyawa pria ini dalam hitungan mundur yang cepat.

"Diam di tempat!" Tubuhku serta merta membeku.

"Kenapa berhenti?!" Pemuda di sampingku menggerutu. "Lanjut saja berjalan! Jangan dengarkan!"

Tolol, aku tahu, tapi lima tahun di Serikat mengajarkanku untuk patuh pada setiap suara yang membentak. Namun pemuda ini berbeda denganku. Dia tidak terpengaruh suara itu. Tubuhnya malah berubah kaku.

"Berbaliklah!" Suara laki-laki itu memerintah lagi. Tubuhku berbalik pelan-pelan. Penyihir di sampingku hanya menggeram kesal, terpaksa ikut berbalik bersamaku yang jadi tumpuannya.

Napasku tercekat.

Moncong xifos mengarah tepat ke wajahku. Dalam temaram cahaya api, sosok pembidiknya memakai pakaian gelap dengan topi tinggi hitam dan tanda pangkat tersemat di kedua pundaknya. Dia tentara Kerajaan.

Mata tentara itu menyisir tubuhku. "Angkat tanganmu ke udara!"

Apa dia buta?! "Err ...." Kutekan semua kemarahan itu ke ujung kerongkongan dan berusaha bersikap tenang, yang menjadi sangat sulit di tengah tekanan panas sihir yang menyesakkan, tekanan panas internal, dan rasa sakit di mataku. "Tidak bisa, Sir. Pemuda ini terluka."

"Jauhkan tanganmu darinya, Manusia!" Julukan itu hanya memancing kemarahan menggelegak mendidihkan otakku. "Lepaskan pemuda itu dan mundur perlahan! Ini perintah!"

Aku menggertakkan gigi, hampir tidak bisa menahan amarah. "Dia terluka." Sungguh? Mereka mencurigaiku hendak berbuat buruk pada penyihir ini?

"Jangan lepaskan." Pemuda itu berbisik. "Jangan pernah."

Tangan yang berpegangan pada pundakku berubah tegang. Tangannya mencengkam bahuku kuat-kuat. Dari sudut mata, kulihat tulang rahangnya mengeras, kedua alisnya bertaut dan matanya menyipit, memancarkan pendar keemasan membara di bawah temaram cahaya api.

Dia tidak kelihatan senang melihat tentara itu.

Sakit yang menyengat mataku meningkat tajam. Ketika melirik kembali ke depan, sulur-sulur hijau berselimutkan warna putih dan biru mengalir di sepanjang badan xifos, menjalar ke sepanjang peluncur pelatuk menuju moncongnya. Dia serius ingin menembak. Tentara itu serius ingin menembakku karena tidak melepas penyihir ini. Dia serius ingin menembak seorang manusia yang ingin menolong seorang penyihir?

Sudah cukup. Aku muak.

Tangan pemuda di sampingku bergerak-gerak gelisah. "Apa alergimu itu bisa bertahan?" Dia tidak repot-repot menunggu jawaban. Sihir sudah menyala lagi di dalam tubuhnya, memperparah rasa sakit yang menyerang mataku sampai ke tingkat tak tertahankan.

Benar-benar sudah cukup.

"Tidak," jawabku dengan ketegasan yang jarang kugunakan. "Pinjam pisaumu, Sir."

"Kau punya rencana?" Dia berbisik.

"Serbu dan jatuhkan."

"Rencana jelek."

"Aku tidak pernah sekolah." Pelan-pelan, kuturunkan tangan kiri, meraih pisau yang terselip di pinggang sang penyihir. Panas dari energi sihirnya bersinggungan dengan panas internal yang mengalir dari jari jemariku, menimbulkan sensasi terbakar yang semakin membuatku tidak nyaman.

"Jangan berbisik-bisik! Cepat lepaskan laki-laki itu! Aku menghitung mundur!" Tentara itu menghardik. Wajahnya menyiratkan kesabaran yang sudah di ujung tanduk. "Tiga ... Dua ...."

Tanganku meraih pisau itu, mencabutnya. Pemuda itu melepas rangkulannya, membiarkanku meluncur pergi. Tidak ada lagi Alto yang sabar. Kubiarkan panas internal mengalir keluar membakar jari jemari dan seluruh tubuhku. Kubiarkan sensasi geli itu mengalir. Sulur-sulur hijau zamrud memenuhi pandanganku, satu demi satu, hingga semuanya tertutup kilau hijau yang menyala terang. Sulur energi itu melesat bagai cahaya tepat menuju xifos yang berpendar terang oleh sihir. Energi dariku dan dari tentara itu beradu. Satu detik kemudian, sihir telah lenyap.

Sihir tentara itu, beserta sihir lain yang berada sejauh pandanganku, lenyap. Tanpa sisa sama sekali. Begitu pula dengan sulur-sulur hijau zamrud itu. Mereka lenyap begitu saja di udara setelah sihir musnah.

Yang terjadi kemudian, tubuhku bergerak sesuai insting, sesuai apa yang pernah kulakukan dulu. Orang bilang trik yang sama tidak akan bekerja dua kali. Tapi itu hanya berlaku pada orang yang sama. Tentara ini bukan penyihir itu. Dan dia tidak berada di sana ketika aku melakukan trik ini. Dia tidak melawanku hari itu. Dia tidak tahu.

Karena itulah aku berhasil menikam dadanya.

Tidak ada sihir yang membentengi tubuhnya. Tidak ada sihir hitam yang mementalkanku. Tidak ada apapun. Yang ada hanya darah yang memancar, satu tentara yang ambruk, dan sensasi aneh di tangan ketika pisau yang digenggam secara amatir di tanganku menembus organnya.

Yang kusadari selanjutnya, aku duduk di atas tubuh tentara yang bersimbah darah itu.

Terengah, aku mencabut pisau dari tubuh sang tentara yang tak lagi bergerak. Darah mengalir dari dadanya yang berlubang. Tanganku gemetar. Di ujung jari jemariku, perasaan itu masih tertinggal: perasaan ketika mencabut satu nyawa. Tapi tidak separah dulu. Cairan lambung tidak mendesak keluar lewat kerongkonganku, kepalaku tidak pening, tidak ada keinginan untuk menangis maupun marah di dalam diriku. Hanya ada tangan yang gemetar.

Entah hal ini berarti bagus atau menakutkan.

"Kau ...." Aku berputar, menatap pemuda yang berlutut di tanah itu. Matanya membuka lebar. Warna emas itu tampak mengecil di bola matanya yang membelalak. "Kau—baru saja—sihirnya—

"Apa?" Aku menghampirinya. Pemuda itu bergeming, hanya terus menatapku dengan ekspresi yang semakin lama semakin terlihat tolol itu. "Mau protes?"

Pemuda itu malah mengangkat tangannya sendiri, memandanginya dengan heran seolah sudah muncul jari keenam di sana. Lalu matanya menatapku lagi. "Bagaimana kau ...." Kemudian cahaya pemahaman menyala di mata emasnya. Ia berhenti membelalak dan langsung mengatupkan telapak tangannya. "Bisa kau bantu aku berdiri?"

Tak acuh, aku berlutut di hadapannya dan memasukkan pisau berlumuran darah itu ke sarungnya lagi. Lalu aku membisikkan ancaman bernada mengerikan langsung ke telinganya. Ini memang bukan sifatku, tapi entah kenapa sesuatu di sudut hatiku berharap dia akan ketakutan.

Tanganku masih menyentuh gagang pisau itu. "Ini jadi tanggung jawabmu."

Penyihir itu hanya mendengus. Sudut bibirnya terangkat. "Kuterima dengan senang hati."

Setelah apa yang terjadi, setelah dia membuatku melakukannya, seharusnya aku menjauh. Tapi karena sihirnya dan sihir di sekitar sini sudah lenyap, serta dia tidak bisa berjalan sendiri, aku sudah kehilangan alasan untuk menjauh. Dalam beberapa kali tarikan napas panjang, aku sudah melingkarkan lengannya di pundakku lagi. Sekali lagi memapahnya.

"Jangan khawatir. Besok kau akan bisa menggunakan sihirmu lagi, Sir." Aku menginfokan.

"Terserah," jawabnya tak acuh, sedikit menggeram menahan sakit. "Aku tidak terlalu bergantung pada sihir."

Penyihir yang tidak terlalu bergantung pada sihir? Dia sedang berusaha menghiburku atau memang suka melontarkan omong kosong?

Menyingkirkan kejengkelan baru yang merebak, kami berjalan lagi. Secepat mungkin kami berusaha menjauh dari tempat kejadian. Barang bukti dengan sidik jariku ada pada penyihir ini. Aku aman. Tidak ada yang melihat kami. Sungguh kami sudah aman.

Tapi anehnya dia tidak protes soal aku membunuh satu penyihir. Lebih dari itu, dia terlihat lega. Tidak, dia benar-benar lega. Tubuhnya berhenti tegang. Pemuda ini lega melihatku membunuh penyihir itu. Apa dia dan tentara tadi berada di pihak yang berlawanan?

Tunggu sebentar. Dua penyihir berada di pihak yang berlawanan? Apa aku sedang bermimpi? Tidak, aku tidak sedang bermimpi. Kalau begitu, apa aku sudah gila?

Tidak. Justru tindakan tentara tadi malah menjawab satu pertanyaanku. Luka di pemuda ini diakibatkan sihir hitam. Dia sendiri yang mengakuinya. Dugaan paling kuat, dia dilukai dengan kutukan stigma. Kutukan adalah sihir hitam. Sihir. Penyihir. Dia dilukai oleh penyihir. Tentara tadi adalah penyihir. Pemuda ini penyihir tapi ia tidak senang melihat tentara itu. Ia membiarkanku membunuh tentara itu dan malah lega atas kematian saudara satu kaumnya.

Siapa sebenarnya pemuda ini?

"Belok kanan."

Kesadaran menyentakku. Tubuh pemuda ini berubah kaku, menolak untuk berjalan lebih jauh. "Apa? Kita belum cukup jauh!" protesku.

Dia menjengit. "Aku tahu ke mana aku berjalan! Tadi aku berbelok masuk lewat sini! Kita sudah sampai di alun-alun!" Apa? Secepat apa aku berlari tadi sampai bisa tiba di alun-alun begini cepat?

Mencoba untuk percaya apa yang dia katakan, aku berbelok melewati gang sempit yang basah oleh genangan air selokan. Kami berjalan lambat di antara dua dinding rumah yang membuka luas, langsung disambut oleh lahan kosong dengan istana-istana putih yang tampak kemerahan dalam bayangan ibukota London yang membara.

Kami benar-benar telah tiba di alun-alun. Jantung kota London yang kini tampak lengang.

Mataku beredar ke seluruh gedung-gedung megah pusat pemerintahan yang seluruh lampunya padam. Kosong. Rumah Parlemen tampak lengang dengan seluruh lampu mati. Aku bertaruh istana Buckingham pun sama sepinya. Benar-benar kosong, maksudku pemuda ini berjanji untuk bertemu seseorang di sini, padahal tempat ini sesepi kuburan. Tidak ada siapapun lagi.

"Di mana orang yang kau janji untuk temui, Sir?" Aku bertanya pada pemuda yang telah tanpa sadar kubawa hampir satu mil ini.

Tidak ada jawaban. Pemuda yang kupapah hanya memandang langit pekat berlapiskan gumpalan asap hitam tebal. Ikut mendongak, mataku menangkap percikan api dari balik asap yang menutupi langit. Aku memicingkan mata. Titik api di ketinggian seperti itu bukan hal alami. Tidak ada suara gemuruh berarti percikan itu bukan kilat. Sinar merah kemudian muncul di balik kepulan asap. Titik api sekali lagi terlihat muncul dari balik sana, meyakinkanku bahwa itu memang bukan titik api.

Itu ledakan meriam.

Siulan memekakkan telinga terdengar dari samping tubuhku. Aku tertegun melihat pemuda yang kupapah bersiul ke langit. Suara siulannya tidak seberapa nyaring dibandingkan keributan di sekitar kami, tapi untuk beberapa alasan, semua kerusuhan seperti berubah senyap ketika siulan senyaring burung elang itu membelah udara.

Aku terkesiap mendengar suara siulan balasan dari angkasa. Sekali lagi mendongak, mataku terus terpaku ke langit hingga sosok raksasa itu muncul dari balik kepulan asap.

Tidak ada suara yang keluar dari mulutku yang membuka lebar. Tidak ada kedipan dari mataku yang terpaku. Aku hanya bisa terperangah dengan bodohnya di hadapan kapal udara terbesar yang pernah kulihat seumur hidup. Angin dari empat baling-balingnya berembus kencang, menerbangkan debu, meniup tiap helai rambut di kepalaku saat perlahan mendekati tanah.

Perih menyengat mataku ketika sihir kuat terasa di udara. Kilau merah yang tadi kulihat bukanlah warna badan kapal. Itu warna sihir yang menyelimuti kapal. Warna sihir merah-hitam yang sama pernah memancar dari pemuda yang kutolong ini. Kapal penyihir, tadinya aku ingin memutuskan demikian, tapi ketika kapal udara itu semakin dekat, mataku menangkap bendera hitam kecil yang berkibar di dekat bagian ekor.

Aku terkesiap. Bendera warna hitam adalah tabu dipasang pada bagian apapun karena warna itu hanya berlaku bagi satu golongan, sekelompok orang yang selalu membuat masalah, selalu membuat kekacauan dengan motif kesenangan semata, dan menumpahkan darah seenaknya. Setiap kepala mereka dihargai sangat tinggi oleh seluruh pasukan militer di negara manapun di dunia.

Perompak.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro