Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

59. Menyusup ke Dalam Kapal

Dengan jengkel, aku menatap Edward dan Suri yang berjalan mengikuti kami berdua di belakang. "Kalian ikut juga?"

Setelah mendengar pertanyaanku, Edward langsung kelihatan jengkel seketika. "Tentu saja." Edward menjawab dengan sangat yakin.

"Kita sudah bertemu, tidak mungkin berpisah lagi kan?" Di belakang Edward, Suri menimpali.

"Kalau kalian merepotkan, aku akan langsung meninggalkan kalian berdua." Azran menggerutu kesal di sampingku.

"Dan aku akan meninggalkanmu." Aku menimpali dengan ketus, langsung membuat langkah Azran semakin cepat meninggalkan kami di tengah jalan-jalan sempit di kota.

Dengan menyusup ke beberapa mobil pengangkut dan kereta kuda, kami berempat dalam perjalanan cepat menuju pelabuhan udara, berlari di bawah hidung para penyihir sambil terus bersembunyi dari radar sihir para Garda Serikat berseragam hitam-emas yang kami temui hampir di setiap jalan ramai di dalam kota.

Kepalaku terasa pening sepanjang jalan karena harus menahan gejolak kekuatan sihirku yang tidak mau tenang. Ada terlalu banyak sihir bebas di udara. Aku juga sebenarnya tidak ingin membiarkan semua energi sihir itu berkeliaran bebas tanpa dimakan sama sekali, tapi saat ini kami sedang bersama Azran. Di tengah semua sihir ini, aku sulit mengendalikan sihir sendiri jadi aku tidak mau ambil risiko sihir Azran ikut termakan. Kehilangan sihirnya yang mungkin nanti akan berguna bisa jadi kehilangan besar bagi kami semua di sini sekarang.

Setelah jauh berlari dan menyusup menuju pelabuhan udara, perubahan gaya rumah mulai terlihat. Kami berangsur-angsur meninggalkan area kota yang penuh dengan rumah tinggal dan tiba di area yang dipenuhi tanah kosong dengan padang rumput luas membentang dan langit biru tanpa ada satu pun bangunan yang menghalangi. Suara perkotaan menghilang di kejauhan, berganti dengan suara bising mesin dan baling-baling kapal udara yang berlalu lalang di angkasa yang bersih. Langit yang biru dan sepi perlahan tapi pasti berubah dipenuhi belasan kapal udara yang berlalu lalang memenuhi langit dalam berbagai ukuran. Entah mana yang kapal udara sipil dan mana yang kapal militer.

Tiba-tiba Azran menarikku. Menggenggam tanganku dan menarikku ke dalam bayangan jalan sempit yang gelap. Suri dan Edward mengekor dengan cepat di belakang. Sihir Azran mengalir dengan cepat. Sulur-sulur energinya merambat dengan cepat seperti lusinan benang yang hidup, bergerak semakin tinggi, semakin mengeruminku.

"Lepas!" Tanganku yang jelas tidak membalas genggamannya, memberontak. Tapi jari jemari Azran yang kuat tidak membiarkanku. Demi Langit, ia bahkan tidak menggunakan sihir sedikit pun dalam hal ini. Murni kekuatan fisik.

Sial. Jalinan benar-benar harus kembali utuh.

"Aku bilang lepas!"

Kali ini aku benar-benar berhenti dan menarik tanganku darinya.Tapi Azran justru semakin mengencangkan tangannya.

"Aku bisa jalan sendiri--

"Tidak." Azran berbalik dengan cepat, menarikku hingga wajah kami nyaris bersentuhan. Napas hangatnya jatuh di wajahku. Selama sesaat, matanya terbuka seolah tidak menyangka jarak di antara kami akan sedekat ini, tapi kemudian ekspresinya berubah dingin. "Aku tidak akan melepaskanmu." Suaranya berubah pelan. Nyaris seperti bisikan. "Tidak lagi."

Mata Azran segera berpindah ke belakang kami. Ia langsung berpaling. Aku menoleh ke arah yang tadi ia pandang, melihat Edward mendelik mematikan ke arah Azran sementara Suri curi-curi pandang ke arah lain. Sama seperti Azran, Edward tidak repot-repot bersuara dan langsung berpindah haluan ke arah jalan raya yang membentang di hadapan kami. Jalan yang penuh dan ramai oleh mobil barang dan kereta-kereta kuda pengangkut barang.

Manusia-manusia tanpa sulur sihir berdiri di balik kursi-kursi kusir. Beberapa yang tidak begitu beruntung harus mengikuti para majikan penyihir mereka membawa barang yang jauh melampaui kemampuan mereka. Beberapa lagi yang nasibnya jauh lebih tidak beruntung, harus melakukan bongkar muat.

Keningku berkerut dalam. Ada sesuatu yang aneh. Nyaris tidak terlihat dan mungkin tidak akan aku gubris seandainya kami berpergian dalam keadaan yang lebih mendesak, tapi saat ini, ketika waktu dengan anehnya tampak melambat, aku memerhatikan detil kecil yang nyaris terlewat, mulai dari pakaian yang sama dan seragam yang dikenakan para budak, tubuh para kusir yang tidak sedikit pun dipenuhi bilur cambuk sihir, hingga seseorang dengan dua lengan besi yang sesekali mengintip dari balik bagasi kapal udara melakukan bongkar muat bersama para budak yang walau masih tetap kurus dan tampak tidak terawat, masih tampak jauh lebih besar dan terawat dibanding budak-budak di London.

"Ada android...." gumamku. "Di lapangan udara?"

Seorang androir muncul di dekat kami. Tangan besinya yang dilengkapi cahaya merah menyala di sepanjang lengannya, memberi komando pada salah satu kapal udara yang hendak bertolak. Beberapa penyihir memang memandangnya sinis, tapi sebagian besar bahkan tidak repot menoleh ke arahnya.

"Bukan hal aneh di sini." Edward menyahut. "Kudengar Sultan sejak dulu tidak menentang—mendukung, bahkan—pengembangan automaton dan organ prostetik di Istanbul."

"Dan semakin kencang saat Sigmon menjabat sebagai tangan kanan Sultan," Azran menyahut.

Oh.

Itu sesuatu yang baru. Biasanya aku hanya akan mendengar kejatuhan sebuah negara saat penyihir ikut andil dalam pemerintahan. Seperti yang terjadi pada keluarga kerajaan Inggris sebelum Gelombang Sihir Pertama menyapu daratan. Sudah terlambat bagi mereka menyadari ketika salah satu bangsawan di dalam Bungkingham Palace ternyata adalah raja klan Therlian.

Seseorang tiba-tiba terjatuh di lapanngan udara sana. Semua barang yang ia bawa berhamburan. Sihir bergejolak di udara.

"Apa yang kau lakukan, Tolol?!" Sang penyihir majikan mulai mengomel. Suara pria itu bergema hingga ke tempat kami berdiri. Sihirnya meraung marah dan aku bisa merasakan aliran angin ikut berubah di sekeliling kami.

Aku sudah menduga akan ada cambuk sihir yang dipecutkan atau minimal hukuman dalam bentuk sihir dijatuhkan untuk kecerobohan fatal semacam itu. London tidak akan membiarkan satu pun barang penyihir-penyihir mereka terkotori debu jalanan.

Tapi ketika aku sudah menyangka akan ada darah tumpah, orang-orang di lapangan udara—enam totalnya—justru menghampiri budak itu dan membantunya merapihkan barang dagangan yang terserak. Tanpa kata, tanpa suara, mereka membersihkan apa yang mampu mereka bersihkan, mengumpulkan, dan membawa semua peti-peti kayu itu ke dalam salah satu kereta kuda besar.

"Aneh." Sekali lagi aku menggumam. Tanpa sadar menyuarakan kepahitan yang aku rasa. "Tidak melihat seseorang mengayunkan cambuk sihir untuk kesalahan semacam itu, rasanya benar-benar aneh."

"Aku tahu," Edward menyahut. "Sigmon penyihir paling gila dan mencurigakan. Aku tidak nyaman ada di luar sini berlama-lama karena keanehan ini."

Mataku tertuju beberapa lama ke atas kereta kuda itu. Menyadari sihir yang menyelimutinya. Sepasang peri terbang di sekeliling kereta kuda itu. Salah satunya bahkan melihat ke arahku dan terkikik sendiri.

"Sigmon menetapkan larangan penggunaan cambuk sihir selain kepada kriminal kelas berat yang sudah menghilangkan nyawa orang lain." Azran bersuara di sebelahku.

Saat itulah aku memerhatikan, sesuai kata-kata Azran, tangan-tangan para budak yang kurus tak terawat itu tidak sedikit pun terisi bilur-bilur mengerikan bekas cambuk sihir. Mereka mungkin sama kurus, dekil, hitam, dan masih mengenakan tanda seragam yang melekat di baju mereka sehari-hari, tapi bekas hukuman sihir sama sekali absen dari tubuh mereka.

"Hanya cambuk sihir." Edward mengingatkan dengan ketus. "Tapi membuat mereka membunuh diri sendiri masih dibolehkan."

Azran menghela napas. "Bahkan Sigmon pun tidak bisa menghapuskan rantai tradisi perbudakan yang sudah mendarah daging."

Edward mendengkus. "Ada juga yang tidak bisa kalian lakukan rupanya."

"Kau tidak akan tahu." Kemudian mata Azran terpaku di satu titik. Aku mengikutinya, tepat ke arah satu kereta kuda yang berjalan pelan dengan setumpuk peti kayu di dalamnya. Aku bisa melihat beberapa lembar kain keluar dari dalam peti-peti kayu itu.

Sekali lagi, sihir menyelimuti kereta kuda itu dan sepasang makhluk yang mirip manusia kerdil duduk di atas tudung kereta.

Tanpa aba-aba, Azran langsung menarik tanganku. Edward dan Suri sekali lagi mengekor di belakang sambil menggerutu. Sihir di tangan Azran kembali bergejolak dan kali ini aku kena sial karena harus berada paling dekat dengannya. Mataku berdenyut sakit, memaksa untuk menutup karena tidak tahan, tapi aku yang keras kepala memaksa untuk membuka mata, menahan perih yang menyengat.

Diam-diam, luput dari pandangan mata siapa pun, Azran mengalirkan sihirnya ke arah kereta kuda yang berjalan perlahan itu.

Sihirnya berubah menjadi asap hitam yang bergerak dengan cepat menyelimuti kereta dari bawah.

Dalam sekejap, dua makhluk yang duduk di atas sana pergi dari tempat mereka berjaga.

"Sekarang waktunya." Azran lantas berlari menarikku dan melompat. Sihirnya kembali berkobar. Angin berembus di sekeliling kami, mengangkat kami tepat ke dalam kereta kuda yang berjalan itu.

***

"Hei, apa yang kau lakukan?" Edward bersuara tiba-tiba di dalam kereta kuda yang tengah kami susupi.

Suaranya tidak pelan, tapi karena kami sedang dalam perlindungan sihir hitam Azran, suara kami tidak terdengar oleh sais yang duduk di depan kereta dan pendampingnya. Sepertinya tidak ada yang peka terhadap sihir di dalam kereta kuda ini, jadi sampai sekarang kami tidak ketahuan.

Di tengah-tengah kereta kuda yang dipenuhi banyak kotak kayu, Azran mengacak-acak salah satu isi kotak yang ternyata berisi banyak sekali kain.

"Aku mencari pakaian yang bisa digunakan untuk menyamar," jawab Azran tanpa berpaling dari kain-kain yang ternyata pakaian itu.

Edward protes sementar Suri dan aku diam saja. Jika mengingat Azran sempat melawan Sigmon dan raja klan penguasa benua Asia itu sudah menyadari kehadian kami di wilayahnya, pencegahan ini memang perlu dilakukan.

Aku segera bergabung dengan Azran dan mulai memilah-milah isi kotak yang lain dan menemukan sekumpulan baju budak yang usang yang banyak di antaranya sudah sobek dan tidak berbentuk lagi. Satu ide yang tidak menyenangkan lantas melintas di pikiranku.

Dengan enggan, aku mengambil tiga baju kumal berwarna coklat. Polos, lembab, dan berbau pekat keringat yang entah sudah berapa lama tidak dicuci. Hanya Tuhan yang tahu berapa banyak kutu yang bersemayam dalam pakaian ini dan kami tidak punya waktu memikirkannya.

Kutarik tiga baju budak dari kotak itu dan memperlihatkannya pada Suri dan Edward, mengundang sorot ngeri dari mereka berdua. Ada beberapa tali leher di dalam peti juga, tapi aku tidak perlu memberitahukannya pada Edward dan Suri. Tali leher atau tato atau tanda apa pun hampir pasti selalu hadir setiap kali ada baju budak tersedia. Hampir seperti satu pasangan yang tidak bisa dipisahkan.

Hampir seolah kami memang tidak punya pilihan selain mengakui identitas kami yang sebenarnya.

"Tidak ada pilihan lain, Kawan." Aku berkata, hampir menyesal dengan kata-kataku barusan.

***

Kami keluar dari kereta kuda setelah dengan berat hati membuang pakaian lama kami. Sayang, tapi memang itu yang diperlukan jika ingin menyamar dan tidak terlihat. Aku, Edward, dan Suri berpakaian seperti budak, mendadak terjebak dalam nostalgia yang sama sekali tidak menyenangkan.

Ternyata di sini pakaian budak sama saja dengan Inggris: bentuknya satu setel pakaian kusam yang lebih mirip sarung bantal dilubangi alih-alih pakaian, sama-sama lembab dan bau, sama-sama gatal dan pengap. Untungnya aku menemukan tiga pakaian yang agak kebesaran, jadi kami masih bisa menyembunyikan senjata di balik baju ini.

Tapi tentu saja jika ada pemeriksaan yang melibatkan pemeriksaan tubuh juga, dapat dipastikan kami akan ditolak dan langsung diinterogasi. Dan interogasi tidak pernah berakhir dengan pembebasan.

"Dan kenapa kau tidak mengganti bajumu sendiri?" Edward bertanya dengan jengkel melihat Azran masih serapi semula, tak ada satu setel pun pakaian yang lepas dan diganti dari tubuhnya.

Kuakui aku sendiri cukup jengkel dengan kenyataan ini karena dialah yang pertama kali mengacak-acak kotak dan mencari-cari pakaian di dalam kereta kuda itu tadi.

"Aku bermaksud mencarikan pakaian buat kalian. Aku tidak butuh baju ganti," jawabnya tanpa sungkan sama sekali.

"Aku punya perasaan kuat kita akan main sandiwara klasik membosankan itu lagi di sini. Kau berperan sebagai majikan dan kami berperan sebagai budak." Edward mendecih sambil mendelik Azran yang dengan teliti mengawasi jalan di luar.

"Memang itulah rencananya." Sekali lagi Azran mengakui tanpa malu.

"Kau perompak, mereka pasti punya selebaran tentangmu." Edward menyahut, masih tak terima rencana Azran.

"Aku bisa menggunakan sihir hitam." Azran menjawab dengan wajah tak acuh sama sekali.

"Dan?" Edward, alih-alih terkejut mendengar pernyataan Azran yang bisa menggunakan sihir hitam, malah kelihatan semakin marah. "Kau pikir Garda Serikat atau seseorang yang peka terhadap penggunaan sihir tidak akan ada di sana?"

"Aku punya jalan keluar untuk masalah itu."

Edward mendengkus. "Dan apapun jalan keluarmu itu, berani taruhan seluruh nyawa, aku tidak akan menyukainya."

"Aku bertaruh padamu kalau begitu." Edward tampak puas mendengar jawabanku, senang karena kali ini kami bisa sependapat, sementara Azran mendengus kesal. Apapun rencana seorang perompak, kami tidak akan pernah menyukainya, terutama kalau perompak itu juga penyihir.

"Tapi hanya ini satu-satunya cara untuk tidak mencolok." Suri mengimbuhkan dengan suara berat, tak punya daya melawan rencana ini meski sama-sama tidak suka.

Menyebalkan memakai pakaian ini lagi setelah terlepas darinya selama tiga tahun, tapi, seperti kata Suri, kami tidak punya banyak pilihan baju. Pakaian mencolok hanya membuat kami tampak seperti perompak. Tapi berbaju budak tanpa ada penyihir yang menemani sama saja menyatakan kami adalah budak yang kabur dari majikan.

Setelah menerima keadaan baju dengan berat hati, sekali lagi kami bersembunyi di jalan sempit setelah berjalan dan menyelinap seperti pencuri jalanan yang dikejar scotland yard. Tanpa suara, kami mengamati jalanan yang penuh oleh berbagai kereta dan mobil pengangkut berisikan banyak sekali barang. Kami bisa saja menyelinap ke salah satu muatan itu, tapi ada pos pemeriksaan tepat di depan masing-masing kapal yang memeriksa hingga sampai ke muatan-muatan dan para penumpangnya. Masuk ke sana sama saja bunuh diri buat kami.

Di kejauhan, para budak yang memakai pakaian sama dengan kami bertiga berjalan patuh satu langkah di belakang para majikan mereka yang berpakaian rapi dan mahal. Dengan kepal tertunduk, mereka membawakan belasan koper dan baju yang melampaui kapasitas tangan mereka untuk menampung. Kaki-kaki ringkih manusia-manusia itu tampak gemetar, tak tahan menanggung beban tapi tetap memaksa untuk berdiri.

Sungguh aku pun masih sering tertawa melihat pemandangan ini. Kami ada di luar, bisa saja kabur, bahkan sangat sanggup untuk kabur, tapi tidak ada satu pun dari budak itu yang keluar selangkah saja dari barisan karena takut ancaman sihir.

Sadar terlalu tenggelam dalam pikiran soal budak, aku segera menyadarkan diri dan kembali mengamati pos pemeriksaan yang mulai sepi dari antrian.

Aku bergidik ngeri dan langsung siaga saat melihat seragam hitam para penyihir yang memeriksa para mobil dan kereta kuda yang naik ke setiap kapal udara. Pinggiran seragam hitam mereka bersepuh emas, mirip seragam para Garda Serikat. Mungkin mereka memang Garda Serikat.

"Mereka kemungkinan sudah hapal wajah orang-orang yang mereka incar." Aku bergumam, bermaksud mengingatkan Azran akan kenyataan jelas yang sudah dikatakan Edward sebelum ini, bahwa wajahnya mungkin sudah memenuhi poster buronan paling dicari di beberapa negara, mengingat posisinya sebagai kapten Black Mary ... sebelum kapal dan para awak itu meninggalkannya sendirian di sini, maksudku.

"Itu bukanlah hal yang harus dikhawatirkan."

"Kalau begitu, cepat lakukanlah!" gerutu Edward. "Sungguh, kau ini perompak atau bukan? Kenapa kami harus naik ke kapal lain dan bukan kapalmu?"

"Karena aku ditinggalkan, Idiot!" Azran berbalik, mendelik ke arah Edward dengan sorot mata dingin penuh nafsu membunuh yang jarang-jarang terlihat dari wajahnya. "Sekali lagi kau mengeluh, akan kukeluarkan sihir yang membuatmu mencabut lidahmu sendiri, kau paham?!"

Gelombang sihir lantas keluar dari tubuh Azran. Dengan cepat, kekuatan sihir itu berubah menjadi asap hitam pekat yang langsung menyelimuti tubuh sang penyihir. Aku tidak bisa melihat apapun di balik sihir hitam yang pekat itu, tapi mendengar suara napas Suri yang tertahan sepertinya memang terjadi yang menarik di balik asap ini.

Tidak butuh waktu lama, sepasang lengan yang panjang, lentik, dengan kuku-kuku berwarna merah cantik keluar dari balik asap gelap itu. Dua detik kemudian, satu ujung gaun tampak berdesir di tanah, tertiup angin yang bertiup dan memudarkan asap dengan cepat.

Dari balik asap energi sihir, bukan sosok penyihir laki-laki bernama Azran yang aku lihat, melainkan sesosok wanita cantik, maksudku wanita muda yang benar-benar cantik.

Aku pernah melihat sihir hitam Azran mengubahnya menjadi sesosok pria buruk rupa dan sempat bertanya-tanya, benarkah sihir hitam yang biasanya digunakan untuk mengutuk dapat digunakan untuk mengubah penampilan seperti ini. Sekarang aku sudah melihat prosesnya sendiri bahkan menyaksikan sihir hitamnya mengubah jenis kelamin Azran menjadi perempuan. Parahnya, bukan hanya perempuan, tapi juga wanita yang sangat cantik dengan tubuh molek memesona idaman semua wanita di Inggris.

"Aku benci sihir yang ini." Edward bergumam di belakangku.

Sejujurnya aku juga benci karena sihir ini bisa memanipulasi penampilan seseorang sampai menjadi demikian sempurna jelek maupun cantiknya, tak tampak di mata manusia manapun dan tidak bisa kumakan semua sihirnya. Dengan kondisi normal Azran saja, aku tidak bisa memakan sihir hitam yang menyelimuti tubuhnya, apalagi kondisinya yang sekarang sudah terbuka sebagian segelnya seperti sekarang ini.

Tapi harus kuakui, penggunaan sihir seperti ini luar biasa, seperti kata Will.

Wajah maskulin dan tubuh tegap Azran lenyap, pun dengan kemeja dan celana panjangnya. Sebagai gantinya, di tempat Azran kini, berdiri sesosok wajah feminim dan tubuh langsing seorang wanita dalam balutan gaun hitam panjang yang mengembang dari pinggang ke bawah. Berbeda dari saat aku melihatnya berubah dari pria buruk rupa ke wujud aslinya—ketika baju yang Azran kenakan masih sama, hanya saja tampak kebesaran di sosok aslinya—di perubahannya yang sekarang, aku tidak melihat sisa kemeja hitam maupun celana panjang yang tadi ia kenakan. Seluruh tubuhnya tertutup gaun hitam mewah dengan banyak pita, lipatan, bagian menyempit di bagian pinggang seperti memakai korset, dan tidak lupa bagian depan gaun yang cukup rendah.

Dia benar-benar berganti jenis kelamin.

Dan aku yakin tidak akan ada pria yang dapat menolak sepasang mata emas berpendar yang dibingkai bulu mata nan lentik, wajah putih mulus, bibir yang merah merekah, dan rambut hitam yang digelung, menampilkan leher jenjang yang putih mulus itu. Jangankan menolak, berpaling pun aku yakin mereka tidak akan sanggup.

Tentu saja jika pria-pria itu bisa mengabaikan begitu banyaknya sihir hitam di sekeliling sang wanita cantik ini.

"Kau tahu para pemeriksa tidak akan bisa ditipu dengan sihir kan?" Edward mencebik.

Mata emasnya melirikku. "Karena itulah ada kau."

Setelah sempat tercengang mendengar suaranya yang juga ikut berubah feminim, aku segera menyadarkan diri. "Kau ingin aku menghilangkan sihir para penyihir yang memeriksa kita sampai mereka tidak bisa merasakan sihirmu." Senyum Azran merekah, menyetujui pendapatku dalam diam. "Tapi sepertinya menghilangkan sihirmu tidak termasuk dalam rencana kan?"

"Sudah kubilang aku punya rencana kan?" Azran tersenyum, terlihat angkuh dan anggun di saat yang sama.

"Dengan kata lain ... kau melemahkan sihir mereka agar bisa mengelabui penglihatan mereka tanpa ada yang pernah sadar?" Suri menyimpulkan.

Senyum Azran merekah semakin lebar. "Bukankah itu terdengar seperti latihan yang bagus bagi Alto mengendalikan kekuatannya?" ujarnya, jadi terdengar sangat menyebalkan dengan suara tinggi nan feminimnya yang baru. "Jika dia sampai ceroboh ikut menghilangkan kekuatanku juga, kita semua yang akan terkena masalah."

Penyihir sialan.

"Kau tidak lupa kita butuh tiket ke dalam kapal itu kan?" Edward mencibir.

Pendar di mata Azran menggelap. "Bukankah penumpang gelap sudah menjadi makanan sehari-hari para penumpang kapal?"

Edward mendesah tak suka. "Kalau begitu, kita doakan saja ada perompak yang mendadak menjatuhkan kapal itu."

***

Setelah menyamar, kami dapat bergerak dengan leluasa di sekitar pelabuhan udara tanpa harus bersembunyi di dalam bayangan lagi selagi Azran bertanya pada salah satu petugas pelabuhan mengenai kapal dagang yang akan berangkat ke Hindia-Belanda.

"Maaf, untuk kapal terakhir ke sana sudah berangkat hari ini." Pria kurus itu menjawab dalam bahasa Inggris beraksen aneh. Marah, aku melampiaskan energi sihirku padanya, kubiarkan memakan habis semua sihirnya tanpa sisa. "Beberapa jam lalu, kapal dagang itu berangkat. Cuaca di langit dekat sana belakangan ini sedang ekstrim di sana, jadi penerbangan malam dihindari untuk kapal dagang. Tapi untuk kapal sipil masih tersisa satu dan akan diberangkatkan sesuai jadwal sepuluh menit lagi." Dia menunjuk kapal besar yang sedang diparkir di pelataran kapal udara, tak jauh dari tempat kami berdiri.

Itu kesempatan kami, aku yakin itulah yang terlintas di kepala kami berempat.

"Terima kasih." Azran menjawab dengan bahasa Inggris yang sangat anggun.

Semuanya berjalan sesuai pencegahan yang dilakukan Azran sejauh ini. Berkat pencegahan itu, tidak ada satu pun dari kami yang ketahuan hingga detik ini meski sudah menunjukkan wajah di depan penyihir lain di pelabuhan udara.

Mungkin informasi soalku belum sampai ke sini.

Sepanjang jalan, aku melakukan seperti yang diperintahkan Azran, memakan sihir para penyihir lain diam-diam hingga tidak ada dari mereka yang punya cukup sihir untuk menyadari kami sedang bersembunyi di balik sihir. Tentu saja sihir Azran tidak termasuk sihir yang boleh kumakan, suatu hal yang sedikit sulit karena sihirnyalah yang paling dekat dan paling empuk dijadikan makanan energi sihirku. Sejujurnya aku tergoda untuk memakan sihirnya dan mengakhir sandiwara memuakkan sebagai majikan dan budak yang patuh ini, tapi risiko dari keteledoran kecil semacam itu terlalu besar untuk kutanggung di situasi kritis seperti sekarang.

Jadi dalam diam, kami berjalan menuju kapal sipil yang dimaksud, berpindah dengan tenang ke antrian kapal lain sambil tetap bersikap selayaknya barisan budak normal yang mengikuti seorang wanita anggun sambil berpikir sungguh mengagumkan bagaimana indera dan mata mereka berdua bisa ditipu hanya dengan satu sentuhan sihir kecil.

Sayangnya, saking terlenanya dengan semua rasa aman ini, tidak ada satu pun dari kami yang mencurigai keamanan rendah dari kapal sipil yang akan baru akan kami naiki ini.

***

Tadi ketika Azran bilang penyusup adalah hal yang wajar menjadi makanan para penumpang kapal, kupikir kami akan menyusup ke dalam kapal ini, tapi ternyata pada akhirnya kami datang dari depan, melewati pos pemeriksaan sebelum masuk ke dalam kapal.

Ini sama sekali bukan penyusupan. Ini masuk secara terhormat.

Selangkah di belakang Azran, kepalaku menunduk, tidak menatap siapapun secara langsung dan menyerahkan semuanya kepada sang penyihir-perompak. Sikap diam ini berhasil membawa kami melewati pos pemeriksaan dari depan, tepat di bawah hidung para penyihir itu tanpa pernah mereka sadari kebohongan di balik tingkah kami.

Selagi energi sihirku memakan sihir-sihir para penyihir lain yang terlalu dekat, aku menyadari energi sihir para penyihir terasa semakin banyak dari yang biasa aku hadapi. Biasanya dalam hitungan tidak sampai lima detik, sihir mereka akan habis tanpa sisa dinetralkan oleh energi milikku.

Namun sekarang dibutuhkan waktu hampir satu menit untuk memakan semua sihir mereka dan itu pun belum semuanya, padahal aku hanya menahan kekuatanku pada Azran tanpa menahan kekuatanku pada siapapun lagi.

Para penyihir benar-benar bertambah kuat.

Dan tidak hanya kekuatan yang bertambah. Kebanyakan penampilan fisik para penyihir sedikit berubah dengan kulit yang sedikit berwarna tembaga di sini, menjadikan Azran seperti patung porselen di antara patung-patung tembaga yang maskulin, dengan mata mereka yang tidak ada bedanya dengan mata hewan: memiliki pupil vertikal, alih-alih pupil bulat seperti layaknya manusia.

Kami tiba di depan kapal sipil yang dimaksud oleh petugas sebelumnya. Sekali lagi, kami berempat harus melewati pos pemeriksaan. Kali ini pemeriksaan tidak memakan waktu lama.

Aku sempat mendengar penyihir yang memeriksa kami menggumamkan sesuatu sebelum menyuruh kami bertiga masuk, sesuatu yang sayangnya terlalu pelan untuk bisa kudengar. Ketika aku melewati para pemeriksa, detak jantungku naik satu detak. Sihir hitam milik Azran memang ikut menyelubungi kami bertiga.

Untungnya sampai aku melewati para penyihir yang memeriksa, ketakutanku sama sekali tidak terbukti. Mereka tidak menghentikan langkah kami sama sekali sampai kami masuk ke dalam kapal sipil yang dimaksud.

Tapi tentu saja, seperti kapal lain yang digerakkan dengan sihir, kapal ini mengandung sihir yang sudah terasa di ujung anak tangga pertama, membuat mataku langsung berair sejak pertama kali menginjakkan kaki di rampion-nya.

Setelah masuk ke dalam kapal udara, kami berempat langsung mencari lorong paling sepi dan ruangan paling aman, yang tidak lain dan tidak bukan adalah lorong menuju ruang penyimpanan barang.

"Al, kau tidak apa-apa?" Edward berkata dari belakangku dengan cemas.

Aku mengusap pipiku yang basah. Seperti biasa, mataku kembali mengeluarkan darah. "Tidak apa-apa, Ed."

Kami terus berjalan dengan cepat, berusaha tampak senormal mungkin di antara para penumpang yang hilir mudik. Kuredam sihirku sampai ke tingkat maksimal yang aku bisa saat ini, hampir tidak keluar sama sekali, ketika banyak sihir yang mengintervensi dan mengelilingiku.

Kami tiba di satu pintu besi di area yang kurasa dekat sekali dengan ekor kapal karena bunyi baling-baling dan salura angin pembuangan panas terdengar kencang. Azran membuka pintu besi itu dan bau debu serta oli pun langsung menusuk hidung, membuat aku, Edward, dan Suri langsung mengernyit heran.

Aku mengintip dari balik bahu Suri, melihat jajaran mobil dan peti kayu tertata rapi di sebuah ruangan luas tanpa jendela yang terasa sangat pengap.

Kami tiba di bagasi kapal.

"Kalian bertiga sembunyilah di dalam." Azran menyuruh seraya berbalik, membiarkan kami masuk ke dalam sementara dia melangkah menjauh.

"Kau sendiri mau ke mana?" Suri bertanya.

"Menyelidiki keadaan," jawab penyihir itu sekenanya lalu tanpa banyak menggubris kami, dia pergi, berjalan sedikit lebih cepat dibanding ketika kami datang tadi. Dia terlihat terburu-buru sekali.

"Dia pergi." Suri menggumamkan fakta yang sudah kami ketahui, sarat akan kecemasan. "Bagaimana kalau ada yang memeriksa bagasi ini dan bertanya ke mana tiket kita?"

Tidak ada yang menjawab. Tidak ada satu pun dari kami yang punya jawaban bagus jika pertanyaan itu benar-benar diajukan. Tadi aku sempat melihat petugas pemeriksa para penumpang meminta tiket kepada para penyihir yang hendak masuk. Hanya di kapal ini yang tidak melakukan pemeriksaan tiket sebelum masuk.

Firasatku tidak enak soal ini. Ada sesuatu yang tidak beres.

Aku berbalik menatap kedua sahabatku yang sudah memasuki bagasi kapal. "Aku akan menyusulnya."

"Apa?" Tidak hanya Edward yang memekik kaget. "Kenapa kau mau menyusulnya?"

"Aku tidak percaya dia, Ed." Aku menyuarakan pikiranku keras-keras. "Aku akan memastikan dia tidak ke mana-mana. Kalian tunggulah di sana. Aku akan tarik dia kembali ke mari sesegera mungkin."

Suri tampak enggan, apalagi Edward. Tapi tetap saja dari mereka terdengar satu jawaban sama.

"Kembalilah dengan selamat."

Aku tersenyum kepada mereka berdua. "Aku titip Suri padamu."

***

-

A/N:

Sebenernya bab ini nanggung banget ya. Tapi saya suka memunculkan karakter budak dari benua lain. Kalau dari Asia, mereka kelihatannya hidup lebih baik dari negara Eropa ya. Tapi ini kan negara Asia yang tidak dijajah. Kalau yang dijadikan koloni seperti Hindia-Belanda hidup mereka seperti apa ya? Hm.....

Dan bagaimana dengan koloni di luar Eropa ya? Seperti di benua Afrika misalnya? Ah, menarik sekali. 

Apa sekalian saya update chapter selanjutnya ya? Mumpung lagi libur juga nih. Hm.....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro