57. Terikat Bersama Masalah
Penyihir satu ini benar-benar sulit dimengerti.
Dia sudah memberi jawaban padaku mengenai di pihak mana dirinya berada, tapi kemudian pernyataannya berubah total.
Tidak ingin aku berkorban nyawa? Apa maksudnya?
Sebelum aku sempat bertanya, tubuhku ditarik menjauh dari Altar. Tangan kananku yang masih menempel pada batu altar pun terlepas begitu saja.
Seluruh gelombang energi yang memenuhi kuil redup tak bersisa sama sekali saat itu juga. Lima lingkaran kuil yang tadi sudah menyala, sekali lagi mati, seperti sebelum aku menyalakannya dengan energi sihir. Ukiran di dinding kuil yang tadi sudah menyala, sekarang ikut redup total, membuang seluruh usaha kerasku tadi jadi percuma.
Tak perlu dikatakan lagi, sudah pasti aku memberontak. Aku sudah siap adu kekuatan dengannya jika perlu.
Namun anehnya, penyihir yang mendekapku erat dengan mudah melepaskan pelukannya pada pinggangku. Nyaris seketika itu juga saat aku menunjukkan gelagat akan melawan. Selama sesaat, aku pikir ritual ini bisa dilanjutkan dan segalanya akan selesai kembali. Tetapi alih-alih menunjukkan kekuatanku untuk berdiri sendiri, tubuhku malah limbung, tak sanggup mempertahankan keseimbangan. Kedua kakiku gemetar, tidak lagi bisa berdiri sendiri.
Kemudian aku pun sadar, tanganku masih ada dalam genggamannya. Spontan saja, aku mencoba melepaskan diri, mengakhiri kontak fisik apa pun dengannya detik itu juga.
Percuma.
Tenaganya terlalu besar, sekalipun meski masih berada di ruang yang sama denganku. "Lepaskan aku, Penyihir!" Aku mencoba memaki, tapi yang keluar dari mulutku hanya suara lirih yang menyedihkan, mirip orang sekarat.
Seiring dengan tenagaku yang semakin lama semakin sirna, perlawananku perlahan mereda. Pandanganku lantas berkunang-kunang, gagal untuk melihat dengan jelas ke depan, sementara kepalaku terasa sangat berat. Sekali lagi, lengan itu berhasil melingkari tubuhku. Tidak tinggal diam, aku mencabut bayonet milikku dari sarungnya dan mencoba memotong tangan lancang yang sudah berani menyentuhku itu. Tapi jangankan memotong, menikam pun gagal kulakukan.
Bilah besi itu jatuh begitu saja ke lantai ketika kedua tanganku terkulai lemas tanpa tenaga sama sekali dan napasku menjadi sangat berat.
"Kita akan keluar dari sini," bisiknya.
"Tidak." Tanganku berusaha mendorongnya, meski hasilnya nihil dan usaha itu malah memperparah kondisiku yang sudah benar-benar tak berdaya. "Aku ... belum selesai."
"Sudah kubilang, aku tidak akan membiarkanmu menyelesaikannya." Azran bersikeras.
Sekali lagi aku berusaha memberontak melepaskan diri dari pelukan paksanya namun lagi-lagi tidak ada hasil yang berarti. Usaha tambahan itu malah membuatku jatuh semakin lemah. Akibatnya penyihir itu dengan mudahnya mengangkat tubuhku dan menggendongnya seperti ketika kami berada di terowongan. Tanpa menyia-nyiakan satu detik pun, Azran segera mengangkatku dan berlari menaiki tangga.
Dalam gendongannya, aku masih berusaha memberontak, tapi pukulanku melemah menjadi pukulan payah yang mungkin hanya terasa seperti gelitikan di tubuhnya. Jika aku punya tenaga, mungkin aku sudah akan menggerakkan kakiku juga, tapi jangankan menggerakkan kaki, menggerakkan jari jemariku saja sudah hampir mustahil. Mulutku berusaha menjerit dan memberontak, namun bukannya berteriak, aku malah merintih.
"Kau ... benar-benar penyihir rendah," lirihku ketika wajah Azran perlahan tertutup titik-titik hitam yang semakin lama semakin banyak. Tangan dan kakiku berhenti melawan, sepenuhnya jadi bergantung pada penyihir ini.
"Terserah kau mau bilang apa, tapi aku tidak akan melepaskanmu." Cengkaman tangan Azran pada pundakku terasa semakin keras sebelum suaranya sendiri perlahan lenyap, teredam kesunyian yang ganjil.
"Kenapa kau mendadak mau sekali repot-repot?" Pertanyaan itu meluncur keluar begitu saja dari mulutku. "Aku ini wadah ... kekuatan di dalam tubuhkulah yang penting."
"Bagiku wadahnya juga tidak kalah penting."
"Lucu sekali." Aku tertawa masam. "Kata-kata yang sangat manis ... untuk orang serendah dirimu."
Segalanya tampak hitam putih di mataku sekarang. Warna-warna telah lenyap. Pendar emas mata perompak ini pun lenyap, rasanya seperti sedang melihat foto, hanya saja foto ini bergerak.
Energi sihir yang selalu tampak di mataku, kini lenyap, menyisakan hanya aula besar penuh ukiran yang berlalu dengan cepat di atas kepalaku, tidak ada lagi gelombang yang merambati dindingnya seperti tanaman. Aula itu segera pergi meninggalkan kami, berganti langit-langit yang lebih pendek tanpa ukiran yang seolah tanpa ujung.
Lucu sekali rasanya melihat segalanya polos tanpa energi sihir yang mengalir. Maksudku, seumur hidup aku selalu melihat gelombang sihir memancar dari tubuh semua penyihir yang banyak merambati dinding, tanah, bahkan langit hingga terbiasa melihat tidak ada bagian yang kosong dari energi sihir yang bocor. Aku sudah lupa dan tidak terbiasa lagi melihat segalanya tampak polos tanpa ada sedikit pun gelombang berwarna-warni yang memenuhi udara.
Entah kenapa, aku merasa rindu.
Meski hanya bisa melihatnya sebagai dua warna membosankan, meski segalanya tampak buram penuh titik-titik hitam yang tak berhenti hilir mudik dalam pandanganku, meski gendang telingaku bergemuruh oleh dengung rendah yang tak menyenangkan, dan suara menghilang sama sekali dari telingaku, pemandangan ini terlihat jauh lebih indah dari pemandangan sehari-hari yang biasa kulihat.
"Aku akan membawamu keluar dari negara ini dengan utuh. Aku bersumpah." Azran berkata sambil terus menatap ke depan. Wajahnya kelihatan gusar.
Aku tertawa lemah. "Kau terlalu banyak bersumpah," lirihku dengan suara yang kini terdengar parau di telingaku sendiri. "Kau bahkan belum menepati kesepakatan."
"Aku tidak akan mengkhianatimu." Dia mendelikku. Aku tidak bisa menilai pandangan matanya, tapi jelas ia marah. "Aku juga bersumpah untuk itu."
"Aku tidak mendengar...." Titik-titik hitam itu semakin tebal, semakin gelap, dan kepalaku semakin berat.
Aku berpaling dari wajah Azran dan hal terakhir yang aku lihat adalah segerombolan orang berseragam hitam datang menghampiri kami dengan wajah yang kelihatan sangat marah.
Mereka semua mengacungkan senjata dan dalam hitungan detik, menerjang kami secara bersamaan.
***
"Sudah kuduga Alto tidak akan aman berada di tanganmu!"
"Mereka Garda Serikat, mereka ada di manapun!"
"Kau harus cari alasan yang lebih bagus jika ingin lolos dariku, Penyihir!"
"Lalu apa? Dia bisa lebih aman darimu? Kau tahu wilayah di dunia ini yang tidak akan bisa disentuh Garda Serikat? Jangan bilang kau mulai memikirkan Tortuga!"
"Setidaknya aku akan bertanggung jawab atas nyawanya! Tidak sepertimu yang seenaknya membawanya kabur tanpa peduli keselamatan Alto!"
"Aku peduli dengan keselamatannya!"
"Dengan menariknya dari Altar sebelum dia sempat menyelesaikan tugasnya? Kau sudah menyia-nyiakan entah berapa usianya!"
Aku baru saja sadar dan perdebatan panjang tak berujung bak debat kusir adalah hal pertama yang aku dengar. Andai aku bisa ingat baru bermimpi buruk apa sampai harus menelan semua kebisingan ini di detik pertama aku tersadar.
"Hei, kalian berdua diamlah!" Ada suara tambahan lagi, kali ini perempuan. Tapi tidak seperti yang lain, perempuan ini cukup punya otak untuk tidak membuat suara yang lebih berisik dan hanya mendesis marah mirip ular.
Suara wanita ini terdengar familiar. Tidak hanya dia, sebenarnya, tapi suara dua laki-laki yang berdebat kusir tadi pun juga familiar.
Aku mencoba membuka mata, lega tidak ada cahaya yang terlalu menyilaukan masuk ke mataku dan segera membuka mata lebar-lebar. Aku mengerjap beberapa kali untuk membiasakan diri dengan cahaya dan menyerap semua pemandangan di depan mataku.
Wajah familiar sesosok gadis sebaya diriku muncul di atas wajahku. Warna kulitnya yang putih kelihatan sangat pucat dan mata birunya yang biasa riang kini berurai air mata. "Syukurlah kau akhirnya sadar!"
"Suri?" Kuharap sosok sahabat lamaku yang mendadak muncul entah dari mana ini hanya imajinasiku saja.
Lalu tepukan keras di kedua pipi yang kurasakan kemudian membuktikan bahwa ini bukan mimpi. Sama sekali bukan imajinasiku. Dia benar-benar Suri. Baiklah, pertama debat kusir, sekarang ada Suri.
Gadis itu menatapku dengan mata yang masih berair. "Tentu saja ini aku, Al. Astaga, Demi Bintang-Bintang!" Dia menghela napas lega. "Aku hampir mengira kau tidak akan pernah sadar!" Gadis itu menangis tersedu-sedu, untungnya kali ini tidak ada adegan peluk memeluk yang sudah pasti melibatkan pelukan sekuat tenaga darinya.
"Kau berharap aku mati?" Suaraku terdengar parau dan serak, tapi itu tidak menutupi kelegaan yang menyeruak dari dadaku.
"Siapa—tidak! Mana mungkin aku berharap kau mati!" Suri terlihat semakin pucat setelah aku menyebut kata 'mati'.
"Hanya bercanda." Aku menghela napas, menyadari tengah berbaring di atas permukaan keras yang membuat seluruh tubuhku kaku saat digerakkan.
Setelah terheran-heran, sekarang aku berubah tegang. Segera kutarik status lega yang hampir kucantumkan dalam benakku ketika menyadari ada sihir berwarna hitam pekat berwujud asap yang berputar-putar di atas kepalaku. Mataku kelihatannya sudah bisa melihat dengan normal lagi.
"Apa ada yang sakit?" Suri cepat tanggap, sepertinya menyadari keanehan gerakan tubuhku.
Aku beralih dari sihir itu untuk menatap sahabatku kembali. "Tidak." Aku duduk sambil berusaha terus berusaha terlihat tenang. Lalu aku menyadari kepalaku tidak lagi berat dan tubuhku tidak sakit, hanya terasa sangat kaku dan lebih lemah dari biasanya.
Aku lantas mengamati sekeliling, melihat tanah dengan banyak sekali dedaunan kering dan ranting kecil telah menjadi alas berbaringku. "Ini di mana?"
"Di hutan dekat batas luar kota Khardakk," Suri memberitahu.
Kutatap sahabat lamaku itu yang masih saja terlihat cemas. Mulutnya sudah membuka, tapi sebelum dia menanyaiku atau memintaku meminum yang aneh-aneh, aku mengangkat tangan ke udara, menyelanya saat itu juga.
"Kenapa kau ada di sini?"
"Menyusulmu, Adik Kecil Tolol!" Suara itu terdengar dari belakang Suri, membuat perhatian kami berdua berpindah ke sosok seorang pemuda berambut merah terang seperti warna daun musim gugur yang berdiri bersandar pada pohon dengan wajah luar biasa kesal. Di belakang pemuda itu, ada seorang pemuda lagi, yang memilih untuk bersembunyi, memalingkan mukanya dariku.
Tanpa banyak memedulikannya, aku menatap sang pemuda berambut merah. "Edward?" Kutatap dua orang itu dengan bingung. "Bagaimana kalian berdua bisa menyusul?" Sungguh, aku tidak berharap akan melihat siapapun di dekatku saat sadar, tapi di sinilah aku, dengan mereka berdua ada di sisiku.
"Kau pikir sudah berapa lama kita saling mengenal?" Edward menyahut dengan kejengkelan yang masih belum berkurang. "Setelah kau menghilang tiba-tiba, aku langsung bisa menyimpulkan tempat ke mana kau akan pergi karena Baba sudah memberitahumu di mana kuil di negara ini berada. Suri pun berpikiran sama." Edward memeloti pemuda yang sedari tadi terus bersembunyi itu. "Untung kami datang di saat yang tepat."
Aku mengernyit heran. "Apa maksudnya itu?"
"Kau tidak ingat?" Aku menggeleng, mengundang decak kesal Edward. Entah apa yang salah dari jawabanku barusan sampai dia terlihat semakin kesal. "Artinya kau sudah tidak sadar sejak pengepungan itu."
"Pengepungan?"
Edward mengembuskan napas keras-keras. "Kau dikepung belasan Garda Serikat. Mereka menunggumu keluar dari kuil," jelas Edward. "Tapi kau tidak perlu khawatir. Kita sudah berhasil lari jauh dari mereka."
"Itu tidak menjawab kenapa kalian pergi menyusulku." Aku berujar dengan sedikit kesal. "Ini tugasku. Kalian tidak perlu menyusulku kemari. Kalian tahu itu."
Baik Edward dan Suri tidak ada yang menjawab. Kurasa aku bisa menebak apa yang ada di pikiran mereka berdua, jika dilihat dari bagaimana bingungnya mereka menjawab pertanyaan tadi dengan kata-kata dan bagaimana mereka selalu bertukar pandang setiap beberapa detik.
"Baba dan yang lain bagaimana?" Aku mengalihkan topik.
"Kalau yang kau khawatirkan itu apa ada yang tewas atau tidak, jawabannya tidak. Semuanya selamat," jawab Edward mudah.
Jadi dia ingat guncangan sangat besar itu. "Tidak ada penyihir yang menemui kalian?"
Pertanyaan ini mengejutkan Edward. "Tidak," jawabnya, tapi tidak terlihat tenang sama sekali. "Apa ada penyihir?"
"Aku melihat belasan dari mereka berkumpul di luar air terjun. Dari seragamnya sepertinya mereka Garda Serikat," ungkapku, terheran-heran sendiri mendengar tidak ada serangan. "Tidak ada yang datang? Memangnya sejak kapan kau pergi dari desa?"
"Kami pergi lama setelah kau pingsan. Setelah matahari terbit." Itu artinya dia berangkat ketika aku tersadar dari pingsan pertama. "Dan sampai saat itu, saat aku keluar pun, tidak ada penyihir yang mengawasi."
Jadi mereka tidak pergi untuk menangkap para manusia di desa, kuduga. Itu ganjil sekali. Tidak ada penyihir yang mau membiarkan satu manusia pun merdeka, jadi tidak ada alasan mereka membiarkan orang-orang ini begitu saja ketika mereka sudah berada dekat sekali dengan perkampungan itu. Padahal raja mereka berniat menangkapku saat itu juga.
Mungkinkah penyihir sebanyak itu hanya untuk menyelidiki? Mungkinkah dia sebenarnya tidak tahu kalau ada sekumpulan manusia di balik air terjun?
Kalau begitu kenapa bisa ada dia dan Azran bertarung di luar gua?
"Apa yang terjadi selama aku pingsan, Ed?"
Edward agak tercengang menerima pertanyaan mendadak dariku itu, tapi kemudian dia memberi jawaban melegakan. "Tidak ada yang terjadi sebenarnya. Semua masih aman, kecuali memang sepertinya Jalinan semakin lemah karena goblin dan peri yang kami temui sepanjang jalan kelihatannya bertambah kuat," jelasnya. "Kau sendiri, kenapa kabur diam-diam dan tidak bilang apa-apa?"
"Aku harus pamit?" Aku bertanya dengan nada tidak percaya padanya. "Di luar desa ada monster yang mengincar untuk membunuh—
"Monster?"
"Kau tidak tahu?" Aku mengernyit heran. "Guncangan besar itu karena ada monster yang bertarung di luar air terjun."
"Err ... Al," Suri angkat bicara, terdengar sangsi. "Tidak ada monster di luar air terjun. Aku tidak melihat apapun di luar air terjun. Tapi kalau kau bilang ada monster yang bertarung, itu menjawab kenapa tidak ada kerusakan sama sekali di hutan meski ada guncangan besar yang menghancurkan tebing."
"Sihir waktu." Edward menimpali.
Jadi Sigmon menghilang entah ke mana dan Azran menyusulku. Luar biasa sekali bagaimana penyihir ini bisa menemukanku dengan mudah. Siapapun yang memulihkan semua kerusakan itu tidak penting, tapi kejadian itu membuatku menarik satu kesimpulan pasti.
"Mereka mengincarku," Aku menyimpulkan. "Dua monster itu, guncangan besar itu, karena mereka tahu aku ada di sini. Mereka tahu ada Lazarus bersama Black Mary dan kudengar Black Mary sudah ketahuan menyusup ke dalam negara ini beberapa hari lalu. Mereka pasti menduganya."
"Dari mana kau tahu?"Aku kenal tatapan itu. Suri sedang menuduhku menyalahkan diri sendiri.
"Makhluk itu nyaris mencabikku jadi tiga bagian, jika itu yang mau kau tahu, jadi aku cukup yakin dia memang mengincarku" jawabku enteng.
"Banyak monster yang memakan manusia, Al."
"Monster ini penyihir, Suri." Aku mendebat. "Kau seharusnya lihat ukuran mereka dan sihir yang keluar dari tubuh mereka!" Kenangan akan rasa sakit luar biasa itu muncul. Itu bukan rasa sakit terburuk yang pernah kualami, tapi tetap saja aku tidak bisa melupakannya.
Tidak lama setelah pernyataanku ini, gelombang sihir di sekitarku meliuk-liuk tak tenang, seperti gelisah.
Edward tampak berpikir keras. "Kau melihat gelombang sihir keluar dari dua monster itu?"
Aku mengangguk. "Dan ukuran mereka terlampau besar. Kau seharusnya lihat sayap-sayap mereka."
"Kalau kau yang melihatnya, ada alasan bagi kami untuk ragu." Edward mengiyakan dan aku langsung memelototinya. Tidak repot menyembunyikan fakta kalau aku tersinggung.
Sungguh, dia pikir aku sudah nyaris buta sampai tidak bisa membedakan monster dan Manusia?
"Ngomong-ngomong, bagaimana kalian berdua bisa membantuku lari dari belasan Garda Serikat?"
"Luin." Tiga suara menjawab bersamaan.
"Seekor Luinnandem berada di luar pemakaman, jengkel," jelas Suri. "Dia berusaha mengusir para penyihir yang menggeledah makam-makam dengan kasar. Luinnandem itu marah dan sudah satu kali menyerang kami sebelum kami ungkapkan tujuan kami kepadanya."
"Luin membantu kami cukup banyak ketika harus menyingkirkan para penyihir itu dari jalan kami," Edward mengimbuhi. "Tapi sebenarnya, yang membawamu keluar dari para penyihir itu ...."
Sahabat lamaku itu dengan enggan berpaling ke belakang, ke arah pemuda yang masih betah menyembunyikan keberadaannya dari kami semua dan belum mau menatapku.
Akiu tidak perlu jawaban lebih dari itu. Aku tidak mau tahu.
Sadar suasana kembali sunyi, Edward menatapku lagi, kali ini kelihatan kesal sekali. "Katakan sejujurnya padaku, Al, bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit? Apa kau sedang menahan sakit?"
"Tidak juga," jawabku jujur. Setelah merasa amat lemah sebelum pingsan dan masih merasa lemah setelah bangun, tapi sekarang aku sudah merasa benar-benar baik, tidak ada lagi rasa sakit tersisa. Meski harus kuakui tubuhku masih terasa sangat lemah.
"Jangan bohong," Edward bersikukuh. "Aku sudah dengar semuanya dari si brengsek ini, katanya dia menghalangimu dari memenuhi tugasmu. Dia bertindak seenaknya. Tidak hanya membuatmu gagal, dia membuatmu—
"Kehilangan umurku, entah berapa banyak." Ucapan ini membuat Edward dan Suri terpukul. Mereka berubah murung seketika. Mengejutkan bagaimana bisa aku merasa terganggu melihat wajah murung mereka ketika wajah murung orang lain dapat dengan mudah kuabaikan. "Kapan kalian berdua akan kembali ke desa?"
"Dan meninggalkanmu lagi? Tidak dalam mimpimu, Al!" Edward mencibir.
Suri merangkulku. "Kali ini kami akan bersamamu." Kemudian matanya melirik takut-takut ke arah pemuda yang sedari tadi bersembunyi di balik pohon seperti pengecut. "Dan mungkin sedikit ... err ... kau tahu, menjagamu dari ...." Suri mengerling pemuda di balik pohon.
"Daripada menjagaku, lebih baik kalian menjaga desa dan Baba. Bisa saja para penyihir itu datang kembali karena mengira aku masih ada di sana." Bukan maksudku mengusir mereka, tapi ini memang diperlukan. Mereka tidak akan bisa diusir dengan cara yang halus.
"Al ...." Suri menggenggam tanganku. "Kau akan mencobanya lagi?"
Rupanya rencanaku bisa terbaca dengan mudah. "Tentu saja."
Mata Suri berkaca-kaca. "Tapi ... kalau umurmu tidak cukup? Kalau kau ternyata gagal memulihkan Jalinan?"
Lagi-lagi pertanyaan ini. Lama kelamaan aku merasa mereka semua seperti sedang berusaha menguji tekadku. "Maka lebih baik aku mati setelah mencoba daripada diam dan menyesal karena tidak melakukan apa-apa." Aku mengulang jawaban yang pernah kukatakan pada Azran, yang sayangnya hanya membuat kesedihan di wajah Suri jadi berlipat-lipat ganda. "Lagipula ini tugasku sebagai Lazarus dan juga Penjaga Gerbang. Ibuku tidak menitipkan kekuatan ini padaku untuk disia-siakan begitu saja."
"Ingat saja," Edward mendelik ke arah Azran. "Kalau Alto sampai mati sia-sia, kau yang akan kubunuh selanjutnya, Penyihir." Dia bicara seolah-olah kematianku sudah pasti ada di depan mata. Walaupun memang kematiaku ada di depan mata, aku akan berterima kasih jika mereka tidak membicarakannya dengan begitu mudah di depan wajahku.
"Edward, aku tidak akan mati." Aku berusaha menghibur sahabatku itu, tapi seperti halnya yang terjadi pada Azran, Edward juga tidak mau menelan ucapanku sama sekali.
"Aku sudah belajar untuk tidak terlalu percaya pada keyakinanmu yang berlebihan itu, Al." Edward menolak pendapatku. "Kau bisa saja terlalu percaya diri."
Sepertinya aku tidak terlalu dipercayai lagi di sini. Berpaling dari Edward, aku menatap pemuda yang berdiri diam sedari tadi. "Karena kau sudah membiarkanku hidup, kau berkewajiban untuk bertanggung jawab, Azran." Pemuda yang berdiri di balik pohon itu masih saja belum merespon. "Setidaknya gunakan sihir waktu pada—
"Kau benar-benar suka bicara seenaknya." Itu kalimat pertamanya sejak diam beberapa menit lalu.
Kali ini Edward bahkan tidak menyela atau membelaku. Wajahnya, meski pahit, tampak menyetujui kata-kata itu.
"Sihir waktu itu sihir yang paling riskan dan yang paling rapuh. Salah menggunakannya pada benda apapun, bisa berakibat fatal, apalagi ingatan. Dan sihir waktuku ...." Azran terdiam sejenak. "Aku bukanlah penyihir waktu terbaik. Bahkan mungkin sihir waktuku bisa dibilang paling kacau dibanding yang lain. Kalau terjadi sesuatu dengan ingatanmu—
"Barang yang tidak digunakan, tidak akan ada artinya." Aku balas menukas. "Kau menyelamatkanku untuk menggunakanku di lain waktu, jadi jangan menyia-nyiakan itu. Lagipula, mungkin, aku bisa mengetahui sesuatu kalau ingatanku pulih."
Edward dan Suri tampak tidak mengerti apa yang kami bicarakan, tapi kelihatannya setidaknya mereka mendapatkan garis merah pembicaraan kami dan mereka sama tidak sukanya dengan Azran.
"Lalu, kalau ingatanmu pulih?" Azran bertanya lagi. "Memangnya apa yang mau kau lakukan?" ia menatapku seutuhnya sekarang. "Apa yang bisa kau lakukan?"
Karena Azran sudah tahu jawabannya, kurasa maksud pertanyaan itu bukanlah untuk mengetahui jawaban pertanyaanku sebelumnya. Dia sedang ,menyiratkan sesuatu.
"Apa ada yang sudah terjadi?" Aku bertanya pada Azran sebagai orang terakhir yang menggendongku dari kuil itu. "Yang kalian lewatkan dari penjelasan panjang kalian semua tadi?"
"Mereka hanya lupa menambahkan detail kecil yang penting," jelas Azran, menjeda sejenak ucapannya. "Kuil itu hancur."
Apa?
***
-
A/N:
Fakta lucunya, kisah ini adalah kisah saya yang paling banyak ngider. Eropa, lalu ke Asia, lalu ke Eropa lagi. Hadeuh, kalau bukan steampunk, saya kagak tau bakal nyertainnya kayak gimana.
Eniwei, karena ini puasa, mungkin saya akan up chapternya malem2 aja. Jaga2 kalau kalian ... gak kuat iman. Jaga-jaga biar kalian gak seenaknya mencaci siapa pun pas puasa gitu.
Yah, gak ngaruh juga kalau kalian baca ini pas puasa, sih tapi namanya juga usaha, ya kan?
Akhir kata, jangan lupa vote dan komentarnya! See you next chap!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro