56. Azran: Ketakutan yang Tidak Beralasan
Sekali lagi tubuhku bergerak di luar keinginan. Dulu aku menggenggam tangannya tanpa sadar dan sekarang berulang lagi. Sekali lagi aku menggenggam tangannya tanpa benar sadar.
"Ada apa?" Gadis itu menegur dengan wajah heran. Kemarahan tersirat di balik matanya yang, sedari memasuki jalan rahasia tadi, berubah menjadi hijau sewarna batu zamrud yang indah.
Ada apa, dia bertanya demikian. Sejujurnya aku juga mau tahu ada apa.
Aku pun ingin tahu kenapa tanganku bergerak sendiri sekali lagi. Aku pun ingin tahu kenapa ada dorongan aneh di dalam diriku untuk melarangnya pergi ke Altar itu, meski kenyataan dengan jelas mengatakan jika dia melangkah ke sana dan memperbaiki Jalinan seperti semestinya, tujuanku akan selesai.
Semua perjalanan panjangku selama ini akan selesai dengan sangat mudah.
Tapi aku malah menghentikannya ketika hanya tinggal satu langkah lagi, tinggal satu langkah kecil lagi saja.
"Kau mau ke sana? Menuruti begitu saja perkataan Luin? Tidakkah kau berpikir ini terlalu mudah?"
Aku tidak mengerti apa yang baru saja aku katakan. Kenapa aku bicara buruk soal Luin, kaum peri yang tidak pernah berbohong dan jelas-jelas berkebalikan dengan kaum kami yang licik?
"Menurutmu peri itu berbohong?" Dia bertanya dengan rasa penasaran yang tulus, yang selalu berhasil menggodaku untuk bermain ekspresi di depannya, berusaha berlaku lemah lembut seperti layaknya pria baik-baik yang sekaligus perayu ulung dan kemudian pelan-pelan memutar perasaannya sampai seluruh emosinya bergerak di tanganku, bergerak sesuai kehendakku, sama seperti wanita lainnya yang pernah kutemui.
Tapi untuk kali ini, hanya untuk saat ini, kekuatan dan niatanku untuk berbohong darinya benar-benar menguap tanpa sisa sama sekali.
"Kau mau begitu saja percaya pada perkataan makhluk yang begitu saja kau temui?" Sekarang pertanyaanku terdengar tolol sekali. Orang paling dungu sekalipun akan tahu aku sedang mengelak, lari dari topik yang tadi aku singgung sendiri.
Aku tidak seharusnya menghambat Alto seperti ini. Semua ini bukan urusanku. Risiko kematiannya jika berani mencoba menyalakan seluruh Altar di planet ini sama sekali bukan salahku. Dia sendiri yang mau, dia sendiri yang sudah tahu risikonya. Justru demi saat-saat sekarang inilah aku membelinya dan melindunginya susah payah.
Benar, aku membelinya untuk melihatnya mati. Tidak ada alasan lain bagiku untuk menghambatnya apalagi menghalanginya dari melangkah menuju Altar di bawah sana.
"Aku pandai meragukan orang lain." Dia menatap nanar tanganku yang sudah lancang menggenggam pergelangan tangannya. Tanpa ragu Alto menepis tanganku dengan kasar. "Tapi aku tidak pandai mencurigai orang lain, apalagi menuduh mereka."
Tanganku sudah sering melepas maupun dilepaskan wanita lain dengan mudah, sudah seringkali ditepis dengan cara lebih kasar daripada ini, dengan cara yang lebih rendah, bahkan tak jarang disertai tamparan keras. Ini hanya tepisan biasa, sama sekali tak sakit.
Tapi entah kenapa, kekosongan yang menyeruak di dadaku ketika pergelangan tangan mungil itu lepas dari genggaman tanganku, sama sekali tidak bisa diabaikan.
Rasanya benar-benar hampa, seakan ada sesuatu yang penting yang baru saja lepas dari genggaman tanganku tanpa aku pernah sanggup untuk meraihnya kembali.
Dan kehampaan ini rasanya menyesakkan. Meski ada yang hilang, aku malah merasa dihimpit dari berbagai arah sampai rasanya sulit sekali untuk sekadar menarik napas saja.
"Kau ini hanya seorang diri. Kau tidak akan bisa menyalakan seluruh Altar di seluruh dunia ini." Aku memperingatkan dengan suara yang, ironisnya, mulai terdengar putus asa.
"Aku tidak peduli hal itu sekarang," jawab Alto tenang, melanjutkan langkahnya yang tertunda. "Jika kondisi tidak semendesak sekarang, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk mencari kemungkinan Lazarus lain, tapi Jalinan tidak akan menunggu. Lagipula tidak ada salahnya mencoba."
"Kau tahu tidak ada kata mencoba di Altar itu!" Suara putus asaku berubah menjadi hardikan keras yang justru malah memperkuat kesan putus asa dalam suaraku. "Sekali kau ada di sana, nyawamu akan terus berkurang. Jalinan itu adalah sihir waktu, dia punya konsep yang sama dengan sihir waktu. Sekarang kau sedang berada di ujung tanduk, apa kau sadar?"
"Aku sadar," jawabnya enteng.
"Kalau begitu kenapa?"
Langkah gadis itu sekali lagi berhenti ketika dirinya sudah sampai di ujung anak tangga. Kepalanya kembali memandang ke atas, tepat ke arahku. Wajahnya masih tanpa ekspresi tapi alisnya sedikit turun, menyiratkan rasa heran.
"Hari ini kau jadi banyak sekali bertanya," keluhnya dengan wajah serius sebelum mengembuskan napas dengan kasar. "Aku bukannya tidak sadar nyawaku sedang dipertaruhkan di sini. Aku sepenuhnya sadar akan hal itu, tapi ini tanggung jawabku. Ini sudah menjadi tugasku. Justru aku yang seharusnya bertanya kenapa kau jadi sangat ribut. Kenapa alasanku jadi penting untuk ditanyakan? Apa kau tiba-tiba berubah pikiran dan tidak jadi membiarkan Jalinan diperbaiki?"
"Jangan salah paham!" ketusku yang malah terlihat seperti dalih menyedihkan seorang pencopet di pasar. "Aku hanya tidak pernah melihat manusia segegabah ini seumur hidupku!"
Kali ini Alto terdiam. Wajahnya menyiratkan keterkejutan. Bukan sesuatu yang akan kunikmati di saat normal, tapi ketika kami di persimpangan dua pilihan krusial dan aku berhasil membuatnya bimbang, entah apa yang terjadi, tapi itu menyenangkanku.
Gadis itu perlahan berputar, memandang ke arah Altar kembali. "Aku tidak punya keluarga, kau tahu," gumamnya. "Aku pernah berpikir untuk menjadikan ini ajang balas dendam pada kalian, penyihir, tapi tidak lagi. Tidak setelah aku mendengar ada banyak sekali nyawa yang terbuang hanya karena menolongku dan adikku, semua untuk tujuan ini."
Dia terdiam sejenak.
"Nyawa mereka semua ada di pundakku. Ini sudah tugasku."
Tugas? Dia ini bodoh atau otaknya luar biasa lambat bekerja? Itu bukan tugasnya. Tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi tugasnya. Aku dan orang-orang licik sepertikulah yang seenaknya membebankan tugas menyelamatkan dunia di pundak gadis sekecil dirinya.
Tapi apa peduliku? Dia sudah mengatakan jawaban yang aku inginkan. Dia sudah mengungkapkan alasannya. Tidak ada keraguan sama sekali dalam dirinya, itu bagus. Aku sudah mendapatkan alasan yang aku mau. "Alasanmu cukup masuk akal."
Dia memalingkan separuh wajahnya, memperlihatkan senyum yang baru kali ini ditujukannya padaku. "Baguslah. Kukira kau akan mengancamku jika berani meneruskan langkah ke Altar."
Aku mencebik. "Aku serendah itu di matamu?"
"Tidak, kau jauh lebih buruk dari sekadar rendah."
Kata-kata itu menghunjamku.
Tidak. Seharusnya tidak seperti itu. Tapi ini sakit. Dan rasa sakit yang ditimbulkan kata-katanya tidak langsung hilang.
Kenapa?
"Itu bukan ucapan yang pantas diucapkan kepada penyihir yang sudah bersumpah untuk tidak berbohong padamu." Aku mengingatkan budiku padanya, berpikir seharusnya dia merasa terhormat sudah menerima janji seperti itu dariku.
"Kau memang bersumpah, tapi kau perompak. Semua orang tahu, jangan percaya sedikit pun pada kata-kata perompak." Langkahnya semakin dekat ke Altar.
Aku terkekeh pelan. Suaraku yang terdengar menyedihkan bergema di seluruh altar. Tidak boleh percaya pada kata-kata perompak, katanya. Kalau begitu, artinya semua kata-kata dan kejujuranku yang menyedihkan tidak pernah ada artinya di matanya, termasuk sumpah yang mengikat lidah dan mulutku ini.
Keadaan ini benar-benar konyol.
Aku sendiri yang berimprovisasi di terowongan kala itu. Aku sendiri yang bersandiwara dan mempermaikan gadis ini bagai boneka tali temali di tanganku, sesuai siasat awal. Semua itu hanya bagian dari sekelumit kata-kata berlapis yang kugunakan untuk membuatnya menurutiku dan menjadi alat yang berguna, tidak lebih.
Alat, jika Alto memang alat, semua ini seharusnya wajar. Setiap alat pasti ada habis masa pakainya, begitu pun dengan dia. Ini tujuannya, tanggung jawanya, wajar saja dia mati di sini sekarang juga. Semua ini adalah kewajibannya, keharusan baginya, tidak ada yang perlu dihentikan. Aku pun memiliki tanggung jawab dan tugas yang tidak bisa dibuang walau apapun yang terjadi. Aku mengerti soal tugas yang tidak bisa dibebankan kepada siapapun ini, bahkan justru seharusnya akulah yang paling mengerti.
Kalau demikian adanya, seharusnya aku tidak perlu tersinggung seperti ini. Jika dia mati pun semua sumpahku tidak akan berfungsi lagi. Semua kejujuran yang sudah kusia-siakan akan mati bersamanya. Tidak akan ada artinya dan tidak akan ada yang tersisa.
Semudah itu saja.
Dengan kedua mata, aku menyaksikan Alto melangkah pergi ke Altar, tanpa keraguan, tanpa pernah berhenti, ataupun melihat ke belakang barang hanya sepersekian detik sekalipun. Gadis itu tidak ragu menyerahkan nyawa demi memperbaiki Jalinan yang sudah hampir musnah ini. Tidak ada keraguan sama sekali di dalam hatinya.
Alto sudah mencapai Altar. Tangannya menyentuh puncak Altar dan seketika energi sihir dari dalam tubuhnya mengalir keluar, tumpah ruah dengan jumlah mengerikan ke seluruh sudut kuil, melenyapkan seluruh energi sihir lain yang berani muncul. Gelombang energi dari tubuh Alto mengalir ke Altar, mengikuti ukiran yang memenuhinya lalu mengalir ke dinding.
Aliran energi di dalam tubuhku lenyap sama sekali, diserap seutuhnya oleh seluruh energi sihir milik Alto. Tenagaku berkurang drastis hingga sampai rasanya hanya tersisa tenaga yang cukup untuk berjalan dan berlari, persis manusia.
Inilah kekuatan sihir waktu unik dari para Penjaga Gerbang, kekuatan yang dititipkan penyihir pada manusia yang sudah hampir mati dan hidup kembali sebagai wadah. Sihir waktu yang kukenal hanya dapat memulihkan luka atau mengembalikan nyawa orang yang hampir mati. Tidak ada sihir waktu yang bisa menghilangkan energi seperti ini, tapi kurasa keberadaan manusia yang penuh ketakutan dan keberadaan para penyihir tolol yang bisa iba pada merekalah yang sudah membuat energi ini seperti ini lahir ke dunia.
Penyihir dan Manusia. Kematian dan pengorbanan. Karena keberadaan dua elemen itulah, manusia-manusia seperti Alto lahir.
Seluruh dinding menyala dalam cahaya putih, memenuhi seluruh bagian dinding kecuali dua belas lingkaran besar yang ada di depan Altar. Ruangan yang redup oleh cahaya jingga itu kemudian menyala lebih terang dalam cahaya putih yang hampir menyilaukan.
Berbeda dengan sihir lain yang dapat memengaruhi suhu udara ketika digunakan, sihir waktu tidak memengaruhi udara sama sekali, karena itulah penggunaannya tidak bisa diprediksi. Dari tingkat transparansi, sihir ini pun menyamai sihir jiwa dengan bayaran yang sangat mahal. Jika digunakan sebanyak ini, entah berapa tahun dalam jangka waktu hidup Alto yang dikorbankan.
Aku memerhatikan dua belas lingkaran di atas Altar. Dua belas lingkaran, artinya dua belas kuil. Jika kecepatannya selambat itu, akan butuh banyak sihir dan nyawa Alto untuk menyalakan semua kuil di seluruh dunia ini.
Lingkaran paling besar, yang berada di depan Altar, mulai menyala dalam kecepatan yang lambat jika dibandingkan cahaya yang menyala di bagian lain serta tampak lebih redup.
Kelihatannya Alto juga menyadari hal itu karena kemudian energi yang keluar dari tubuhnya semakin banyak dan semakin melimpah jumlahnya, membuat tubuhku terasa semakin lemah sekaligus menyalakan cahaya di ruangan ini lebih terang.
Dengan kecepatan seperti ini dan kekuatan sebesar ini, apakah Alto punya cukup banyak waktu tersisa untuk bisa mengaktifkan semua kuil di dunia ini? Jika tidak, dia akan mati sia-sia di sini bahkan sebelum tugasnya selesai.
Gagal dan kehabisan nyawa dan kemungkinan keberhasilan yang tidak lebih dari satu banding dua milyar kemungkinan. Dilihat dari manapun, ini taruhan yang sama sekali tidak seimbang.
"Aku belum menepati perjanjian denganmu." Sekali lagi kata-kata keluar dari mulutku sebelum sempat kupikirkan lebih dulu.
Sekali lagi, tanpa sadar aku berusaha menghentikan Alto.
"Aku tidak memerlukannya lagi." Gadis itu bahkan tidak repot-repot menoleh padaku. "Kau kelihatannya juga tidak ingin menepatinya. Permintaan itu sudah tidak ada gunanya sekarang."
Sekali lagi rasa sakit itu menyerang dadaku. Menyesakkanku.
Energi milik Alto sudah memenuhi lingkaran yang pertama. Tanpa dibimbing, energi dari tubuh gadis itu mengalir ke lingkaran di sekitarnya, semakin banyak.
Lingkaran kedua menyala lebih cepat sehingga tidak butuh waktu lama bagi lingkaran ketiga untuk ikut menyala terang. Namun bukannya semakin berhenti atau meredup, sihir di kuil ini semakin lama malah semakin terang. Melihat usahanya berhasil, kelihatannya Alto semakin bersemangat melakukan semua ini.
"Kau akan mati." Untuk kesekian kalinya, mulutku bicara lagi. "Tidak ada usia manusia yang cukup untuk memperbaiki seluruh Jalinan seperti ini, kau tahu itu."
"Tidak masalah buatku," tegasnya. "Lebih baik aku mati ketika menjalankan tugas ini daripada menyesal karena tidak berbuat apapun."
Meski sudah melihat semua keadaan ini, meski masih belum menyalakan separuh dari jumlah keseluruhan kuil yang ada, dia masih juga tak takut. Walaupun sudah melihat bagaimana energinya dapat terkuras dengan kecepatan tak terkira, meski sudah mengetahui konsep sihir waktu yang menghabiskan nyawa, dan meski sudah mengetahui risiko menjadi seorang Lazarus yang tidak bisa mati kecuali nyawanya sudah habis, dia masih saja mencoba, hanya demi sesuatu yang dia sebut tugas.
Lingkaran ketiga dan keempat menyala terang. Kemudian lingkaran kelima mulai menyala. Berbeda dengan tiga lingkaran sebelumnya, lingkaran kelima menyala lebih lambat, bahkan lebih lambat dari saat lingkaran kedua mulai menyala.
Perhatianku berpindah kepada Alto lagi, mendapati tubuh ringkih gadis itu gemetar. Kedua tungkai kecil, kurus, dan rapuh itu bergetar semakin lama semakin hebat, tak ubahnya bayi rusa yang baru lahir. Saat lingkaran kelima menyala, kedua tangan Alto sudah bertumpu pada Altar, tak kuat menyeimbangkan bobot tubuhnya untuk terus berdiri tegap lagi.
Saat itu juga, entah mendapat tenaga dari mana, tiba-tiba saja aku sudah ada di belakangnya.
***
Kedua lenganku mendekapnya dari belakang, dengan nekat, menarik tangannya dari Altar secara paksa. Kudekap tubuh yang berubah kaku itu erat-erat, tak berniat melepaskannya barang satu detik pun.
Di awal bertemu, pinggangnya terasa sangat kecil sampai rasanya bisa patah jadi dua jika aku memeluknya sedikit lebih erat. Pundaknya berukuran tidak lebih besar dari pinggangnya, rasanya sedang seperti sedang memeluk anak kecil.
Benar, anak kecil yang sangat rapuh sampai rasanya dapat hancur berkeping-keping jika aku berani memeluknya lebih erat lagi.
Tapi asalkan aku bisa menahannya agar tidak pergi, aku akan mendekapnya sedikit lebih erat lagi. Aku tidak mau dia hancur, tapi aku juga tahu, jika berani memberi kesempatan pada gadis ini untuk lari, dia akan benar-benar lari.
Kalau sekarang dia lari, aku sudah tidak akan bisa menangkapnya lagi.
Dekapanku semakin erat pada pinggangnya. Genggamanku semakin kencang pada tangan kanannya yang kini sudah tidak lagi bersentuhan dengan Altar. Tubuhku dan punggungnya saling menempel. Dalam diam, aku berusaha menopangnya berdiri, lantas tersadar betapa keadaan gadis ini sudah memprihatinkan.
Tubuhnya sudah limbung, sudah tidak bisa berdiri lagi. Jika kedua kakiku tidak menopangnya dari belakang, gadis ini sudah pasti akan roboh. Meski begitu, tubuhnya masih keras kepala dan terus meronta sambil berusaha berdiri sendiri sementara tangannya mengepal kuat siap untuk menghajarku jika aku berani lengah.
"Akhirnya kau menunjukkan niatanmu yang sebenarnya." Aku membayangkan dirinya akan lebih dulu bertanya 'Apa' atau 'Kenapa' alih-alih membuat pernyataan dengan nada luar biasa dingin tak berperasaan seperti itu. "Sudah kuduga tidak ada penyihir yang benar-benar ingin Jalinan diperbaiki utuh."
Sejujurnya, sekarang aku sudah tidak tahu lagi mana yang kuinginkan dan mana yang tidak. Semuanya tampak abu-abu. Tindakanku yang sekarang sama sekali bukan bagian dari strategi mana pun. Entah kenapa aku bisa sampai melakukan semua tindakan yang bisa dibilang tidak berguna ini.
Tidak, lebih tepat dibilang, aku sudah lama mengetahuinya, hanya saja sebagian diriku masih tidak memercayainya, masih belum bisa menerimanya.
Meski begitu, jawaban itu muncul di dalam kepalaku, terus bergema dan mendengung di sana.
"Kau benar." Aku mengakui sambil terus mendekapnya erat. "Aku sudah berbohong! Aku tidak ingin Jalinan kembali utuh!"
Aku mencondongkan tubuh, menghadapi wajah dinginnya yang membekukan seluruh tubuhku ke dalam atmosfer dingin yang tidak mengenakkan sama sekali. Aku tidak mengindahkan tubuhnya yang berubah semakin kaku, pun tidak mengindahkan pula rasa sakit yang mengakar semakin dalam di seluruh tubuhku akibat kebencian dan rasa jijiknya yang memberikan gambaran jelas seberapa rendah posisiku di matanya.
"Aku tidak ingin Jalinan kembali utuh! Aku tidak akan pernah mau!" Aku berusaha menahan amarah yang mendadak meletup di dalam tubuhku agar tidak terpancar keluar mengotori suaraku yang sudah cukup menyedihkan. "Aku tidak mau Jalinan kembali utuh kalau itu artinya harus mengorbankan nyawamu!"
***
-
A/N:
Ya, sudut pandang selain Alto memang membosankan. Yeah. termasuk sudut pandang sang kapten.
Kenapa saya posting ini? Anggap saja saya lagi pengen berbuat dosa dengan bikin kalian gak bisa tidur tenang. Masa cuma saya doang yang gak bisa tidur tenang? Kalian juga haruslah
Apa yang terjadi selanjutnya? Ada deh.
Mana adegan ranjangnya? Deket. Bentar lagi et dah.
Silakan vote dan tinggalkan komentar. Sampai jumpa di next chap dan selamat tersiksa untuk menantikan apa yang terjadi selanjutnya. HAHAHAHAHAHAHAHA
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro