55. Kuil di Bawah Makam
Aku sempat mengira yang mengatai kata-kataku kejam tadi adalah Azran, tapi suara Azran tidaklah seperti itu. Suara Azran sedikit berat dan tidak nyaring seperti tadi. Suara siapapun itu terdengar tinggi seperti anak kecil.
Ada orang lain selain kami berdua di sini.
Aneh, tidak hanya dikarenakan hanya kami berdua yang sedang ada di sini sekarang, tapi juga seharusnya tidak ada yang bisa melihat kami, tidak dengan sihir hitam dan sihir jiwa yang melindungi kami sekarang ini.
Aku sempat mengedarkan pandangan ke berbagai arah, tidak melihat orang ketiga atau siapapun di sekitar kami.
Azran tidak berputar-putar bingung sepertiku. Penyihir itu memilih menunduk, maka aku pun ikut menunduk, dan nyaris kena serangan jantung mendapati ada sosok kecil yang berdiri di antara kami berdua, tepat di sebelah kakiku.
Sosok itu mengenakan jubah hitam kumal yang menutupi seluruh tubuh mungilnya yang tidak sampai setinggi lututku. Tidak ada tangan ataupun kaki, tapi aku bisa melihat bentuk kepala dari jubah kerdilnya. Di kedua sisi kepalanya melayang bola api kecil berwarna biru terang yang berputar-putar dalam pola acak seperti hidup.
Kerutan terbentuk di keningku ketika menyadari sosok berjubah mungil ini berada dalam pelindung Azran. Dia di antara kami, menembus pelindung Azran, dan entah sejak kapan sudah berada di sebelah kakiku.
Keherananku bertambah ketika gelombang energi sihir milikku menghampiri sosok itu, mengelilinginya dan memadamkam api di kedua sisi kepalanya. Itu cukup aneh karena sosok ini tidak terlihat memancarkan energi sihir sama sekali. Aku ingin menghentikan sihirku dari berulah lebih jauh, tapi hampir tidak ada tenaga yang tersisa di tubuhku untuk menghentikan gelombang energiku sendiri. Seluruh tenagaku habis oleh
"Ah, sihir waktu." Sosok misterius itu bicara lagi dalam aksen Inggris yang terdengar sangat mirip orang Inggris, seperti cara Valika bicara. Aku menangkap kesan dewasa, bahkan terkesan tua, dalam suaranya yang nyaring persis anak laki-laki. Cara bicaranya juga mirip Valika. "Dua pengguna sihir waktu. Jarang sekali Luin melihat ada lebih dari satu pengguna sihir waktu."
Luin?
Api di kedua sisi kepalanya menyala kembali, kali ini dalam sinar lebih redup karena termakan terus menerus oleh sihirku yang tidak bisa dikendalikan. Kepala sosok berjubah itu mendongak, kelihatan menatapku meski aku sendiri tidak bisa melihat matanya dari atas sini.
"Tidak perlu kaget seperti itu." Azran berujar. "Makhluk seperti dia memang bisa melihat dan menembus pelindung sihir dengan mudah." Kepala Azran berpaling, beredar ke sepenjuru area pemakaman. "Mereka memang biasa ditemukan di sini."
Mereka? Aku menatap sosok mungil yang kuyakin juga balas menatapku dari balik jubahnya, meski aku tidak bisa melihat wajahnya. Makhluk ini tidak hanya ada satu?
Hening selama aku memikirkan kata-kata yang pas untuk diucapkan ke makhluk yang tidak kumengerti apa namanya ini. Ada begitu banyak makhluk aneh selepas para penyihir datang ke dunia ini karena mengikuti mereka sampai aku tidak bisa mengingat satu pun. Sejauh ini aku sudah pernah bertemu siren, roh, troll, goblin, anjing neraka, dan sekarang bertambah satu lagi makhluk aneh yang pernah kutemui seumur hidup.
"Selamat malam," sapaku meski tak ada keramahan sama sekali dalam nada bicaraku.
Diam sejenak sebelum suara itu kembali terdengar. "Selamat malam," sahut sosok itu. "Apa yang dilakukan dua makhluk yang berbeda kaum seperti kalian di tempat ini?" Kepala sosok itu berpaling kepada Azran. "Apa kau mencari makan ke sini? Kalau ya, maaf Luin harus mengusirmu."
Aku langsung memberikan Azran wajah apa-kau-datang-dengan-perut-lapar tapi penyihir itu menyahut dengan tenang. "Aku sudah makan."
Sosok itu menggumamkan kata 'hm' pelan sebelum berpindah padaku lagi. "Dan kau, Anak Manusia?"
"Aku menuju reruntuhan suku Carpantia. Menurut pemimpin suku itu, jalannya lewat sini," jelasku singkat.
Sosok itu diam sebentar. Api di sekitarnya pulih kembali menjadi dua sebelum meredup, diam, dan kemudian menyala terang kembali. "Oh, kau mau ke kuil?"
"Ya." Mengherankan bagaimana dia bisa tahu reruntuhan itu berwujud kuil.
Kepalanya menatap ke depan, ke arah area pemakaman yang membentang luas. "Memang ada di sana. Di bawah salah satu nisan itu."
Mataku melihat ke arah deretan pemakaman yang membentang luas. Setidaknya ada lebih dari seratus nisan berjajar, tampak sunyi dan damai. "Di bawah salah satu nisan di sini?"
"Ya." Tangan kerdil berwarna putih pucat yang benar-benar mirip tangan anak kecil muncul dari balik jubah gelapnya, menunjuk ke arah pemakaman, tapi sesuatu di dalam diriku bilang dia menunjuk jauh melampaui area pemakaman ini. "Ada jalan masuk lain setelah pemakaman ini, tapi beberapa minggu lalu, anak-anak Sigmon merusaknya sampai tidak tersisa."
"Anak-anak Sigmon?"
"Penduduk negara ini, klan Sigmon, yang menghancurkannya," jelasnya. "Tapi ada jalan satu lagi. Anak-anak Sigmon tidak bertanya, aku tidak memberitahu."
Artinya makhluk ini tidak memihak Sigmon atau memihak siapapun. "Kau mau membawaku ke sana ... err ...."
"Luin," Azran dan Sosok itu menjawab bersamaan, mengulangi kata yang tadi membuatku sempat bingung. Kemudian Azran yang melanjutkan. "Makhluk ini namanya Luinnandem. Mereka tidak punya nama dan kami hanya memanggil mereka semua dengan nama Luin. Mereka peri yang biasa ditemukan di area pemakaman."
Peri, itu menjawab kenapa dia bisa langsung bicara bahasa Inggris dengan aksen sebagus orang Inggris manapun serta turut menjawab kenapa sosok dan suaranya berbeda jauh. Sosoknya, meski kecil, memiliki suara seseorang yang sudah tua dan banyak pengalaman. Kurasa makhluk sihir, terutama peri, biasa tampil seperti itu: menguasai bahasa lain dan punya cara bicara lucu. Tapi mendengar dia adalah peri yang biasa ada di pemakaman, untuk beberapa alasan, aku tidak mau tahu apa yang mereka lakukan di sini.
"Kalian ke sana, Luin akan antar," imbuhnya dengan nada senyum. "Kau Kandidat."
Aku harus berusaha kuat untuk menyembunyikan keterkejutanku. Bahkan makhluk magis ini tahu soal Kandidat. Entah kabar macam apa yang berembus di luar sana, ke telinga makhluk-makhluk ini.
"Aku bukan Kandidat," kilahku. "Kandidat memiliki seorang guru Penjaga Gerbang yang membimbing mereka, aku hanya Lazarus."
"Hanya Peti?" Aku mengangguk. Sosok itu menunduk selama sesaat sebelum menatap ke depan lagi. Kuharap itu bukan isyarat dari tindakan buruk yang mungkin akan ia lakukan. "Mari ikut Luin!" Kemudian kami pun berjalan melintasi pemakaman yang sepi dan gelap itu.
Selama berjalan, Azran tidak pernah pergi dari pandanganku. Dia selalu satu langkah di depan atau sejajar denganku, sementara Luin berjalan dua langkah di depan kami.
Mataku terpaku pada peri yang membimbing jalan kami. Dia tidak seperti peri yang pernah kubaca di buku. Peri Luin ini tidak punya sayap. Walaupun aku tidak melihat kakinya, dari cara makhluk ini berjalan, hampir bisa dipastikan dia berjalan dan bukannya melayang. Tubuhnya juga tidak berkilau. Dia tidak berpendar dari dalam seperti Valika. Dia malah memiliki api seperti hantu, yang ngomong-ngomong sudah berkali-kali redup dan mati karena ulah sihirku yang tidak mau diam. Satu-satunya yang membuatku yakin dia peri adalah ukuran tubuhnya yang memang kecil untuk ukuran manusia.
"Luin, jika kau tidak keberatan menjawab ...." Aku menegur. "Dari mana kau tahu ada jalan masuk satu lagi di dalam sini?"
"Biar kutebak," Azran yang menyahut. "Ada makam yang tidak punya mayat, benar kan?"
"Ya," Luin menyahut. "Itu aneh. Karena itu Luin menyelidiki. Ada jalan rahasia di bawah makam. Jalan panjang," jelasnya dengan kata-kata yang terpotong, mirip cara orang yang tidak tahu berbahasa Inggris dengan benar, maksudku seperti anak kecil yang baru belajar bicara, padahal tadi dia bisa bicara bahasa Inggris lancar sekali.
"Memangnya ...." Mataku mengamati deretan nisan yang mengelilingi kami. "Apa yang dimakamkan di sini?"
"Tentu saja Manusia," jawab Luin. "Yang lainnya terlalu besar untuk dimakamkan di sini. Tanah Dunia ini akan menolak mereka. Dan jika itu terjadi, Luin bertugas mengembalikan jiwa mereka ke dunia asal mereka. Bukankah begitu, Anak Therlian?"
Azran sempat diam selama beberapa saat sebelum akhirnya memberi jawaban. "Ya."
Aku tahu tadi aku sempat bilang tidak ingin tahu, tapi rasa penasaran yang tiba-tiba muncul ini tidak bisa diabaikan. "Peri sepertimu ... apa yang kau lakukan di sini, Luin?"
Diam sejenak. "Luin menjaga orang-orang yang tidur dari mereka yang memakan bangkai." Azran mendengus mendengar ucapan itu. "Jalinan sudah semakin musnah. Semakin banyak yang mencoba dan menyusup. Tidak bagus. Tidak bagus sama sekali."
"Aku tidak pernah dan tidak akan mengganggu mereka yang sudah beristirahat di sini." Azran berkata tegas meski tidak ada yang bertanya.
"Itu bagus," Luin menyahut.
"Tapi kudengar Luinnandem sangat enak." Azran bicara dengan nada menantang.
Luin tidak menyahut dan kupikir dia tidak akan menyahut selamanya ketika suara itu tiba-tiba terdengar dan dua api di kepala Luin tiba-tiba menyala terang. "Luin bukan pencari masalah sampai menantang Therlian, tapi Luin juga bukan penakut."
Berkata ucapan itu, ketegangan di antara kami bertiga meningkat jauh. Untungnya ketegangan ini tidak membeku terlalu lama karena tidak lama kemudian, kami berhenti.
"Kita sampai."
Tubuh mungil Luin menyingkir dari depan nisan yang ada di hadapan kami, api terang miliknya menunjukkan satu nisan kosong tanpa nama ataupun tulisan di atas batunya yang putih. Secara ajaib, rumput di tanah di dekat kaki Luin perlahan menghilang, hanya menyisakan tanah kosong coklat gelap gembur yang kemudian lenyap dan menampilkan sepetak aspal abu-abu di baliknya.
Seperti Valika, aku tidak bisa melihat gelombang sihir milik Luin, yang menegaskan keberadaaan Luin sebagai makhluk sihir. Meski begitu, aneh sekali apinya masih bisa kupadamkan. Jika dia makhluk sihir, api yang ada di sekitarnya itu tidak seharusnya padam.
Masih banyak hal yang belum kupahami soal makhluk-makhluk seperti ini.
Tapi itu tidak penting untuk sekarang.
Kutatap sepetak aspal yang muncul dari balik tanah makam. Ada cekungan di badannya, kelihatan diperuntukkan untuk membuka pintu.
"Silakan masuk, Peti." Luin sediki membungkuk ke hadapanku.
Aku berlutut di depan beton itu, memasukkan empat jariku di celah pintunya dan seketika pintu itu bergetar. Sekeliling pintu bersinar redup sebelum akhirnya sedikit terbuka. Dalam keadaan masih terheran-heran, aku membuka lapisan beton itu perlahan. Bentangan tangga dengan lorong yang sudah menyala terang oleh cahaya jingga membentang di bawah kakiku. Tanpa menunggu ataupun berpikir dua kali, aku langsung masuk dan menuruni tangga yang membentang itu.
Langkahku berhenti ketika baru enam langkah memasuki jalan rahasia itu. Mataku mendelik Azran yang sudah menuruni satu anak tangga.
"Kenapa kau masuk juga?" tanyaku heran, yang malah dibalas Azran dengan wajah lebih heran lagi. "Aku sudah tidak punya hutang apa-apa lagi padamu."
"Tapi aku masih tetap punya hak atasmu," jawabnya keras kepala.
Aku mengembuskan napas dengan kasar sebelum berbalik dan lanjut berjalan meniti tangga lagi. Entah apa yang membuatnya ingin menyusulku ke sini, tapi asalkan tidak mengganggu, aku tidak peduli.
Segera setelah dia masuk, terdengar suara pintu tertutup di belakangku. Bersamaan dengan itu, sihir Azran yang tadi menyelubungi kami, lenyap. Gelombang sihir berwarna hijau zamrud milikku keluar begitu saja, persis seperti yang pernah terjadi ketika Baba menyentuh tanganku.
Resonansi, Baba memberithau efek ini padaku. Aku tidak terlalu mengerti penjelasan Baba ketika menerangkan cara kerja Resonansi ini, tapi inti dari penjelasannya, di tempat-tempat tertentu seperti kuil ini, potensi kekuatan maksimal seorang Penjaga Gerbang—atau dalam hal ini, kandidat—bisa dikeluarkan bahkan tanpa mereka mau sekalipun.
Mataku beredar menjelajahi isi lorong yang kini dipenuhi sihir milikku. Di lain pihak, sihir Azran yang sedari tadi tidak bisa diam, kini tiba-tiba saja lenyap, tidak terasa lagi. Sebagai gantinya, gelombang enegri sihir berwarna hijau zamrud memenuhi seluruh lorong, dari atas ke bawah, dari lantai hingga ke langit-langit batu berwarna putih yang memenuhi seluruh lorong.
Tubuhku membara oleh panas internal yang menyesakkan dan kepalaku mulai terasa pening. Aku memang merasa kuat dan kagum melihat demikian banyak kekuatan keluar dari tubuhku karena efek Resonansi ini, tapi efeknya tidak kusangka akan benar-benar sangat merepotkan.
Sekali lagi aku memerhatikan seluruh lorong yang tertutup rapat oleh energi sihirku. Jumlahnya sangat luar biasa. Melirik ke belakang, aku melihat tubuh Azran polos dari segala macam bentuk energi sihir. Matanya memang masih berpendar, tapi selain itu, tidak ada lagi yang dapat membuktikan dia bukan manusia.
"Sebentar lagi akan selesai, kalau begitu." Azran yang sedari masuk tadi diam, kini mendadak saja bicara, memergokiku tengah menatapnya.
Aku berbalik, sepenuhnya memerhatikan jalan di depanku lagi. "Ya." Melihatnya tidak melepasku meski sudah sampai tempat ini, sepertinya aku memang tidak bisa berharap akan dilepaskan begitu saja.
"Kau bilang, kuil bawah tanah yang kita tuju ini bisa terhubung dengan sebelas kuil lainnya di seluruh dunia ini," kata Azran. "Tidakkah menurutmu itu terdengar sedikit mustahil?"
"Entahlah, aku tidak tahu. Makanya aku mau mencari tahu," sahutku.
"Tidak akan ada kesempatan untuk mencari tahu, bukan? Sekali kau masuk dan melaksanakan tugasmu sebagai Penjaga Gerbang, itu bisa jadi kesempatan terakhirmu."
"Itu lebih baik daripada hanya menghabiskan waktu dengan berpikir saja." Dan tidak ada lagi sahutan balik dari Azran.
Jalan yang kami tempuh tidak lama kemudian, telah mencapai akhirnya.
Sepasang daun pintu yang sedikit lebih tinggi dari tubuhku, menjulang di hadapan kami berdua. Di permukaan batunya, terlihat ukiran-ukiran tipis yang tidak bisa kumengerti apa maksud ataupun bentuk keseluruhannya. Aku ingin memerhatikan lebih teliti, sayangnya aku tidak punya waktu untuk itu.
Tanpa membuang waktu untuk terkagum-kagum ria, aku menempelkan tanganku pada permukaannya yang dingin dan segera saja energi sihir dari tubuhku lagi-lagi keluar mengalir ke pintu. Sekali lagi, terjadi Resonansi.
Tanda dan ukiran di permukaan pintu itu diselimuti gelombang energi sihir milikku. Sulur-sulur berwarna hijau zamrud itu meliuk-liuk, membentuk lekuk yang sama persis dengan ukiran di pintu raksasa. Dengan cepat, pola yang diikuti oleh energi milikku memenuhi pintu batu di hadapan kami.
Lalu pintu pun membuka sedikit.
Dengan sedikit dorongan, pintu raksasa itu terbuka. Bau debu langsung memenuhi hidungku ketika angin dari dalam sana berembus pelan. Aku baru saja akan mendorong pintu ketika Azran tahu-tahu saja sudah berada di sisiku, dengan tangan menyentuh daun pintu. Tanpa bicara, penyihir itu membantu mendorong pintu.
Segera setelah pintu membuka, kami masuk. Suasana lembab yang dingin membuktikan padaku bahwa ruangan ini luas, meski tidak ada cahaya sama sekali yang bisa digunakan untuk melihat dengan jelas. Mataku berusaha mencari Altar atau apapun yang bentuknya mendekati itu, tapi tidak kunjung menemukan satu pun yang mirip.
Seperti di luar, gelombang energi milikku dengan cepat memenuhi tempat ini, mengisi setiap jengkal yang kosong hingga tidak tersisa satu inci pun yang tidak tertutup energi sihir milikku. Tapi sebanyak apapun energi sihir, tidak akan ada penerangan tambahan untukku. Pergerakan gelombang hanya membantuku mengetahui denah ruangan ini, bukannya memberiku bantuan cahaya.
Tapi setidaknya aku tahu ada tangga menurun lima kaki dari tempatku berdiri.
Hidungku mencium bau lain di antara bau debu dan lumut yang kental. Baunya cukup menyengat seperti ... ini bau sesuatu yang aku kenal, tapi aku lupa.
Sementara berpikir, Azran melangkah menjauh dari sisiku. Dia berjalan ke salah satu sisi ruangan yang gelap dalam lindungan bayangan. Karena tidak ada lubang di sana, aku tidak menghentikannya. Penyihir itu tampak meraih sesuatu dari dalam sakunya. Terdengar bunyi tuk pelan berkali-kali, seperti ada dua benda yang diketuk bersamaan. Aku baru saja menatap ke depan lagi ketika kemudian ruangan menyala terang.
Dengan cepat, aku berbalik, melihat api menjalar mulai dari dekat tempat Azran berdiri, menjalar terus mengelilingi ruangan, menyalakan aula yang luas itu dengan cahaya jingga terang.
***
Kuil itu lebih luas dari perkiraanku. Sebelumnya aku tidak pernah tahu bagaimana bentuk kuil atau Altar, tapi kukira luasnya tidak seluas ini. Kukira hanya sebesar ruangan, tapi setelah dipikir, agak mustahil juga. Menurut Baba, Altar dan kuil di negara ini terhubung dengan sebelas kuil lainnya di seluruh dunia, jadi tidak mungkin kuilnya kecil.
Ruangan itu persis aula depan Black Mary, hanya saja berukuran lebih luas dengan bentuk persegi. Tidak ada bagian yang kosong pada dindingnya. Semuanya penuh oleh ukiran rumit seperti benang kusut yang memenuhi dinding sampai langit-langit yang juga dipenuhi akar tumbuhan yang mencuat dari tanah. Selagi terkagum-kagum, bagian belakang leherku terasa dingin karena angin yang berembus entah dari mana.
Cahaya api yang menjalar di sekeliling kuil besar itu sampai ke bagian depan, menghampiri sebuah Altar berbentuk pilar persegi yang berada di lapisan di bawah tempat kami berdiri. Pilar persegi itu kelihatan sangat mencolok karena menjadi satu-satunya batu yang mencuat di antara bagian lantai batu yang datar.
Lebih jauh, api itu juga menjalar melewati bagian depan Altar yang juga dipenuhi ukiran aneh. Di antara semua ukiran rumit itu, aku melihat sebelas lingkaran kecil dan satu lignkaran besar tepat di tengah ruangan, tepat di depan atas Altar yang ternyata berada di bawah sana, beberapa kaki dari ujung tangga yang sudah kulihat di dalam kegelapan. Aku memerhatikan detail pada dinding di depan Altar lebih teliti, mengamati setiap lingkaran di dinding berisi ukiran lebih rumit lagi yang tidak ikut menyala. Meski sama terjadi Resonansi, cahaya energiku, walaupun dalam jumlah lebih banyak, terlihat sedikit lebih redup di dalam kuil ini.
Sekali lagi kuperhatian dua belas lingkaran itu.
Dua belas, ada kemungkinan lingkaran-lingkaran ini melambangkan dua belas kuil yang ada di dunia ini. Kalau begitu, masih bisanya energiku beresonansi di ruangan ini bisa diartikan Jalinan belum sepenuhnya musnah. Tapi secara nyata aku pun merasakan kekuatanku semakin meredup di dalam kuil ini.
Waktuku semakin berdetik.
Sekarang aku ingat aroma asing kuat yang tadi aku cium saat memasuki ruangan ini: minyak tanah.
"Padahal dari tubuhmu tidak keluar sihir sama sekali." Azran balas menatapku heran ketika aku berbalik menatapnya lagi. "Darimana kau bisa menyalakan ruangan ini?"
"Ada batu api di sini." Dia menunjuk tempat api tadi berawal.
Oh. Kalau demikian, itu menjasi satu-satunya hal bagus yang dia lakukan selama bersamaku.
Setelah seluruh ruangan menyala terang, aku merasa lebih tenang. Semuanya tampak jelas sekarang. Tanpa ragu, aku melangkah mendekati tangga itu, mendekati tiang persegi kecil yang mencuat dari lantai di bawah sana, melangkah mendekati Altar.
Namun untuk kedua kalinya langkahku berhenti karena ada yang menggenggam tanganku.
Menoleh, aku melihat Azran, yang entah kenapa sekali lagi memasang wajah aneh, sama persis seperti ketika aku berjalan bersama Edward dan persis ketika aku hendak meminta tolong pada Edward mengenai luka di tubuhku: wajah seseorang yang benar-benar ketakutan.
***
A/N:
Azran, plis, lo udah gangguin Alto berkali-kali.
Sekarang biarkan Alto urus semuanya, oke? Kalian udah gak ada kaitan apa-apa lagi. biarkan Alto menjalani tugasnya sebagai Lazarus dan mati dengan tenang.
Yeah, dan kita bisa tamatkan kisah ini begitu saja.
hahaha. Jangan khawatir, saya bukan pengarang sekejam itu. Yah ... sekarang seenggaknya saya nggak punya niatan buat sekejam itu ke kalian.
Tanpa banyak cincong, jangan lupa vote dan komen. See you on next chap! Dan jangan lewatkan, Fiction Awards sudah dibuka! Silakan daftarkan pengarang yang kalian favoritkan karena sekarang Fiction Award terbuka untuk seluruh bahasa!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro