54. Terpaksa Bersama
"Aku menitipkannya padamu, Alicia."
Cahaya jingga itu berkobar di tengah warna hitam yang menutupi segalanya. Pada awalnya, cahaya itu kecil, mirip nyala korek api di tengah malam, kemudian tumbuh semakin besar dan semakin besar hingga menutupi seluruh kegelapan yang tadi menyelimuti segalanya.
Warna jingga itu menerangi siluet gelap yang entah sejak kapan ada di hadapanku. Wajah berselimut kegelapan itu perlahan-lahan semakin jelas. Sepasang mata berwarna biru terangnya tampak berkaca-kaca. Pendar di matanya terlihat sangat terang dan berputar semakin cepat sampai aku pusing melihatnya. Kemudian satu demi satu, air mata jatuh dari sepasang mata yang mulai menangis itu.
Aku berusaha bersuara, tapi tidak ada yang keluar dari mulutku. Aku berusaha bergerak, tapi tak satu jari pun tubuhku sanggup bergeser. Aku hanya bisa melihat, menyaksikan dalam diam, sosok wajah familiar yang menjulang tepat di depan wajahku ini, menangis.
Ibu.
Cahaya jingga yang semakin terang yang meliuk-liuk tinggi di udara seperti lidah api memberiku gambaran yang lebih jelas. Terdengar suara berkemeletuk dan mendesis, mirip kobaran api yang tengah menghanguskan segalanya. Langit jingga di belakang ibuku berangsur-angsur berubah merah dan semakin gelap, berselimutkan warna hitam dengan banyak kerlap-kerlip kecil menggantung di sana.
Langit malam.
Ada air yang menetes ke wajahku, terus menerus. Sepertinya hujan. Ah, bukan, air yang terus menetes ini bukan hujan.
Ini air mata. Ibu menangis.
Kenapa? Entahlah, tapi aku tidak suka melihat Ibu menangis. Apa aku melakukan kesalahan?
"Apa yang aku curi, apa yang aku ambil ...." Tangan ibu terangkat. Kelihatannya menyentuhku, tapi ... aku tidak bisa merasakan sentuhannya sedikit pun. "Kau berhak memilikinya. Ini milikmu, kembalikan pada mereka ketika tiba waktunya. Aku yakin kau bisa melakukannya."
Wajah Ibu menghilang dari pandangan mataku, menyisakan hanya langit malam yang membara. Bintang gemintang yang menggantung di atas sana kelihatan tidak lebih dari ribuan pasang mata yang menonton tanpa berbuat apa-apa, tanpa pernah mau peduli apalagi menghibur ibuku yang sedang dirundung duka.
"Maafkan aku, Alicia. Aku bukan ibu yang baik bagimu. Ternyata, tidak peduli bagaimanapun aku mencoba, aku tetap tidak akan bisa menggantikan ibumu yang asli." Ibu terisak di sampingku, tepat di dekat telingaku. "Aku minta maaf sudah gagal menjagamu. Maafkan keegoisanku karena melakukan ini. Ibu benar-benar minta maaf."
Kepalaku terkulai ke samping, langsung bertatapan dengan wajah Lizzy yang tertutup matanya. Wajah mungil adik perempuanku itu tampak lusuh dipenuhi jelaga, noda hitam, tanah, dan bahkan darah.
"Kau harus bersiap untuk penolakan yang akan terjadi, Andrea." Suara ayahku terdengar.
"Ya, aku paham." Ibuku menyahut. "Sekali lagi, maafkan ibu, Alicia."
***
Wajah Azran berada dekat sekali ketika aku membuka mata dengan kaget.
Mata emasnya mengawasiku, sama sekali tidak kaget melihatku membuka mata dengan tiba-tiba. Yang kaget dan hampir kena serangan jantung justru aku. Mungkin dia memang menungguku membuka mata.
"Akhirnya kau sadar juga." Dia bersuara dengan suara dan nada bicara yang sama dengan Azran yang kukenal: ketus dan sarat akan sindiran.
Mataku memandang langit di belakang Azran, langit yang bersih dengan bintang gemintang yang masih menggantung tenang di atas sana. Tidak ada cahaya jingga menyala.
Sekali lagi mimpi aneh yang terasa nyata sekali dan sekali lagi mimpi ini menyangkut ibuku.
Ah sudahlah, sekarang bukan saatnya memikirkan soal mimpi. Itu hanya mimpi, tidak akan jadi nyata. Kalaupun memang nyata, semua itu sudah berlalu. Ibuku sudah tidak ada, jadi apapun yang terjadi di mimpi itu tidak akan berpengaruh di masa sekarang. Sebaiknya kupikirkan apa yang mau kulakukan sekarang, daripada repot-repot memikirkan mimpi wujud hantu dari masa lalu.
Aku mencoba bergerak, lalu merasakan sakit yang mendera dari ujung leher sampai ujung kaki. Sedetik kemudian, aku menyadari tengah berbaring dan pembaringanku terasa keras sekali. Telapak tanganku mengelus-elus permukaan tanah tempatku berbaring, merasakan keras dan padat permukaan yang tidak mirip tanah. Kemungkinan aku tidur di atas permukaan batu yang kemungkinan aspal.
Berbagai pertanyaan lantas berkecamuk dalam kepalaku, mulai dari apa yang terjadi, berada di mana aku sekarang, termasuk kenapa bisa ada wajah Azran yang berada sangat dekat denganku tepat di detik pertama setelah aku sadar.
Kukumpulkan kepingan ingatan yang tercerai berai dan perlahan-lahan penjelasan masuk akal pun muncul di dalam kepalaku.
Hutan. Benar, aku terakhir kali berada di hutan, gelap, dalam perjalanan ke reruntuhan.
Reruntuhan, kata itu terulang kembali, menegaskan arti pentingnya bagiku. Benar, aku tidak punya waktu. Aku harus menemukan satu Altar dalam reruntuhan di seberang kota Khardakk.
Jalinan. Benar, Jalinan harus kuperbaiki.
Tanpa buang waktu untuk mengindahkan wajah Azran ataupun sorot penuh pengamatannya yang membuat jengah, aku bangun, hanya untuk disambut oleh sakit kepala yang luar biasa.
Tanganku langsung meraba-raba daerah di sekitar kepalaku, tidak menemukan adanya luka. Butuh beberapa lama bagiku untuk menyadari rasa sakit ini bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam, sesuatu di dalam kepalaku yang berdenyutlah yang menyebabkan rasa sakit ini.
Aku baru saja akan mencoba bangun sekali lagi ketika tangan itu mencengkam pundakku, menghentikan segala pergerakan tubuhku.
"Mau ke mana kau?" Suara tajam Azran terdengar dari belakangku.
Sedetik setelah pertanyaan itu keluar, aku baru menyadari baik aku maupun Azran berada di satu jalan kecil, bukan di dalam hutan. "Reruntuhan suku Carpantia," jawabku singkat.
"Tepat setelah kau baru saja sadar?" Dia tertawa meremehkan. "Apa kesadaran bahkan sudah menempel di dalam kepalamu itu?"
Kurasa pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Tanpa banya basa-basi lagi, aku mencoba bangun, tapi tertahan oleh satu tangannya yang masih keras kepala menahan pundakku dan ternyata memiliki tenaga lebih banyak dari yang pernah kuduga dia miliki. Aku mencoba bangun lagi, tapi tangan Azran tetap keras kepala.
Kemarahan di dalam diriku mulai mendidih. Dengan cepat, aku menoleh, bertatapan dengan sepasang manik emas milik Azran yang kini benar-benar mirip mata serigala, menyala keemasan di dalam gelap dengan pendarnya yang magis.
"Kau mau menghalangiku?" geramku tak senang.
Sialnya, suara dinginku tidak berpengaruh apapun padanya. "Kau mau pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih?"
"Untuk apa?"
Azran memandangku dengan pandangan menghina terang-terangan. "Kau tidak sadar tempatmu berbaring sekarang?" tanyanya, mengejek pertanyaanku tadi. "Kau pikir tubuhmu bisa pindah begitu saja dari hutan ke tengah kota?
Oh.
Jadi dia ingin berterima kasih karena sudah memindahkanku dari hutan sampai ke mari?
Benar-benar omong kosong. Aku kenal permainan rendahan ini. Para penyihir yang memang rendahan sudah biasa memainkan permainan ini di Serikat dulu. "Apa kau mau aku menjilati kakimu seperti anjing?"
Azran tampak tersinggung. "Tidak." Menyadari rasa jijik di wajahku, ekspresinya melunak. "Kau pikir aku mau menyuruhmu melakukan hal serendah itu?"
"Kau penyihir dan perompak, gabungan dua hal paling buruk di dunia ini." Aku mengingatkan, tapi Azran tidak tampak sedikit pun tersinggung. "Ada lebih dari satu hal buruk bisa kau lakukan dalam satu momen sekaligus."
Kata-kataku dipotong oleh gebrakan tiba-tiba dari Azran. Dengan kasar penyihir itu mendorong bahuku ke dinding, menempelkan punggungku ke dinding batu yang dingin dengan gerakan kasar dan mengintimidasiku dengan tatapan dingin penuh nafsu membunuh serius yang baru kali ini ditujukannya padaku.
"Lama-lama sikap rasismemu ini memuakkan." Suaranya berubah menjadi setengah geraman, mengingatkanku akan suara dari sosoknya yang lain, sosok yang kusaksikan sebelum tidak sadarkan diri. "Kau sadar bahumu sudah tidak sakit? Kau sadar ini sudah malam?"
Setelah dia mengatakannya, barulah aku sadar. Bahu dan tanganku sudah bisa digerakkan lagi. Lalu ngomong-ngomong soal tidak sadar, aku bahkan tidak menyadari adanya sihir yang melingkupi kami sampai baru saja. Sihir yang meliuk-liuk dalam asap berwarna hitam pekat itu berputar di atas kepalaku, melapisi pelindung lain yang bedenyut hidup di lapisan dalam, melindungi kami dari siapapun dari luar.
Tidak hanya masalah pelindung, aku juga melewatkan detail-detail pakaian Azran yang entah sejak kapan berganti baru. Aku baru menyadari dia memakai kemeja hitam alih-alih putih seperti biasa, mantel panjang berwarna hitam dengan garis keemasan di tepian kerah leher dan kerah tangan, dan celana panjang hitam.
Sayang, pakaiannya tidak masuk hal penting yang aku perlu pikirkan saat ini.
Mata kami kembali bertatapan, kali ini dalam suasana tegang luar biasa. "Aku sudah mengawasimu berjam-jam, memindahkanmu ke tempat lebih aman, dan bahkan menyembuhkan lukamu, dan malah tuduhan seperti itu yang aku dapat?" Kemarahannya mendidihkan sihir di udara, membuat setetes keringat menetes di pelipisku. "Aku sudah melakukan banyak hal selama kau ngiler semalaman dan kau malah mengira aku memintamu melakukan hal-hal rendah semacam itu?"
Aku tidak melihat ada bedanya. Inti dari semua omelannya yang tidak berguna ini hanya satu: dia minta dihargai. Dia ingin aku membayar semua perbuatannya. "Jangan bicara soal hutang dengan wajah seangkuh itu saat kau sendiri punya hutang yang belum dibayar."
Diam sejenak. "Apa?"
Aku mengetuk-ngetuk kepalaku sendiri, kesal pada kenyataan aku tidak mengerti maksud mimpiku barusan. "Dua hal yang aku minta kepadamu. Jangan pura-pura lupa, Penyihir," tegasku. "Sebagai ganti informasi yang akan kuberikan berkaitan dengan tujuan kalian, aku akan mendapatkan dua imbalan."
Wajahnya sarat akan penghinaan. "Kau sudah meminta hak saat kau bahkan belum memenuhi kewajibanmu?"
Jawabannya membuatku mati kutu. Aku memang belum memenuhi kewajibanku kepadanya: pertukaran informasi. Ingatanku ditukar dengan informasi yang kudapatkan dari Baba. Dia pasti ingin tahu semua informasi yang kuterima di sana.
Karena tidak ada informasi yang terlalu berharga, tidak masalah jika kubeberkan semuanya kan? "Sebaiknya kita bicarakan sambil jalan." Ketika dia hendak memotong lagi, aku sudah menyela lebih dulu. "Aku berbeda denganmu. Aku sudah tidak punya banyak waktu."
***
Harus kuakui, bepergian bersama seorang penyihir di kota yang penuh dengan penyihir bukan ide yang terlalu buruk, bahkan ini cukup menguntungkan juga, ternyata.
Maksudku, selagi aku berjalan, penyihir itu bisa mengawasiku, memilih jalan paling aman, dan mencegah kami berpapasan dengan penyihir lain, seperti yang kualami beberapa kali selama kami berjalan. Meski merepotkan karena harus terus bercerita sepanjang jalan, harus berdamai dengan pelindung sihir yang terpasang di sekelilingku sepanjang waktu, dan terkadang harus dipotong ucapannya karena situasi, asalkan bisa sampai ke tempat tujuan hari ini juga, aku sama sekali tidak keberatan.
"Jadi kau putri dari kepala suku Carpantia?" Azran mengulangi penjelasanku dengan nada mengejek. "Kenapa aku terkejut sekali ya?"
"Kedua orang tua kandungku sudah tidak ada, gelar itu tidak berlaku lagi," imbuhku, langsung ingin mengakhiri sindirannya yang pasti berniat menyinggungku soal kenapa aku tidak elegan, feminim, dan yang lain sebagainya.
"Setelah Jalinan sudah pulih seperti semula, kurasa kau akan mengambil hakmu kan?" Dia bertanya lagi selagi kami berjalan.
Jawabanku terhenti karena ada satu penyihir yang lewat. Bisa gawat kalau dia merasakan energi sihir kami ketika lewat. Energi sihir yang bocor dari tubuhnya menarik energi sihir yang sedang kutekan dalam tubuhku. "Aku tidak punya niat sama sekali kembali ke tempat itu." Kesunyian merebak selama sesaat. Kumanfaatkan sikap diam Azran untuk melanjutkan cerita sampai akhir. "Dan kemudian guncangan itu terasa." Aku mengakhiri cerita selagi terus menahan kekuatan.
Terlalu banyak tenaga sihir yang menarik energi sihirku untuk memakannya dan rasa tidak nyaman yang selalu kurasakan setiap kali menahan kekuatan benar-benar tidak enak. Semakin lama rasanya kekuatan ini semakin memberontak keluar, tak tahan ingin lepas dan memakan semua energi sihir yang berani menyebar dengan ceroboh dan berada terlalu dekat denganku.
"Guncangan?" Suara yang agak tercekik itu membuatku menoleh ke belakang, ke arah wajah Azran yang kini terlihat pucat. "Guncangan apa?"
Menyerah, akhirnya aku membiarkan kekuatan itu keluar, memakan semua energi sihir yang melintas terlalu dekat sekaligus membuat tubuhku sendiri mandi keringat karena panas internal yang meningkat.
"Guncangan yang cukup besar sampai hampir merobohkan seluruh bangunan di desa. Kelihatannya kau tidak merasakananya." Jelas saja, karena kau yang membuatnya, tambahku dalam hati.
"Aku ... tidak tahu." Jawaban ragu-ragu itu berhasil membuatku menoleh, melihat Azran mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan wajah yang aneh.
"Ketika aku sadar, kau sudah kabur bersama Dokter John dan secara ajaib memutuskan untuk kembali." Aku tahu tidak sopan untuk menuduh, tapi bertanya bukan pilihan yang bagus juga jika kau berhadapan dengan penyihir.
Sekali lagi Azran tampak tersinggung. "John memang kabur. Sedangkan aku ... tidak." Azran menjeda kalimatnya. "Aku hanya pergi untuk menyelidiki beberapa hal."
Dia pembohong yang baik untuk beberapa hal, tapi entah kenapa untuk hal ini, kebohongannya benar-benar terbaca dan jadi amatiran sekali. Laki-laki payah.
Kami hampir memasuki bagian luar kota. Sedikit lagi kami akan sampai ke reruntuhan Carpantia. Menurut peta pemberian Baba, kami harus berjalan setengah mill lagi sebelum sampai ke lokasi reruntuhan itu, pun katanya aku akan kesulitan untuk mengenali lokasinya karena semua bangunannya telah diruntuhkan sampai tidak tersisa sama sekali.
"Kau sendiri bagaimana?"
Pertanyaan itu membuat langkahku berhenti, tapi tentu saja tidak sebelum kami bisa mengambil tempat persembunyian di balik bayang-bayang karena refleks meski hal itu tidak dibutuhkan karena kami dilindungi oleh energi milik Azran, menghindari dua penyihir yang berjalan di jalanan besar di depan kami yang sihirnya langsung menjadi makanan energi sihir milikku.
"Apa maksudmu?" balasku, selagi kami lanjut berjalan, menuju area bertuliskan pemakaman. Sebelah alisku terangkat melihat pemakaman yang masih rapi ini, dalam hati bertanya-tanya siapa atau tepatnya apa yang dimakamkan di sini. Penyihirkah? Manusiakah?
Aku berhenti di depan pintu makam sementara Azran yang berjalan di belakangku terus berjalan beberapa langkah hingga posisi kami jadi terbalik. Dialah yang sekarang memimpin. Dengan wajah penasaran yang penuh antusias, Azran menatapku lekat-lekat.
"Mengetahui semua ini, bahwa Andrea Serdin ternyata bukan ibumu, lalu mengetahui bahwa kau sebenarnya berasal dari suku di benua ini, apa itu tidak masalah buatmu?" Azran menatapku sungguh-sungguh, dengan ekspresi yang membuatku jengah. "Kau bilang kau tidak berniat kembali ke mereka setelah semua ini selesai. Kau yakin itu bukan keputusan yang dibuat dengan buru-buru? Biar bagaimanapun, orang tua kandungmu berasal dari sana. Seharusnya tempatmu di sana."
Sekarang dia membuatku jengah karena berani berkomentar soal keluarga kandung. Memang ketika mengetahui bahwa ibuku bukanlah ibuku memang mengejutkan, sangat mengejutkan malah, tapi setelahnya aku tidak tahu harus bilang apa lagi. Hanya satu kata 'Oh' yang terucap di kepalaku ketika mengetahui seluruh kebenarannya.
Mungkin dua orang itu, kepala suku Carpantia itu, memang orang tua yang melahirkanku, tapi aku tidak pernah bertemu mereka barang sedetik pun. Tidak ada alasan bagiku untuk merindukan orang yang tidak pernah kutemui. Malah aneh jika aku merindukan mereka yang tidak pernah kita kenal dan tidak merindukan mereka yang kita kenal seumur hidup.
"Biasa saja," jawabku.
"Bahkan jika ibumu, Andrea Serdin, adalah penyihir?" Entah apa maksud Azran bertanya seperti ini. "Selama bertahun-tahun kau diasuh oleh kaum yang paling kau benci, apa kau tidak sedikit pun merasa jijik?"
"Tidak juga." Tidak peduli seberapa keras aku berusaha membenci ibuku, aku tidak bisa membenci beliau. Rasanya seperti tahu kau dibesarkan oleh binatang seumur hidup. Tidak peduli sejorok apa para binatang itu, merekalah yang menjagamu tetap hidup sampai sekarang. Lebih dari itu, mereka memperlakukanmu dengan sangat baik sampai kau lupa apa tepatnya mereka. Singkatnya, aku tidak terlalu merisaukan identitas asli ibuku yang penyihit. Terdengar sangat tidak wajar bahkan bagi diriku sendiri, tapi memang itulah kenyataannya.
"Meski dia adalah orang yang menaruh energi sihir itu di dirimu dan membuatmu kesusahan selama ini dengan alergi sihir?" Azran bertanya lagi.
"Itu masa lalu. Tidak akan kembali berapa kalipun kita menangisi atau menyesalinya," jawabku tegas, mulai muak dengan semua pertanyaannya.
"Itu kata-kata yang kejam."
***
-
A/N:
Judul yang sugestif ya?
Lazarus Chest emang punya hobi begini kok. Wajar dan mulai maklumi saja. Kita sudah ada di penghujung cerita. jadi, bagaimana pecahan masa lalu yang saya ceritakan lebih jauh? Sudah dapat menebak keseluruhan apa yang terjadi di masa lalu Alicia?
Btw, saya bener-bener suka nama Alicia.
Fun fact, alasan saya menamai dua tokoh saya Azran dan Alicia cuma karena, saya pengen ada tokoh saya diawali huruf A. Sesimpel itu. Alicia dan Azran.
Saya malas pakai Al untuk tokoh cowok karena di luar sana, sudah terlalu banyak Alexander, Alan, Alistair, Alastair, Alardo---wait....
Eniwei, sebelum saya didenda goceng, silakan vote dan komen. Sampai jumpa next chap.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro