53. Oryziel: Luka
London, Inggris
Constantinopel, artinya suku Carpantia.
Senyum merekah di bibirku di hadapan pengawal kepercayaan Sigmon itu. Gerakan yang benar-benar payah dan sangat mudah diduga dari seseorang yang seharusnya menjadi raja. Berada terlalu banyak di pengasingan dan kapal udara penuh manusia sudah menumpulkan insting Azran sebagai pemimpin.
"Terima kasih laporanmu, Jendral Aymar." Aku memberi salam hormat pada jenderal tangan kanan Sigmon. "Sampaikan rasa terima kasihku dan salamku semoga cepat pulih kepada Yang Mulia Khalif dan Sultan."
Pria bertubuh tegap itu membungkuk dan segera undur diri dari ruanganku dengan wajah penuh penghormatan, meski pada kenyataannya justru aku yang merasa terhormat karena Sigmon bersedia bertarung sampai terluka sangat parah melawan kakakku demi melaksanakan tugasnya.
Berdasarkan laporan Sigmon yang bertarung sendirian melawan Azran, kakakku itu sudah bisa berubah ke wujud keduanya, walaupun ukuran tubuhnya masih belum pulih. Sungguh prestasi yang luar biasa jika dalam Jalinan yang masih tersisa sedikit dan segel yang masih aktif saja dia sudah bisa membuat seorang raja seperti Sigmon terluka parah.
Bagaimana jika dia berhasil lepas dari segel utuhnya?
Beranjak dari kursi, aku berdiri menghadap jendela, mengamati pemandangan kota di luar kacanya yang jernih. Langit biru membentang tak berujung, istana serta rumah menutupi hampir seluruh permukaan tanah kota London, dan puluhan penyihir berjalan berlalu lalang di bawah sana.
Aku menyerap sebanyak mungkin semua pemandangan ini sebelum hancur lebur selamanya. Tidak lama lagi, kami akan bebas menjelajahi dunia ini tanpa dikekang apapun, tanpa harus dilanda ketakutan macam apapun, tanpa selalu merasa lemah, dan tanpa harus memikirkan untuk mencari makanan di mana.
Mataku tak henti menyerap birunya langit dan putihnya awan. Sejak dulu, sejak masuk ke dunia ini, langit adalah yang paling menyita perhatianku. Jika kami berada di dekat laut atau berada di pegunungan, mungkin ada hal lain akan lebih menyita perhatianku, tapi karena aku tinggal di wilayah kota yang tidak berbatasan dengan laut, aku harus puas dengan langit.
Terdengar terpaksa, tapi sesungguhnya, aku lebih dari puas.
Langit di sini selalu berganti setiap beberapa jam sekali, dari mulai semburat kuning cerah di pagi hari dari ufuk timur, lalu biru cerah di langit atau kelabu di kala hari suram, kemudian berubah jingga dengan semburat merah jambu ketika sore hari. Tidak peduli berapa hari pun berlalu, aku tidak pernah bosan melihat langit dan matahari yang selalu berganti.
Aku tidak lagi disuguhi pemandangan langit merah keemasan yang sama setiap hari. Di sini ada awan yang selalu bergerak, selalu berganti, dalam berbagai bentuk, tanpa henti, setiap detiknya, perlahan maupun cepat. Udaranya pun tidak menyesakkan. Aku bisa menarik napas sepanjang yang aku mau tanpa takut meracuni diri sendiri. Di sini kami sangat kuat, kami bisa menghancurkan apapun, mengalahkan siapapun, hanya dengan satu ayunan jari maupun helaan napas tanpa perlu berusaha keras.
Hari-hari di masa-masa awal itu terbayang lagi di dalam kepalaku, terlukis di sana begitu jelas dan nyata. Hidungku dapat mencium aroma bebungaan yang mekar di musim semi, aroma daun yang penuh embun karena baru saja lepas dari musim salju yang berat, dan aroma hujan yang terus mengguyur ladang dan hutan.
Sayang, seperti semua hal yang berjalan semestinya, semua kesenangan yang kami rasakan di sini tidak bertahan lama.
Kesenangan kami menyeberang ke dunia ini terganggu oleh terbentuknya Jalinan buatan para Pengkhianat itu. Sejak genrasi pelopor membuat perjanjian dengan Manusia untuk membuat pelindung anti sihir itu atas stabilitas Dunia, pergerakan kami terbatas. Kekuatan kami direduksi sekecil-kecilnya hingga kami nyaris seperti manusia biasa.
Para Penjaga Gerbang berharap dengan begitu, keadaan manusia yang pada saat itu memang banyak merugi, Dunia ini yang nyaris terbawa ke dalam arus waktu, perang yang hampir berkali-kali pecah karena perbuatan kami, dan Manusia yang berkali-kali entah bagaimana dengan bodohnya selalu saja mudah terbunuh di setiap konflik, akhirnya menemukan ketenangan dan kami sebagai pihak yang menumpang di dunia ini pun akan belajar untuk hidup berdampingan dengan manusia. Ketenangan itu pada akhirnya memang terjadi.
Tapi tidak untuk waktu lama.
Pada dasarnya manusia makhluk lemah yang mudah lupa dan terlalu peka terhadap sesuatu yang berbeda. Beberapa ratus tahun berlalu, kehidupan berganti. Tidak ada lagi manusia yang ingat kami. Perbedaan yang pada awalnya dikira sebagai wajar dan tidak dipermasalahkan, pada akhirnya dilupakan dan perbedaan antara kami dengan manusia menjadi sangat mencolok. Fisik kami yang menua sangat lambat pun menjadi masalah.
Itu awal petaka bagi segala hal. Semakin lama, manusia semakin lupa terhadap keberadaan para penyihir dan pada akhirnya ketakutan pun berkumpul.
Satu rasa nyeri tak tertahankan menohok jantungku dari dalam.
Rasa sakit di hari itu, semuanya masih terekam dan tersimpan jelas di dalam otakku dan tidak akan pernah kulupakan. Justru setelah semakin kudiamkan, rasa sakit itu semakin intens menyerang, terus menggerogotiku, terus mencacah tubuhku dari dalam. Setetes air mata turun di pipiku, teringat kenangan pedih yang tidak akan pernah kembali itu.
"Ini dunia mereka, Ziel! Kitalah yang seharusnya pergi! Kita yang seharusnya menyingkir dan bukannya mereka!"
Dunia ini milik mereka, itu memang benar. Kamilah yang harus menyingkir, itu memang benar. Tapi apa kita harus menyingkir, menutup mata, dan membiarkan saja kaum yang sudah merenggut hal yang berharga bagi kita, membuang nyawa kaum kita yang mencoba menolong mereka, tanpa meminta bayaran?
Aku membuka jendela, merasakan angin yang mulai dingin karena musim gugur yang sudah datang menyapu tubuhku. Meski tertutup segala jubah dan pakaian yang sangat tidak nyaman ini, semua hawa dingin masih sangat terasa.
Angin yang meniup tubuhku semakin kencang, mirip dengan malam itu, malam ketika bara api itu menghangatkan malam, menyesakkan udara sampai rasanya sulit sekali bernapas, dan malam ketika rasa sakit itu merenggut separuh dari diriku.
"Maaf, Ziel." Suara lirih Azran yang terisak masih terdengar jelas di telingaku. "Maaf aku tidak ada di sana. Maaf kau harus menyaksikan semuanya sendirian."
Saat itu aku bahkan sudah lupa caranya menangis. Rasanya semua air mataku sudah tumpah sampai tidak ada lagi yang tersisa untuk dikeluarkan. Rasanya sudah tidak ada lagi yang sedih untuk ditangisi.
Meski aku membalas pelukan Azran, benakku dipenuhi tanda tanya. Untuk siapa Azran menitikkan air matanya? Untukku? Untuk Ibu? Atau untuk manusia?
Kalau dia menangis untuk Ibu atau untukku, kenapa dia menyalahkan dirinya sendiri? Dilihat dari manapun, ini bukan kesalahannya. Ini kesalahan manusia. Kenapa Azran seolah tidak ingin melimpahkan kesalahan kepada manusia?
Pada akhirnya, beberapa tahun kemudian, aku mendapat jawaban dari semua pertanyaan itu.
***
"Ziel, kau tahu, posisi bintang dan bulan setiap malam berbeda lho!" Mendadak saja aku menoleh, menatap wajah Azran yang berbaring di sampingku. Wajah kecilnya merupakan duplikat-hampir-mirip wajahku, hanya dengan warna mata dan rambut yang berbeda, tersenyum dan menatap langit malam yang penuh bintang dengan penuh rasa kagum. "Bintang selalu berputar dan bulan pun berputar. Lihat sekarang bulan ada di timur, nanti malam bulan akan bergerak ke arah barat!"
Aku mengembuskan napas keras-keras, dalam diam menangisi kebodohan saudara kandungku. "Aku sudah membacanya di buku, Azran. Katanya memang seperti itu!"
Azran mencebik. "Kalau begitu, kau tahu bintang apa itu?" Azran tersenyum. Dia berusaha menutupi kesan meremehkan dalam suaranya, aku tahu, tapi ketika dia meremehkan, pendar di mata emasnya selalu berputar lebih lambat dari biasanya, entah dia tahu atau tidak. Mengabaikan matanya, aku menatap mengikuti arah tangannya menunjuk.
"Betelgeuse." Aku menjawab dengan mudah. Kemudian Azran mencoba mengecohku dengan menunjuk bintang lain. "Vega." Dan terus berpindah hingga ada jawaban-jawaban yang keluar dari mulutku. "Canopus", "Sirius", "Cassiopeia", "Pegasus", dan "Antares".
"Kau ini kutu buku ya?" Azran akhirnya menyerah.
"Aku harus mencari kegiatan lain saat kau dan Ayah menebang kayu di hutan," jawabku jujur, lalu jadi murung sendiri. "Kudengar laki-laki yang hobi membaca buku itu aneh di kota."
"Tidak juga," Azran memandang langit dengan senyum di wajahnya. "Jika kau mengagumi apa yang ada di dunia ini, itu wajar. Aku pun kagum dan masih belum berhenti kagum hingga detik ini. Di dunia kita tidak ada yang namanya bulan, awan, apalagi bintang."
Terdiam sejenak sebelum aku memutuskan untuk bicara lagi. "Hei, Azran," tegurku sambil menelaah langit. "Menurutmu, apa dunia kita ada di atas sana? Di antara semua bintang itu?"
Ada kesunyian yang cukup lama. Aku hampir mengulang pertanyaanku karena takut Azran tidak mendengarnya ketika jawaban itu muncul begitu saja. "Entahlah," jawabnya, pandangannya menerawang jauh ke angkasa yang gelap. "Kita masuk begitu saja melewati retakan yang terbuka itu kan? Mungkin kita tidak ada di atas, mungkin ada di sebelah, entahlah, aku masih belum tahu apa-apa."
"Hei, Azran."
"Hm?"
Sekali lagi aku penasaran. "Jalinan itu bentuknya seperti apa ya?"
"Entahlah, mungkin seperti rajutan kusut, seperti namanya, atau yah ... aku tidak tahu." Azran mengerang frustrasi. "Kenapa dari tadi pertanyaanmu sulit sekali dijawab, Ziel?"
Sebelah alisku terangkat tinggi. "Memangnya kau tidak pernah bertanya-tanya seperti itu?"
"Tidak. Main saja, kenapa harus berpikir?" jawabnya enteng.
"Kau penerus Ayah, mana mungkin kau boleh bermain terus."
Azran memunggungiku di atas rumput. "Kau saja yang jadi penerus, aku tidak mau. Pasti aku hanya akan dibanding-bandingkan lagi."
"Kau tidak mau memperjuangkannya?" tanyaku. "Kata Ayah hidup itu kerja keras lho."
"Selama kita masih hidup, untuk apa susah payah?" sahutnya tanpa menatapku.
"Kau tidak pernah berpikir ingin menghancurkan Jalinan yang membuat kita terkurung di wujud menyedihkan ini, Azran?"
Sekali ini, aku mendapat perhatiannya. Kakakku satu-satunya itu berbalik, menatapku heran. "Apa maksudmu, Ziel?"
"Kita terlalu berbeda dengan penduduk di negara ini atau di manapun." Aku mengaku. "Kita tidak cocok di manapun."
"Kata siapa?" Suara itu terdengar dari belakang kami berdua. Azran terbangun dari pembaringannya di atas rumput dan ikut menoleh bersamaku ke belakang, ke arah seorang wanita yang berlumuran tanah dan jelaga yang berjalan menghampiri kami.
Aku langsung memeluk wanita itu ketika ia duduk di dekat kami, menghirup aroma tubuhnya yang seperti kue kering dan gandum kering, aroma yang kata Azran tidak enak, tapi buatku sangatlah menentramkan.
Rambutku diusapnya dengan lembut. "Kenapa menurutmu kita tidak cocok di manapun, Oryziel?" Ibu bertanya dengan lembut.
"Itu benar kan, Bu? Kekuatan kita tidak cocok, mata kita tidak cocok, tingkah laku kita tidak cocok dengan anak-anak yang penampilannya sama seperti kita, bahkan nama kita saja tidak cocok dengan nama orang-orang di dunia ini," ungkapku. "Kita terus-terusan lari dan sembunyi padahal kita tidak berbuat kesalahan apapun."
"Keluhanmu banyak sekali," Azran menyela. "Kau ini pekerja keras yang banyak mengeluh, rupanya."
"Apa boleh buat kan?" sahutku. "Ibu, bukankah masa-masa itu menyenangkan? Ketika semua makhluk di dunia ini takut pada kita?"
Azran mendengus, lalu memunggungiku sekali lagi. "Jangan banyak berkhayal, Ziel," sungutnya, kedengaran kesal. Tanpa perlu melihat pun, aku tahu dia sedang memberengut.
Aku berusaha mencari pembelaan dari wajah Ibu, namun yang aku lihat Ibu malah sepertinya berniat untuk membela pendapat Azran ... seperti biasanya.
"Begini, Oryziel...." Tidak, aku tidak mau dengar. Itu kata yang biasa Ibu gunakan ketika dia mau menyanggah pendapatku. "Manusia dan semua makhluk di dunia ini sudah punya cukup banyak makhluk untuk ditakuti dengan mereka yang ikut pindah bersama kita ke dunia ini. Jangan memberi mereka ketakutan yang lebih besar." Sekali lagi, ibuku memberi penjelasan yang aneh. Aku tidak pernah mengerti cara berpikir beliau, cara berpikir yang diwariskannya kepada Azran ini, segala yang mendukung manusia ini, benar-benar tak masuk akal. "Kalian punya cara berpikir yang lebih matang dibanding anak-anak yang berpenampilan sama seperti kalian di dunia ini. Umur kalian pun jauh lebih matang dari mereka, kalian berdua—terutama kau, Oryziel—pasti bisa tahu kenapa Ibu bilang begini kan?"
"Tidak ada yang salah dengan menakuti kan?" Aku menyahut. "Mereka selalu saling menakuti di akhir musim gugur dengan pakaian-pakaian yang menyeramkan."
"Mereka menakuti dan akhirnya tertawa. Jika kita yang menakuti, mungkin akan ada yang kehilangan nyawanya." Azran menyahut lagi, kali ini memberiku tatapan kesal, tampak habsi kesabarannya beradu argumen denganku.
Aku terkekeh geli. "Kau berkata seolah kita ini monster saja."
"Dibandingkan penghuni dunia ini yang liliput, ya kan?"
Sekali lagi aku tertawa. "Kau ada benarnya."
Ibu mengelus rambutku. "Kakakmu benar, Oryziel. Lebih baik memang seperti ini. Kita tidak menyakiti dan mereka tidak menyakiti kita."
***
Malam ini pun sama tenangnya dengan malam itu, sama berbintangnya, sama cerahnya, sama gelapnya, sama dinginnya, seolah tidak peduli apa yang terjadi pada dunia ini, pada apa yang menimpa seluruh penghuni dunia ini.
Dulu aku mengira langit ini indah, tapi sekarang aku mengerti, setiap hal yang indah, pasti akan memiliki sisi kejam, termasuk kehidupan.
Kepalaku menunduk, menatap alun-alun yang terlihat dari jendela. Di alun-alun itu, dulu digantung belasan jasad penyihir selama berhari-hari, dibiarkan membusuk dan dimakan gagak, menebarkan penyakit parah yang kemudian mereka timpakan semua akibat ulah mereka sendiri itu kepada orang lain tanpa pernah merasa malu.
Kini yang ada di sana hanyalah mayat para pemberontak dan perompak berulah yang semakin berkurang dari hari ke hari. Beberapa mayat sudah membusuk dan masih saja di sana. Aku sengaja melakukannya. Aku suka membiarkan mayat iu mengering sendiri sebagai pelajaran bagi yang lain, membiarkan bau busuknya menusuk hidung-hidung kecil mereka. Aku ingin lihat bagaimana wajah mereka ketika melihat orang-orang yang mereka kasihi mati di depan mata mereka sendiri dan membusuk akibat kesalahan yang sepele.
Sekarang aku lega, mereka sudah mengerti. Tapi itu tidak mengubah apapun, tidak mengembalikan apapun. Dan aku masih merasa mereka masih belum cukup mengerti untuk tidak akan mengulang kesalahan yang sama di masa depan nanti.
Mengalihkan diri dari pemandangan itu, aku pun menutup mata. Di setiap malam, setiap kali aku menutup mata, kenangan itu akan diputar kembali tepat di depan mataku. Aku akan diingatkan kembali betapa tololnya aku karena percaya manusia, betapa tidak berdayanya aku karena tidak bisa menyelamatkan Ibu, dan betapa aku sudah merendah sampai ke titik terendah derajatku hanya untuk memohon mereka melepaskan ibuku.
"Ew ... dia benar-benar memakan makanan babi! Dia memang penyihir! Dia memang titisan Iblis! Tidak mungkin ada Manusia yang bisa melakukannya dan tetap hidup!"
Ya, aku bersedia. Aku bersedia melakukan apa saja yang kalian mau asal jangan kalian sakiti ibuku. Lepaskan dia, aku mohon. Dia tidak bersalah. Bunuh saja aku sebagai gantinya, tapi bebaskan dia.
"Kalau anaknya saja bisa bersedia dengan mudahnya melakukan ini, ibunya pasti bisa melakukan hal yang lebih parah dari ini!"
Tidak, tunggu, bukan itu maksudku. Apa-apaan kalian ini?! Kalian bilang akan melepaskan ibuku kalau aku bersedia melakukan yang kalian mau! Tepati kata-kata kalian! Hei!
"Kau berharap kami akan percaya pada kata-katamu? Kali ini kau memang menepatinya, Iblis Kecil, tapi tidak ada yang dapat menjamin nanti! Kalian ini pembunuh, pembawa bencana, sebaiknya kalian mati agar desa ini terlepas dari semua kemalangan ini."
Keparat! Kalian sudah berjanji! Hentikan! Akan kulakukan apa saja! Kalian tinggal sebutkan! Tidak! Aku mohon, jangan ibuku! Ampuni dia! Bunuh saja aku sebagai gantinya! Hei, kalian tidak tuli! Jangan pura-pura tidak—HENTIKAN!
Lalu wajah ibuku dan kata-kata terakhirnya akan terngiang kembali. "Maafkan Ibu, Ziel."
Sampai detik ini, aku tidak pernah mengerti Ibu maupun Azran. Aku tidak paham kenapa mereka begitu bersimpati pada manusia dan membela mereka di atas kaum mereka sendiri. Aku tidak mengerti kenapa Ibu masih membela manusia padahal sudah diusir berkali-kali oleh mereka dan aku tidak mengerti kenapa Azran membela manusia meski sudah merenggut nyawa Ibu.
Tapi aku juga tidak mau mengerti.
Pemikiran untuk berdamai dengan kaum yang sudah mengkhianati kepercayaan Ibuku, aku sama sekali tidak mau mengerti pemikiran konyol, kejam, dan tolol semacam itu.
"Yang Mulia, para Jenderal Garda Serikat sudah hadir." Aku berbalik dan segera masuk ke dalam gedung.
Di aula pertemuan, tiga jenderal sudah berkumpul di hadapanku. Mereka semua membungkuk hormat padaku sebelum kembali bangun dan menatapku lekat-lekat, dengan sabar menanti setiap kata yang akan keluar dari mulutku.
"Tuan-tuan, maaf mengganggu malam kalian yang panjang. Tapi aku punya satu urusan penting yang mendesak dan harus segera diselesaikan."
Tiga Jenderal sungguh-sungguh menatapku. Sedih melihat Sigmon harus absen malam ini, tapi pertamuan ini tetap harus dilakukan. Aku tidak bisa membiarkan segel Azran terlepas. Dia dan pemikiran bodohnya pasti akan memilih untuk membantu manusia.
Aku tidak bisa membiarkan apa yang sudah lima raja, termasuk ayah kami, perjuangkan sia-sia di tangannya.
"Setelah pertemuan ini selesai, kuperintahkan seluruh armada untuk pergi menyisir wilayah yang terpusat di kedua reruntuhan Carpantia." Ketiga jenderal menerima perintah ini tanpa terlihat ragu sedikit pun. Bagus. "Hancurkan reruntuhan itu sampai tidak tersisa sama sekali tanpa ada satu debu pun yang lolos. Lazarus adalah prioritas utama kita. Di akhir minggu ini, mayatnya harus digantung di alun-alun London."
Aku tidak akan mengulangi kesalahn ibuku yang memercayai manusia dan aku tidak akan mengulangi kesalahan ayahku yang memercayai Andrea Serdin.
Kali ini akan kupastikan celah terakhir bagi manusia untuk kembali menguasai dunia ini, lenyap.
***
A/N:
Saya masih nggak bisa merasakan makanan yang saya makan. Tapi setidaknya semua makanan nggak terasa seperti debu. Yah, anggaplah saya sudah terbiasa.
Seenggaknya kalau saya fokus ke rasa minyaknya dan tekstur, saya bisa bayangin lagi rasanya kayak apa dan itu suatu hal yang baik.
Eniwei, ini salah satu POV dari sudut pandang Ziel. Entah kenapa, banyak yang suka sama Ziel diem-diem. Mungkin karena bab ini. Mungkin karena dia berkharisma. Well, seenggaknya saya nggak kayak pengarang buku best selling itu, yang bikin satu buku didedikasikan kepada sang antagonis charming no. 1. Dua bab rasanya nggak akan menyakiti siapa pun, sooo ... plis enjoy.
Akhir kata, jangan lupa vote dan komen. See you next chap.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro