49. Azran: Dua Raja Bertemu
Penyihir keparat? Sekarang aku tahu dari mana Alto mendapatkan pelajaran tata bahasa.
Pemuda itu bersiaga di sana, dari balik tembok batu setinggi tujuh kaki yang dipasang di sekeliling reruntuhan pemukiman yang seharusnya kosong itu, sambil mengarahkan panahnya kepadaku. Di sampingnya, seorang gadis berambut pirang yang sepertinya juga teman Alto, berdiri. Tidak seperti Edward, gadis itu terlihat sangat ketakutan saat bertemu pandang denganku. Ia sebisa mungkin menyembunyikan diri di balik punggung Edward, sekuat tenaga berusaha untuk tidak terlihat mataku.
Alto mengusap sisa darah dari matanya dan berbalik, pandangannya mengikuti arah mataku. Dalam satu helaan napas, muncul binar kehidupan di matanya ketika menatap pemuda yang berada jauh di sana, binar berbeda yang tidak pernah ia tunjukkan padaku. Keberadaan Edward seolah menyalakan percikan harapan dan kehidupan yang telah lama lenyap tertelan keputus asaan dalam dirinya, sementara keberadaanku seolah justru memicu keputus asaan itu untuk membusuk dan menggerogoti seluruh Alto.
Anak panah di tanganku patah jadi dua.
"Al, apa dia menyakitimu?" Edward bertanya, suaranya yang lantang bergema di seluruh dinding tebing.
"Tidak!" Alto menyahut dengan ikut berteriak. "Kami hanya berunding!"
Namun jawaban itu tidak memuaskannya. Pemuda itu, meki sudah menarik mundur busur dan anak panahnya dari posisi membidik, tetap saja berlari dengan tergesa-gesa menuruni tangga dan keluar dari desa secepat angin bersama temannya, repot-repot menghampiri kami yang baik-baik saja di sini. Dengan sorot penuh kebencian yang tak sedetik pun pernah melepaskanku, pemuda itu menghampiri Alto.
Sekali lagi, dengan mudah ia dapat mengundang senyum lembut gadis itu.
"Al!" Gadis asing berambut pirang itu memeluk Alto singkat dan erat sebelum dengan cemas mengecek seluruh wajahnya dan memekik kaget. "Astaga! Apa ini darah? Demi Bintang-Bintang, Alicia, matamu merah sekali! Apa yang terjadi padamu? Kau disakiti?"
Telingaku berjingkat. Alicia?
Alto menjauhkan gadis itu darinya dan memberinya senyum menenangkan. "Tidak, aku tidak apa-apa, Suri," tegasnya. Namun seolah belum percaya, Edward ikut campur, hampir merebut Alto dari tangan gadis bernama Suri itu. Dengan gerakan posesif yang sebenarnya sama sekali tidak berhak ia tunjukkan, pemuda tengik itu membalik wajah Alto, membuat gadis itu dengan enggan berdiri berhadap-hadapan dengannya.
Wajah pemuda itu berubah horor. Kedua tangannya menangkup wajah mungil Alto.
Dia. Menyentuh. Alto.
Anak sialan.
"Apanya yang tidak apa-apa? Matamu berdarah lagi!" Dia mengelus tulang air mata persis di bawah pelupuk mata Alto. "Kita harus obati ini segera." Tapi alih-alih benar kembali ke desa, sepasang mata hijau cemerlang itu malah mendelik ke arahku. "Apa ini ulahmu? Apa kau terus memaksanya? Dia punya alergi sihir yang parah, kalau kau belum tahu! Jadi kendalikanlah sihirmu itu sebelum kau membuatnya—
"Edward." Suara Alto serta merta menghentikan racauan pemuda tengik itu.
Suara Alto tadi cukup pelan, tapi hanya dengan satu suara sepelan itu, Edward berhenti bicara dan menoleh, menatap gadis berambut gelap itu dengan wajah tidak percaya, berharap yang memanggilnya dengan suara dingin penuh peringatan tadi bukanlah gadis yang sedang ada di hadapannya. Sayang, kenyataan tidak pernah sesuai harapan, termasuk kenyataan kali ini.
"Ini urusanku." Alto meyakinkan Edward bahwa yang baru saja memanggilnya adalah benar dia dengan bicara sekali lagi, dengan nada dingin yang sama yang digunakannya padaku.
Ada kepuasan aneh dalam diriku melihat wajah Edward berubah pias, kepuasan yang sama sekali tidak sedikit.
Sekali lagi air mata darah menetes dari kedua mata Alto. Setelah mendapat peringatan, Edward hanya diam, tak lagi berucap apa-apa selain mengusap semua darah itu dari pipi Alto.
Dan Alto tampak pasrah, bahkan tidak kelihatan keberatan sama sekali dengan pelakuan mendadak itu.
Sekali lagi, pemuda tengik sialan.
"Sudah kubilang aku hanya berunding." Alto menggenggam kedua tangan Edward yang menyentuh wajahnya erat-erat sebelum dengan perlahan menurunkannya. Jelas itu bukan genggaman untuk menghancurkan karena Edward sama sekali tidak berjengit. "Kalian malah menghalangiku untuk berunding di sini."
Edward mengembuskan napas keras-keras. "Mengingat sifatmu dulu dan sekarang yang tidak berubah, aku tidak yakin perundingan ini sehat." Ia memberengut kesal. Matanya menelusuri seluruh tubuhku. Dia mencibir. "Terlebih dia ini perompak. Penyihir sekaligus perompak bukan perpaduan yang bagus."
Aku rasa Alto pun pernah mengatakannya di suatu masa yang lalu.
"Anak kecil yang hanya bisa memanah asal-asalan dan tukang cibir pun bukan perpaduan yang bagus." Aku balas mencibir, yang langsung saja menyulut kemarahan di dalam mata hijau itu.
"Urusanmu bukan dengan Edward, Penyihir." Alto berbalik, mendelik padaku. Binar terang di matanya yang sempat menyala ketika menatap Edward, mendadak mati ketika berhadapan denganku. "Dan urusan kita belum selesai."
Aku mendengus. "Memangnya urusan apa lagi? Aku tidak punya—
"Kau bilang kau tidak menyelamatkanku hanya untuk melihatku mati, seolah aku bisa mati dengan sangat mudah." Ucapan ini mengundang dua pasang mata membelalak heran, menuntut jawaban padaku, tapi kuabaikan semua mata penasaran itu dan terfokus hanya pada apa yang mungkin akan keluar dari mulutnya sedetik setelah ini.
"Lalu?"
"Kau salah." Apa? "Aku tidak akan mati," ujarnya dengan keteguhan yang sedikit banyak membuatku tertegun. "Aku tidak akan mati sebelum tujuanmu tercapai."
Aku tertawa pahit. Dapat keyakinan dari mana gadis ini sampai bisa mengatakan kalau dia tidak akan mati dengan wajah seteguh itu? "Kau lebih tolol dari yang aku duga." Berada di penjara selama sebulan lebih sudah merusak otaknya sampai ke tingkat yang tidak bisa disembuhkan.
John berdeham, mengingatkanku akan keberadaannya yang sejak kedatangan Edward kulupakan total. "Oke, mata yang berdarah itu serius." Pria paruh baya itu bersuara dengan sangat prihatin, mencoba menenangkan tensi yang sudah sedemikian tinggi di antara kami dengan empati dan sikap persuasif andalannya. Tapi melihat ada dua pengawal yang saat ini berdiri menghalangi kami dari Alto, bahkan John pun hanya bisa berdiri dari tempatnya tanpa bisa mendekat seperti biasa. "Apa kau bisa melihat? Ini berapa?" John mengacungkan tiga jarinya di depan mata Alto.
"Tiga," jawab Alto mudah.
John menghela napas lega. "Baiklah, matamu tidak apa-apa. Untuk saat ini." Dia menatap Edward dan Suri. "Tapi kusarankan kau ikut saran teman-temanmu untuk mengobatinya sekarang juga, karena itu pasti sakit."
"Tidak terlalu sakit sebenarnya." Belum hilang keterkejutanku karena jawaban yang keluar demikian mudah dari mulutnya, Alto sudah menatapku lagi. "Nah, kau jadi menyembuhkan tanganku atau tidak?"
Serta merta, aku mendecih. "Kau membuatku berubah pikiran."
Terdiam sejenak. "Baiklah." Tanpa bicara apapun lagi, Alto berjalan ke arah desa, disusul oleh sepasang manusia tengil yang entah ada hubungan apa dengan Alto sampai terlihat begitu menempel dengannya seperti anak itik menempel pada induknya itu.
"Dia kelihatan menakutkan sekali, Al. Kau benar-benar harus menjauhinya." Gadis bernama Suri itu berbisik selagi berjalan menjauh namun suaranya masih dapat kudengar dari sini. "Tenang saja, Baba sudah menyiapkan uang untuk membelimu darinya."
Mendengar kata uang hanya membuat seluruh tubuhku berubah tegang dalam getaran yang tidak menyenangkan, sangat tidak menyenangkan.
Mereka bermaksud membeli Alto? Dengan harga lebih tinggi, begitu? Dan berniat untuk melepaskanku darinya?
"Apa yang mereka bicarakan?" John berjalan pelan ke sebelahku. Dia masih mengunyah rotinya. "Kelihatannya tegang sekali."
Aku memberengut kesal. "Mereka ingin membeli Alto."
John berdecak berkali-kali, memperdengarkan suara prihatin yang dibuat-buat. "Ada yang mau membeli tangkapan kita yang berharga dan susah didapat." Dia mengunyah roti lagi. "Apa yang akan kita lakukan? Seandainya mereka menawar lebih tinggi, apa kita akan melepaskan Alto?"
"Tentu saja tidak," jawabku yakin tanpa keraguan sedikit pun. "Lazarus susah sekali didapatkan. Kalau sudah mendapatkan satu, jangan dilepaskan. Malah bagus kalau bisa dapat dua."
"Benar, semakin banyak semakin bagus," John mengakui. "Karena kalau hanya dia sendiri, aku tidak yakin tujuan kita bisa terwujud, tidak peduli meski anak itu bicara seenaknya soal tidak akan mati tadi." Rupanya dia juga sependapat denganku soal itu. "Butuh dua belas Penjaga Gerbang untuk membuat Jalinan berjalan dan kita hanya dapat satu."
Dengan kata lain, meskipun Alto bisa mengembalikan Jalinan, tidak ada jaminan nyawanya akan selamat.
Lalu kenapa? Asalkan tujuan kami tercapai, itu sama sekali bukan masalah untukku.
Ya, sama sekali bukan masalah. Ya, kan?
John mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan. "Masalahnya adalah, Kandidat dan Donor. Kandidat yang cocok tidak bisa didapatkan dengan instan. Ada berbagai tahapan dan seleksi dan indicator yang tidak bisa diabaikan. Selainitu, apa ada penyihir lain yang bersedia untuk menjadi Donor sekarang? Di masa ketika Penyihir tidak harus berkorban apa pun lagi?"
"Kalau tidak ada, aku masih bisa menggantikan mereka," sahutku cepat.
"Kau jangan bersikap seolah semua ini mudah." John mendengus. "Lalu, setelah kau menjadi Donor, siapa yang akan menjadi Kandidat? Kau tidak dengar kataku? Mereka dipilih dengan kriteria tertentu. Kau bisa mencari orang dengan kriteria itu? Dan memangnya kau tahu kriteria yang bisa dijadikan Kandidat?"
"Kau tidak perlu khawatir soal itu."
"Sebaiknya memang begitu," John mengiyakan. "Karena kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuknya: jika benar tidak ada Penjaga Gerbang, Kandidat, ataupun Lazarus lain yang hidup selain Alto."
Kemungkinan itu pula yang sedang aku pikirkan. Sudah bertahun-tahun kami mencari adanya Lazarus. Ketika kami hampir kehilangan harapan, Alto muncul, memberikan cahaya harapan baru pada kami. Tapi kemudian kenyataan ini datang menghimpit kami. Tidak adanya satu pun Lazarus yang kami temui selama bertahun-tahun pastilah ada alasan, jika bukan karena mereka semua gerilyawan yang ulung, mereka sudah musnah sejak lama.
Jika hanya Alto yang bisa kami dapat untuk seterusnya dan Jalinan tidak bisa menunggu, itulah masalah kami selanjutnya.
John mengembuskan napas keras-keras, mengalihkan pikiranku yang tadi penuh. "Kita kesampingkan kemungkinan mati itu untuk nanti. Sekarang, jika orang-orang ini menggunakan kekerasan untuk merebut Alto dari kita, apa yang akan kita lakukan?"
Apa perlu dia menanyakannya lagi? "Balas mereka, tentu saja."
John terkikik, menghabiskan potongan rotinya yang terakhir. "Kau serius sekali. Aku tidak bermaksud mengajak perang lho."
Aku mendelik, memelototi pria paruh baya itu. "Apa maksud—
Kalimatku terhenti di tengah jalan, terpotong oleh gelombang sihir kuat yang seketika memanaskan udara.
Aku langsung meninggalkan tempat itu, berlari menyeberangi Danau Cermin dan melompat keluar dari air terjun, mendarat di salah satu batunya yang licin dengan kedua kaki tegap, tak sedikit pun berniat untuk berlutut di hadapan sosok yang kutahu sedang berdiri beberpa kaki di depan air terjun tanpa berbuat apa-apa, entah sejak kapan menunggu di sini tanpa pernah menyerang ke dalam.
"Akhirnya keluar juga." Suara pria asing itu menyapaku ramah, tapi aku sudah terlalu banyak menelan keramahan palsu untuk bisa menyambut baik keramahan itu. "Aku sudah menunggumu cukup lama di sini, Raja Kedua Klan Therlian."
Dengan kewaspadaan maksimal, aku mengamati pria yang penampilannya tidak lebih tua dari John itu. Kulitnya kecoklatan seperti tembaga, dengan tinggi yang bahkan melampaui tinggi tubuhku. Ia tampak kurus dalam balutan salvar dan yelek hitam. Rambutnya yang hitam kelam dibiarkan tanpa penutup kepala, seolah ia tidak ingin bulan sabit emas yang tersemat di dadanya kalah oleh aksesori lain di atasnya.
"Senang melihatmu baik-baik saja." Pria itu tersenyum dan sekalipun secara fisik ia tidak terlihat lebih ta dari John, dia tersenyum seperti lelaki tua. "Kulihat menjadi perompak tidak membuatmu berubah banyak."
Aku mencebik. "Senang juga melihatmu setelah sekian lama, tuan Sigmon."
***
Lima raja.
Itu adalah istilah yang digunakan untuk menyebut lima pemimpin klan dalam kaum kami: Eusena, Bastili, Sigmon, Klaid, dan Therlian. Masing-masing nama Klan diambil dari nama raja-raja pertama.
Sigmon adalah salah satu raja pertama yang masih hidup. Bahkan menyabet gelar sebagai salah satu petinggi militer Istanbul yang dipercaya secara langsung oleh Sultan: Bayangan Sang Sultan. Satu dari sedikit penyihir yang bisa bertahan di samping Manusia.
Hingga Gelombang Sihir menerjang dunia.
Soal kekuatan, aku sendiri tidak yakin apa bisa menandinginya atau tidak karena jika dibandingkan denganku, sihir putih miliknya jauh lebih kuat, hingga sanggup menutupi kekurangannya yang hanya menguasai dua jenis sihir.
"Kalau tidak salah kita terakhir kali dua puluh tahun lalu bukan?" Mata gelap sang raja menatap tubuhku, ekspresinya menggelap. "Segelmu masih ada." Namun kemudian senyumnya mengembang. "Tapi sepertinya sudah lebih baik dari terakhir kita bertemu. Walaupun kendali sihirmu masih payah sekali."
Aku tidak boleh gegabah dengannya. Setua apapun, dia tetap raja terkuat ketiga di antara lima klan, hampir bisa disejajarkan dengan Therlian.
"Rasanya sudah lama sekali, Tuan Sigmon. Tapi tentu bagi Anda yang sudah berumur lebih dari sepuluh ribu tahun, dua puluh tahun bukan jumlah yang besar," sapaku tak merasa aman. Meski kedua klan kami sangat akrab sampai bisa dikatakan sudah berhasil membentuk aliansi, tetap saja aku bukan lagi raja kedua. Aku sudah dibuang. "Masih menjabat sebagai Lima Jenderal dari Garda Serikat?"
"Tentu saja," jawabnya tenang.
Sejak sebelum gelombang kebangkitan sihir dimulai, Garda Serikat telah terbentuk dari para terkuat kelima klan dengan masing-masing panglima tertinggi dari kelima pasukan adalah kelima raja sendiri. Pemimpin dari Garda Serikat saat ini adalah raja dari Therlian, dengan kata lain, adikku. Dan mengingat aliansi antara klan Sigmon dan Therlian, ini bukan hal bagus. Keberadaan Sigmon di sini pastinya bukan tanpa alasan.
"Kenapa kau kelihatan ketakutan sekali, Azran?" Sigmon tersenyum ramah. "Meski kau raja kedua, dari dulu klan Therlian punya jarak kekuatan cukup jauh dengan Sigmon. Kau masih lebih kuat dariku."
"Aku belum pernah mencoba, mana berani aku membuat kesimpulan seberani itu, Tuan Sigmon?" sahutku, masih merasa tidak tenang. Kedatangan Sigmon yang disertai kesunyian mendadak ini tidak membuatku nyaman. Atmosfer sudah dipenuhi oleh sihirnya. "Tapi sayang sekali, aku tidak pantas dipanggil raja. Kau tahu, bukan, kalau aku sudah dibuang?"
Sigmon memperlihatkan wajah iba yang bingung untuk kutanggapi dengan marah sebagai bentuk penghinaan ataukah berterima kasih atas rasa simpati seorang teman lama keluarga.
"Sebaiknya kita jangan membicarakan masalah itu." Burung tua itu benar-benar tidak sedang ingin basa basi. "Sekarang yang ingin aku tahu ...." Wajahnya menjadi serius. Mata gelapnya yang berpendar dalam terangnya malam memandang air terjun di belakangku. "Apa yang kau lakukan di dalam sana?"
Mulutku terkunci rapat.
"Kalau kau memberi tahu, aku akan melepaskanmu untuk malam ini," imbuh Sigmon lagi. "Saat ini, prioritas utamaku hanya dia yang ada di dalam sana."
Jadi dia sudah tahu ada sekumpulan manusia di belakang air terjun. Sudah kuduga ada yang amis dari semua ini. Tidak mungkin Sigmon tidak tahu keanehan di wilayah yang dipimpinnya, sekalipun benua pimpinannya adalah yang paling luas di planet ini sekalipun.
Sigmon bukan orang yang suka mengingkari janji, jadi jika dia sudah bilang akan melepaskan, artinya dia memang akan melepaskanku. Tapi dia bilang malam ini, artinya setelah malam ini berakhir, tidak ada jaminan dia akan tetap membiarkanku kabur atau tidak. Selain itu, urusan yang dia sebutkan tadi sedikit mengganggu pikiranku.
"Urusanmu dengan mereka yang ada di dalam sana, ataukah ...." Aku menatap sang raja langsung, membiarkan sihirku lepas, beradu dengan sihirnya hingga panas di udar meningkat. "Dia yang ada di antara mereka di dalam sana?"
Senyum yang sulit dibedakan apakah palsu atau asli, merekah di wajah Sigmon. "Kau cukup sensitif, Azran."
Jadi dugaanku benar, yang dia incar bukan sekumpulan manusia di dalam. Da merasakan kekuatan Alto. Pasti karena kenekatan anak itu melepaskan segelku tadi. Gua di balik air terjun ini bukannya kedap sihir. Mungkin dulu pernah, tapi sekarang tidak ada apapun lagi di sana selain sekumpulan manusia lemah bersenjatakan kayu dan besi.
Sekarang raja ini tahu ada Lazarus di dalam dan mengincarnya. Apapun tujuannya sekarang, bisa kupastikan itu tidak akan berakhir baik bagi Alto.
Berbahaya memang menentang raja seperti dia, terutama karena kami belum pernah beradu sebelumnya, jadi tidak mengetahui batas kekuatan masing-masing, tapi yang dipertaruhkan di sini adalah kunciku untuk menghentikan semua kekacauan ini, kunci untuk menghentikan kemusnahan satu-satunya kekang yang dapat menghalangi kaumku dari mengambil alih dunia ini dan memusnahkan seluruh penghuninya.
"Tidak bisa."
Sigmon membelalak kaget.
"Tidak bisa?" Sigmon mengulangi jawabaku tadi dengan mata masih membelalak lebar-lebar. "Apa tadi aku tidak salah dengar?"
"Kau tidak salah dengar, Tuan Sigmon." Aku menatap mata pria di hadapanku lekat-lekat. Mata gelapnya yang anehnya mampu berpendar keperakan menelitiku dari atas ke bawah, mencari kebohongan sekecil apapun di dalam mataku.
Angin malam yang tadi sunyi, kini perlahan berembus, meniup lembut rambut pirang Sigmon yang sekilas tampak menyala pucat di dalam kegelapan yang baru saja datang. Atmosfer di sekitar kami membeku, ketegangan meningkat tajam.
"Reaksimu benar-benar di luar dugaan."
"Pun denganmu, Tuan Sigmon." Aku mengakui. "Kau tahu ada manusia di dalam sana, tapi membiarkannya. Apa kau tahu siapa mereka?"
"Suku Carpantia, bukan?" Aku tertegun. "Suku tempat salah satu Kandidat dilahirkan dan salah satu suku yang mengetahui banyak soal Jalinan dan kemungkinan dapat mengangkat dan melahirkan Kandidat yang baru untuk dijadikan Penjaga Gerbang."
Setelah hilang semua keterkejutan yang tadi sempat melanda, aku menghela napas. "Kau masih saja tidak suka membunuh manusia ya, Tuan Sigmon?"
"Tentu saja." Dia mengiyakan. "Terutama jika targetku spesifik."
Sekarang aku tidak lagi hanya berdua dengan Sigmon. Keberadaan lain mulai berdatangan, dalam jumlah yang sangat banyak. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang mengambil jarak terlalu dekat.
"Sejak kapan kau tahu mereka bersembunyi di sana?" tanyaku, berusaha mengulur waktu bagi John dan Alto untuk lari. John pasti mengerti aku tidak akan lari dalam kepanikan jika tidak terjadi sesuatu di luar kemampuanku.
"Sejak klanku menguasai benua ini," jawab Sigmon tenang.
Itu sudah cukup lama. "Kenapa kau membiarkan mereka?"
Pendar di mata gelap sang raja meredup. "Aku bukan makhluk sebiadab itu sampai memusnahkan semua penghuni dunia ini, Azran. Mereka tidak bersalah. Untuk apa memusnahkan mereka?" balasnya. "Kau lupa posisi klan Sigmon di antara para Penjaga Gerbang?"
Pendonor paling banyak, sejujurnya aku hampir lupa fakta penting itu. Ada lebih dari satu Lazarus yang menjadi Penjaga Gerbang karena menjadi penerima nyawa beserta kekuatan penyihir dari klan Sigmon. Dan mereka bahkan melakukannya tanpa paksaan, sekalipun empat klan lain memberlakukan larangan bagi para penghuni klan mereka untuk menjadi Donor.
Itu menjawab satu pertanyaanku. Kubayangkan Sigmon pun keberatan jika harus melawan manusia, tapi sekali lagi, melawan empat klan lain dan membela satu kaum lemah tidak pernah menjadi pilihan bagi klan manapun.
"Jadi kau tidak akan memusnahkan manusia-manusia di dalam sana?" Entah untuk alasan apa, mendadak saja bayangan Alto yang akan sangat kehilangan jika sampai kedua temannya mati, melintas di dalam pikiranku.
Aku tidak suka kemungkinan itu.
"Tidak," jawab Sigmon mantap. Namun kemudian sihir Sigmon bergejolak, menggetarkan tanah, meniupkan angin kencang, dan membuat langit bergemuruh oleh petir. Suasana damai nan sunyi itu sirna.
Pendar di matanya semakin terang. Putih di matanya lenyap, digantikan oleh warna hitam yang menutupi seluruh mata di dalam kelopak itu. "Aku akan melepaskan mereka, tapi kau dan Lazarus itu adalah hal yang berbeda, Azran."
Dalam hitungan detik, sosok manusia itu benar-benar lenyap, tergantikan oleh sosok lain, sesosok makhluk yang memang pantas disebut monster karena ukurannya. Warna merah api si setiap bulunya yang terang dan belasan ekornya yang menari lembut di atas tanah menerangi langit yang gelap, menjadikan siang datang lebih cepat.
"Mustahil...." Terdengar suara seseorang dari belakang. John rupanya mengikutiku. Beruntung sekali pria malang itu kelihatannya belum keluar air terjun. Sigmon mungkin sudah melihatnya, tapi tidak menghiraukannya di dalam tabir air yang menutupi mulut gua.
"Pergilah, John!" hardikku padanya. "Segera tinggalkan Negara ini bersama Gill seperti yang sudah kita diskusikan!"
"Kapten, bagaimana denganmu?" John balas menghardik melawan berisiknya air terjun. Terdengar tidak sedikit pun goyah sekalipun keadaan di sekelilingnya berubah menjadi tidak terkendali. "Aku tidak akan punya alasan menghadap Gill tanpa dirimu!"
"Gill sudah tahu apa yang harus dilakukan!" Kali ini aku menoleh kepadanya. Sihir menyala di kedua tanganku, mengalir ke seluruh tubuhku dalam panas internal. Siksaan dari tanda di tubuhku membalas panas internal itu dengan intensitas sama besar, sama menyakitkan, walau tidak separah sebelumnya. Kali ini aku yakin bisa bertarung. "Cepatlah sementara aku masih berdiri di sini!"
Tanpa banyak diskusi lagi, John berlari di belakangku, menuju hutan dan aku yakin segera membunyikan sinyal darurat yang sudah ia persiapkan dalam saku. Ia sendirian, tidak masalah. Alto akan bersamaku.
Tidak, itu ide buruk. Aku harusnya mundur dulu untuk memperingatkan Alto. Aku sendirian tidak akan cukup melindunginya. Tidak dengan kondisi begini dan lawannya adalah Sigmon sendiri.
Jantungku sempat melemah selama beberapa detik menyaksikan perubahan wujud secara utuh dari Sigmon. Meski ukurannya tidak sebesar ukuran Sigmon yang aku tahu, tetap saja ini perubahan wujud total. Perubahan seutuh ini hanya bisa dilakukan jika Jalinan sudah berada dalam tahap hampir musnah.
Barbarossa benar, para penyihir sudah bisa berubah utuh.
[Kelihatanya kau pun tidak berubah Azran. Masih saja menolong Manusia.] Sigmon berujar di tengah kabut api sihir yang menyelimutinya. [Tidak belajar dari kesalahan ibumu?]
Seketika, amarah dalam diriku meletup, melawan panas internal dan panas dari segel secara bersamaan. Membakar seluruh tulang dan daging, mendidihkan setiap tetes peluh dan darah.
Seluruh otot dalam tubuhku siaga. Kekuatan mengalir ke dalamnya bersamaan dengan panas internal sihir yang memberiku kekuatan. Segel itu semakin menyiksaku, tapi persetan dengan itu semua. [Jangan kau sebut keluargaku dengan mulutmu yang lancang itu, Burung Tua!]
Kedua sayap raksasa dengan warna serupa api yang membara dan bara yang menyala di setiap helaiannya, membentang menutupi angkasa dari ujung ke ujung. Mata tajam burung raksasa itu menatap tajam hanya kepadaku ketika sayapnya mengepak, mengembuskan angin kencang yang menumbangkan pepohonan dan menerbangkan debu dan bebatuan ke udara. Api da bara dari sabetan anginnya membakar habis semua dedaunan dan apa pun yang tidak terlindung sihir dalam radius tujuh kilometer. Ekor-ekor raksasanya mengempas tanah, mengguncangkannya dengan tenaga yang tidak sedikit, persis gempa bumi kecil.
[Aku berada di bawah perintah Serikat, Azran] Suara Sigmon bergema di dalam kepalaku. [Dan Serikat sudah memerintahkan untuk membunuhmu dan Lazarus itu di tempat.]
Kekuatan bergejolak dalam perutku, mengalir hingga ke kepalaku. Persetan dengan dirinya yang seorang raja klan. Persetan dengan segel yang dipasang ayahku. Persetan dengan Jalinan yang masih utuh dan mungkin hanya akan membuatku tidak berguna setelah semua ini selesai.
Dia bisa berubah. Aku pun seharusnya bisa.
Aku pasti bisa.
Jadi kubiarkan aliran energi itu menyelimutiku sepenuhnya, menjadi kulit, tulang, dan daging baru bagi tubuhku. Menyelimuti jiwa dan nyawaku dengan tameng tak tertembus dari sisik dan es sekeras baja. Panas internal itu menembus batas panas yang dapat ditanggung tubuh manusia dan segera setelahnya, semua rasa terbakar itu tergantikan suhu dingin menusuk sumsum tulang.
[Kau mau berubah menjadi wujud keduamu?] Sigmon bertanya dengan nad amerendahkan, walaupun Azran melihat sang raja, alih-alih bersikap waspada. [Aku tidak merekomendasikannya, Azran. Tandamu belum sepenuhnya hilang. Siapa yang tahu, denga bentuk apa kau akan mati hari ini.]
Aku tertawa, menampilkan taring yang tumbuh di dalam mulutku. Simbol tantangan dalam klan Therlian. Mungkin bukan tantangan bagi Sigmon, tapi jelas raja itu tahu maksudku.
[Kurasa kau pun sudah tahu risiko Jalinan melukaimu saat kau mewujud, Tuan. Kau siap mati untuk merebut Lazarus.] ujarku menggeram ke arahnya. [Aku pun siap melindunginya, Tuan Sigmon.]
Tanda segel di tubuhku menghalangi penyerapan sihir lebih jauh dari mana di dalam diriku. Sehingga tubuhku menari alternatif lain. Jalan pintas yang tidak memakan banyak waktu, tapi efektif. Tanganku berubah menjadi cakar dan kulitku menghitam bersama sisik-sisik raksasa yang menyelimuti tubuhku.
[Tidak peduli Jalinan akan menghalangi kita sebesar apa. Ada segel ataupun tidak, aku bisa mewujud dan aku akan pastikan Lazarus itu tidak akan jatuh jadi milikmu.]
***
-
A/N:
Dan di sini saya perkenalkan, tokoh baru kita, Raja pertama Klan Sigmon. Baru dikenalin langsung gelud. Saya getohhhh
Azran, reaksi cemburumu berlebihan sekali. Ah, karena satu dan lain hal, sekarang saya cuma bisa up sabtu dan minggu. Jadi tunggu saja ya. Semoga kalian tidak kabur dari lapak ini.
Silakan tunggu next chap. Jangan lupa vote dan komentar kalian. See you next chap! Dengan pertarungan yang lebih seru, pastinya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro