48. Azran: Kebimbangan
"Sorot mata macam apa itu?"
Sambil menggerak-gerakkan tangan yang sedikit kebas akibat borgol sialan tadi, aku melirik John, merasa terganggu dengan pertanyaan tak jelasnya yang mendadak. Meski sadar sedang kupelototi, ia malah masih bersikap tenang sambil menenggak isi pelples yang ia bawa di dalam tas kulitnya sejak perjalanan ini dimulai. Pria paruh baya itu menatapku, menyeringai dengan wajah yang jelas-jelas mengejek dan dalam diam, mengataiku pecundang.
"Kau seperti bujangan lapuk yang setiap hari duduk di bar di Tortuga." Ia menenggak minumannya lagi. "Bujangan yang minum-minum bir sambil menangisi kekasih yang telah pergi."
Aku menyingkirkan borgol dari pandanganku. "Bukan aku yang sedang memegang botol." Mungkin sekali-sekali aku perlu mengingatkan siapa bujang lapuk yang suka minum-minum sambil menangisi masa lalu.
"Dan bukan aku yang pasang wajah siap membunuh sekarang!" balasnya riang, jelas sekali menunjukkan dirinya sudah merasa dirinya di atas angin. Biar kuberitahu, dirinya sama sekali belum di atas angin. Jangankan di atas angin, meninggalkan tanah pun belum.
"Aku tidak sedang pasang wajah membunuh. Dan aku tidak ingin membunuh siapa pun sekarang ini," sahutku yang terdengar seperti elakan menyedihkan alih-alih dalih yang beralasan kuat.
"Benarkaaah?" John bertanya dengan suku kata akhir yang dipanjang-panjangkan, sarat penghinaan.
Amarahku naik satu tingkat. "Sebenarnya apa masalahmu?"
John terkikik. "Bukan aku yang punya masalah di sini, Kapten," sahutnya. Lalu menatapku lekat-lekat. Telunjuknya menunjuk tepat ke hidungku. "Kaulah yang kelihatannya punya masalah serius sejak Alto bertemu pemuda itu ... err ... siapa namanya? Oh ya, Edward!"
Sekali lagi amarahku naik satu tingkat. Aku muak mendengar nama itu disebut. Tapi aku tentu saja tidak akan mengucapkan itu di depan John. Dia bisa semakin pongah jika tahu.
"Mana aku tahu," jawabku tak acuh. "Dengan siapa gadis itu kenal, bukan urusanku sama sekali."
"Bukan urusanmu, tapi kau peduli." Mendapat pelototan dariku, John mengangkat tangan ke udara. "Maaf, tapi kau tidak ada bedanya dengan remaja kasmaran yang cemburu buta, Kapten. Jangan tersinggung ya."
Satu kata dalam kalimat itu menyentakku.
Cemburu?
Butuh beberapa detik yang terasa sangat lama bagiku untuk mencerna hanya satu kata itu. Setelah memahaminya, saat itu juga aku merasa tolol.
Cemburu. Aku? Pada Alto? Pada Lazarus itu? Pada wadah yang bahkan bukan manusia lagi itu? Pada peti harta hidup yang sudah kubeli susah payah?
"Kau delusi, John," ketusku, tapi John tidak menjawab. Dia hanya bersenandung di sampingku, menyanyikan lagu perompak dari abad-abad silam yang berkisah tentang perompak bujangan yang merindukan kekasihnya.
Meski sudah tidak ada lagi kata-kata di antara kami, satu kata itu masih terus terngiang di benakku, mengganggu bagai dengung nyamuk di malam hari.
Cemburu.
Tidak, aku marah.
Tapi pada siapa sebenarnya aku marah? Pada Alto yang mau dengan pasrahnya dipeluk? Atau pada pemuda yang dengan seenaknya menyentuh Alto? Pada laki-laki tengik nan tengil yang seenaknya menyentuh dan dapat dengan bebas bicara dengan Alto bahkan mengundang senyum gadis itu yang kini sudah seperti barang langka nyaris punah?
Sadar baru saja meracau, aku buru-buru menyingkirkan semua itu, membersihkan kepalaku dari pikiran apapun.
Terdiam, aku mencoba menyelami emosi sendiri yang sedang kacau balau dan tertegun, heran mendapati seluruh isi hatiku sekarang memang hanya diisi oleh kemarahan dan—sialnya—seperti kata John, aku punya keinginan untuk membunuh apapun, apa saja, yang kurasa benar-benar mengganggu.
Ini tidak benar.
Tidak seharusnya aku punya perasaan sentimentil seperti ini pada Alto, pada benda itu. Seharusnya semua tingkah lembutku selama ini hanya untuk membuatnya menurut padaku dan tidak lagi melawan kehendak kami. Aku melakukannya dengan cukup baik dan Alto cukup terbawa permainan.
Ya, sampai malam itu ketika dia mendadak membenciku.
Sorot kebencian di matanya malam itu tidak main-main. Itu bukan kebencian pura-pura atau terpaksa karena kondisi. Dia benar-benar membenciku. Awalnya aku tidak yakin karena selepas di terowongan, gadis itu menjadi benar-benar mudah ditebak, mudah sekali dibuai dan diajak bermain. Sekarang, meski pada malam itu dia juga membebaskan sedikit lagi segel di tubuhku, melihat bahasa tubuhnya yang sedingin es, tidak ada keraguan lagi bahwa dia memang membenciku.
Tapi kenapa?
Jika dia membenciku setelah keluar dari penjara, aku tidak akan punya banyak pertanyaan. Tapi dia sudah membenciku bahkan sebelum masuk ke penjara Ambruisia. Masuk ke penjara hanya memperparah kebencian itu sampai ke tingkat yang tidak kutahu seberapa parah.
Kenapa dia mendadak membenciku? Di mana letak kesalahanku?
Sial, kenapa sekarang seolah aku terbawa permainanku sendiri? Ah tidak, bukan seolah. Aku benar-benar terbawa permainanku sendiri.
Gawat, ini harus dihentikan sebelum aku jatuh terlalu dalam dan mati konyol dalam taktikku sendiri.
"Ini untuk kalian."
Suara itu terdengar di antara aku dan John kemudian yang aku tahu, selesai sudah. Seketika segala pikiran dan tekad yang baru terbangun itu buyar di hadapan sosok menyerupai laki-laki cantik—alih-alih seorang perempuan tulen—yang entah sejak kapan sudah berlutut di antara aku dan dokter John.
Ini benar-benar parah. Aku bahkan tidak merasakan kedatangannya sampai ia bersuara.
Dengan wajah datar yang kurang ajarnya hanya ditunjukkan di hadapanku dan para awak Black Mary, Alto menaruh sekeranjang penuh roti gandum dan satu botol kaca berisi minuman yang entah apa isinya di tanah.
"Apa ini, Tuan Alto?" John bertanya dengan ramah, tidak mempermasalahkan sama sekali kenyataan jika ia harus membungkuk dan berlutut di hadapan Alto. Secara harfiah, memungut sekeranjang makanan dari tanah.
Gadis itu jelas melakukan ini dengan sengaja karena Alto menatap pria itu dengan heran selama beberapa lama, memasang tampang datar yang kelihatan konyol, dalam diam mencela John. Aku tidak akan menyalahkannya. Dia sudah benar pasang wajah seperti itu.
"Roti dan teh. Aku memintanya," jawabnya dengan nada datar seperti membaca teks.
"Oh, baik sekali." Tanpa malu, John mengambil dua potong roti dari keranjang itu, namun tidak langsung mengunyahnya. "Baiklah, aku tidak mau kebiasaan makanku dilihat oleh perempuan, jadi—
"Kapan kita akan pergi?"
Pertanyaan dadakan itu membuatku dan John terpekur.
Alto memandangku lekat-lekat. "Kapan kita akan pergi dari tempat ini?"
John dan aku berpandangan. Kami memang berniat untuk pergi secepatnya dari tempat ini karena sambutan yang kami terima masih tidak seramah dulu, tapi pertanyaan untuk pergi secepatnya tidak pernah kusangka akan keluar pertama kali justru dari mulut Alto.
Dari mlut orang yng seharusnya meminta lebih lama di sini. Dia yang lahir di sini, bukan kami. Tapi apa gunanya juga aku memprotesnya?
"Secepatnya setelah kau menceritakan apa yang kau dapatkan di dalam sana," tawarku, jika dia memang sedang berkompromi.
"Terlalu panjang," kilah Alto. "Akan kuceritakan di kapal."
"Kenapa mendadak sekali kau terburu-buru?" tanyaku curiga. "Kau tidak mau menghabiskan waktu lebih lama bersama teman-teman lamamu yang sangat kau rindukan itu?"
Agaknya nada mengejek dari akhir kalimat tanyaku tadilah yang membuat Alto memberengut kesal tiba-tiba.
"Apa itu artinya kau menolak pergi cepat-cepat dari sini?" Suara Alto berubah semakin dingin, membekukan suasana di antara kami sampai ke tingkat yang tidak bisa lagi ditoleransi.
Diam-diam, selagi aku dan Alto saling bertatapan, John beringsut mundur dan lari dari tempat ini, meninggalkan kami berdua saja dan tak mau ikut campur. Pria itu bersembunyi di jarak aman yang masih terlihat mataku, tapi juga tidak terlalu dekat untuk bisa sampai mendengar percakapan kami.
"Tergantung...." jawabku, sengaja menguji kesabaran gadis ini, senang melihat tidak hanya aku yang tidak sabaran sekarang. "Semua tergantung padamu apa kau mau bercerita atau tidak. Lebih cepat lebih baik."
Aku terpaksa harus menelan kekecewaaan ketika ekspresi merajuk dan kesal yang kuinginkan tidak tampak di wajahnya. Dia sebeku patung es. "Kau sudah bisa menggunakan sihirmu?"
Pertanyaan itu mendadak saja membuatku terpikir sesuatu. "Belum," jawabku getir.
Ini memang aneh, harus kuakui itu. Biasanya ketika terkena sihir Alto, beberapa menit kemudian aku sudah bisa merasakan sihirku berangsur-angsur pulih, tapi sekarang aku masih belum merasakannya sama sekali walau sudah berjam-jam berlalu. Kalau dipikir, ini pertama kalinya aku kena efek langsung dari jarak dekat kekuatan Alto setelah dia keluar penjara.
Apa kekuatanya bertambah semakin kuat?
Nyaris tiba-tiba, satu pikiran mengerikan melintas di benakku: bagaimana kalau dia tidak sengaja menekan kekuatan sihirku sampai ke batas nol dan sifatnya permanen?
Sebelum aku sempat menjawab, Alto sudah lebih dulu bangkit dan berbalik pergi. Aku hampir saja bertanya, namun pertanyaan itu urung meluncur dari bibirku karena tanpa ditanya pun jawabannya sudah ada di depan mataku. Langkah kaki gadis itu mengarah dengan pasti ke pemukiman itu.
Ke mana lagi dia kalau bukan menemui teman-teman lama sekaligus teman-teman barunya itu?
Praduga itu memicu amarah sesaat yang sempat meletup menguasai akal pikiranku, yang membuatku tak sabar ingin sekali menjegalnya, menariknya bersamaku, dan mencegahnya kembali ke perkampungan itu.
Namun amarah itu seketika lenyap saat menangkap keanehan pada lengan kanannya.
Hanya lengan kiri Alto saja yang bergerak bebas selagi dia berjalan, sementara lengan kananya terdiam kaku, sama sekali tidak rileks maupun bergerak. Bahunya sebelah kanannya pun tidak bergerak sama sekali, seperti terbuat dari organ prostetik.
"Tangan kananmu kenapa?" Pertanyaan itu membuat Alto berhenti. Namun gadis itu tidak berbalik.
"Sepertinya terkilir," jawabnya. Tanpa memberitahku sebab kenapa ia bisa terkilir di dalam sana. Seingatku kedua tangannya sebelum ini baik-baik saja. "Kukira sihirmu sudah sembuh, jadi aku sempat ingin meminta tolong. Tapi ternyata belum, jadi aku akan minta tolong Edward saja walau akan lebih lama—
Ucapan itu terhenti di tengah-tengah.
Dan begitu sadar, tanganku sudah menggenggam tangan Alto erat-erat.
Kehangatan asing menjalar bagai aliran listrik efek sihir mengalir di sepanjang urat syarafku, menjalar dengan cepat ke seluruh otot dan tulangku, mengirimkan getaran yang membuatku bersemangat sekaligus meleleh di saat yang sama.
Sensasi yang tidak menyenangkan, tapi entah kenapa aku menyukainya ... selalu menyukainya.
Tubuh gadis itu berputar, matanya menatapku, dan seketika semua sensasi itu hilang di bawah tatapan matanya yang menghunjam dingin, penuh kebencian. Manik coklat itu lantas turun ke pertemuan tangan kami, tempat aku menggenggam tangan kirinya erat-erat tanpa izin.
"Aku juga bisa menyembuhkanmu." Pernyataan itu keluar saja tanpa benar-benar pernah kupikirkan lebih dulu. Baru setelah melihat John membelalak dari tempatnya duduk, aku tersadar akan kebodohan kata-kata yang baru saja keluar tadi.
Ada apa denganku? Apa tadi aku baru saja melarangnya pergi, menggenggam tangannya, dan menahannya di tempat secara impulsif?
Ya, aku baru saja melakukannya.
Sial.
Alto masih tetap memasang reaksi dingin yang semakin lama kelihatan semakin mengganggu. Matanya tertuju ke pertemuan tangan kami lalu ke arah tubuhku, sebelum berlabuh ke wajahku.
"Oh." Aku nyaris kecewa karena berpikir hanya itu kata yang akan keluar dari mulutnya, namun ada beberapa kata lain yang muncul. "Aku paham."
Tanpa peringatan, gadis itu menyentuh pundakku, mengirimkan panas internal yang lain, panas yang benar-benar membakar tulang belakangku. Mulutku sudah membuka ketika cahaya hijau zamrud itu muncul, mengalir dari tangan Alto, menari dan meliuk searah dengan tato yang terukir di tubuhku.
Memang samar, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang lepas dari dalam tubuhku, seperti ada pintu yang terbuka lebar setelah lama dikunci rapat. Rasanya ringan dan hampir menyenangkan, seperti ada beban yang baru saja diangkat dari kedua pundakku. Panas internal yang kurasakan berubah menjadi hawa dingin yang menentramkan. Terbuai, perlawanan pun sirna dari tubuhku. Tanpa melawan, kubiarkan energi itu mengalir.
Energi yang semula terkunci, kini melimpah. Tumpah ruah. Kekuatan yang tadi lenyap, sekarang muncul kembali dalam jumlah yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Tanganku menahan tangan Alto tetap di pundakku, dalam diam memaksanya untuk tidak berhenti sebelum segel di tubuhku benar-benar lepas, hingga kebebasan seutuhnya benar-benar kuraih.
Kemudian bau darah itu tercium.
Tetesan merah yang jatuh ke tanah itu mengalihkan perhatianku. Mataku serta merta membuka lebar dan tanganku dengan cepat menyingkirkan tangan Alto dari pundakku, berubah dari menginginkan jadi membencinya. Aku beringsut mundur, mengambil dua langkah menjauh sementara gadis itu hanya terdiam, tangannya masih teracung di udara, dan darah masih menetes dari kedua pelupuk matanya yang terbuka, mengalir menuruni pipinya menjadi air mata darah.
Selama jeda sejenak yang terasa sangat lama, kami hanya saling bertatapan. Gadis itu menatapku dingin seperti seorang pembunuh menatap calon korbannya, cara menatap yang mengubah rasa dingin menentramkan yang kurasakan tadi menjadi badai salju yang menusuk hingga ke sumsum tulang.
"Wow!" John melangkah di antara kami. Dia menatapku dan Alto tidak percaya, terutama Alto. "Apa itu tadi, Nak? Kau harus memberitahuku!"
Alto diam sejenak. "Aku sendiri juga tidak begitu paham, tapi Baba mengajariku sedikit soal aliran energi." Alto menjawab sekenanya, sekali lagi dengan wajah datar. "Dan aku mencobanya tadi, karena aku ingin melepaskan segelnya dan—
"Jangan pernah lakukan itu lagi, kau paham?!" Suaraku menggelegar di seluruh tebing. Kekuatan sihirku yang baru saja lepas, meledak keluar, tak pelak membuat air mata darah yang menetes keluar dari mata Alto semakin banyak. "Jangan pernah lakukan itu lagi tanpa seizinku!"
Alto masih memasang raut wajah datar yang minta dihajar. "Bukankah tadi kau bilang kau ingin menyembuhkanku? Anggap saja ini imbalan di muka."
"Aku tidak ingat meminta bayaran darimu."
Penghinaan di wajah Alto semakin menjadi-jadi. "Sungguh? Kau mau meminta imbalan dari orang-orang ini?" Ia mengedikkan dagu ke arah pemukiman di tebing, ke arah orang-orang yang diam-diam mengawasi kami.
Tidak ada yang salah dari jawaban itu, sungguh. Aku pun sudah berniat meminta imbalan dari orang-orang ini atas semua amarah yang aku rasakan hari ini, lengkap dengan bunganya. Tapi mendengar kata-kata itu dari mulut Alto, entah kenapa justru membuat amarahku mengakar semakin dalam.
"Aku tidak minta imbalan."
Alto mencebik. "Kurasa kau mulai gila," komentarnya. "Kita haus segera pergi dari sini sebelum kau semakin gila."
Aku balas mencebik. "Kata orang tolol yang membiarkan matanya berdarah-darah dengan ceroboh."
Dua alis Alto mengerut: sebuah perubahan ekspresi berarti sejak dia turun ke mari. Dan aku merasakan gelenyar rasa senang saat berhasil membalasnya dan tahu kata-kata barusan memberi efek nyata padanya. "Kau bilang sihirmu belum berfungsi, jadi aku membantu membuka segelmu. Kau seharusnya senang."
Kesenanganku tidak untuk waktu lama.
"Itu bukan berarti aku minta bantuanmu!" semburku. Amarah membuat gejolak energi sihir milikku meledak, mambakar tubuhku dengan panas internal yang tidak bisa disingkirkan.
Reaksiku aneh, aku sendiri mengakui itu. Karena bukannya kata-kata Alto salah, justru dialah yang benar. Akulah yang dengan menyedihkan berusaha mengelak dari kenyataan, karena pada nyatanya, baik ia sadari atau tidak, aku memang senang saat segel ini terlepas. Sesuatu di dalam diriku senang bisa terbebas dari kekang menyesakkan ini.
Tapi ditampar oleh kenyataan tidak pernah terasa menyenangkan. Dan ketika hal itu dilakukan oleh gadis seceroboh dirinya, amarahku jadi naik berkali-kali lipat. Terutama saat melihat Alto dengan mudahnya menghapus air mata darahnya seolah keluarnya air mata itu tidak menyakitinya sama sekali.
"Kau jangan membuang usiamu begitu mudah! Kalau kau mati sebelum tujuan kami tercapai, kau pikir siapa yang akan kerepotan? Aku tidak menyelamatkanmu dari Ambruisia hanya untuk melihatmu mati!"
Sesuatu dalam diriku berkata bahwa itu bukan kata-kata yang seharusnya aku sampaikan. Sebagian kecil dari diriku, entah apa, menentangnya dan berusaha meminta maaf. Tapi sebagian besar diriku mampu mendorong sisi kecil itu dan memusnahkannya dalam sekejap.
Di hadapan Alto yang terdiam, semua emosi yang aku rasakan tadi seolah membenarkan dirinya sendiri. Semua tindakanku, kata-kataku tadi kepadanya tepat. Dan amarah serta gejolak aneh sebelumnyalah yang tidak masuk akal.
Sepasang mata hijau Alto berangsur berubah kembali menjadi coklat terlihat hampa, suatu sorot yang sama sekali tidak dimiliki Alto yang dulu.
Namun justru sorot itulah yang terlihat sangat pas dengan dirinya, aku mengakui dengan ironis di dalam hati. Mata yang hampa itu adalah benar matanya, sorot kehampaan yang selama ini berusaha dipendamnya dalam-dalam di hadapan semua orang, sorot yang penuh dengan kebencian dan dendam yang sudah terlalu banyak sampai tidak bisa lagi diekspresikan hanya dengan tatapan mata.
Kegelapan dalam mata itu terlihat sama persis dengan kegelapan dalam mata pantulan sosok yang kulihat di permukaan Danau Cermin, tepat di permukaan airnya yang menampilkan seorang wanita berambut hitam panjang yang berjalan di depanku sambil meneteskan air mata.
Wanita itu terlihat cantik ... namun menyedihkan di saat yang sama. Begitu catiknya hingga aku terbuai dan tanpa sadar mengangkat tangan, mencoba meraih sedikit saja kecantikan itu ke dalam genggaman, merasakannya dan memastikan bahwa ekspresi itu bukanlah fatamorgana. Bukan bayangan ataupun ilusi.
Tubuhku berbalik, setengah terkejut ketika menangkap sebuah anak panah yang melesat secepat angin ke arahku.
Aku mendelik anak panah di genggaman tanganku, anak panah yang sedetik lalu berhasil kuhentikan beberapa inci dari jantungku, tepat sebelum mencapai targetnya. Sihirku menggelegak, nyaris saja meledak menyerang orang yang berani menyerangku dengan senjata murahan secara diam-diam seperti ini, jika saja tidak keburu menyadari siapa yang menembak tadi.
Sekali lagi manik hijau kusam Edward mendelikku penuh kebencian.
"Jauhi dia, Penyihir Keparat!"
***
-
A/N:
Lihat kan, Azran? Gimana reaksi Alto sekarang? Mamam tuh cemburu! Mamam tuh gaje sendiri! Saya seneng banget pas bikin chapter ini. Rasanya balas dendam saya terpuaskan. Hahaha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro