Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

47. Kisah yang Sebenarnya

Aku berlutut di hadapan sosok pendek yang ada di hadapanku.

Sosok itu membuka tudung jubahnya, memperlihatkan wajah seorang nenek tua yang sudah putih semua rambutnya. Aku langsung melipat mulut. Degup jantung dalam dadaku naik satu tingkat.

Jika aku punya nenek, mungkin aku akan bisa mengira usia wanita tua ini, tapi di desaku dulu sangat jarang ada wanita yang lebih tua dari Ibu, jadi bertemu dengan yang setua, sekeriput dengan rambut seputih nenek ini, adalah kali pertama.

Dan bertemu yang langsung menyambutku dengan kata-kata luar biasa seperti itu, juga kali pertama.

"Apa maksudnya ini?" Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keningku berketrut begitu dalam hingga aku yakin mataku saat ini sudah tinggal segaris hitam saja di wajah.

Para sosok berjubah itu berhenti membungkuk sejak aku ikut berlutut, termasuk Edward dan yang lain juga.

Tanpa menjawab pertanyaanku, nenek itu berpaling kepada Edward dan bicara padanya dalam bahasa asing—yang ngomong-ngomong semakin terasa menjengkelkan karena aku tidak bisa mengerti dan semua orang ini memakainya seakan ingin menghina ketidak mampuanku bicara bahasa ini—Setelah bicara, nenek itu melepaskanku dan berjalan dengan lambat kembali ke arah kerumunan, bicara pada mereka, sebelum berjalan sendirian kembali ke pemukiman di tebing.

Edward tersenyum sebelum menatapku. "Baba ingin bicara. Kau diizinkan masuk ke dalam." Kemudian matanya menyipit saat beralih ke dua orang di belakangku. "Tapi kalian berdua tidak."

Kekecewaan yang merebak dari dokter John terasa menusuk-nusuk punggungku.

"Edward!" Terdengar suara familiar lain yang kini terdengar semakin feminim. Aku berpaling ke arah suara, ke pemukiman batu yang terpahat ke dinding di atas sana, melihat seorang gadis melambai-lambaikan tangan.

Suara itu sempat membuat harapanku melambung tinggi.

Tapi ia terdengar sedikit berbeda dari satu suara tertentu yang tersimpan jauh di dalam ingatanku. Sedikit lebih jernih, nyaring, dan riang, tidak lesu, serak, dan lemah seperti suara gadis mungil yang menemaniku di Serikat dahulu. Gadis yang tidak kudengar lagi kabarnya selain dari poster pengumuman.

Dari jauh, aku tidak meihat satu pun fitur wajah yang familier. Karena paruh bawah tubuhnya tenggelam di balik dinding, aku juga tidak bisa memastikan dari posturnya.

Sempat terbersit keinginan untuk menyapa gadis asing itu, tapi kuurungkan karena ragu. "Apa dia Suri?"

"Tentu saja," jawab Edward tanpa ragu, mengulum senyum tipis padaku.

"Jangan bicara seolah hal itu adalah hal yang wajar, Ed."

Ed hanya mengedikkan bahu.

"Ed." Aku memperingatkan. "Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa ada di sini? Kau dan Suri, aku melihat poster buronan kalian berdua di Inggris."

"Oh, kau rupanya sempat kembali." Ed menelisik wajahku. "Kau sendiri berhutang banyak penjelasan, Al. Kau menghilang malam itu. Tidak sepertimu yang kelihatannya punya banyak kisah, cerita kami berdua singkat: Suri dan aku yang tidak tahan lagi berada di Serikat akhirnya kabur. Kami menumpang sebuah kapal udara secara illegal. Kami berpindah dari satu Bandar udara ke Bandar udara lain."

Saat Edward bercerita, aku melihat bekas luka sobek yang banyak di jari jemari dan lengannya. Luka-luka yang tidak pernah kuingat.

"Lalu di saat aku dan Suri mendengar kalau negara bernama Turki mungkin bisa menjadi tempat aman, kami ke mari. Perjalanan yang sulit. Penyihir nyaris menangkap kami berkali-kali dan aku nyaris mengira sudah mati saat jatuh dari air terjun."

Akhir kisah itu membuatku mengernyit. Mereka benar-benar telah melalui banyak hal.

"Kami agak sedikit kebingungan dengan kendala bahasa, pada awalnya. Kami Manusia dan mereka menerima kami dengan cukup ramah." Edward menjelaskan dengan wajah muram, tapi ia lalu mengembuskan napas. "Aki dan Suri belum pernah terpisah sejak saat itu."

Aku menyikut rusuk sahabat lamaku. "Kau membuatku iri."

Dengan lembut, pemuda itu mengelus puncak kepalaku seperti yang biasa dia lakukan dulu untuk menghiburku. "Apa saja yang terjadi padamu, Alto? Kau kelihatan berbeda."

Biasanya, pertanyaan itu hanya berupa wujud kepedulian. Tapi segalanya yang telah terjadi dalam semenit terakhir membuat pertanyaan itu jauh lebih bermakna. Lebih sulit dijelaskan.

"Kau tidak tahu apa pun soal diriku? Sudah berapa lama kau di sini?" Aku mengulum senyum simpul.

Edward mendebas. "Baba bersikeras menjaga banyak hal dari kami. Sebagai orang asing, aku tidak meminta banyak hal."

"Tapi jelas kau sudah bisa mengenali sihir lebih jauh." Aku melirik dua pria di belakang. "Kau bisa melihat aliran sihir mereka?"

"Samar-samar." Edward balas berbisik. Dia memandang langit-langit gua. "Tempat ini seperti punya sesuatu yang aneh. Mendadak saja, pandanganku kadang penuh warna."

"Kedengaran seru,"

"Walaupun bukan fisik sihir yang membuatku menembakkan panah tadi." Aku mengernyit. Tapi sebelum sempat bertanya, Edward sudah lebih dulu memilin ujung rambutku. "Suri pasti akan senang merapikan rambut ini. Kau memanjangkan rambutmu setidaknya."

"Aku berusaha memotongnya lagi," jawabku tak acuh.

Edward meringis, lalu pandangan matanya turun, menyisir keseluruhan penampilanku. "Padahal sudah jelas-jelas kau perempuan, tapi kau masih berpenampilan seperti ini," ujarnya. "Dan Alto, Demi Langit, aku tidak tahu kalau Lazarus itu artinya bisa menghilangkan sihir. Aku kira kemampuanmu itu murni kesialanmu saja."

"Jaga ucapanmu, Ed."

Edward tidak terpengaruh peringatanku. "Bertahun-tahun aku tinggal bersamamu lalu menghabiskan waktu di sini, tapi...." Edward menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum melirik dua orang di belakangku. "Apa mereka tahu?"

Tidak ada gunanya aku berbohong. "Ya."

Mata Edward menyipit tajam. "Dan apa yang sudah mereka lakukan padamu?"

"Tidak ada." Selain apa yang terlihat dan pekerjaan kasar. "Mereka membeliku, tapi tidak begitu rendah memperlakukanku sebagai budak."

"Selain itu?"

Aku menaikka sebelah alis. Paham maksud pemuda itu sepenuhnya. "Ed, penampilanku sama sekali tidak menggugah selera," jawabku. "Bahkan belum banyak yang sadar sejauh ini."

"Al, aku sudah dengar beberapa hal soal Lazarus dan aku juga dengar tidak ada penyihir yang bersikap baik pada semua Lazarus." Edward masih terlihat skeptis. "Kita harus mendengar ceritamu selengkapnya di dalam."

"Ya, dan kau juga masih punya banyak penjelasan padaku." Kukira dia akan membalas ucapanku tadi, tapi nyatanya sahabatku satu itu menunduk.

Edward malah mengamati borgol yang mengikat tanganku. Manik hijaunya menyipit tak suka. "Sebentar ya." Pemuda itu mengeluarkan sesuatu yang tersangkut di jubahnya: sebatang kawat tipis.

Aku sempat berniat untuk bertanya ketika Edward tahu-tahu saja memasukkan kawat itu ke lubang kunci borgol. Beruntunglah tadi sihir Azran sudah hilang, kalau tidak dia pasti akan menghalangi Edward membuka borgol ini. Meski dari tadi penyihir-perompak itu diam, aku tahu dia sama inginnya dengan dokter John dalam hal penasaran ingin mengetahui isi reruntuhan ini. Aku sempat mengira dia akan menghalangi Edward membuka borgolku atau melakukan hal-hal menjengkelkan lain, tapi ternyata tidak. Perompak itu tidak bereaksi sama sekali.

Sahabatku ini memutar-mutar kawat miliknya di dalam lubang sedemikian rupa hingga terdengar bunyi klik dari dalam borgol.

Belenggu kecil yang mengikatku itu pun lepas, membebaskanku dari Azran. Aku berdiri sambil memutar-mutar pergelangan tangan yang terasa kebas dan nyeri berkat ketatnya gelang besi itu. Edward lantas berdiri, mengajakku masuk. Aku hampir saja melenggang masuk jika tidak mendengar dehaman dari arah belakang.

Menoleh, aku melihat dokter John sedang berdeham kasar. Pria paruh baya itu menatapku dengan wajah memohon persis anak kecil. "Jangan lupa ceritakan apa yang kau temukan di dalam, ya, Tuan Alto!" Aku tidak terlalu menggubris pesan itu.

Tanpa menatap mereka berdua lagi, aku berjalan ke arah pemukiman yang berada berpuluh kaki dari kepalaku itu, mengabaikan sorot mata Azran yang menatap penuh kebencian padaku dan Edward dan tak pernah hilang sedikit pun sampai kami masuk ke desa.

***

Setelah hampir remuk dipeluk Edward, sekarang tubuhku rasanya berantakan dipeluk Suri.

"Aku merindukanmu! Astaga, aku tidak pernah mengira kita akan bertemu lagi! Aku senang bisa bertemu lagi denganmu dalam keadaan utuh!" jeritnya berkali-kali sambil memelukku erat. "Apa yang terjadi padamu, Al? Kenapa kau menghilang? Aku sudah mengira kita tidak akan bertemu lagi!"

Kedua tanganku dibelenggu kedua lengan gadis ini yang terentang lebar sampai tidak bisa membalas pelukannya. Entah apa aku yang terlalu lemah atau tenaga mereka berdua yang memang meningkat tajam sekuat kuda sampai aku tidak berkutik.

Parahnya, sakit lengan kananku sepertinya semakin parah sampai mati rasa.

Setelah hampir kehabisan napas, barulah Suri melepaskanku. Mata gadis itu berair. Ingus mengalir dari lubang hidungnya. Napasnya berubah sesenggukan saat tangis mengambil alih kemampuan bicaranya.

Tapi di sela tangisan pun, Suri masih sempat menyisir penampilanku dan tanpa buang-buang waktu, bahkan tanpa menunggu jawaban dariku atas pertanyaan-pertanyaannya—yang sepertinya memang diajukan tanpa butuh dijawab—tangannya mengacak-acak rambutku perlahan.

"Kau ... masih saja bau sekali, Al," Ia mengusap ingus dari hidung. "Kapan terakhir kali kau mandi? Apa kau masih tidak memedulikan kesehatan seperti dulu?"

"Kita bisa bicarakan soal mandi dan segala hal soal itu nanti, oke?"

"Bahkan aku tidak bisa mendengar cerita darimu?"

"Nanti," Aku berkata. "Aku janji."

Suri terlihat sangat kecewa. "Baiklah," lirihnya, kemudian terlihat sangat serius lagi. "Akan kutagih terus hutang penjelasan ini, Al!"

Aku tersenyum padanya, tak tahu harus berkata atau berbuat apa untuk mengatakan betapa aku rindu mereka, betapa aku lega melihat mereka masih hidup, dan betapa aku senang bertemu mereka di sini.

Suri mengajakku mengikuti nenek tua bernama Baba itu. Edward bilang Baba adalah panggilan bagi sang nenek dan dia semacam dukun—apapun artinya itu—di sini. Dia bisa melakukan beberapa hal di luar nalar yang tidak termasuk tindakan ajaib yang dilakukannya pada sihirku tadi. Rasanya sulit percaya mendengar tindakannya yang bisa menarik sihirku keluar tadi bukanlah sihir.

Selama berjalan, Edward dan Suri membantuku dalam hal komunikasi. Mereka berbaik hati menerjemahkan Baba yang tidak pandai berbahasa Inggris padaku dan sebaliknya.

Sepanjang jalan, dua sahabatku itu cukup akrab menyapa orang-orang, membuatku yakin mereka sudah tinggal cukup lama untuk mendapat kepercayaan semua orang di sini.

Selagi berjalan semakin dalam di desa, Edward dan Suri mencuri-curi celah ketika mereka tidak harus berpapasan dan menyapa penduduk lain. Mereka bercerita bahwa orang-orang di sini, selain mereka berdua, adalah suku asli Carpantia dan semua yang tinggal di sini adalah manusia. Tempat tinggal ini pada awalnya adalah tempat terlarang untuk dimasuki selain oleh Penjaga Gerdang. Mereka bilang, desa mereka di luar sana diserang dan dibumi hanguskan, memaksa mereka menuju tempat yang dulunya sakral ini. Para penduduk dipaksa bersembunyi di tempat ini setelah gelombang sihir yang pertama.

Namun ketika aku bertanya kenapa mereka semua berlutut padaku tadi dan apa hubungannya itu dengan aku yang Lazarus, Edward tidak tahu menahu.

Selagi mereka bercerita, aku merasa nyaman karena tidak ada sihir sama sekali di sini, persis seperti keadaan dunia dulu. Padahal di luar, seminimal apapun, masih akan tetap ada sihir di udara yang membuat mataku gatal. Tapi di sini, selain sihir Azran yang masih tidak tenang, tidak ada sihir lain.

Benar kata Edward, tempat ini aneh.

Aku memandangi desa tebing itu, mengabaika semua tatapan penasaran dan fokus pada ajaibnya semua rumah itu. Mereka dipahat di dinding tebing, diukir di batunya dalam bentuk menyerupai rumah lengkap dengan jendela bertirai dan pintu bertingkap. Jauh di atas rumah-rumah itu, aku melihat ratusan lubang kecil mengarah ke atas tebing. Beberapa di antaranya menyelipkan seberkas sinar yang aku yakini berasal dari luar.

Orang-orang yang tadi menodongku dengan senjata sudah tidak muncul di mana pun. Mereka kembali ke rumah masing-masing, ke keluarga masing-masing di pemukiman ini, membuatku merasa aman berjalan tanpa melihat ada senjata yang disiagakan untuk menyambutku. Meski tidak ada yang menodongkan senjata, masih ada puluhan mata yang menatapku penasaran. Karena masih belum tahu apa-apa, aku pun hanya bisa membalas semua tatapan penasaran itu dengan tatapan penasaran juga.

"Bagaimana mungkin tidak ada penyihir yang menyadari tempat ini?" Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulutku.

Tidak ada jawaban. Aku mengerling, menatap wajah Edward yang entah sejak kapan berubah menggelap. "Tidak ada yang tahu kapan tempat ini akan terungkap, Alto."

Artinya penyihir belum tahu keberadaan desa ini dan masih ada kemungkinan mereka mencari tahu. Aku berharap tidak akan ada yang tahu. Manusia merdeka nonperompak di tengah masa seperti ini lebih sulit dari mencari jarum di tumpukan jerami.

Tidak ada pertanyaan lagi sampai kami akhirnya tiba di satu rumah yang Pintunya tampak berbeda. Ada semacam hiasan mirip karangan bunga yang dipasang di daun pintu. Jika aku berdiri di depan pintu, hiasan karangan bunga itu berada tepat sejajar dengan mataku.

"Ini rumah Baba." Edward memberitahuku. "Baba akan bicara denganmu di sini."

Dipimpin oleh Baba, aku beserta Edward masuk ke dalam. Suri memutuskan untuk tidak masuk dan memilih untuk menunggu. Jika disuruh memilih, aku lebih suka berada di dekat Suri karena kami sama-sama perempuan, tapi Suri mengatakan alasan yang tidak bisa kubantah ketika aku mengajak dia ke dalam.

"Aku tidak selancar Edward dalam berbahasa," jawabnya tadi. "Baba menggunakan bahasa halus yang tingkatannya tidak terlalu kumengerti. Hanya Edward yang bisa menerjemahkan untukmu."

Kami berdua masuk tanpa suara. Di dalam, wanita itu duduk di tengah ruangan berpenerangan temaram, seperti senjakala. Dia bangkit saat kami tiba dan mempersilakan kami duduk.

Baba mengunci pintu ketika Edward yang menjadi orang terakhir yang masuk. Wanita tua itu memberi isyarat mirip seperti orang yang mempersilakan duduk. Sesaat kemudian Edward membenarkan dugaanku. Dia memang menyuruh kami duduk.

Aku menatap ruangan tanpa kursi itu. Hanya ada satu alas tikar untuk tempat duduk tanpa ada kursi ataupun meja. Di tengah-tengah ruangan, ada satu tungku kecil dengan api unggun yang masih menyala dan ketel yang masih beruap. Aroma dari ketel menggelitik hidungku. Baunya seperti minuman.

Duduk melingkari api unggun kecil itu, Edward mengambil tempat agak jauh dariku sementara Baba mengaduk isi kuali, menuangkannya ke dalam tiga gelas keramik dan memberikan dua gelas padaku dan Edward.

"Itu sejenis teh di sini. Minum saja. Bagus untuk perutmu," ujar Ed sebelum menyesap tehnya sendiri.

Aku meminum porsi tehku seteguk dan menurunkannya kembali. Mata Baba tidak pernah lepas dariku. Tidak butuh waktu lama sejak aku meletakkan gelas teh itu, tangan keriput Baba membelai telapak tangan kiriku. Bibirnya yang keriput menggumamkan kata-kata dalam bahasa yang tidak kumengerti, tapi senyum tulus dan air mata yang muncul di sudut-sudut matanya yang tampak tua dan kusam sudah mengatakan banyak hal. Nenek itu menggenggam tanganku dengan kedua tangannya, menangkupnya layaknya roti isi, persis seperti yang ia lakukan di luar tadi.

"Akhirnya kau kembali kemari. Kau benar-benar kembali. Aku tidak menyangka hari ini akan tiba." Edward bersuara. Aku meliriknya penuh tanda tanya sebelum Ed berdeham. "Baba bilang begitu." Dia berdeham lagi. "Aku akan diam dan jika aku bicara, itu Baba yang bicara, oke?"

Aku mengangguk dan menatap Baba lagi. Sulit untuk tidak mengacuhkan wajah nenek dengan air muka setulus ini.

"Dari mana Anda kenal ibu saya, Baba?" Aku melirik Edward, berharap dia menerjemahkan. Dan untungnya dia benar menerjemahkan kata-kataku ke dalam bahasa yang dimengerti Baba.

"Ibu mana yang kau maksud?" Edward mewakili.

"Andrea Serdin."

Kedua mata Baba yang dipenuhi keriput menyipit tak mengerti. "Andrea Serdin?" Dia mengulangi dua kata itu dengan jelas, namun kata berikutnya yang keluar dari mulutnya, aku tidak mengerti. "Bukan...." Hanya itu kata yang kumengerti dari seluruh kalimat panjangnya.

"Maafkan aku, Nak. Waktu itu kau begitu kecil. Aku tidak akan menyalahkanmu. Melihat dirimu yang sekarang, wajar saja kau tidak ingat." Edward bersuara. "Andrea Serdin satu-satunya penyihir yang aku percaya dan kau hari ini adalah bukti bahwa dia memang bisa dipercaya."

Ucapan yang berbelit-belit seperti ini biasanya akan menjurus ke sesuatu yang tidak aku suka. Baba menghela napas lalu mulai bicara lagi.

"Kau harus tahu, kau berasal dari suku ini." Apa? "Maaf untuk mengatakan kebenaran ini tiba-tiba padamu, tapi Andrea Serdin bukan ibumu."

Kuharap ini bukan lelucon.

***

"Apa maksud Baba ibuku bukan ibuku?" Itu menjawab kenapa dia mengucapkan selamat datang kepadaku ketika kami tiba di sini. "Dan apa maksudnya aku berasal dari suku ini?"

Dari segi fisik, aku tidak sama seperti mereka. Aku berkulit terlalu pucat, bermata aneh, dan tidak setinggi mereka.

Tapi Baba sekali lagi terisak. Sejak bercerita mengenai ibuku, napas Baba lebih cepat.

"Andrea Serdin adalah Tumbal," Edward bersuara mewakili Baba. "Dia bersedia mengorbankan dirinya untuk melahirkan Lazarus baru yang akan dididik menjadi Kandidat, untuk menjadi Penjaga Gerbang selanjutnya. Dia melakukan semua itu diam-diam dari semua penyihir yang mengawasi. Dia wanita yang baik."

Aku terus mendengarkan tanpa bicara apapun, meski kata 'Tumbal' itu sedikit menggangguku. Valika pernah bercerita jika ada penyihir yang mengorbankan nyawanya untuk memberiku kekuatan seperti ini, jadi itu bukan hal baru bagiku, tapi veela itu menyebutnya Donor dan bukannya Tumbal.

"Pria yang bersama Andrea itu juga orang baik. Mereka bersedia menjadi Tumbal bagi kau dan adikmu."

"Adik?" Aku bersuara tiba-tiba. "Apa maksudnya adikku Elizabeth?"

Baba mengangguk. "Kalian mungkin bukan suadara kandung, tapi kalian dibesarkan dan disuse orang yang sama. Kalian saudara."

Pertama aku tahu Andrea Serdin bukan ibuku dan sekarang aku harus menerima kenyataan Lizzy bukan adikku? Lelucon macam apa lagi ini?

"Apa adikmu itu masih hidup?" Binar mendadak menyala di mata tua Baba. "Apa dia juga akan menyusul ke sini?"

Aku menggeleng. Sebisa mungkin aku berusaha meyakinkan Baba bahwa Lizzy tidak akan datang dan tidak akan pernah menyusulku ke sini.

Binar itu redup dari mata tua sang nenek. "Aku turut menyesal." Tangan Baba masih mengelus tanganku. "Tanganmu kasar sekali dan tubuhmu berbau kematian. Hidupmu pasti sangat keras. Sungguh bukan hidup yang seharusnya ditanggung oleh putri pemimpin sepertimu."

"Apa?"

Baba mendongak menatapku, lalu tangannya yang keriput mengelus pipiku. "Kau anak pemimpin kami. Kalian bersaudara adalah harapan kami."

Kerutan yang dalam terbentuk di dahiku. "Maksudnya ... aku dan adikku anak pemimpin di sini?"

Sesaat setelah Edward menerjemahkan pertanyaanku, Baba mengangguk. "Adikmu—adik sepupumu—diangkat oleh kedua orang tuamu menjadi anak setelah paman dan bibimu meninggal."

Ini terlalu banyak. Pertama, aku mendapati diriku berasal dari suku ini. Kedua, aku mendapati ibuku bukan ibu kandungku. Aku baru saja lega mendengar kalau adikku ternyata benar sedarah denganku ketika kejutan baru ini datang.

"Kenapa kami?" Suaraku bergetar saat menanyakannya. "Kenapa harus kami? Apa tidak ada kandidat lain? Bagaimana cara kalian menentukan seorang Lazarus?"

Baba menggerakkan tangan ke udara, mengangkat dan memutar di udara. Suaranya pecah saat menjelaskan. Edward menerjemahkan lagi. "Dulu kami memiliki kuil. Bukan sekadar tempat berdoa, tapi juga nadi yang menghubungkan kami dengan nadi dunia ini. Mengizinkan kami mengambil sedikit energi dunia. Kami menggunakan energi dunia itu untuk memberkashi setiap bayi yang lahir."

Gerakan Baba semakin lama terlihat seperti sebuah doa. Dalam diam, kejadian yang sebelumnya terjadi di luar, sekarang terjadi kembali. Sihir di dalam tubuhku keluar. Sulur-sulur hijau menari-nari di lantai. Anehnya, aku tidak merasakan kesakitan saat mereka keluar. Kali ini, aku hanya merasakan kedamaian.

Seolah mereka memang seharusnya ada di sini sejak awal.

"Nyawa dan jiwamu mengalir bersama aliran Dunia. Kau bersatu dengan Jalinan. Sama seperti adikmu." Baba kembali menjelaskan. "Saat kami hendak memilih Tumbal, Andrea dan suaminya datang. Bersedia. Kami tidak percaya. Mereka bukan dari benua ini." Baba tersenyum sedih padaku. "Seharusnya saat itu aku memperlakukan mereka dengan lebih baik."

Jadi kami memang lahir dengan kekuatan ini? Setidaknya satu pertanyaan sudah terjawab. Amarah yang tadi sempat muncul, lenyap tak bersisa. Entah karena sebagian dari diriku, anehnya, menerima penjelasan itu dengan mudah ataukah memang kedamaian yang aku rasakan ini jadi penyebab lain. Entahlah. Aku hanya terpikir untuk menanyakan lebih banyak pertanyaan.

"Edward bilang, desa kalian dibumi hanguskan...." Entah datang dari mana pertanyaan ini, tapi cerita baba membuatku penasaran. "Apa itu karena aku dan Lizzy?"

Untuk pertanyaan ini, Baba pun tidak bisa menjawab. Mendadak saja kedua pundakku terasa sangat berat.

"Itu bukan salahmu. Kami akan melindungimu sampai mati jika itu memang diperlukan." Edward berucap dengan suara datar karena dia mewakili Baba bicara, tapi aku bisa menangkap kesungguhan dalam kata-kata itu, yang artinya jika pun dia tidak mewakili Baba, kata-katanya tidak akan berubah. "Tanah ini ada di dalam cakar dua klan. Mereka bisa saling menginvasi wilayah ini. Desa kami dibumi hanguskan tanpa perlawanan. Andrea dan suaminya ditugaskan untuk membunuh kalian, tapi mereka menolak perintah itu. Aku tidak percaya. Kami semua kehilangan harapan saat Pemimpin kami mati. Tapi di sinilah kau, Nak. Kembali kepada kami dalam keadaan utuh."

Cakar dua klan? Aku pernah dengar Asia dikuasai klan Sigmon. Tapi, dua klan? Apa maksudnya? Siapa lagi yang menguasai tanah ini?

"Sekarang katakan padaku," Baba menepuk-nepuk tanganku. "Apa yang bisa aku lakukan agar kau bisa lepas dari penyihir yang membawamu itu, Nak?"

Untuk sejenak, aku terdiam. Wanita tua ini benar-benar ingin aku kembali. Tapi apa bedanya antara aku kembali dan tidak? Aku tidak kenal tempat ini dan berada di tengah banyak orang asing tidak akan membantuku. Lagipula, meski Baba kelihatan baik dan tulus, aku tidak bisa percaya pada orang asing. Terlebih mereka mengaku-ngaku sebagai keluargaku.

"Dia membeliku, Baba. Dan aku terikat perjanjian dengannya."

Baba menghela napas. "Tidak ...." Dia menggumam dalam bahasa Inggris sebelum kembali bergumam dalam bahasa lain. Edward pun meneruskan. "Kau harus lepas segera darinya. Jika penyihir lain yang kau bawa, tidak akan masalah. Tapi dia penyihir yang sama seperti Andrea. Dulu kami punya kepala suku yang melindungi kami, tapi sekarang tidak ada. Kami tidak bisa mengambil risiko."

Ini hanya perasaanku atau tadi dia menyiratkan Azran penyihir yang berbahaya? "Memangnya ada apa dengan penyihir yang datang bersamaku?"

"Kalau kau melihat warna sihirnya, kau akan mengerti." Warna sihir? Jadi Baba juga bisa melihat warna gelombang sihir? "Dia klan Therlian, bukan?"

Aku mengangguk kaku. "Dari mana Anda tahu?"

"Dunia punya bahasa sendiri, Nak. Melampaui lisan. Melampaui akal pikiran," Baba menggambar sesuatu di lantai. Garis-garis imajiner. "Emas dan Hitam. Setiap klan ditakdirkan memiliki satu. Tapi ketika darah pewaris terbagi dua, mereka akan lahir. Mereka tarik menarik. Saling melebur. Sampai salah satu di antara mereka mati."

Edward ikut ngeri saat penjelasan itu keluar dari mulutnya.

"Dia mungkin berlutut padamu, dia mungkin tahu soal Lazarus,tapi membawanya ke sini adalah tindakan yang terlalu berbahaya, Nak. Perompak tidak bisa dipercaya, apalagi perompak yang bisa menyihir."

Dokter pernah bilang mereka pernah ke sini beberapa waktu lalu tapi disambut kurang ramah, jadi aku tidak terkejut Baba tahu mereka adalah perompak, tapi ada yang lebih mengganggu pikiranku dari penjelasan itu.

Warna sihir hitam? Warna sihir emas? Bertempur sampai mati?

"Baba, apa maksudnya warna sihir hitam dan warna sihir emas akan terus berperang?"

Aku teringat warna sihir seorang raja gila yang sebenarnya tidak mau kuingat-ingat lagi wajahnya. Warna sihir sama dengan sidik jari manusia, jadi artinya tidak ada orang lain yang memiliki sihir yang berwarna sama dengan warna emas itu. "Kau sudah bertemu dengan pemilik sihir berwarna emas?"

Aku mengangguk.

"Maka kau berada dalam masalah yang sangat besar, Nak."

***

A/N:

Saya harap, sepenggal kisah ini bisa menjawab pertanyaan kalian soal masa lalu Alto dan Lizzy. Saya harap pikiran dan kepala kalian nggak ngebul sama kenyataan-kenyataan yang saya lempar. Akan saya usahakan untuk menghadirkan lebih banyak soal Andrea Serdin di masa lalu Alto.

Dia ibu yang lumayan terlalu sempurna ya? Baik banget.

Dan pemilik sihir berwarna emas, tentunya kalian kan, siapa? Dan kalia pasti bisa menebak maksud kata-kata Baba di atas.

Akhir kata, jangan lupa vote dan komentar. Sampai jumpa di chap selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro