Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46. Serangan Tidak Terduga

Dokter John dan aku sudah sampai di sisi lain danau ketika satu anak panah itu melesat.

Senjata itu jatuh di dekat kakiku, menancap dalam-dalam ke tanah. Pipiku yang tadi hampir kena tusuk kini terasa perih. Sepertinya anak panah itu berhasil melukai wajahku. Tak perlu waktu lama, puluhan anak panah lain menyusul melesat menghujani kami.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini puluhan anak panah itu tertahan selama beberapa saat di udara sebelum memantul kembali, dipentalkan oleh dua energi sihir yang dalam sekejap sudah menyelubungi kami bertiga.

Terdengar suara lantang dari reruntuhan itu. Suaranya tidak berdengung di dalam kepalaku, jadi bisa kuasumsikan mereka manusia. Setidaknya dokter John dan Azran tidak berbohong soal adanya orang lain di reruntuhan dan setidaknya yang menemui kami bukan binatang-binatang atau monster aneh.

Suara lantang itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, lebih lantang dan kalau aku tidak salah dengar ... terdengar marah. Sayang aku tidak bisa memastikan apa benar suara ini marah karena suara ini bergema dalam bahasa lain yang tidak aku mengerti. Tapi biar bagaimanapun, disambut dengan suara selantang dan nada bicara seperti ini sama sekali tidak pernah menggembirakan. Jika cara bicara orang marah sama di seluruh dunia, berarti suara yang baru saja terdengar keras itu sedang marah besar.

Dokter John lantas bersuara, mengeluarkan bahasa yang juga tidak kumengerti dengan nada yang mirip sekali dengan nada membujuk.

Meski sudah berusaha, pembicaraan yang dilakukan dokter John itu tidak membuat serangan sembunyi-sembunyi yang sudah mengepung kami untuk tetap diam, tidak keluar dari tempat persembunyian. Mereka lebih memilih menampakkan diri.

Dan dalam sekejap saja, kami sudah dikepung.

Dalam strategy pengepungan, ada golongan orang yang lebih memilih strategi diam-diam dengan tetap menyembunyikan jumlah penyerang untuk mencegah musuh mengetahui jumlah pasti kami, tapi ada pula yang menyerang dengan terang-terangan untuk mengintimidasi musuh dengan jumlah yang banyak ... seperti yang sekarang ini terjadi pada kami.

Puluhan sosok berjubah mengelilingi kami. Jubah-jubah coktlat merek tampak menua dan merenggang, di beberapa titik aku melihat tambalan yang disaling sulam membentuk pola aneh mirip kain perca pada jubah mereka. Panjangnya juga tidak kira-kira, hingga menutupi mata dan separuh wajah mereka di dalam bayangan.

Dalam sekali pandang, jika kami bertemu di luar wilayah mereka, aku tidak akan ragu menggolongkan orang-orang ini sebagai penjahat.

Tapi wilayah bisa berpengaruh besar pada posisi seseorang, seperti yang terjadi pada kami.

Walau memakai pakaian lengkap, mulai dari baju hingga celana, kamilah yang dikepung. Kamilah yang asing. Sementara mereka yang tampak jahat inilah yang mengepung kami, merekalah pemilik tanah ini sementara kami orang asing.

Ini sama sekali tidak bagus.

Tanpa ragu, orang-orang itu membentuk lingkaran yang semakin lama semakin menyempit, diam-diam mencoba mengintimidasi kami. Mereka keluar dari berbagai arah, dari belakang, dari depan, samping, bahkan melompat dari atas ke hadapan kami, tepat dari reruntuhan yang seharusnya sudah tidak berpenghuni. Aku menghitung jumlah kepala mereka semua, namun gagal karena terlalu banyak.

"Lima puluh ya?" Terdengar Azran bergumam di depanku. "Jumlah kalian meningkat pesat dari terakhir kami berkunjung ke sini."

Aku mengumpat dalam hati. Lima puluh adalah jumlah yang terlalu banyak untuk kami semua hadapi. Belum lagi antisipasi serangan kejutan. Melihat dari tidak adanya gelombang energi sihir dari mereka, sudah hampir dapat dipastikan semua orang yang mengepung kami adalah manusia.

Tapi itu bukan penghibur yang cukup. Terutama karena kami masuk ke mari bukan bermaksud menginvasi.

"Ini peringatan ... penyihir!" Terdengar suara lantang dari belakang. Aku menoleh, melihat sosok dengan tinggi tubuh di bawah rata-rata pengepung kami, angkat bicara. Jubahnya berbeda dari yang lai. Ada titik-titik jahitan merah di keliman jubahnya, bergerak seperti aliran slur sihir ketika ia berjalan tertatih menghampiri kami. Suaranya berat dan parau mirip orang tua dan bahasa Inggrisnya tidak terlalu jelas karena tertelan aksen asing yang tak kukenal. Kurasa aku melewatkan satu kata dari kalimat yang baru saja ia ucapkan, tapi setidaknya aku berhasil menangkap makna pentingnya.

Dia memberi peringatan pada kami ... atau tepatnya pada Azran.

Dari depan, tiba-tiba saja dokter John kembali bersuara lantang. Kedua tangannya terangkat ke udara, seperti orang menyerah.

Wajah dokter itu berpaling menatap kami. "Kuharap kalian juga mengikutiku."

Melihat Azran mengangkat kedua tangannya tanpa ragu ke udara, aku pun mengikuti tanpa banyak protes. Kedua tanganku teracung di udara, tanpa senjata, tanpa trik tersembunyi. Dokter John berjalan berkeliling, mengelilingi kami, memamerkan kedua tangannya yang teracung ke udara sambil terus berbicara.

"Hanya mengangkat tangan?" Terdengar suara lain dari arah kerumunan.

Kepalaku serta merta menoleh ke berbagai arah, mencoba mencari asal suara itu dan menemukannya bangkit berdiri di samping kiri Azran. Sosok berjubah lain bangkit berdiri, melangkah menghampiri kami, dan berhenti.

Tanpa diduga, sosok itu mengacungkan pedang yang tersembunyi di balik jubahnya, memamerkan lengannya yang berotot penuh luka dan bilah mengilap senjatanya. Namun seperti senjata lain yang berusaha menyerang Azran, senjata itu berhenti di udara, membeku beberapa inci dari leher sang penyihir-perompak.

Pelindung Azran berdenyut, menampilkan warna hitam pekat yang berdetak konstan di tempat senjata itu mengenainya.

"Lihat?" Tidak seperti sosok orang pendek pertama, sosok kali ini mampu menghardik marah dalam bahasa Inggris yang bisa dibilang sangat lancar. "Kalian masih memakai sihir di sini! Kedua tangan kalian tidak ada artinya!"

Jantungku mencelus mendengar suara itu, kali ini lebih yakin dari sebelumnya. Aku tidak salah dengar dan memang suaranya seperti ini. Lengan itu mungkin agak gelap, penuh lebih banyak luka, dan terlihat jauh lebih kasar. Dia juga mungkin memegang senjata dan wajahnya tertutup jubah.

Tapi aku tidak akan tertukar mengenali suara maskulin itu.

"Hilangkan pelindung ini, Kapten." Seluruh tubuhku sudah siaga, otot-otot tubuhku berubah tegang dan jantungku berpacu dengan napasku yang berusaha untuk tetap tenang, siap untuk bertarung.

"Kau gila?" Meski suaranya tetap tenang, bisikan itu masih saja terdengar menusuk. "Mereka akan langsung menembaki kita dengan panah begitu pelindung ini kulepas."

"Atau kuhancurkan pelindung ini dengan paksa." Aku meneruskan dengan ancaman, jelas sekali tidak ingin ditolak.

Terdengar decak kesal dari mulut Azran. "Kau sendiri yang minta."

Pelindung milik Azran pecah dan bilah pisau yang masih teracung di udara itu pun lanjut melesat ke lehernya.

Untungnya pemandangan kepala terpenggal itu tidak pernah menjadi terwujud.

Aku lebih dulu menerjang ke arah sosok itu, berusaha menyikutnya dengan siku yang kuposisikan mirip kapak. Dari bawah, aku menyerang lengan itu tepat di persendiannya. Namun sosok itu bisa membaca seranganku dan menghindar dengan mudah.

Satu hal yang kupelajari di penjara adalah jangan hanya menggunakan satu serangan untuk menyerang. Setelah gagal dengan serangan pertama yang menyasar sikunya, aku berputar, dan menjegal tangannya yang memegang pedang dengan kakiku. Pedang itu terlepas. Buru-buru aku menarik tangan yang dilingkari borgol tepat di kaki-kaki pemuda itu, menariknya keras-keras, dan tubuh itu pun oleng ke belakang. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Kugunakan tangan kiriku yang bebas untuk menjegal lehernya dan membanting pemuda itu ke tanah keras-keras.

Aksi ini tentu saja mengundang teriakan tidak senang dari sekitar kami. Beberapa panah ditodongkan dekat-dekat dengan wajahku, bersiap untuk ditembakkan. Beberapa pedang bahkan sudah dihunuskan tepat ke kepalaku.

Namun aku tidak menggubris semua ancaman itu.

Pandanganku sepenuhnya tertuju ke bawah, ke pemuda yang terbaring kalah di bawah jegalan tangan kiriku yang lemah. Tudungnya terangkat, menyingkap wajah sebenarnya sosok berjubah itu yang ternyata hanya pemuda yang tak mungkin lebih tua dari Azran. Wajahnya dinodai dengan beberapa parut, tapi sisanya masih sama. Mata hijau dan rambut merah membaranya yang seperti daun di musim gugur pun masih sama.

Senyum entah bagaimana sudah mengembang di wajahku, tak menduga ternyata dugaanku benar. Sejujurnya, aku sudah lupa caranya tersenyum, tapi melihat sosoknya begitu saja di hadapanku, sesuatu muncul, merebak di dadaku. Memenuhi diriku dengan gagap gempita yang sudah lama tidak aku rasakan dan kukira mati.

"Ed?" tegurku. Pemuda di bawahku mengerjap bingung beberapa kali, tampak bingung sekaligus heran. "Kau Edward?"

"Siapa kau?"

Apa aku sebegitu banyaknya berubah selama tiga tahun? "Ingatanmu memburuk ya?" ejekku.

Edward terlihat sekali tersinggung. Astaga, bahkan wajah tersinggungnya pun masih sama dan akan tetap sama menggelikan jika parut kecil itu tidak ada di sudut bibirnya.

Pedang-pedang yang teracung di depan wajahku sedikit mundur. Kebimbangan merebak dengan cepat selagi Edward masih terus berusaha mengenaliku, menggali-gali kolam ingatannya sendiri.

"Apa dia kenalanmu, Tuan Alto?" Dokter John bersuara dengan hati-hati dari belakang.

Pemahaman menyala di mata hijau Edward yang cemerlang. "Alto?" Dia tampak benar-benar kaget. "Kau Alto?"

Sekali lagi aku kaget dapat mengulum senyum dengan bebasnya di hadapan pemuda ini. "Aku tidak yakin ada berapa Alto yang kau kenal, tapi memang namaku Alto." Dan saat itu juga, aku melepas jegalanku pada lehernya.

"Astaga! Demi Langit—Alto, ini benar kau?" Edward merangsek bangun sementara aku mundur dan duduk di hadapannya.

Aku hanya pasang wajah acuh tak acuh terbaikku. "Inilah aku."

Dan seperti hari-hari di masa lampau, dia langsung memelukku tanpa canggung. Kedua lengannya melingkari tubuhku, menghalangi jalan napas dari leherku ketika kedua lengannya menenggelamkanku dalam pelukan yang dalam sementara tangannya tak henti mengelus rambutku.

Tiga tahun tidak bertemu, tubuh Edward jadi lebih berisi dan kekar. Tubuhnya tidak lagi kurus dan tenaganya jadi jauh lebih besar. Aroma oli dan keringat hilang darinya, berganti aroma rumput dan tanah yang mirip seperti aroma ayahku ketika masih hidup dulu. Dia semakin tumbuh menjadi seorang pria. Dia membuatku sadar betapa aku ini memang tak akan bisa menyamar jadi laki-laki.

"Ed, aku mau patah jadi dua di sini." Aku mengingatkan.

Edward buru-buru melepasku. Matanya berbinar penuh kegembiraan seperti anak kecil. Tak henti dia menepuk-nepuk kepala dan pundakku, seperti masih tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Namun ketika matanya berpindah ke dua orang di belakangku, ekspresinya berubah dingin dan terkesan bengis.

Aku tidak akan menyalahkannya untuk bersikap seperti itu, bahkan mungkin akan mendukungnya.

"Apa kau bersama mereka?" tanyanya dingin.

"Kurang lebih," jawabku jengkel.

Edward mendelik padaku, seperti cara yang digunakannya dulu untuk mencari tahu kebohonganku. Matanya turun dari mataku, mengikuti rantai yang mengikat tanganku, mengikuti mata rantainya yang berujung pada tangan kiri Azran.

"Katakan dia melakukan ini secara paksa dan akan langsung kupotong rantai ini." Ed sudah mengacungkan pedangnya lagi.

Aku buru-buru memotong sesi interogasinya. "Kalau kau potong rantai ini, cerita panjangku akan semakin bertambah panjang karena akan ada yang terluka," potongku sebelum mulutnya yang membuka itu dapat bersuara. "Dan kau sendiri? Apa yang kau lakukan di sini setelah kabur dari Serikat?"

Pemuda itu tampak bingung. "Kau tahu....?" Kata-katanya lenyap saat ia sadar orang-orang di belakangku. Ketegasan dalam wajahnya kembali sebelum melembut kepadaku. "Aku bisa meminta Baba untuk memberimu izin masuk dan kita bisa bicara di dalam." Dia kembali mendelik ke belakangku. "Tapi aku tidak bisa memberi izin penyihir itu untuk masuk."

Salah satu sosok berjubah yang mengelilingi kami angkat bicara. Edward berpaling kepadanya dan bicara dengan sosok itu dalam bahasa yang tidak kumengerti. Mereka kedengaran bicara serius.

"Katakan pada mereka, kami membawa Kandidat." Aku menoleh, menatap Azran yang akhirnya bicara setelah sedari tadi terus saja diam. Penyihir-perompak itu berdiri dengan tenang, tidak bergerak di tempatnya di tengah kepungan seluruh senjata yang tertuju pada kami. Sementara Azran tenang, dokter John tampak memelas padaku, memohon untuk dikeluarkan dari situasi ini.

"Apa maksudmu Kandidat?" Edward bertanya dengan nada tajam pada Azran.

Pemuda itu menurunkan tangannya yang tadi teracung di udara. Saat itu juga sihirnya aktif. Gelombang energi sihir berwarna hitam pekat berkumpul di lengannya, membentuk konsentrasi tinggi energi sihir yang selalu jadi mimpi burukku bertahun-tahun lalu.

Seseorang memekik tapi aku tidak terlalu mendengarkan. Entah sihir Azran mendadak bisa dilihat orang biasa, entah orang-orang ini bisa melihat sihirnya, ataukah dia mulai meracuni seseorang dengan sihir hitamnya, aku tidak mau peduli. Mata dan pikiranku hanya terfokus pada sihir yang terus menguat di tangan Azran. Tanpa ragu, tangan itu berayun dan saat itu juga, aku melepas kekuatanku sebebas-bebasnya.

Sihir yang mengelilingi tangan Azran langsung lenyap. Tubuh penyihir itu terdorong sedikit ke belakang seolah baru saja dihantam angin yang berembus cukup keras. Tidak hanya Azran, Edward yang masih memegang pundakku pun berubah tegang. Sepertinya dia juga merasakannya.

Tanpa masalah, Azran berdiri tegap kembali. "Apa itu sudah cukup sebagai bukti untukmu?"

Jadi itu alasannya? Dia ingin aku memancing keluar kekuatanku?

Ia bertanya dengan suara dan wajah angkuh penuh kebencian yang tidak ditutup-tutupi. Matanya menatap Edward tajam.

"Ya, cukup bukti untuk mengusirmu," jawab Edward ketus, sebelum berpaling kepadaku. Segala sikap dinginnya berubah menjadi heran ketika bertatapan denganku. Kedua alisnya bertemu, menciptakan kerutan yang berlipat-lipat di dahinya. "Kau harus menceritakan padaku soal itu—apa matamu selalu seperti itu?"

Aku mendengus sebelum berpaling darinya. "Kau baru menyadarinya sekarang?"

Sedetik kemudian, terdengar pekikan tertahan dan kesiap kaget dari sekelilingku. Senjata yang diarahkan padaku semuanya turun, tidak lagi dihunuskan untuk mengancam nyawaku.

"Apa maksud—oh maksudmu—astaga!" Edward menepuk dahinya keras-keras. "Julukan mekanik terburuk itu disematkan padamu karena ini?"

"Kurang lebih." Aku memberikan senyum penuh rasa bersalah padanya. "Dan kurasa aku tidak perlu menjelaskan banyak hal soal kemampuanku ini padamu."

"Kau masih perlu bicara banyak soal itu." Edward bersedekap. "Aku tidak lihat persis apa yang terjadi, tapi bahkan aku yang awan ini bisa tahu." Ia menunjuk hidungnya. "Sesuatu menghilangkan sihir di udara. Kau yang melakukannya? Lagi?"

Aku hanya bisa tersenyum simpul.

Edward membuang napas keras-keras. "Hutang penjelasanmu semakin banyak, Adik Kecil!" Dia lantas menarik tanganku, membantuku berdiri.

"Kurasa aku bisa menjelaskan sebagiannya." Dokter kembali bicara. Kali ini dia berjalan ke hadapanku dan Edward, memunggungi kami berdua. Tubuhnya berdiri menghadap pemukiman yang diukir di dinding tebing itu dan kembali berseru lantang dalam bahasa yang tidak aku mengerti ke hadapan orang-orang yang mengepung kami.

"Dia bilang apa?" Aku berbisik kepada Edward.

Diam untuk waktu yang lama sampai kukira Edward tidak mendengar apa yang aku bisikkan. "Dia bilang: Aku membawa apa yang telah hilang dari kalian selama betahun-tahun. Andrea Serdin sudah memutuskan jauh sebelum ini. Anak ini ...." Edward terdiam sebelum menatapku heran lagi. "Kau Lazarus?"

"Kau tidak tahu apa itu Lazarus?"

"Aku tahu, tapi...." Edward tidak bisa melanjutkan. "Astaga—aku tidak tahu kalau kemampuanmu itulah—tapi Lazarus? Alto, apa artinya kau pernah—

"Biar aku melihat." Terdengar suara lain dari samping kami. Aku dan Edward tersentak menoleh ke salah satu sosok berjubah yang merangsek maju. Dia orang pendek yang tadi bicara, membenci Azran. Langkahnya pelan dan sangat lambat seperti orang tua.

Edward menarik tanganku lembut, membujukku untuk menghampiri sosok itu selagi semua orang beringsut mundur, memberi ruang lebih bagi kami.

Orang-orang yang mundur dan memberi celah tidak pernah punya arti bagus di mana pun, jadi bisa kukatakan siapapun sosok di balik jubah itu, bukan orang biasa.

Meski tidak suka, aku menuruti ajakan Edward bahkan ikut berlutut di depan sosok yang tingginya memang separuh dari tinggiku itu, mengikuti gestur sahabat lamaku.

Sosok itu mengeluarkan tangannya yang keriput dari balik lipatan jubah kumalnya. Dia orang tua. Dari reaksi orang-orang ini, orang tua di hadapanku ini bukanlah sekadar tua. "Tanganmu ...."

Tanpa bertanya apa pun, aku mengulurkan tangan dan menyentuh telapak tangan keriput itu.

Seluruh tenaga di tubuhku seperti ditarik keluar.

Gelombang energi milikku melimpah ruah, tidak lagi bisa ditahan. Aku berusaha menenangkannya tapi tidak bisa. Seperti binatang yang mengamuk dari kandang, energi milikku keluar seperti air bah, membanjiri setiap sudut langit dan tanah, memenuhi pandangan mataku dengan warna hijau zamrud sebelum warna hijau itu perlahan-lahan berganti dengan warna hitam pekat, mirip sekali dengan warna gelombang sihir Azran.

"Sihir Andrea ...." Sosok itu bersuara lagi. Energi dari tubuhku berangsur-angsur tenang. Pelan-pelan, mereka dapat kukendalikan kembali. Tangan keriput itu mengelus pergelangan tanganku lembut sebelum menangkupkan tangannya di seluruh tanganku, membungkusnya dengan kehangatan yang terasa asing. "Selamat datang kembali ... Nak."

Butuh lebih dari satu detik bagiku untuk memproses kata-kata itu sebelum mengernyit heran.

Selamat datang kembali? Nak?

Belum selesai semua kebingungan itu, kebingunganku bertambah dengan jatuhnya seluruh senjata yang tadi terhunus padaku ke tanah. Para pemiliknya, yang tadi kelihatan sangat tidak bersahabat, mendadak saja membungkuk hormat. Yang lebih mengejutkan, Edward ikut membungkuk hormat di sampingku, bahkan dokter John ikut membungkuk. Kasus yang berbeda terjadi pada Azran yang malah berlutut dengan kepala menunduk, tepat kepadaku.

Mataku berputar, memandangi dengan heran semua orang menunduk kecuali sosok yang sedang menggenggam tanganku, yang kini menyunggingkan senyum misterius.

Demi Langit, apa yang sedang terjadi di sini?

***

-

A/N:

Saya suka banget nyiksa Azran ya?

Abis bikin dia Jealous sama Edward dan Alto, saya bikin dia berlutut di sini. Hahaha. Beginilah saya.

Kira-kira apa yang akan terjad selanjutnya? Kenapa semua orang itu berlutut di hadapan Alto? Kenapa mereka bisa kenal Andrea Serdin? Ulululuuu ... saksikan saja chapter selanjutnya!

Jangan lupa vote dan komentar. Sampai jumpa di chapter selanjutnya!



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro