Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45. Jalan Rahasia dan Danau Cermin

Aku menatap Azran dengan ngeri, memintanya mengulang kembali dua kata gila itu karena menurut faktanya, aku akan hancur jadi kepingan tulang dan daging jika berani terjun dari ketinggian setinggi ini.

Sebelum aku sempat bicara lagi, Azran sudah merengkuh pinggangku dan menarik tubuhku melompat bersamanya. Angin kencang berembus meniup kulit wajahku. Jika saja mataku tidak bisa melihat, mungkin aku akan mengira ini adalah angin yang berembus di ketinggian. Sayang gelombang sihir berwarna hitam pekat yang mengelilingi kami berkata hal lain.

Seperti saat kami berangkat tadi, gelombang sihir mengepung kami bagai kepompong. Angin di sekitarku berembus dalam arus yang sangatlah teratur dan terkendali, berbeda dengan angin biasa. Dalam gerakan perlahan, angin itu mencegah kami jatuh bebas dengan cepat ke tanah, membuat kami melayang turun perlahan ke bawah, tepat ke arah tanah di samping sungai yang ada di pangkal air terjun.

Kami mendarat hampir tanpa suara di hadapan dokter John.

"Kukira kalian tidak akan sampai," keluh pria itu tak sampai satu detik setelah kami berdua menginjakkan kaki tepat ke hadapannya.

"Ada sedikit masalah," jawab Azran yang langsung melepasku tanpa bicara apapun. "Kau siap, Dok?"

Dokter John mengeluarkan sesuatu dari pinggangnya. Sepucuk pistol. "Aku selalu siap."

Itu aneh. "Kenapa Anda menyiapkan pistol, Dokter?" Mataku terfokus seutuhnya pada senjata itu. "Bukankah kita hanya akan ke reruntuhan tak berpenghuni?"

"Kita tidak ke reruntuhan itu, tuan Alto." Dokter John menjawab dengan sabar sambil memeriksa peluru di dalam pistol miliknya sebelum menyarungkannya kembali. "Reruntuhan itu ada bermil-mil dari kita berdiri. Sekarang kita akan ke tempat yang lain, ke reruntuhan yang lain yang dulu tak sengaja kutemukan bersama Azran dan yang lain dalam kunjungan terakhir kami ke sini." Dokter mendesah lalu menatap air terjun yang menjulang tinggi dan besar di hadapan kami. "Tapi reruntuhan di atas sini kurang bisa menyambut tamu dengan baik."

Keningku berkerut-kerut dalam, berusaha mencerna makna di balik kata-kata yang berbelit-belit itu. "Ada orang di reruntuhan itu?"

"Ya." Dokter John meringis. "Dan mereka tidak terlalu bisa menyambut tamu, apalagi dari Eropa."

"Tapi bukankah suku Carpantia katanya sudah punah?"

"Kenyataannya masih ada yang bertahan hidup ... atau tidak. Tapi setidaknya reruntuhan di sini berpenghuni. Ada seseorang untuk ditanyai. Itu hal yang bagus--

Azran menyela. "Ayo, jangan buang-buang waktu!"

Ketika dia bilang 'ayo', aku hanya bisa terdiam, semakin bingung dari waktu ke waktu. "Ayo ke mana?" Namun tidak ada yang mengindahkanku. Dua pria itu hanya berjalan lurus menuju air terjun, menarik tanganku yang sebelah tanganku yang borgol bersama mereka. "Ke balik air terjun ini?"

"Tentu, Tuan Alto." Dokter John berhenti dan berbalik, menjawab pertanyaanku dengan ramah. "Di balik reruntuhan air terjun ini ada jalan menuju reruntuhan itu."

Azran ikut berhenti dan menatapku selama sedetik sebelum mendongak menatap angkasa. Seketika saja wajahnya menggelap kemudian matanya menatap dokter John dan aku dengan wajah gahar. "Kalian berdua, cepat masuk!"

Dokter John tidak menyahut ataupun ikut memandang ke angkasa untuk melihat apa sekiranya yang membuat Azran begitu panik dalam sekejap. Pria itu hanya langsung mengikuti titah kaptennya untuk masuk ke dalam air terjun, melewati tiap tetes airnya yang membanjiri sugai dengan deras. Langkah pelan kami berubah menjadi lari yang sangat cepat seolah ada sesuatu di belakang yang mengejar kami.

Aku ditarik masuk oleh borgol yang mengikat tanganku bersama Azran. Dokter John menjadi pemimpin jalan sementara Azran menyusul di belakang. Aku hampir akan menjadi yang terakhir masuk jika Azran tidak mendadak mendorongku dan menjadikan dirinya sendiri sebagai yang berlari paling belakang, bertukar posisi denganku sehingga kini aku yang menyeretnya dan bukan yang sebaliknya.

Pria paruh baya yang memimpin jalan itu berlari, melompati beberapa batuan hitam berlumut yang kelihatan licin dan akhirnya masuk lewat samping air terjun dan menghilang di balik arusnya yang deras. Aku mengikuti langkah dokter John dan mendapati diriku sudah berada di dalam gua.

Benar-benar ada jalan di balik air terjun.

Dokter berhenti untuk mengambil napas yang hampir habis. Mengingat dulu dia cepat sekali lelah ketika mencari rumah ibuku, suatu prestasi luar baisa melihatnya baru terengah sekarang. Kurasa ketakutan memang bisa memberi kita sayap.

Azran yang berdiri di sebelahku tampak mendelik ke arah angkasa di luar air terjun. Pandangan mataku mengikuti arah matanya, melihat satu kapal udara melintas. Melihat bentuknya yang wajar, kurasa itu kapal udara sipil, jadi seharusnya kami tidak perlu panik seperti ini. Tapi aku tahu apa? Ini bukan negaraku, bentuk kapal militernya bisa saja berbeda.

Butuh beberapa lama bagi Azran untuk akhirnya mengembuskan napas lega. Otot-otot wajahnya yang tadi tegang, berubah rileks, berbeda dari wajahnya sesaat sebelum kami memasuki air terjun tadi.

"Ayo, lanjutkan!" titahnya langsung, tanpa memberiku istirahat sama sekali.

"Ini bagian yang aku tunggu!" Mendadak saja, dokter John yang tadi hampir kehabisan napas, berubah semangat. Tanpa menunggu aba-aba, dokter itu sudah benar-benar berjalan lebih dulu.

"Baik, kau yang memimpin jalannya." Azran menatap dokter John sebelum menatapku. "Kau berjalanlah lebih dulu, aku menyusul di belakang."

Aku berbalik menyusul dokter John. Sekali lagi aku menyeret Azran ... atau tepatnya membiarkan dia mengawasiku dari belakang.

Senyum masam mengembang di wajahku. "Aku benar-benar tidak bisa dipercaya, eh?" sindirku sambil membunyikan rantai yang mengikat kami bersama hingga bergemrincing nyaring di tengah deru air terjun di dekat kami.

"Silakan berpikir sesukamu," dengusnya.

"Sebenarnya, Tuan Alto," dokter John menyela. "Memang sebaiknya kau berada di tengah-tengah, jadi jika terjadi apa-apa, aku maupun Kapten bisa menolongmu, karena setelah ini kita akan melewati jalan yang sedikit ... berbahaya."

Terserah.

Suasana gua semakin gelap seiring semakin jauh langkah kami menelusurinya sementara tanah tempat kami berjalan terdiri dari batuan padat yang terasa sangat licin. Beruntung sekali aku mencuri sepatu bot yang masih bagus dari penjara.

Selama berjalan, tanganku sesekali meraba dinding yang juga licin dan berair oleh aliran sungai kecil yang sepertinya berasal dari langit-langit, merasakan dinding berubah kering seiring semakin dalam kami masuk.

Suara air terjun berubah senyap di belakang kami. Hanya terdengar suara tetes air dari langit-langit menimpa bebatuan di tanah saja sekarang. Bau air mulai tergantikan oleh bau lumut. Tidak terlihat ada binatang satu pun di dalam gua ini, tapi aku melihat beberapa sosok kecil merayap di dinding gua, membuat seluruh tubuhku seketika waspada. Jika yang merayap hanya kelabang, aku masih bisa menginjaknya, tapi jika yang merayap itu bukan binatang yang bisa dihadapi, aku dalam masalah besar.

Cahaya yang mulai masuk ke dalam gua membuat kepalaku kembali menatap jalan di depan kami sekali lagi. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk tiba di bagian gua yang tampak seperti mulut gua kedua atau mungkin lebih tepatnya jalan keluar.

"Kita sampai ke jalan bahaya." Dokter John menginformasikan tanpa mendramatisasi sama sekali, memberi sinyal waspada tersendiri buatku.

Melongok, aku melihat jalan yang cukup terang. Selama sesaat aku mengira kami sudah akan keluar gua. Tapi ternyata kami masih ada di dalam gua. Langit masih belum terlihat, tapi setidaknya bagian ini disinari cukup terang. Di depan dokter John, membentang danau yang sedikit banyak membuatku terpekur.

Air danau itu berwarna perak.

Tentu saja tidak perak secara harfiah. Hanya mirip saja. Airnya memang tidak benar-benar berkilau putih keperakan apalagi berkilau karena di sini tidak ada sinar matahari langsung. Airnya justru terlihat kelabu jika dilihat dari sini, hanya saja warna permukaannya mengingatkanku pada perkakas perak yang pernah dimiliki ibuku di rumah dulu: jernih tanpa noda.

Seperti cermin.

Tidak ada riak air di permukaannya. Tidak ada pula daun, lumut, atau kerikil dari dinding gua yang jatuh. Permukaanya benar-benar tenang tak terganggu, benar-benar seperti cermin. Cantik, tapi di saat yang sama juga mengerikan. Air yang terlalu tenang tak pernah terlihat indah.

Mataku menangkap bayangan yang direfleksikan oleh permukaan danau itu dan segera mendongak, melihat puluhan bangunan serupa belasan kuil dan puluhan rumah masih berdiri kokoh di celah-celah bagian tebing yang menjulang di seberang danau, seakan bangunan-bangunan itu berdiri dan dibangun dalam mulut seekor monster raksasa.

"Itu tujuan kita?" Aku bertanya, setengah tercengang.

"Ya, reruntuhan itu tujuan kita." Dokter John menyahut dengan pelan. Suaranya berubah menjadi bisikan.

"Bersiaplah, sepertinya kita tidak sendirian di sini," Azran bersuara di belakang.

"Aku paham," sahut dokter John patuh. "Nah, Tuan Alto, ketika kita berjalan di atas sana, melangkahlah dengan hati-hati." Dia menunjuk sepetak jalan batu yang berfungsi sebagai jembatan yang membentang di atas danau. "Jangan jauh-jauh dariku maupun Kapten dan jangan sampai jatuh."

Mataku mengamati jalan setapak yang melintang di atas danau itu. Dari lebarnya, jalan batu itu hanya bisa dilewati oleh satu orang, mirip jalan setapak, hanya saja jalan setapak ini membentang di tengah-tengah danau. Tidak ada pegangan apapun di kanan kiri jalan batu itu. Hanya ada satu jalan yang membentang.

"Jangan melihat ke bawah ya, itu perjanjian kita bertiga." Dokter John berpesan sebelum melangkah lebih dulu mendekati jalan batu yang berfungsi sebagai jembatan itu.

"Aku tidak takut air," tegasku.

"Ah, bukan masalah airnya, Tuan Alto. Di buku yang pernah aku baca, semua tempat tinggal suku Carpantia memiliki mata air ini. Mereka semacam—apa kata buku itu?—ah ya, menyucikan air tempat tinggal mereka dengan mata air suci dari tempat mereka berasal—entah dari mana. Dan mata air mana pun yang bercampur dengan air suci mereka, berubah menjadi seperti ini."

Tangan Dokter John menunjuk danau itu, membuatku melihat pantulan siluetnya berjalan di depan.

"Cermin."

Dokter menjentikkan jari. "Tepat," ujarnya. "Air cermin. Atau dalam kasus kita kali ini, danau cermin."

Aku melangkah menyusul dokter John. "Warnanya sudah menjawab julukan itu."

Di depanku, sang dokter tertawa tertahan. "Bukan hanya warnanya, Tuan Alto. Apa kau percaya mitos?" Pria paruh baya itu bertanya tanpa memandangku. "Ah, tentu kita semua sekarang percaya mitos dengan adanya semua sihir dan makhluk serta binatang aneh di sekeliling kita."

Sadar sudah membawa atmosfer keruh, dokter itu segera berdeham. "Begini, dari buku yang pernah kubaca, gua ini tadinya adalah tempat suci yang hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu. Orang yang hendak masuk ke tempat ini akan diseleksi dengan cara melewati danau ini. Menurut kepercayaan Suku Carpantia, dari Danau Cermin ini akan menunjukkan jati diri orang-orang yang melewatinya, sehingga jika ada orang yang masuk, semua orang bisa melihat apakah dia berniat baik atau tidak. Jika dia berniat jahat, orang-orang itu akan langsung diserang ketika berada di atas jembatan ini. Entah apa yang ada di dalam danau ini, tapi katanya mereka yang terjatuh tidak pernah muncul lagi ke permukaan," jelasnya panjang lebar, menutup penjelasannya dengan informasi mengerikan.

"Jati diri?" ulangku.

"Wajah sebenarnya dari seseorang." Dokter John mengambil langkah pertama di atas jalan batu itu. Sesuai kata-katanya, dokter itu tetap memandang ke depan tanpa memandang ke bawah. "Kau tahu hal yang unik lainnya? Hanya orang lain yang dapat melihat wajah aslimu di danau ini, sementara kau sendiri tidak akan melihat apa-apa selain bayanganmu sendiri. Tidak menyenangkan jika rahasia tergelap kita diketahui orang lain tanpa kita pernah mengizikan bukan? Jadi, untuk menghormati masing-masing, kita akan menatap ke depan dan saling menjaga jarak agar terus berdekatan sehingga tidak ada yang akan terjatuh ke danau. Tapi tentu saja, katanya tidak selalu ada refleksi jati diri yang ditampilkan, jadi kau bisa sedikit tenang."

Terdengar dengusan di belakang. "Perhatikan saja jalanmu, John!" Azran yang sedari tadi diam, akhirnya mendesis marah.

Dokter John hanya mengangkat kedua tangan ke udara, tanda menyerah. "Baiklah, hanya saja tolong awasi tuan Alto baik-baik, ya, Kapten."

Pelan-pelan, aku melangkah di belakang dokter John, menyeret serta Azran di belakangku. Sepanjang jalan, rantai yang mengikat kami berdua berdecing nyaring di tengah kesunyian yang merajai gua.

Teringat pesan dokter John hanya membuat rasa penasaranku tergelitik. Diam-diam, aku melirik pantulan di danau cermin. Warnanya masih jernih dan aku hanya melihat pantulan dokter John, diriku, dan ....

"Cantik."

Aku berhenti dan berbalik dengan kaget, hanya untuk melihat Azran menutupi sebelah sisi wajahnya dengan kedua tangan. Hidung kami hampir bersentuhan dan aku bisa melihat pendar di mata emasnya yang menyala terang.

Jika saja wajahnya tidak demikian menakutkan, aku sudah akan mendorongnya menjauh karena mengira dia hendak melecehkanku.

Darah terkuras dari wajah penyihir itu. Dia kelihatan panik sekali. Setetes keringat mengalir menuruni pelipisnya ketika wajah kami berhadap-hadapan dalam jarak yang sangat tipis. Napasnya terasa hangat di kulit wajahku, bahkan cenderung panas. Kedua tangan yang ada di sisi kiri pipinya terlihat sedikit gemetar. Kengerian memenuhi seluruh matanya.

Dengan cepat, kepanikan di wajahnya berubah menjadi kejengkelan. "Bukankah sudah ada perjanjian untuk tidak melihat ke bawah?"

"Aku tidak melihat ke bawah." Dan itu jelas sekali bukan? Aku sedang menatapnya, bukan menatap ke arah pantulan di permukaan danau.

"Tapi dengan menoleh, kau akan melihat pantulanku juga," desis Azran. "Kau mau aku melihat pantulanmu?"

Karena sedang tidak ingin berdebat, kuakhiri saja sampai di sini. "Kau mengatakan sesuatu? Tadi?"

Terlihat kilatan kebingungan di mata emasnya, tapi mungkin itu hanya perasaanku saja karena saat ini dia benar-benar kelihatan marah. "Mengatakan apa?"

Cantik, aku ingin bilang seperti itu, tapi mungkin itu hanya perasaanku saja atau pantulan suara di dinding gua yang salah kuartikan, aku putuskan untuk mengurungkan niatku mengutarakannya. Lagipula ini bukan perkara besar.

"Tidak, hanya perasaanku saja."

Di depanku, dokter John tertawa, jelas sekali menguping perkelahian kecil kami. "Hati-hati, Tuan Alto. Kami sudah beberapa kali melintasi air cermin, tapi kapten selalu saja jadi sedikit lebih sensitif jika melewati tes ini. Sebaiknya jangan kita ganggu dia." Kemudian dokter John menghela napas. "Memangnya siapa yang tidak takut jika dihadapkan pada wujud asli? Siapa tahu danau ini akan mengungkapkan rahasiamu yang tidak pernah diketahui orang lain kan? Buruknya, kau tidak akan bisa melihat sisi yang terungkap itu. Hanya orang lain yang bisa melihat. Rasanya seperti ditelanjangi secara tidak sadar."

Racauan Dokter John agaknya mengundang untuk ditanggapi, tapi aku tetap fokus berjalan lurus, hanya menatap ke depan seperti yang diminta oleh dokter John. Aku sempat tidak mendengar langkah kaki Azran selama beberapa detik namun setelah tiga langkah memimpin, akhirnya terdengar kembali. Penyihir itu kembali berjalan di belakangku.

Seluruh bulu kudukku berdiri ketika siluet gelap di air kembali bergerak. Mendekat ke arahku.

Tenanglah, Alto. Tenanglah, jangan gemetar. Kuulangi ucapan itu berkali-kali untuk menenangkan jantungku yang bertalu-talu memukuli rongga dadaku dari dalam dan napasku yang seandainya tidak diatur, pastinya akan memburu dengan cepat sekali.

Aku tidak melihat apapun. Tidak ada apa-apa di air.

Kalimat itu bodoh, terang saja, karena tidak peduli berapa kalipun aku mengucapkannya, bayangan monster raksasa yang memantul di air itu tetap mengikutiku dari belakang, seakan siap menerkamku jika aku lengah sedikit saja.

***

-

A/N:

Dat momen ketika kalian tahu, Azran diam-diam ngintip di danau cermin dan memuji Alto "Cantik."

"Kapten, kita-kita tahu, Anda sekarang yang kebalik kesengsem sama Alto. Anda kemarin ke mana saja, hm? Pas Alto lagi gampang dirayu, Anda malah menfaatin dia dan nggak anggap dia lebih dari barang, sekarang, gimana hm? Makan tuh nasib!"

Kira-kira, apa ya yang dilihat Azran di danau cermin? Refleksi yang terpantul adalah refleksi asli dari kita, jadi apakah wujud asli Alto jika seandainya ia besar sebagai perempuan itu, cantik luar biasa?

Heuheuheu....

Di lain pihak, kira-kira apa yang dilihat Alto dari refleksi Azran? Kayaknya bukan sesuatu yang bagus yaaaa.

Jadi nggak sabar sama episode selanjutnya nih. Unch, unch.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro