44. Suku Carpantia
"Harus kuakui, agak sedikit hambar tanpa ada kau di sini, Alto."
Aku hanya menyahut perkataan Will dengan satu 'hm' yang pelan dan pendek. "Apa sekarang ada perubahan?"
"Rambutmu sedikit lebih panjang," komentarnya. "Dan wajahmua jadi cantik seperti perempuan, walaupun dalam beberapa hal kau tampak lebih gahar dibanding sebelumnya."
Terang-terangan, aku memutar bola mata di depan wajahnya. Will hanya terkekeh melihat reaksiku.
"Jangan ganggu dia, Will! Kakiku menjadi taruhannya di sini!" tuan Hoggs mendengus kesal di depan wajahku.
Pria tua itu tidak berlebihan soal kakinya yang menjadi taruhan sekarang, tapi dia membuat seolah satu gerakan kecil dariku akan membuat organ buatan ini rusak berantakan dalam sekejap mata.
Aku membuka sekrup terakhir dari bagian persendian kaki kanan tuan Hoggs, kaki yang dikeluhkannya sakit sejak sebulan lalu dan tidak kunjung betul padahal dia tidak melihat ada masalah di bagian dalam maupun luarnya.
"Senter!" Will langsung menyerahkan satu buah senter padaku.
Aku menerima sebatang senter kecil seukuran tidak lebih dari ibu jariku dan langsung menggigitnya, mengarahkan cahayanya ke bagian dalam persendian tuan Hoggs yang terpampang jelas, menampilkan bagian-bagian tubuh serupa kaki manusia asli, hanya saja semua daging dan darah itu kini digantikan oleh roda gigi, sekrup super kecil, dan air yang mengalir dari selang-selang kecil di dalam pipa-pipa besi setipis benang.
Dilihat dari bagian luar, tidak ada karat yang menempel. Persendian pun tadi bisa digerakkan dengan lancar tanpa ada bunyi aneh. Artinya kerusakannya ada di dalam. Sekilas pandang, tidak ada yang aneh di bagian ini. Tanganku lantas mengaduk-aduk kotak peralatan tuan Hoggs, tapi tak menemukan apa yang aku cari.
"Kau punya viper, Tuan Hoggs?"
"Apa? Aku tidak ingat kau membawa ular ke dalam kapal ini, Tuan Hoggs." Will berkelakar tak lucu.
Aku baru akan membalas ketika tangan tuan Hoggs teracung di udara, menunjuk ke arah pesawat uap di ujung ruang mesin, dekat tabung-tabung raksasa tempat penampungan energi sihir.
"Aku meninggalkannya masih terpasang di sana, Nak," katanya. "Jangan dengarkan ocehan bocah berguna ini. Tapi sekadar informasi, aku sudah mengecek dengan itu juga dan tidak ada masalah yang kutemukan."
Tanpa menyahut, aku pergi ke arah yang ditunjukkan tuan Hoggs.
Viper memang nama ular dan bagi yang awam mesin, tidak akan mengerti. Viper yang kuminta adalah sebentuk pipa yang terhubung ke selang panjang yang terhubung dengan boiler, befungsi untuk mengecek apakah aliran uap di dalam silinder dan pipa berjalan mulus atau tidak. Ayahku pernah bilang, alat ini dinamai mirip ular karena bagian runcing pada ujung pipa untuk mengecek aliran uap di dalam organ buatan bentuknya mirip taring ular. Sebenarnya ada nama yang lebih sulit untuk alat ini, tapi mumpung aku tidak tahu dan nama itu tidak penting, aku tidak pernah mencari tahu.
Selesai mendapatkan viper di tempat yang sesuai dengan petunjuk tuan Hoggs, aku kembali dan langsung memasang selang itu ke pesawat uap terdekat.
Aku menancapkan ujung taring viper ke pipa yang ada di betis tuan Hoggs, hulu dari semua aliran uap di kakinya, lalu menekan tombol untuk mengalirkan uap ke dalam kaki organ buatan tuan Hoggs dan melihat aliran uapnya lancar dari betis hingga ke mata kaki. Proses pemanasan maupun pendinginannya tidak masalah. Suhu masih ada di batas normal, jadi tidak ada kesalahan pada boiler mini di dalam kaki ini.
Kemudian mataku melihat salah satu uap yang mengalir keluar, tersendat. Aku mencabut viper dari kaki tuan Hoggs dan mengecek katup yang menutup aliran uap itu dan melihat ada noda hitam di sana, noda hitam yang terasa panas.
"Karet pengaman katup ini terbakar." Aku menunjuk katup yang rusak itu. "Ini harus segera diganti." Aku menatap Will.
Tuan Hoggs meringis. "Kurasa aku melewatkan satu itu," ujarnya. "Kau punya mata yang bagus, Nak."
Ironis sekali karena aku biasanya mengutuk mata ini.
Bersyukur saja aku melihatnya, kalau tidak, pria tua ini akan dua kali lebih sering mengalami over heat dari yang seharusnya. "Apa kita nanti akan ke pasar?"
"Tidak." Will menggeleng, kali ini tampak serius. "Kali ini kita akan menjelajah, kau pasti akan senang mendengar Dokter berceloteh sepanjang jalan karena tempat tujuan kita kali ini sangat cocok dengan selera dokter John."
Dokter John. Will pernah bilang pria itu tidak cocok dipanggil sebagai dokter, setelah beberapa lama menghabiskan waktu dengannya, aku mulai mengerti. Dokter John lebih mirip arkeolog dan penjelajah daripada dokter, jika saja staminanya tidak begitu lemah.
Aku berusaha untuk tidak penasaran, tapi kata-kata Will menggangguku. Sebelum aku sempat bertanya, Will sudah bersuara kembali.
"Kau pernah mendengar suku Carpantia?"
Tak lama setelah kata-kata itu terucap, kapal berhenti.
***
Seperti yang sebelum-sebelumnya, aku dipaksa ikut keluar kapal. Bedanya, kali ini ada borgol yang terpasang di tanganku yang menghubungkan sekaligus mencegahku kabur dari Azran.
Sebagai tambahan pengawas, Dokter John akan ikut menemani kami ke suku Carpan-entah-apa ini. Seperti halnya ketika kami pergi ke Inggris, sekarang pun kami harus mendarat beberapa ratus yard dari garis pantai terluar negara yang disebut Constantinopel.
"Ini perjalanan pertamamu menginjakkan kaki di benua lain bukan?" Dokter John bersiap-siap dengan antusiasnya di sebelahku, lengkap dengan pakaian sederhana yang ia pakai ketika kami ke Inggris terakhir kali. "Bagaimana perasaanmu?"
Sejujurnya, biasa saja. "Kita ada di benua apa?"
"Asia," jawab dokter John. "Tapi bisa juga keduanya karena Constantinopel berada di antara dua benua, Asia dan Eropa. Ada apa? Sesuatu mengganggu pikiranmu?"
Jika ada yang mengganggu pikiranku, itu adalah raja dari klan penguasa benua yang katanya disebut Asia ini. Menurut penuturan Valika, raja klan penyihir dari benua bernama Asia adalah Sigmon. Aku tidak tahu apa-apa soal Sigmon ini, jadi segala kemungkinan bisa terjadi. Bisa saja penyihir di benua ini jauh lebih kejam daripara di benua Eropa.
Di atas atap, angin yang berembus tercium berbeda dari angin di Inggris. Aroma yang terbawa angin di langit ini tercium seperti debu: kering dan membawa hawa panas ke kulit. Padahal baru sebentar berada di atap, tapi aku merasa sedang berada di pantai di musim panas, tanpa ada suasana menyenangkan dan deburan ombak menyegarkan.
Sihirku langsung keluar ketika merasakan sihir Azran aktif, tapi berbeda dari sebelumnya, kali ini aku bisa menahan sihirku agar tidak keluyuran dan mengganggu sihir orang lain. Seperti saat ke Inggris, Azran melemparkan dokter John lebih dulu dengan sihir angin dan melapisinya dengan sihir sebelum memberangkatkan aku dan Azran bersama menyusul dokter John.
Selagi berada di udara, ada dua sihir yang berpadu di depan mataku, membentuk kepompong yang menyelubungiku dan Azran, melindungi kami dari serangan yang mungkin akan kami terima sekaligus melindungi kami dari penglihatan penyihir manapun. Ini sihir jiwa dan sihir hitam. Di Inggris, Azran tidak sampai menggunakan sihir jiwa dan hanya menyamarkan kami dengan sihir hitam saja. Saat itu kukira dia hanya bisa menguasai dua jenis sihir, kemudian aku tahu dia bisa tiga jenis sihir.
Sekarang aku sadar dugaanku sekali lagi meleset.
Sihir putih, sihir hitam, sihir jiwa, dan sihir waktu.
Pemuda ini menguasai empat jenis sihir, dengan kata lain, semua jenis sihir. Aku bergidik ngeri, menjadi semakin waspada dan tidak percaya padanya. Pemuda ini kakak dari Oryziel, jadi ada kemungkinan adiknya itu pun menguasai semua jenis sihir.
Oryziel.
Mengingat nama itu membuat amarahku naik berkali-kali lipat. Penyihir itu berbeda dari semua penyihir lain. Dia bisa menyembunyikan seluruh tetes sihirnya tanpa bocor sama sekali, sesuatu yang bahkan tidak bisa dilakukan kakaknya. Jika dibandingkan dengan Oryziel, pengendalian sihir Azran payah sekali. Sihirnya keluar tak keruan seperti gelombang angin yang mengamuk, membuat batas kemampuannya bisa dengan mudah diketahui. Berbeda dengan Oryziel yang sampai sekarang tak kuketahui sampai mana batasan maksimal kekuatannya.
Jika aku melatih kemampuan dengan menggunakan sihir kepada Azran, mungkin saja aku akan mampu menghilangkan seluruh sihir Oryziel.
Kemudian aku menyadari sesuatu yang janggal.
Saat di terowongan, aku berada dalam dekapan Azran hampir sepanjang jalan. Dengan kata lain, aku menyentuh Azran. Ketika aku menyembuhkannya, secara tidak sengaja aku membuat sebagian segelnya hilang, sementara di waktu yang lain, tepatnya ketika aku berada dalam dekapannya, tidak ada yang terjadi, padahal seharusnya ada yang terjadi. Seharusnya tato di tubuhnya menyala dan energi sihirku mengalir ke tatonya, membuka segel itu pelan-pelan seperti sebelumnya.
Tapi kenapa saat itu tidak terjadi apapun? Aku yakin sihirku saat itu tidak habis, jadi seharusnya memang berpengaruh.
Jika sentuhan tidak selamanya berpengaruh, mungkinkah kontak tanpa sentuhan pun tidak selamanya tidak berpengaruh?
Mencoba mengetes kemungkinan ini, aku membiarkan seluruh energiku terlepas ke udara, menciptakan ledakan kecil akibat pergolakan energi milikku dan milik Azran. Terjadi letupan panas di luar maupun di dalam tubuhku, menghangatkan suhu tubuh dan memenuhi pandanganku dengan cahaya berwarna hijau zamrud yang berkelahi dengan sihir berwarna hitam pekat. Dalam satu kedipan mata, energi sihir berwarna hijau zamrud milikku menang. Energi sihir hitam pekat milik Azran lenyap.
Dan saat itu juga kami terjun bebas.
***
"Jangan pernah lakukan itu lagi, kau paham?!" Azran membentak keras-keras sambil membersihkan bajunya dari tanah dan ranting pohon yang tersangkut.
Aku tidak menyahuti omelan itu dan tetap membersihkan bajuku dari noda yang sama. Kuakui itu memang salahku karena menggunakan kekuatan di tengah udara yang mengakibatkan sihir Azran lenyap sebelum kami sempat menyentuh tanah.
Jatuhnya kami sampai menimpa pohon dan semak hingga melesetnya kami beberapa puluh kaki dari tempat mendarat awal adalah salahku, tapi aku tidak akan membiarkan penyihir itu senang dengan mengakui hal ini di depan wajahnya.
"Kutanya sekali lagi, apa kau paham?!" Azran membentak, kali ini lebih kencang sampai urat-urat di lehernya timbul dari kulitnya yang putih.
"Terserah." Aku menjawab setengah hati.
Belum selesai membersihkan diri, rantai dari borgol yang mengikat tanganku ditarik kuat-kuat sampai tubuhku nyaris terjungkal ke belakang. Untunglah sebelum kejadian memalukan benar terjadi, aku berhasil menyeimbangkan tubuh.
Azran menuntunku—atau lebih tepatnya, menyeretku—melewati hutan dengan deretan pepohonan paling tinggi yang pernah kulihat karena di Inggris tidak ada pepohonan setinggi ini. Meski di sini rindang karena dedaunan menutupi langit seperti kanopi, udaranya tidak sedingin di Inggris. Walaupun berada di dalam hutan, tubuhku masih saja dibanjiri peluh oleh matahari yang bersinar cukup hangat.
Berkali-kali aku dipaksa melewati semak tinggi, melangkahi pohon yang tumbang, dan harus menembus daun-daun yang masih lebat seolah hutan ini belum pernah dijamah sebelumnya. Mungkin memang kamilah manusia yang pertama sampai ke hutan ini.
Selama perjalanan, aku memutuskan untuk tidak bertanya dan hanya membiarkan suara binatang-binatang hutan dan suara aliran sungai yang sepertinya berada dekat dengan kami mengisi kekosongan suara di antara kami berdua.
Bukannya tidak mau bertanya atau bicara, tapi Will sudah cukup memberitahu di perjalanan ke atap tadi dan aku tidak mau repot-repot bertanya pada Azran.
Berdasarkan penuturan Will, kami akan berjalan reruntuhan yang dulu digunakan sebagai desa milik suku Carpantia, suku pedalaman di negara ini yang dimusnahkan pada gelombang pertama era sihir, gelombang yang sama yang sudah memusnahkan keluarga dan desaku.
Pertanyaannya adalah, untuk apa kami menemui reruntuhan yang sudah tidak berpenghuni lagi?
Sebenarnya bukan hanya itu pertanyaan yang bersarang di benakku, tapi biarlah pertanyaan itu tetap ada di dalam kepalaku saja. Cukup aku saja yang menyimpan semua pertanyaan itu. Daripada bersiap untuk bertanya, sebaiknya aku bersiap jika ada yang mulai menanyakan soal ibuku. Jangan sampai aku membocorkan informasi penting di saat mereka belum memberikan apa yang aku minta sampai detik ini.
Kami melangkah lebih jauh ke dalam hutan dan suara aliran sugai terdengar semakin keras. Beberapa lama berjalan, ada sungai besar terlihat. Ukuran sungainya cukup besar untuk mengalirkan lima peti kayu berjajar tanpa saling bertabrakan. Mataku mengikuti aliran air yang menghilang di balik horizon.
Azran berjalan kembali, menarikku di belakangnya, mengikuti arus sungai yang entah bermuara ke mana. Semakin jauh, suara aliran sugai berubah menjadi suara lain yang lebih keras dan terdengar lebih mengerikan.
Keluar dari hutan belantara yang tak terjamah itu, kami berada di tanah kosong tanpa satu pun pepohonan, hanya ada beberapa rumput dan itu pun sangat sedikit, tanah lembab di bawah kaki kami berubah menjadi bebatuan padat yang hitam dan berlumut.
Mataku terpaku pada ujung sungai besar yang ternyata bermuara pada air terjun. Dari sinilah suara keras itu berasal. Menatap ke depan kembali, aku melihat bentangan hutan hijau dan sungai besar yang mengalir, terusan dari air terjun ini.
Kepalaku melongok ke bawah, melihat sosok manusia kecil di dekat kolam yang ada di ujung air terjun. Pria itu melambai-lambai ke arah kami. Wajahnya tidak terlihat jelas, namun sosoknya familiar di mataku.
"Kalian benar-benar lama!" Suara dokter John terdengar dari bawah. Rupanya memang benar sosok itu adalah dokter John.
"Ayo turun." Dua kata itu keluar dengan mudah dari mulut Azran.
"Ke mana?" tanyaku seperti orang tolol.
Azran mendelik. "Jelas saja ke bawah sana, memangnya kau pikir ke mana lagi?"
***
A/N:
Perkenalkan, Alto, Die Hard Girl! Plissss, deh gadis satu ini sama sekali nggak peka sama bahaya gara-gara abis dipenjara. Ugh... gemes pengen nabok.
Terjun lewat air terjun dong! Mau ke mana hayoooo! Kira-kira gimana ya, nasibnya Alto? Ngapain mereka terjun bebas sering-sering di chapter ini ya? Emang Suku Carpantia itu tinggal di bawah sana?
Hm.... mencurigakan.
Btw, saya senang dengar kalian berteori soal asal muasal Alto. Ayo, terus berteori, saya seneng lihat orang kebingungan!!! Hahaha
Untuk para reader lama, jangan bocorkan a-pa-pun di arc ini ya. Tunggu dengan sabar, oke?
-
Fun Fact:
Saya mengoreksi nama kota Istanbul yang sempat muncul di part 1. Seharusnya Konstantinopel, karena pada tahun 1864, walaupun nama ibukota Turki sudah resmi menjadi Istanbul, peta-peta yang beredar di Eropa, masih belum diperharui dan masih menggunakan nama "Constantinopel" sebagai nama ibukota Turki.
Peta jaman dulu memang mengundang konflik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro