42. Azran: Tidak Lagi Sama
Aku menduga akan jatuh di hadapan sekumpulan penjaga lagi.
Tanganku sudah siap meninju wajah-wajah kurang ajar, kakiku sudah siap mematahkan tungkai-tungkai sok kuat, dan sihirku sudah siap untuk melibas semua halangan yang berani tampil.
Tapi tidak ada satu pun sel tubuhku yang siap menghadapi seorang gadis yang melongo menatapku seakan aku ini makhluk tak jelas dari negeri antah berantah.
Ada yang berbeda.
Perasaan itu muncul di detik pertama mata kami saling beradu. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis ini. Aku menatap seluruh penampilannya dari ujung ke ujung, memandangi sepatu bot, celana, rompi, dan kemeja putih berdebu berlumuran darah yang ia kenakan. Pakaiannya masih sama maskulinnya dengan terakhir kali kami bertemu, hanya sedikit berbeda model. Mataku terus naik, menelusuri rambutnya yang sudah sudah tumbuh sampai menutupi lehernya, lalu bertemu pandang dengan sepasang mata yang mengamatiku dengan sorot tajam tak bersahabat.
Sekarang aku tahu dari mana asalnya perasaan tak enak ini.
Sorot mata itu tak lagi sama. Warna zamrud yang menyala dari dalam mata itu terkesan semakin gelap, bayangan yang membayangi cahaya di matanya tumbuh menjadi lebih pekat dan gelap selama satu bulan kami tidak bertemu. Sungguh kesan yang ironis karena pada kenyataannya pendar dalam mata itu terlihat semakin terang.
Tidak ada kelembutan, tidak ada tirai keceriaan yang biasa dia tampilkan, dan tidak ada sinar lembut di wajahnya, menjadikan cahaya yang terang di sepasang manik indah itu berubah dingin, sedingin badai salju.
Kesenangan yang sempat membludak, rasa gugup yang mendadak menggelayut di hati, dan kelegaan yang merekah melihatnya masih selamat dan utuh tanpa luka sedikit pun, kini hilang tanpa jejak.
Di bawah mata itu, aku tidak menemukan pantulan rasa senang yang sama ataupun perasaan lega yang sama. Aku tidak melihat emosi apapun selain keterkejutan yang juga menimpaku di detik-detik awal sebelum pemahaman melintas di mata itu dan semuanya mati. Tidak sampai satu menit kemudian, sorot matanya membeku, keterkejutannya hilang, dan tidak ada sedikitpun antusiasme tersisa di sana.
Apa yang terjadi pada dirinya selama sebulan berada di penjara ini?
"Oh." Suara itu menyiramku dengan air dingin yang menusuk, membangkitkan badai yang hebat yang menggerogoti tubuhku dari dalam dengan gelombangnya yang pasang dan petirnya yang menyambar-nyambar. "Ternyata hanya kau ... Azran."
Kehangatan ketika dulu mendengar namaku disebut oleh lidahnya, berganti rasa sakit menusuk. Suaranya berubah jijik ketika menyebut namaku seperti dipaksa menelan satu gelas cacing yang masih hidup.
"Alto, kau—
Tanah di bawah kakiku berguncang. Menunduk, aku melihat kepala dan tangan besar muncul dari balik puing-puing yang kuinjak.
Cakar melengkung, kulit hijau dengan banyak serat seperti kayu, kepala dengan moncong pendek dan taring yang mencuat seperti harimau di bawah puing-puing ini tampak sangat familiar.
Oh, ya, troll.
Makhluk itu menggeram marah di bawah kakiku, berusaha sekuat mungkin untuk keluar. Tanpa memberinya celah, aku menginjak tubuh raksasanya lebih keras, membuat makhluk itu meraung-raung kesakitan sebelum menarik pistol dan menembakkan beberapa peluru ke kepalanya. Darah hitam makhluk itu memercik ke wajahku dan menggenang di lantai. Raungannya yang semula keras, langsung saja sunyi, namun tubuhnya masih menggeliat-geliat sekarat. Aku mencabut pedang dan menikam kepala makhluk itu kuat-kuat, menembus tengkorak dan rahangnya hingga menancap dengan kuat ke lantai batu. Kulit troll memang keras, tapi jika yang menikamnya adalah jenis pedang tebal dari vanadium, dia juga tidak akan berkutik.
Aku mencoba menarik pedangku ketika sadar bilahnya tersangkut. Sepertinya aku berlebihan mendorongnya.
Suara derap lari itu membuatku teralih. Kepalaku melihat ke depan, menyaksikan sosok Alto berlari menjauh dariku.
Aku akan kehilangan dia lagi.
Hanya dengan pikiran itu, hanya dengan satu kemungkinan mudah itu, tubuhku langsung bangkit dan mengambil langkah seribu, mengejar gadis yang lari begitu saja tanpa kata itu ... dan menggenggam tangannya.
***
Aku sudah pernah menciumnya. Aku pun pernah memeluk pinggangnya yang kecil dan kurus.
Tapi baru kali ini aku benar-benar menggenggam tangannya, merasakan dengan benar betapa kecil dan rapuhnya tangan itu di dalam genggaman tanganku, dan rasanya tidak bisa dikatakan tidak nyaman. Ada dorongan aneh di dalam diriku untuk tidak melepaskan tangan ini, untuk menyelipkan jari jemariku dan benar-benar menautkan tangan kami berdua.
Namun respon dingin darinya membuatku menahan keinginan itu.
Dia sedang tidak bisa dirayu dengan cara apapun, aku tahu itu ketika merasakan tangannya berubah kaku ketika bersentuhan denganku. Tubuhnya berubah tegang ketika tanganku menariknya untuk berhenti, menahan langkahnya. Perempuan itu memang berhenti, sesuai keinginanku. Tapi selama beberapa lama, dia hanya memunggungiku tanpa pernah berbalik. Kukira selamanya dia akan menolak untuk berbalik, tapi pada akhirnya dia berbalik juga, menatapku dengan mudah, tanpa malu dan tanpa gugup sedikit pun.
Suasana dingin itu merebak cepat. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut itu, padahal biasanya selalu dia yang bertanya lebih dulu.
"Apa yang terjadi?" Pertanyaan itu meluncur keluar dari mulutku sebelum otakku sempat memikirkan konsekuensinya. Sorot dingin gadis ini masih belum berubah. "Apa yang terjadi selama kau di sini?"
Sesaat setelah pertanyaan itu keluar, aku memaki diri sendiri. Bukankah aku yang paling paham seperti apa rasanya dikurung di penjara ini?
Wajah itu tetap memasang ekspresi datar. "Apa maumu?"
Kemarahan naik satu tingkat di dalam kepalaku. Biasanya aku akan diam saja diperlakukan dingin oleh orang-orang dan ditatap dengan jijik seolah aku sederajat dengan sampah, tapi hanya dia, hanya sorot matanya yang menggangguku.
Tidak, seharusnya aku tidak peduli soal ini. Ada yang lebih penting yang harus diurus sekarang.
"Aku menjemputmu."
Telingaku mendengar embusan napas kasar dari mulutnya, kedengaran sengaja disuarakan keras-keras. "Katakan saja apa maumu."
Aku butuh waktu sedikit lebih lama untuk memproses pertanyaan dengan nada menuduh itu. "Apa maksudmu?"
"Jangan berlagak naif." Dengan kasar, gadis itu melepaskan tangannya dariku. Terang-terangan, di depan mataku, dia membersihkan tangan dan mengayun-ayunkannya di udara, seakan ada kotoran yang menempel di sana akibat sentuhanku. Kemarahanku naik sekali lagi. "Katakan saja apa maumu. Perompak tidak pernah hanya 'menjemput'."
Biasanya mata itu akan menghindar, memilih untuk menunduk dalam-dalam, atau menatapku dengan sorot mata bingung yang tidak berbeda jauh dari cara menatap seorang anak kecil pada orang dewasa asing di sekelilingnya.
Sekarang yang di sana hanya ada kehampaan. Tidak ada emosi yang bisa kubaca dari matanya. Mata hijaunya berpendar dingin tanpa dasar, seperti kilau mata boneka porselen. Semakin lama dilihat, sorot mata itu semakin terasa menyakitkan.
"Aku datang untuk mengambil kembali gadis yang sudah kubeli susah payah di Tortuga. Aku butuh kau untuk tujuanku, kau lupa? Sulit mencari manusia sepertimu." Akhirnya aku memberinya jawaban jujur sebelum mengamati seluruh tubuhnya sekali lagi. "Kulihat kau baik-baik saja."
Gadis itu hanya menyahut dengan suara 'hm' yang hampir tidak terdengar.
"Baguslah. Aku butuh kau dalam keadaan hidup," sahutku kemudian.
"Sebelum aku ikut denganmu ...." Aku terkesiap. Itu nada yang biasa digunakan orang-orang ketika ingin berkompromi dan aku benci kompromi di saat seperti ini. "Apa tujuanmu masih sama?"
Kerutan yang dalam terbentuk di antara kedua mataku. Aku hampir mengira dia akan mengajukan syarat. Jika dia tadi mengajukan syarat, aku sudah akan menyeretnya langsung detik ini juga ke kapal. "Jika tujuan yang kau maksud ini adalah tujuan yang pernah kuungkap padamu, itu masih belum berubah." Aku ingin menghilangkan keberadaan seluruh penyihir dari dunia ini, itulah tujuan hidupku sejak lama dan gadis ini sudah mengetahuinya. "Karena itu juga aku ada di sini."
Gadis itu kembali terdiam. Matanya sempat mengerling ke bawah, ke arah kaki-kakinya sebelum kembali menatapku. "Aku ikut."
Ini jauh lebih mudah dari yang aku perkirakan. Dia tidak menanyakan hal lain? Tidak ada protes? Tidak ada syarat? Tidak ada permintaan? Tidak, aku terlalu cepat menyimpulkan. Segalanya masih bisa terjadi termasuk pengajuan syarat.
Sekali lagi aku mengulurkan tangan ... tangan yang sempat ditepis dan ditolaknya tadi. Kini tanpa ragu gadis itu menyambut uluran tanganku dan menggenggamnya erat-erat, mengirimkan panas asing yang terasa hampir menyenangkan ke seluruh tubuhku.
Mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran tidak penting yang terus mengganggu, aku lantas membawa gadis itu ke dalam rengkuhanku, merasakan betapa tubuhnya jauh lebih ringan dibanding terakhir kali aku menggendongnya seperti ini. Sesuatu di dalam diriku menggeliat kesakitan. Tubuh sekurus ini hanya bisa terjadi setelah hidup yang sangat keras.
Perlakuan yang jauh di atas buruk pastilah sudah terjadi padanya di sini.
Kenangan-kenangan kelam yang tak penting itu melintas, membawaku ke masa lalu yang membuatku tertegun beberapa saat. Kenangan dirantai, kenangan dari setiap detik yang berlalu saat segel ini dipasang pelan-pelan di tubuhku, dan kenangan ketika sihir perlahan pudar dan lenyap dari tubuhku masih terasa sangat jelas, seolah semua itu baru terjadi kemarin malam.
Secepat mungkin kusingkirkan semua pikiran itu dan melompat keluar, menembus berbagai lantai dan mengabaikan ratusan penjaga yang terkapar tak bergerak, keluar dari menara penjara selatan, dan langsung terjun ke laut.
***
Sebelumnya aku tidak pernah terganggu dengan kesunyian, sesenyap apapun kesunyian itu, tapi ini benar-benar mengganggu.
Sejak dari penjara sampai detik ini, gadis itu tidak banyak bicara. Dia tidak pernah bertanya ataupun bicara sebelum ditanya lebih dulu. Belum ada ekspresi dari wajahnya sejak aku mengajaknya ke atas kapal.
Dirinya yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi, air mukanya yang dingin sedingin es, tatapan matanya yang tidak lari dalam menghadapi semua lawan bicaranya tanpa takut, serta sikap hemat bicaranya ini benar-benar tidak seperti Alto yang kukenal. Sesuatu di dalam diriku tergelitik untuk menanyakan lagi apa yang sudah menimpanya di penjara, tapi kuurungkan niatan itu. Aku tidak menyelamatkannya untuk sekadar bersimpati.
"Kenapa?" John yang lebih dulu angkat suara di antara kami bertiga yang berhadapan dengannya di ruangan itu. Mata pria itu melirik segelas air yang masih belum tersentuh di samping tanganku. "Kau tidak mau minum?"
"Kurasa urusan kalian lebih penting dari sekadar menyuruhku minum," sahutnya sambil menatap John, orang yang pernah menolongnya dua kali, dengan tatapan dingin nan kurang ajar yang sedikit banyak menggoda untuk ditampar.
John kelihatan sekali kaget mendengar respon seperti ini, tapi dia hanya berdeham beberapa kali sambil melirikku atau Gill, mencoba mencari bantuan. Lucu sekali melihatnya, salah satu orang yang akan menginterogasi Alto di ruanganku, mendadak seperti tikus yang tersesat di lubangnya sendiri.
Di tengah ruangan, gadis mungil itu duduk dengan tenang di kursi yang sengaja dibiarkan lebih pendek dari kursiku, dengan Gill, John, dan aku mengelilinginya. Mereka berdua berdiri di kedua sisi Alto dan aku berdiri di hadapannya, duduk di atas meja di ruanganku. Biasanya ini berhasil mengintimidasi, tapi ternyata gadis ini kebal.
Dengan tenang, dia mengamati kami bertiga bergantian sedari tadi atau lebih memilih menatap ke depan tanpa menatap siapapun, seperti sekarang ini. Alto tidak sedang menatapku, Gill, maupun dokter John, meski pandangannya lurus ke arahku. Matanya sedikit turun, mungkin dia sedang memerhatikan mejaku atau pakaianku yang berlumuran darah dan masih belum kuganti.
"Kau kenal Andrea Serdin?" Gill akhirnya memecah kesunyian.
"Ya." Alto menjawab dengan mudah.
"Kau benar puterinya?"
Untuk pertanyaan ini, Alto melirik John lebih dulu. Sunyi selama beberapa detik. "Ya."
Kelegaan membayangi wajah dokter itu. "Kalau begitu, kau mau berbagi info soal dia? Apa saja?"
Air mukanya tidak berubah, tapi tatapan matanya jatuh padaku. Mata coklatnya berpendar hijau zamrud terang selama sedetik sebelum kembali ke coklat gelap lagi. Ada yang aneh.
Biasanya dia menunduk jika menatapku, bukan karena malu, tapi karena dia sering mengakui matanya sakit setiap kali berdekatan denganku, dengan sihirku. Dia selalu tampak kesakitan di atas kapal ini terutama ketika aku menggunakan sihir sebagai penggerak dan dia jarang bisa menatapku langsung jika bukan dengan bantuan kacamata pelindung.
Kini dia bisa menatapku yang sihirnya sudah bangkit—artinya sihirku pasti bergejolak tak terkendali sekarang—tanpa sedikit pun terlihat kesakitan. Satu-satunya tanda yang memperlihatkan sihirku memang mengganggunya adalah warna mata yang berganti-ganti itu.
Biasanya dia selalu kesakitan setiap kali sepasang mata itu berubah warna, setiap kali dia merasakan sihir di dekat dirinya. Jadi kusimpulkan, jika warna matanya berubah, dia akan kesakitan. Tapi kini dia tidak terlihat kesakitan sama sekali.
"Kenapa kalian ingin tahu soal ibuku?" Dia bertanya sambil masih memfokuskan matanya padaku.
"Kami juga menanti jawaban yang sama darimu, Alto." Aku membalas dengan nada yang mengundang perdebatan. "Kenapa kau tidak pernah memberitahu kami info sepenting ini?"
"Tidak ada alasan untuk percaya pada perompak." Ekspresi wajahnya menggelap. "Dan ada lebih banyak alasan untuk tidak percaya pada perompak yang juga penyihir."
"Ibumu juga penyihir," sahutku.
Kali ini Alto diam. Ekspresinya sekilas mendadak kosong. Perubahan itu terjadi benar-benar sekilas sampai kukira itu hanya perasaanku karena sedetik kemudian, ekspresi beku sedingin es itu kembali.
"Kalian masih ingin menyingkirkan penyihir, kalau begitu." Ia berujar, matanya menyenter kami satu per satu.
"Memangnya kenapa?" Gill bertanya dengan ketus seperti biasa. "Apa tujuan kami mengganggumu?"
Alto terdiam sebentar. "Dan tujuan kalian ini membutuhkan informasi soal ibuku?"
Tidak ada yang menjawab. Kami semua hapal dengan nada yang Alto gunakan sekarang dan nada itu tidak membuat kami senang.
Dia ingin berunding. Dan mungkin kali ini akan mengajukan syarat, tidak sekadar menanyakan apakah tujuanku masih sama atau tidak.
"Kalian tahu informasi tidak ada yang gratis." Dugaanku tepat. Aku melirik dua orang yang bersamaku di ruangan itu, melihat kepahitan tercermin di wajah masing-masing dari mereka. Jelas tidak ada yang suka arah pembicaraan ini. "Sebagai ganti info soal ibuku dan kerja sama dariku—
"Kerja sama darimu?" Gill mencibir. "Kau tahu kami bisa saja—
"Membunuhku, aku tahu dan aku tidak peduli," tukasnya yang langsung membuat Gill kehilangan kata-kata. "Kalian yang akan kesusahan dan bukannya aku, jadi aku hanya ingin meminta ...." Dia mengangkat dua jarinya. "Dua hal sebagai ganti info dan kerja sama yang aku berikan pada kalian."
Aku menyunggingkan senyum formalitas, senyum yang terang-terangan kesal pada perubahan sikap Alto yang benar-benar jadi kurang ajar. "Dan apa kiranya dua hal itu?"
Alto menurunkan satu jarinya. "Sihir waktu, gunakan sihir waktu padaku." Sebisa mungkin, aku menjaga ekspresiku tetap tenang mendengar pernyataan ini. Penggunaan sihir waktu pada seseorang bisa sangat berbahaya jika dilaukan oleh penyihir waktu yang ceroboh. Untuk apa dia meminta sesuatu yang akan membahayakan dirinya sendiri? Sayangnya pertanyaan itu harus tertahan ketika Alto menurunkan jarinya yang terakhir. "Yang kedua, ajari aku untuk menjadi Penjaga Gerbang."
***
-
A/N:
Nah, lihat kan, Azran? Itu akibat perbuatan kaliannnnnn!!! Lihat Alto sekarang! Nggak mau tau, balikin dia kayak duluuuuu~!
Sekarang nggak cuma tambah kuat dan mandiri, Alto juga bisa bernegosiasi, bahkan sekalipun ada Gill di dekatnya.
Sekuat apa Alto nanti? Seperti apa kekuatan Alto? Apa yang akan menimpa mereka nantinya? Silakan saksikan chap depan. Jangan lupa vote dan komentarnya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro