40. Kebebasan yang Sulit
Beberapa menit sebelumnya
Guncangan itu menggetarkan dinding-dinding penjara.
Beberapa serpihan dan batu kerikil jatuh di atas kepalaku. Dinding-dinding batu penjara bergetar hebat, seperti dilanda gempa bumi. Retakan menjalar dari lantai, dinding, hingga ke atap. Terdengar geraman dan suara anjing yang berkaing-kaing panik di kejauhan, semakin lama semakin jauh dan semakin senyap.
Seolah mereka menjauh.
"Para penjaga bergerak." Valika memberitahu. Veela itu mendongak, menatap jeruji lubang udara jauh di atas kepalaku, satu-satunya jalan teraman untuk keluar dari penjara ini yang—sialnya—selalu tertutup setiap hari, setiap saat.
Sayup-sayup terdengar suara derap lari sepatu-sepatu logam dari arah lubang angin. Sepertinya memang para penjaga bergerak.
"Guncangan tadi bukanlah gempa bumi." Valika memberi info yang sudah aku tahu. Gempa bumi tidak akan membuat mataku sakit, karena itulah aku bilang 'seperti', karena guncangan tadi memang benar bukan gempa bumi. Ada yang baru saja beradu menggunakan sihir dalam jumlah banyak hingga dua sihir meledak memenuhi udara. "Itu guncangan akibat jebolnya pelindung penjara ini." Senyum membayang di wajah cantik Valika. "Pelindung penjara ini sudah hancur."
Veela itu langsung terbang melayang hingga tinggi sekali ke atap. Kali ini dia mampu. Di saat-saat biasa, dia tidak akan mampu terbang setinggi itu. Dirinya akan berhenti di tengah-tengah, dihentikan oleh dinding tebal tak terlihat dan akan diempaskan kuat-kuat ke lantai namun sekarang dia bisa terbang tinggi hampir mencapai jeruji ventilasi udara di atas sana.
Artinya memang pelindung penjara ini benar-benar dijebol.
Aku memandangi dengan iri sosok Valika yang melayang-layang sesuka hati.
Sekarang bagaimana caraku mengancam veela satu ini untuk membawaku keluar? Menoleh, aku melihat gerbang besi yang belum terisi binatang-binatang aneh. Tidak seperti biasanya. Apa aku harus lewat sana saja? Kelihatanya sekarang kondisinya sudah aman.
"Aku tidak akan kuat menggendongmu, kalau itu yang kau pikirkan, Al." Aku memutar bola mata dengan jengah mendengar ucapannya. Aku tidak pernah berpikir dia akan mau menggendongku. "Tapi kalau hanya mengeluarkanmu, aku akan mengusahakannya."
Aku menatap veela itu dengan kaget. Makhluk bercahaya itu hanya tersenyum ramah sebelum lenyap menembus dinding.
Mulutku tidak bisa berkata-kata ketika pintu lubang angin di atas sana membuka dan tangga tali terulur begitu saja ke depan mataku. Dari atas, Valika melambaikan tangan dengan gembira.
"Sihir yang melingkupi seluruh pintu dan pengaman penjara ini juga sudah lenyap!" serunya bahagia. "Ayo! Jangan lewatkan kesempatan ini!"
Dasar tolol. Tanpa disuruh pun, aku tidak akan melewatkan kesempatan emas ini begitu saja. Memang mencurigakan bagaimana satu guncangan menghilangkan semua pelindung dalam penjara yang tadinya ketat ini, tapi selagi itu bisa dimanfaatkan sebagai celah untuk kabur, masa bodo apa penyebabnya. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk lewat begitu saja.
Tanpa ragu, aku meraih tangga tali itu dan mulai mendaki.
***
Sesampainya di permukaan, Valika tidak memberiku kesempatan untuk bernapas. Dia langsung menyuruhku berlari. Namun alih-alih menuju jalan keluar, dia malah membawaku ke sebuah ruangan yang tidak dikunci.
"Masuk, Al! Di sini tidak ada penjaga!" Dia berseru dari dalam, terdengar sangat antusias.
Cahaya yang tidak goyah dari tubuh Valika sudah menjadi jawaban yang cukup terpercaya untukku saat ini, jadi tanpa berpikir lagi, aku pun masuk ke dalam ruangan tak berpenjaga itu dan melangkahkan kaki di ruang penuh barang-barang yang tidak berguna.
Pandanganku beredar ke sepenjuru ruangan. Tidak ada sudut yang kosong. Semuanya dipenuhi oleh barang-barang, ada zirah, peti, baju, dan berbagai jenis senjata, mulai dari pedang berbagai bentuk yang tidak kukenali hingga senjata dari mulai pistol hingga bayonet yang berlaras panjang lengkap dengan pisau di ujungnya.
"Ambil yang mana yang kau butuhkan! Ini semua barang rampasan!" Melihatku tidak bergerak selangkah pun, Valika melayang menghampiri. Tatapannya menekuri tampilanku yang—aku sudah tahu—berantakan. Ia mencibir. "Kau mau memamerkan bentuk tubuhmu ke mata semua orang?"
Baiklah, aku tidak perlu diingatkan betapa sedikitnya sisa pakaianku sekarang ini.
Tidak mau mendengar ceramahnya lebih jauh, aku memilih satu kemeja, satu celana, satu rompi, dan satu set bot yang sekali lagi mengundang cibiran dari Valika.
"Kau mau berpakaian seperti laki-laki?" Aku tidak mengindahkannya dan mengambil satu gelung perban yang berceceran ke lantai dari satu peti di sudut ruangan. "Oh, baiklah, dasar kau keras kepala!"
Aku mengenakan semua itu dalam tempo cepat, mulai dari membebat dadaku kemudian mengenakan kemeja dan rompi. Setelah berpakaian rapi, aku meraih satu set ikat pinggang berisi belasan pisau kecil serta dua pisau seukuran bayonet. Tanpa ragu aku melingkarkannya di pinggang, mengencangkannya hingga ukurannya pas di tubuhku.
"Pisau?" Valika bertanya. "Hanya pisau?" Matanya mengamati seluruh senjata hebat yang terpampang tak tersentuh di ruangan itu.
"Aku hanya bisa menggunakan pisau," jawabku mudah. Tidak ada gunanya mengambil senjata hebat jika aku tidak tahu cara pakainya. "Ayo, pergi!"
***
Dari ruang barang rampasan, aku dan Valika masih belum menemui penjaga barang satu penyihir pun. Apa penyihir yang merusak pelindung sangat berbahaya sampai seluruh penjaga diserap untuk menahannya? Atau ini hanya keberuntunganku belum menemukan satu penjaga pun?
Yeah, yang manapun, asalkan tidak merepotkanku, boleh saja.
"Sebelah sini!" Valika mengajakku dari ujung salah satu dari tiga lorong bercabang yang langsung menyambutku di langkah pertama keluar dari sel sialan itu.
Sosok veela itu menghilang di lorong pertama dari tiga lorong. Aku menurutinya dan memilih jalan itu. Di tengah cahaya temaram lampu bohlam, sosok Valika tampak terang bercahaya, melayang dengan cepat memimpin jalan seperti api yang membimbing pelaut yang tersesat di masa lampau.
Tapi api tidak pernah semenyebalkan ini.
Maksudku, dia sama sekali tidak berniat menungguku. Veela itu sama sekali tidak mengurangi kecepatannya. Dia sama sekali tidak melihat ke belakang, lupa padaku harus berlari di atas kedua kaki, berbeda dengan dirinya yang bisa melayang dengan bebas.
Tapi apa yang aku harapkan? Dia akan menunggu? Dia juga punya tujuannya sendiri, jadi tidak mungkin dia akan menungguku.
Sekali lagi aku menemui lorong yang bercabang. Aku berhenti. Valika sudah tidak terlihat di mana pun lagi.
"Jangan bergerak!" Aku menoleh dengan malas, menatap tiga penyihir penjaga yang sudah menodongku dengan senjata mereka. Mataku menyipit melihat tidak ada gelombang sihir yang mengalir kecuali dari tubuh-tubuh mereka. Senjata itu sepolos senjata manual.
"Cepat kembali ke selmu sekarang!" bentak salah satu dari mereka, mengacungkan senapan itu lebih tinggi hingga sejajar dengan kepalaku.
Sepertinya itu memang senjata manual.
Mereka sudah belajar.
Aku baru mengangkat tangan ketika lidah api itu melintas di depan mataku. Para penyihir itu memekik panik dan beringsut mundur. Jarak di antara kami semakin jauh, menciptakan batas aman yang kelihatan seperti celah untukku.
"Kenapa kau diam saja?" Kepalaku berpaling ke arah jilatan api ini berasal dan melihat Valika memberengut kesal. Wajah cantiknya pudar, berganti wajah lain dirinya yang kelihatan buas dan berbahaya. "Cepat lari! Aku sedang membuat celah untukmu!"
Tanpa membiarkan dia lebih cerewet dari ini, aku langsung berlari ke lorong tempatnya berada.
"Kita sudah separuh jalan!" Veela itu lantas menyudahi kekuatannya dan melayang lebih cepat melewatiku yang sedang berlari. Api masih membara di belakang ketika aku pergi sementara para penjaga itu berteriak menyuruhku berhenti.
Kali ini Valika tidak berlari mendahuluiku terlalu jauh. Dia berada di depan, masih dalam jangkauan tanganku.
"Bagaimana kau selalu melakukannya?" tanyaku di tengah napas yang berusaha sekuat mungkin kuatur agar tetap stabil.
"Melakukan apa?"
"Api itu," sahutku. "Kau makhluk sihir kan? Kenapa apimu tidak pernah membuat mataku sakit?"
"Kalau yang kau maksud apa apiku sama dengan api yang digunakan para penyihir itu, jawabannya tidak, Al," sahutnya balik tanpa menatap wajahku. "Aku adalah api, bukan memiliki kekuatan yang berasal dari api. Aku mengeluarkan, bukan menggunakan."
Aku tidak begitu mengerti penjelasannya, tapi aku tidak bertanya lagi. Yang penting, kekuatan veela ini tidak menyebalkan seperti pemiliknya.
"Setelah lorong ini belok kiri. Itu jalan keluar kita!" Valika berseru dari depan.
Lorong yang kulewati pun menemui akhirnya dan langsung saja aku menuju ke arah kiri.
Namun alih-alih lanjut berlari, tubuhku malah mematung di tempat, berharap tidak membuang makhluk itu berbalik menyadari keberadaaku.
Sayangnya sepatu bot yang aku kenakan sudah terlebih dahulu bersuara, membuat sosok raksasa setinggi setidaknya tujuh kaki itu berpaling tepat ke arahku dan Valika yang berdiri terdiam di tempat, tidak sanggup bergerak maupun bersuara.
Mata hitam pekat makhluk itu meneliti kami berdua dalam diam. Mulutnya yang besar, bertaring tajam mirip serigala dengan liur lengket yang terus menetes, tampak membuka dan menutup. Dia sedang mengunyah. Mataku bergerak turun, melirik ke bangkai binatang yang tergeletak tak bergerak di bawah kakinya yang tergenang limangan darah berwarna hitam pekat.
Aku benar-benar rindu pada hari-hari ketika makhluk-makhluk seperti ini tidak lebih dari dongeng seram pengantar tidur anak-anak agar tidak nakal.
"Troll." Valika berbisik dengan suara tercekat, matanya terpaku pada makhluk tinggi besar berkulit hijau gelap itu.
Persetan dengan nama. Jika instingku sudah meneriakkan bahaya—seperti yang terjadi sekarang ini sedang terjadi—artinya aku harus lari dari sini sekarang juga.
Makhluk itu berputar, menghadap kami seutuhnya. Cakarnya yang tadinya pendek, mendadak tumbuh panjang. Oh tidak, cakarnya bisa dimasukkan dan ditarik. Bagus. Kami sedang menghadapi mesin pembunuh sejati.
"Dia menghalangi jalan keluar satu-satunya." Veela di sisiku berbisik lagi. Makhluk itu sepertinya mendengar suara Valika hingga kini menggeram, memamerkan gigi geliginya yang berlumuran darah dan berlapiskan liur lengket membentuk jaring-jaring liur menjijikkan. Lidahnya muncul, bercabang dan berwarna ungu, membersihkan deretan taringnya dari darah dan beberapa kerat daging yang menyangkut.
Tidak ada jalan lain. Aku harus bertarung melawan makhluk ini.
"Kau tahu kelemahan makhluk ini?" tanyaku pada Valika.
"Jika tidak ada matahari, tidak ada yang bisa menghentikannya," jelas Valika. "Dan kita berada di tingkat paling bawah penjara."
Jadi tidak mungkin bisa membuka celah bagi matahari kecuali ada yang punya kekuatan super dan menghancurkan semua tembok batu ini untuk membuka celah bagi matahari untuk masuk. Bagus. Jika aku bisa keluar dari sini, akan kucari tahu siapa pembuat penjara dengan alur merepotkan seperti ini.
Membuang semua keluhan itu, aku bersiap dengan pisau di tangan. Troll itu mengambil ancang-ancang untuk menyerang, telah yakin bahwa kami adalah mangsanya. Namun kemudian, Valika merintangiku. Veela itu melayang tepat ke hadapanku, merentangkan kedua tangan, dan menghalangi jalanku.
"Apa-apaan kau?" Aku mendesis marah.
"Aku akan membuka jalan untukmu." Hah? "Kau larilah selagi aku memberi kesempatan. Meski bukan kelemahan utamanya, troll lumayan sensitif terhadap api."
"Apa maksudmu?" Mataku menyipit, menatap punggung putih veela itu dengan bingung.
"Jangan khawatir." Veela itu memalingkan separuh wajahnya, menunjukkan senyum tulusnya padaku. "Aku bisa menembus tembok, kau lupa? Aku tidak akan mati hanya karena hal sekecil ini."
Kucabut pisau milikku dari sarungnya. "Aku tidak mengkhawatirkanmu."
Valika memberiku satu senyum terakhir sebelum mengayunkan tangannya. Sekarang aku mengerti kata-katanya tadi, dia tidak menggunakan api, tapi dirinya sendirilah yang menjadi api. Jari jemari dan tangannya mampu berubah menjadi lidah api, membakar segala yang ada di hadapan kami membuka jalan bagiku, tidak seperti sihir para penyihir yang menyelimuti api ketika akan menggunakannya. Lampu-lampu yang berjajar di dinding pecah, gas-gas argon di dalamnya lepas ke udara, menjadikan nyala api milik Valika semakin besar.
Api itu bergerak, menjalar dengan cepat ke arah sang troll. Seakan punya pikiran sendiri, api itu bergerak mengelilinya, membentuk lingkaran api yang mengurung sang troll. Makhluk buas itu kebingungan selama sedetik sebelum berubah marah.
Dengan kesal, dia menghancurkan lantai dengan dua kepalan tangannya yang lebih besar dari dua kepala pria dewasa dijadikan satu. Lantai berguncang karena tindakannya dan tubuhku sempat goyah. Api yang mengelilingi troll itu semakin besar dan semakin tinggi, mengurungnya dalam nyala serupa pusaran api.
"Sekarang saatnya, Al!" pekik Valika. Mataku melihat salah satu sisi pusaran api meliuk ke samping dan menciut ukurannya, seperti dengan sengaja memberikan celah bagiku untuk lewat.
Aku langsung menerjang mendekati pusaran api itu, tak menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan Valika. Berlari dengan kecepatan penuh, aku menyilangkan dua lengan membentuk huruf X di depan kepala, menembus barikade api yang mengancam untuk membakarku hidup-hidup sampai hangus.
"Alto, awas!" Di tengah kobaran api yang kuseberangi, panggilan itu terdengar. Aku tidak bisa menoleh ke belakang. Api mengelilingiku dari berbagai sisi. Jika aku berani lengah dan menoleh, api ini bisa membakar mataku.
Tapi instingku yang menjeritkan bahaya, tidak bisa diabaikan. Tidak sampai satu kedipan mata setelah aku mendaratkan kaki di seberang api, aku berbalik, hanya untuk melihat tiga taring troll meluncur tepat ke arahku.
Kemudian seluruh pandanganku tertutup cahaya jingga yang menyilaukan.
***
-
A/N:
Yeayyyyy, chapter genap! Chapter empat puluh!
Kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya ya? Kapan kapten sama Alto ketemu ya? Kan udah sama-sama otewe nihhhhh!
Silakan tinggalkan vote dan komentar. Jangan lupa, nantikan chapter selanjutnya dari Lazarus Chest:
41. Bertemu Kembali
Nah tuh, udah saya kasih bocoran. Chapter berikutnya mereka bakalan ketemu lagi. Nggak usah ngambek oke? Nanti saya ketemuin mereka berdua. Dijamin
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro