Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Mandi di Malam Hari

Aku dibawa ke tempat penampungan air, beberapa puluh meter dari penampungan pekerja Serikat Pandai. Tempat itu difungsikan sebagai tempat bagi para pekerja untuk mandi dan membersihkan diri meski rutinitas itu jarang terjadi di tengah empat jam waktu istirahat.

Tempat penampungan air sekaligus tempat mandi itu hanya terdiri dari sebuah bangunan tertutup mirip lumbung yang bersebelahan dengan menara tangki penampungan air. Letak bangunan itu terpojok, menyendiri jauh di belakang bengkel terakhir dari lima bengkel yang dimiliki Serikat Pandai. Terabaikan. Hampir tidak terpakai dan hanya digelayuti kehidupan setiap kali penggantian air rutin pukul enam pagi. Kami harus melewati lima bengkel, enam hanggar, dan tiga gudang rongsokan Serikat Pandai untuk mencapai lumbung penampungan air itu lebih cepat.

Bau apak dan debu menyambut kami setelah Suri membuka pintu. Cahaya bulan masuk menerangi lumbung dari lubang terbuka di atap, menerangi kolam air di tengah lumbung. Dilihat sekilas, luas kolam itu bisa menampung setidaknya enam orang dalam satu giliran berendam. Di pojok ruangan, terdapat beberapa ember berkarat yang teronggok tak terpakai. Tidak ada sabun, tapi setidaknya ada sikat untuk membersihkan diri.

Suara riuh ramai suasana malam di London berubah samar setelah Suri menutup pintu. Tanpa basa-basi, gadis itu menarikku ke tepian kolam yang masih jernih airnya karena biasa diganti setiap hari walau tidak ada yang memakai. Aku menatap pantulan wajahku sendiri di permukaan kolam yang jernih, menghitung setiap kerak dan lumut yang tidak dibersihkan di dasarnya, sebelum menatap Suri dengan bingung.

Suri terheran-heran. "Apa yang kau tunggu? Mandilah!"

Aku membelalak selebar-lebarnya. "Apa?! Kau gila? Luka ini luar biasa perihnya kalau kena air!" Aku bergidik ngeri mengingat kenekatanku membasuh luka basah akibat cambuk sihir. "Tidak mau! Lebih baik aku tidak diobati daripada harus—

Suri mencubit pipiku gemas. "Lukamu bisa infeksi kalau kau tidak mandi! Tinggal tunggu waktu sebelum lukamu itu bernanah, berbusa, menjadi bisul dan meninggalkan luka berbau busuk yang tidak hilang selama berminggu-minggu!"

Itu terdengar mengerikan. "Sungguh?" Aku tidak tahu apa-apa soal medis dan tidak mau banyak mencari tahu karena sudah banyak luka mengerikan dan darah yang kulihat seumur hidup. "Kau tidak sedang membohongiku kan?"

Suri kali ini tampak serius, tak berusaha bermain-main dengan pengetahuan lebihnya di bidang medis. "Aku serius. Kau tahu akibat apa yang bisa terjadi kalau tak merawat lukamu dengan baik?"

Aku menggeleng pasrah.

"Well, kau tidak akan mau tahu. Jadi cepatlah urus dirimu dan mandi!" Suri menunjuk permukaan kolam.

"Entahlah, di dalam sana ada banyak lumut dan kerak ... kurasa kalau aku mandi, airnya hanya akan berubah kotor." Meski bermandi di air selokan pun tidak masalah buatku, hal itu bisa menjadi alasan bagus untuk tidak mandi.

"Asal kau tidak banyak bergerak, lumutnya tidak akan banyak yang rontok! Airnya cukup bersih jadi jangan banyak beralasan seperti anak kecil! Masa kau tidak bisa menahan perih barang lima menit?" omelnya tak terkendali. Kemudian Suri berbalik sambil mendengus. "Jika ini membuatmu lebih baik!"

Anak ini benar-benar keras kepala. Jika sudah berkehendak, aku dan Edward tidak bisa berbuat apa-apa selain menurutinya sekuat kami. Memberengut kesal, aku menanggalkan pakaian dan melepas perban yang membebat dadaku, menarik napas lega karena akhirnya lepas dari belenggu yang melilit tubuhku selama seharian penuh.

Berharap rasa sakitnya cepat hilang, aku menenggelamkan tubuh langsung hingga ke batas leher di air kolam yang jernih. Tanganku, digerakkan oleh refleks, mencakari pinggiran kolam sampai kuku jariku sakit. Aku mencakar lagi dan lagi, mencari pelampiasan untuk meluapkan rasa sakit yang luar biasa buruk.

Setelah sakitnya reda, satu tangan terulur di samping wajahku. Di atas telapak tangan itu menumpuk sesuatu yang berwarna hijau transparan beraroma wangi yang tampak kental dan padat seperti pasta.

"Meski hanya bagian depan, setidaknya basuh tubuhmu. Kebersihan itu penting." Suri lantas membasahi rambutku.

"Kenapa jadi penting?' desisku sebelum meraih pasta itu, menggosok-gosokkannya antara kedua tangan dengan air kolam hingga berbusa. Kubasuh kedua lengan dan tubuh bagian depan dengan cairan itu, berhati-hati untuk tidak menyentuh luka di tubuhku.

"Entahlah, untuk menarik mata para lelaki mungkin," canda Suri.

Napas lelah keluar dari mulutku. "Aku terdaftar sebagai lelaki di Serikat, Suri—hei, apa yang kau tuangkan ke rambutku itu?"

Suri bergumam tak minat. "Ini sampo—jangan coba-coba menghapusnya!" Suri menampar tanganku yang hendak menyentuh cairan dingin apapun yang sudah ia tuangkan. "Aku sudah meraciknya lama dan diam-diam hanya untuk hari ini, jangan kau kacaukan hadiah ulang tahunku untukmu."

Aku terkesiap. "Kau ingat?"

"Tentu. Ini ulang tahunmu yang kelima belas. Selamat ulang tahun." Suri mengacak-acak rambutku yang penuh busa. Aku memejamkan mata agar sabunnya tidak masuk.

Diam-diam aku tersenyum, senang atas hadiah luar biasa ini. "Hei, tidakkah ini sedikit terlalu wangi?" Aku mengernyit. "Kalau sampai orang-orang di Serikat mencium aroma ini, mereka bisa bertanya-tanya."

"Hanya sesekali. Memangnya apa salahnya sesekali tercium mirip wanita? Mereka semua saja punya kelakuan mirip wanita!" cibir Suri kesal. Aku terkikik. "Nah sudah selesai, sekarang kau boleh membasuhnya."

Kubilas semua sisa sabun dan sampo dari kepala dan rambut, segera mengakhiri waktu bersantai kami berdua. Selesai mandi dan mengeringkan tubuh dengan kain yang dibawakan Suri, gadis itu memaksaku duduk memunggunginya di tepi kolam.

Aku meringis saat ia mengoleskan sesuatu yang terasa dingin menusuk di punggungku. "Ini salep buatanku sendiri." Ia menjelaskan sambil terus mengoleskan salep-apapun-itu ke luka basah di punggungku. "Butuh waktu untuk membuat salepnya supaya cepat kering seperti ini—hentikan desisanmu yang tidak sopan itu!"

Tapi rasanya perih sekali! "Aku bisa lihat usaha kerasmu dari kantung matamu yang sekarang punya kantung mata," sahutku, sesekali menggertakkan gigi saat perihnya salep itu diserap lukaku yang menganga.

"Benarkah?" Dia menyahut agak terkejut. "Well, itu bisa dihilangkan dengan sedikit tidur."

Yang mustahil kami akan dapatkan dengan jadwal tidur yang singkat setiap harinya.

Dia terus mengolesi lukaku yang melintang sepanjang tulang punggung dengan salep yang langsung kubenci itu, tidak peduli sekeras apapun usaha Suri dalam membuatnya. "Lukamu lebar sekali. Berapa kali kau kena cambuk?"

"Tiga kali."

"Apa-apaan itu?!" Suri memekik, tanpa sengaja menambahkan tekanan pada luka yang basah. Aku memukul-mukul lantai sebagai pelampiasan rasa sakit dan kemarahan. "Oh, maaf. Aku hanya ... astaga, kau kuat sekali, Al."

"Satu bonus cambukan untukku karena menentang kata-kata pangeran sialan itu!" gerutuku sambil masih meringis. Jika saja bukan karena dia sudah merawatku secara cuma-cuma, sudah kuhajar gadis ini sampai babak belur karena menekan lukaku yang masih segar dua kali dalam satu malam. "Sayangnya tidak semua bisa bertahan dari dua kali cambuk sihir."

"Aku turut berduka," Suri berkata dengan tulus. Ucapannya dijeda sejenak oleh cicitan tikus entah di mana di dalam ruangan luas ini dan suara barang terjatuh. Kami diam sejenak, memastikan yang bercicit dan menjatuhkan barang itu benar-benar tikus, bukan seorang laki-laki "Kau beruntung masih hidup."

"Atau sial karena masih hidup." Aku mengoreksi.

Suri berhenti mengoles dan mulai membalut tubuhku dengan perban. "Tidak ada yang salah dengan hidup. Mungkin nanti akan ada orang yang bisa membawa masa-masa menyenangkan untuk kita."

"Maksudmu masa-masa ketika penyihir tidak ada?" Aku mencibir. "Bermimpilah terus, Suri. Tidak ada manusia yang bisa mengalahkan penyihir."

"Mungkin tidak semuanya jahat." Suri menangkis ucapanku sambil mengencangkan balutannya sampai maksimal.

"Tapi yang terkuat dan yang paling banyak jumlahnya adalah yang jahat." Karena itulah tidak ada perlawanan berarti hingga kini. Semua api perlawanan itu hanya api lilin yang sekali tiup langsung lenyap. "Sudahlah, jangan bermimpi terlalu besar. Mimpi terlalu besar hanya akan membuatmu terbuai sebelum jatuh secara menyakitkan ke tanah."

Benar, jangan biarkan dirimu berharap terlalu tinggi pada sesuatu yang mustahil. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa diriku juga terkadang berharap pada hal-hal mustahil itu, pada masa-masa ketika manusia hidup tanpa terperangkap dalam kasta perbudakan seperti ini, dan pada masa-masa tenang ketika kami dapat hidup damai bersama keluarga yang kami cintai.

Mimpi buruk hari itu diputar ulang sekali lagi di belakang kepalaku, senyata ketika peristiwa itu terjadi: tubuh ayah dan ibuku tergeletak tak bernyawa di tanah berlimang darah mereka sendiri, aku dan adikku berlari di tengah-tengah kobaran api yang seolah mengejar kami, dan ketika penyihir itu datang merenggut satu-satunya keluargaku yang tersisa ....

"Al? Al!" Bahuku berguncang. Aku langsung tersadar dari lamunan dan menoleh ke arah Suri yang tampak bertanya-tanya. "Kau tidak apa-apa? Apa aku mengingatkanmu pada kenangan buruk?"

"Sedikit." Aku mengakui terus terang.

"Oh, aku minta maaf, aku tidak bermaksud—

Aku menepuk rambut keritingnya yang kusam dengan penuh sayang. "Setiap dari kita punya kenangan buruk. Kau juga punya kenangan buruk. Aku saja yang terlalu terbawa perasaan." Aku menyentil dahinya main-main dan kami pun tersenyum bersama-sama.

Sampai suara ledakan itu menghentikan candaan kami.

Aku kaget, Suri apalagi. Tanah keras di bawah kaki kami berguncang, dinding-dinding bangunan bergetar, dan suara ledakan itu terdengar lagi. Ledakannya terdengar sangat dekat. Kami bertatapan dalam kengerian yang sama. Aku buru-buru mengenakan pakaian lengkap dan, bersama, kami menghambur ke pintu keluar.

Mulutku membuka lebar tak percaya menatap api dan asap membumbung tinggi menyala di tengah gelapnya langit malam yang belum satu jam tadi damai tanpa suara. Arahnya dari sebelah utara.

Hanggar.

Ledakan lain terjadi. Dan lagi. Dan lagi. Semua datang dari arah berbeda dalam pola acak yang tidak terbaca dari mana datangnya, seakan tanah meledak begitu saja.

Belasan kobaran api membumbung tinggi di langit. Udara malam yang sejuk berubah panas menyengat dipenuhi bau hangus. Langit berbintang tertutup gumpalan asap hitam yang dengan cepat mengumpul menyerupai awan badai.

Mendongak ke langit, aku menangkap sesuatu. Mataku memicing, mencoba menangkap jelas bayangan aneh di antara asap dan api yang menyala-nyala. Ada sesuatu, berukuran besar, entah apa, di antara kepulan asap. Warnanya hitam dan langit gelap menghalangi daya penglihatanku yang terbatas untuk melihat sosok itu lebih jelas. Tapi sesuatu di sudut hatiku bilang itu bukan asap. Belum sempat menarik kesimpulan, mataku disengat rasa sakit.

"Al! Ada apa? Kau kenapa?" Suri terdengar panik di sebelahku.

"Tidak apa-apa. Mataku perih karena semua asap ini." Aku beralasan sambil masih mendongak ke langit, berharap melihat sosok itu lagi, namun suara ledakan mengacaukan konsentrasiku, membuat kepanikan menguasaiku dalam waktu singkat.

"Ayo kita pergi dari sini!" Suri menarik tanganku. "Kita cari tempat aman!"

Benar. Pertama cari tempat aman dulu. Rasa sakit sialan ini bisa menunggu. Pertama dan yang paling utama, kami harus keluar dari kekacauan—entah oleh apa atau siapa—ini dalam keadaan utuh. Kemudian baru kami akan pikirkan langkah kedua, ketiga, hingga keseribu.

Sambil menahan perih yang memburuk, aku berlari di belakang Suri, ditarik oleh tangan mungilnya yang kasar dan tebal, menjauh dari tempat penampungan air dan segera berlari menembus jalanan sempit di depan deretan bengkel. Langit malam membara oleh api yang membumbung tinggi. Memaksa untuk membuka mata, aku melihat api berasal dari dua bengkel yang terbakar hebat, dua hanggar, dan beberapa titik api lain yang bukan berada di wilayah Serikat Pandai.

Ledakan terjadi di jalanan. Abu, pasir, dan serpihan aspal beterbangan ke udara. Membutakan mataku. Suri menjerit. Aku melingkarkan lengan dengan cepat ke lehernya, menarik gadis yang histeris itu, melindunginya dari serpihan pasir dan debu. Tanpa pikir panjang, aku berlari menjauhkan kami berdua dari jalanan utama, masuk ke gang sempit di antara bengkel yang masih utuh dan berlari di jalan belakang.

Namun rupanya pilihan ini membuat kami berpapasan dengan para tentara dan scotland yard yang berhamburan ke pusat ledakan. Sakit mataku bertambah parah ketika berpapasan dengan mereka. Udara dipanasi oleh tak hanya asap, tapi juga sihir sekarang.

Dalam rangkulanku, tubuh Suri tegang. Melirik, aku mendapati matanya mengawasi para tentara dan scotland yard yang begitu saja melewati kami seakan kami tidak tampak. Tapi ia tidak bertanya apapun. Aku berhenti melirik padanya dan berfokus ke jalanan di depan kami, terus berlari menghindari ledakan.

"Alto, kita mau ke mana?" Suri bertanya dengan suara gemetar penuh ketakutan.

"Penampungan. Kita harus menemukan Edward dulu!" Teriakku, berusaha mengalahkan kegaduhan di sekitar.

"Tapi bagaiman—

Pertanyaan Suri terpotong suara ledakan tawa dan teriakan penuh semangat liar yang terdengar berasal dari segerombolan orang. Aku menyempatkan diri untuk berbalik menatap jalanan membara yang kami tinggalkan, hanya untuk melihat perut salah seorang pria ditikam pedang. Sulur-sulur energi sihir berwarna jingga dengan semburat merah yang keluar dari tubuhnya dengan cepat redup. Tubuh pria itu beringsut mundur tapi kelihatannya bukan karena dia mau, melainkan karena pedang itulah yang mendesaknya mundur. Tangan pemilik pedang itu mulai terlihat dan dengan cepat sesosok pria lain muncul dalam pandangan mataku. Kepalanya menoleh dengan cepat dan aku melihat sebelah matanya menyala dalam gelap dengan sinar yang tidak alami.

Android.

Pria itu menyeringai kepadaku, memamerkan salah satu giginya yang berkilau keperakan ditimpa cahaya api. Ia mencabut pedangnya, pedang biasa yang bukan iaraghi, dari tubuh pria malang itu. Pria itu jatuh tak bergerak ke tanah sementara android itu terus melihat ke arah kami, ke arahku. Menelan ludah dengan gugup, aku berpaling ke depan dan hanya ke depan tanpa pernah menoleh ke belakang lagi.

Apa-apaan itu? Android? Di kota London? Apa ada lagi? Ada berapa banyak lagi android di luar sana? Apa semua kekacauan ini diakibatkan oleh mereka?

Kusingkirkan pikiran itu jauh-juh. Tidak penting siapa, kenapa, atau bagaimana. Sekarang yang terpenting adalah keluar dari semua kekacauan ini dengan selamat.

Kami semakin mempercepat lari, melewati ledakan yang terus terjadi di bagian depan, keramaian yang menggila, dan suhu yang meningkat oleh panas sihir.

Sengatan yang datang menyerang menghentikan lariku seketika. Suri tersentak dan nyaris terjerembap. Sebelum mulut cerewetnya sempat mengaduh, aku berhasil membungkam mulutnya dengan sebelah tangan dan membawa kami berdua bersembunyi di balik dinding terdekat.

"Diam," desisku. "Ada suara di belakang kita."

Suri membeku seperti yang kuinginkan. Usahanya melepaskan mulut dari cengkaman tanganku seketika sirna. Dia diam bersama diriku, bersembunyi di balik bayangan sambil mengatur napas sesunyi mungkin.

Tidak ada dari kami yang bergerak barang sesenti pun. Sengatan kali ini memang tidak sesakit tadi siang, tapi tidak ada kata terlambat untuk antisipasi.

Kami Menunggu. Dalam naungan bayangan gelap dan keremangan cahaya merah kobaran api, kami terus mengintai dan memasang semua indera dengan seksama, memerhatikan pergerakan sekecil apapun.

Suasana semakin riuh dengan bunyi meriam yang terdengar terus menerus, suara tembakan yang sahut menyahut seperti beradu tembak, dan suara jeritan diselingi tawa dan hinaan kotor. Sambil memanjatkan berdoa, kami berdua terus menunggu.

Suara gemerisik itu membuat tubuhku dan Suri tegang. Ada bayangan aneh yang bergerak di dalam kegelapan. Sengatan sialan ini terasa semakin kuat seiring dengan semakin besarnya sosok itu. Ini bukan pertanda baik.

Siapapun yang datang ini, dia adalah penyihir.

Dan dari rasa sakit yang timbul di mataku, dia cukup kuat.

***

I[PV

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro