39. Azran: Misi Pembebasan
Penjara Ambruisia.
Mendengar nama penjara itu saja sudah membuat jantungku mencelus. Setelah sebulan melakukan penyelidikan dan berbagai penyusupan ke beberapa penjara di seantero Inggris Raya, pencarian kami berakhir di penjara dengan penjagaan paling ketat dan perlakuan paling keras di seluruh Eropa yang terletak di sebuah pulau di Selatan Inggris. Di sinilah kemungkinan Alto dipenjara. Di tempat terkutuk inilah, kemungkinan terbesar bersemayam.
Keparat.
Dia, seorang gadis manusia, dikurung sendirian di penjara paling ketat di Inggris, entah diperlakukan seburuk apa selama satu bulan berada di sana, entah masih hidup atau tidak. Di penjara Ambruisia, kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Seorang penyihir pun bisa keluar menjadi manusia biasa jika sudah dikurung di dalam sana.
Andaikata ketika aku menemukannya nanti kekuatannya tidak lagi bisa dipakai, dia tidak akan lagi berguna bagi kami dan semua penyelamatan ini akan sia-sia di mata seluruh kru.
Mataku menekuri peta penjara itu baik-baik. "Kau yakin di sini tempatnya?"
John mengangguk dengan yakin. "Jika kau seorang raja yang ingin pelan-pelan membunuh seorang tahanan yang kau kejar setengah mati, ini penjara paling tepat. Bisa saja ditempatkan di penjara di tengah kota London, tapi aku tidak yakin penjara dengan keamanan standar seperti itu akan dipilih Oryziel."
Aku tidak akan menyebut dua ribu sipir dan lima lapis pelindung sebagai keamanan standar.
"Kalau begitu, untuk berjaga-jaga, kita berhenti di jarak lima ratus yard dari titik pantai terluar pulau." Itu jarak teraman sekaligus terdekat yang mungkin bisa dicapai untuk mendekati pulau penjara Ambruisia. Turret sihir di penjara lebih sensitif daripada turret sihir yang dipasang di kota. Untuk berjaga-jaga, usaha ini diperlukan.
"Kau yakin bisa meluncur dari jarak sejauh itu?" Gill yang berdiri di sebelah John bertanya skeptis.
Di saat yang lain, mungkin aku akan maklum diragukan kemampuannya seperti ini. "Aku lebih dari sanggup."
Gill menatap peta yang membentang di meja lagi, menatap enam puluh empat sel yang ada di penjara itu, enam puluh empat tempat kemungkinan Alto ditahan, beserta perbandingan presentasi kegagalan dan keberhasilan yang tidak pasti.
"Dan kalau dia tidak ada di sini?" Gill benar-benar skeptis. "Kita akan terus mencarinya? Sementara Jalinan tidak akan bisa bertahan lebih dari seminggu lagi dan Garda Serikat mulai bergerak?"
Diingatkan soal Garda Serikat mulai bergerak tidak membuat keadaan lebih tenang. Itu hanya mengingatkan betapa waktu kami berdetik semakin cepat setiap harinya. "Kau punya usulan lain, Gill? Aku akan dengan sangat senang hati mendengarkan."
Gill memijat pelipisnya, sadar dia sendiri tidak punya ide lebih baik. Selama lima tahun mencari, baru kali ini kami benar-benar mendapatkan Lazarus yang masih hidup. Dia begitu khawatir aku akan sentimentil terhadap Lazarus satu itu sehingga sangat ingin melepaskannya, aku bisa lihat itu dari setiap gurat wajahnya, tapi pernyataan nyata tidak pernah keluar dari mulut wakilku satu itu karena kesempatan seperti ini bisa jadi hanya sekali seumur hidup.
"Kau yakin dia anak dari Andrea Serdin? Kau tidak salah orang?" tanyanya, berusaha mencari pelarian seperti biasanya. Mata biru pucatnya menatapku dan John bergantian dengan keraguan yang belum juga berkurang.
Kali ini John tidak bisa banyak menjawab. Dia sendiri juga masih memiliki keraguan akan dugaan itu. "Dia petunjuk terdekat yang kita miliki."
"Itu tidak benar," tentang Gill. "Kau tahu kita masih punya satu petunjuk lagi. Suku Carpantia. Apa penyelidikanmu terhadap suku itu berhenti?"
"Tuan Gill, suku itu jelas-jelas—
"Tapi di reruntuhan itu, ada sisa-sisa dari mereka yang hidup!" bantah Gill lantang. "Kita bisa saja bertanya! Kita bisa bertanya!"
"Kita diusir lebih dulu dari sana sebelum tahu apa mereka hanya penjarah makam, penghuni sementara yang memanfaatkan tanah kosong itu, atau benar-benar suku Carpantia yang selamat," tukasku, merasa pahit mengingat ekspedisi terakhir kami ke reruntuhan milik suku Carpantia di Constantinopel itu.
"Dan terjemahan sisa trakskrip yang kutemukan juga belum sepenuhnya selesai," imbuh John sambil mengetuk sisa potret keluarga Andrea Serdin yang ditancapkan di mejaku. "Kita harus memprioritaskan yang paling besar kemungkinannya lebih dulu."
Gill menelan pil pahit. Dia kalah suara dan tidak ada pilihan lain sejauh kami bisa berpikir. Tapi sejauh yang kulihat, dia tidak punya niat untuk menyerang balik. "Kalau begitu, akan kusuruh Bard dan—
"Aku sendiri saja sudah cukup," sanggahku sekali lagi.
"Sungguh?" Gill benar-benar terlihat muak. "Lagi?"
Aku berjalan melewati meja kerja tanpa memedulikan mereka berdua lalu berhenti di ambang pintu. "Aku benar-benar lapar, Gill." Aku berbalik menatap mereka berdua, mengundang sepasang wajah takut dan jijik dari dua orang itu. "Dan seperti yang kau bisa lihat, rasa lapar ini bukan rasa lapar yang bisa dipuaskan dengan setangkup roti dan sebotol rum."
Dengan satu peringatan itu, tidak ada lagi yang menghalangiku untuk keluar.
***
Sambil mengamati, aku menatap pegunungan dan tebing yang menjulang di hadapanku. Sepanjang pulau dipenuhi oleh tebing yang curam dan pantai yang penuh karang dengan sedikit pasir pantai. Mustahil untuk menembusnya tanpa memanjat tebing. Dan memanjat bukan pilihan di sini kalau masih tidak ingin ditangkap.
Selain itu, sihirnya terada tebal sekali dan tidak ada jendela ataupun ventilasi.
Kalau begini, aku tidak bisa memakai cara biasa.
Pandangan mataku mengawasi sisi pulau yang lain. Tidak ada penjaga di pantai, tapi di beberapa menara pengawas, ada setidaknya lima penjaga berkeliling di lebih dari lima belas menara pengawas di seluruh pulau.
Aku melirik sekilas ke langit lepas tempat aku meninggalkan Black Mary beserta seluruh awak di dalamnya hanya dengan penjagaan selapis sihir cadangan yang disimpan di dalam tabung penyimpanan untuk situasi seperti ini. Aku bisa saja melindungi Black Mary sambil berjalan menerobos, tapi kali ini tidak bisa. Butuh sihir yang banyak untuk menerobos penjara ini dan dua pekerjaan bukan sesuatu yang bisa kulakukan sekarang, tidak jika lawanku adalah pelindung sihir setebal ini.
Ada waktu dua jam sampai sihir pelindung kapal benar-benar hilang. Kurasa itu cukup.
Tatapanku turun ke permukaan laut yang menggelap warnanya oleh bangkai dan serpihan tubuh para leviathan yang mengambang tak bernyawa. Potongan tubuh dari belut-belut raksasa itu menjadi pemandangan mencolok yang membuat para penjaga berdatangan keluar sejak beberapa menit lalu. Wajah mereka semua memucat.
Justru aku yang seharusnya pucat karena hampir saja masuk ke perut salah satu leviathan.
Lain kali aku ingin tahu siapa yang punya ide untuk membangun penjara di pulau di tengah laut yang dikelilingi oleh sekawanan leviathan lapar.
Sampai detik ini, belum ada alarm yang berbunyi. Aku masih aman. Dugaan terburuk, mereka akan mengira ada makhluk lain yang muncul di laut dan mulai waspada.
Black Mary masih aman dalam selubungnya. Aku yakin sudah memakan semua yang ada di sini tadi, tapi kalau yang aku bunuh ternyata bukan semua anggota kawanan, waktuku semakin terbatas. Leviathan bukan makhluk yang bisa ditipu oleh pelindung sihir. Hanya butuh hidung seekor leviathan untuk mencium bau aneh di udara untuk mengakhiri riwayat Black Mary. Satu makhluk itu dapat menghancurkan seluruh armada udara Inggris. Tidak butuh lebih dari satu kibasan ekor belut raksasa itu untuk menghancurkan Black Mary berkeping-keping.
Pandangan mataku menelusuri kaki demi kaki tebing yang menjulang tinggi yang menjadi tempatku bersandar selama bersembunyi. Berdasarkan informasi John, tebing ini adalah bagian penjara yang memuat tahanan paling berbahaya. Di dalam sini, dibangun beberapa tingkat penjara, dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah berdasarkan tingkat bahaya.
Dan Alto kemungkinan ditahan di salah satu tingkat penjara itu.
Dari jauh, para penjaga sibuk mengamati seluruh laut yang berubah hitam oleh darah leviathan. Memanfaatkan kesempatan, diam-diam aku mengeluarkan sihir sebanyak mungkin, mengumpulkannya di tangan, dan mengetuk-ngetukkannya ke pelindung padat tak kasat mata pulau ini, memancing pelindung pulau untuk menunjukkan diri.
Berhasil.
Sihir pelindung itu berdenyut hidup merespon aktivitas sihirku, menampilkan warna yang biasanya tidak bisa kulihat di kondisi biasa. Dari permukaan tanah hingga langitnya, dilindungi pelindung berbentuk kubah tanpa celah yang menutup rapat seluruh pulau. Pelindung itu berdenyut dalam lima warna murni. Artinya benar memang lima lapis pelindung.
Pelindung sihir ini tidak akan berfungsi bagi manusia karena mereka bisa dengan mudah masuk maupun keluar, tapi bagi penyihir, terutama yang ingin merusaknya, pelindung ini akan menjadi lebih kuat dan lebih padat dari benteng baja, seperti yang terjadi sekarang.
Aku terlonjak ketika tanganku yang iseng mengetuk pelindung, terpental, ditolak dengan keras oleh sihir ini.
Ada sihir hitam di sekeliling pelindung.
Artinya pelindung ini akan mementalkan seluruh sihir yang berusaha dilancarkan padanya. Itu merepotkan. Tidak ada jenis sihir manapun yang bisa menembus pelindung ini tanpa mengalami rebound—terpentalnya sihir kembali kepada pemakainya—dan terluka parah.
Tapi anehnya, aku masih bisa menyeringai penuh antusiasme.
Kalau begini, satu-satunya cara adalah menyerang pelindung ini sampai hancur tanpa memberinya kesempatan untuk melakukan rebound.
Aku keluar dari tempat persembunyian dan berhadapan dengan pelindung sihir itu secara langsung.
Sihir berkumpul di tanganku dalam jumlah paling banyak yang dapat kukeluarkan saat ini. Kupaksa batasanku untuk melonggar. Segel di tubuhku membara, merespon pengeluaran sihir di luar batas yang diizinkan, tapi aku tidak peduli. Kukeluarkan terus sihir dari dalam tubuhku dan mengumpulkannya di tangan dengan kadar konsentrasi terbesar yang kubisa.
Kukeluarkan satu cambukan.
Sesuai dugaan, seranganku dipantulkan dengan kekuatan yang sama. Aku berjongkok untuk menahan gelombang kejut yang datang, mencengkam bebatuan dan terumbu karang yang rusak dengan cepat di antara jari jemariku. Sayangnya usahaku tidak terlalu berhasil. Gelombang kejut efek rebound tetap menyeretku mundur beberapa inci ke belakang.
"Berhenti di sana!" Empat penyihir berpakaian serba putih menodongkan xifos mereka padaku dari bibir tebing. Melihat dari wajah mereka yang sama sekali tidak ragu, kuasumsikan sihir ini tidak akan menolak mereka yang menyerang dari dalam.
Tentu saja aku tidak berhenti seperti perintah mereka.
Sekali lagi aku menyerang, kali ini terus menerus, tanpa mengurangi kekuatan, dan dengan kecepatan tertinggi yang bisa kulakukan. Suara tembakan xifos berdengung di dekat telingaku. Mataku melirik tanpa menghentikan serangan, menyaksikan bagaimana peluru-peluru xifos mereka menembus pelindung dengan mudah, melesat ke arahku, dan hilang di depan pelindung milikku. Para penyihir itu tampak heran, tapi mereka tidak menghentikan serangan. Mereka terus dan terus menembakiku dengan xifos dengan itensitas kekuatan dan jumlah yang terus meningkat setiap detiknya.
Pelindung sihir yang menghalangiku mulai retak. Efek rebound berkurang. Sayang, ukuran retakannya masih sangat jauh dari yang kuharapkan, sementara sihirku mulai habis karena dipaksa menyerang dan bertahan di saat yang sama. Selagi pelindung yang melindungi seluruh pulau ini belum retak, pelindung milikku sendiri terancam akan hancur, peluru-peluru sihir itu hampir berhasil menghancurkannya. Intensitas serangan mereka meningkat dari menyebalkan menjadi sangat menjengkelkan.
"Tidak ada pilihan lain ...." Aku mengumpulkan energi di kedua tangan. Segel di tubuhku langsung menyala dalam panas yang tidak bisa dibilang main-main. Darah mengalir dari setiap guratan yang diukir di tubuhku dan segel laknat ini benar-benar tidak ingin aku mengeluarkan sihirku lebih besar lagi.
Jalinan memang belum musnah sepenuhnya jadi aku tidak bisa menggunakan seluruh kekuatan yang kupunya, tapi sebagian pun sudah cukup untuk menghancurkan penghalang sialan ini.
Aku menatap para penjaga itu lagi dan kesenangan langsung meledak di dalam diriku ketika melihat wajah-wajah kaget mereka yang berselimut ketakutan ketika cakarku sudah berada tepat di depan pelindung.
***
Pelindung itu hancur dengan bunyi ledakan yang memekakkan telinga.
Guncangan dan gelombang kejutnya menggetarkan seluruh pulau, menciptakan ombak kecil di bawah tebing, meruntuhkan sebagian dinding batu, dan mendorongku menjauh setidaknya sebelas kaki dari tempatku berpijak.
Gelombang kejut menyeretku hingga ke daerah air laut menggenang hingga ke pinggang. Gelombang tak terlihat itu terus mendorongku semakin ke tengah. Serpihan bebatuan jatuh ke atas air, disusul oleh tubuh-tubuh penjaga yang jatuh dengan bunyi byur yang keras. Tubuh-tubuh itu lantas mengambang di permukaan dan tidak lagi bergerak.
Segel di tubuhku semakin menggeliat panas. Dengan satu gerakan pelan, aku menggerakkan angin yang membantuku melompat naik hingga ke puncak tebing.
Dalam hitungan detik, aku mendarat dengan sempurna di puncak jurang sekaligus puncak atap penjara yang kuincar. Lima cakarku dengan cepat berubah menjadi tangan normal kembali.
Bangkit berdiri, aku sudah harus berhadapan dengan lebih banyak penjaga. Selagi mereka berlari mendekat, aku menghitung jumlah kepala mereka.
Ada setidaknya dua puluh delapan penjaga yang datang.
Bunyi sirine nyaring dalam suara tinggi menggema di seluruh pulau, menerbangkan burung-burung camar dan mengundang beberapa kegaduhan tambahan dari dalam penjara sendiri. Terdengar geraman dari bawah kakiku yang kuyakin bukan berasal dari derap lari para penjaga yang mendekat itu.
Dengan heran, aku memelototi tanah di bawah kakiku, menatapnya baik-baik seakan bisa menembus melewati lapisan batuannya.
Kelihatannya manusia bukan satu-satunya kaum yang dikurung di sini.
"Kau!" Salah satu penjaga itu berseru. Sepasang mata coklat hazelnya yang berpendar tertuju padaku. Bagai penyakit, tatapan yang sama menular ke beberapa penjaga lain, namun tidak ke semua penjaga. Sementara sebagian yang lain tampak mengenal dan takut padaku, yang lain tampak tidak mengenaliku sama sekali.
Ini menarik.
"Aku apa?" tantangku pada penjaga yang pertama kali memekik, menatapnya lekat-lekat dengan tatapan mengintimidasi yang sudah ada padaku sejak kecil.
Sekarang penjaga itu kelihatan ngeri.
"Panggil penjaga yang lain!" Penjaga itu menoleh ke rekan di sebelahnya. "Kita butuh lebih banyak orang di sini!"
"Dia hanya sendirian, kenapa kita butuh banyak penjaga?" Penjaga lain mendebat.
"Turuti saja! Kalian tidak tahu betapa berbahayanya dia!" Penjaga itu memekik panik, jelas sekali ketakutan. "Meski saat ini dia tidak bisa banyak bertindak, dia tetap saja harus diwaspadai! Panggil bantuan sebanyak mungkin!"
Sebagaimana emosi kuat yang lain, ketakutan dari satu penjaga menulari penjaga lain. Beberapa penjaga lain yang tidak mengenalku, tampak lebih waspada sekarang. Sebagian dari mereka sudah menarik xifos dari pinggang maupun di balik jubah-jubah putih mereka. Nyala sihir tampak menyala terang dari bilah senjata-senjata itu ketika mereka ditarik dan diposisikan untuk menyerang.
Tanpa perlu menjadi pintar, siapapun akan tahu para penjaga di sini sudah dikuasai ketakutan. Aku mencoba menggerakkan tangan, pelan-pelan.
Langsung saja seluruh penjaga, baik yang sudah menarik senjata, maupun yang belum menarik senjata, bergerak cepat dan menodongkan xifos mereka. Sayang sekali aku hanya membawa senjata manual saat ini karena yang akan kuselamatkan memiliki sihir waktu unik yang bisa menghilangkan semua energi sihir.
"Menodongkan xifos padaku, kalian tahu betapa itu tindakan yang tidak ada gunanya kan?" Aku menyeringai. Ketakutan serta panas akibat energi sihir meningkat tajam. "Kalian tahu kenapa xifos dan iaraghi diciptakan?" Para penjaga itu tidak menjawabku. "Dan apa kalian tahu betapa tidak bergunanya benda itu nanti ketika Jalinan telah lepas seutuhnya?"
Aku menerjang mereka tanpa peringatan. Jari-jari mereka menarik pelatuk xifos, siap menembakkan peluru-peluru sihir kepadaku.
Namun tidak ada yang terjadi.
Seakan macet dan tidak ada peluru di dalamnya, senjata-senjata itu hanya mengeluarkan bunyi klik tanpa pernah mengeluarkan peluru yang sebenarnya. Sesaat setelahnya aku menyadari kekuatanku pun tidak bisa digunakan. Musnah seutuhnya.
Alto.
Nama itu bergema lagi dan lagi di dalam kepalaku, kencang dan semakin kencang setiap detiknya. Pikiranku saling berkejaran dengan logika dan harapan yang melambung tinggi.
Jadi benar dia dikurung di sini? Gadis itu dikurung di pulau ini dan aku tidak salah penjara?
Kegembiraanku meningkat pesat. Tidak ada yang kupikirkan selain mendapatkan gadis itu kembali. Saat itu, pikiranku bahkan tidak sampai memikirkan kemungkinan kalau bisa saja ada Kandidat lain, ada Lazarus lain yang secara ajaib selamat dan dikurung di sini.
Sebentar lagi, hanya tinggal selangkah lagi dan aku akan mendapatkannya lagi.
Mengepalkan tangan dengan kuat, aku meninju wajah para penjaga itu dengan tenaga penuh. Segel di tubuhku tidak lagi terasa sakit karena sihir yang mendadak lenyap. Dengan tinju dan tendangan manual, aku menghajar seluruh penjaga yang menghalangiku dengan mudah. Seperti kebanyakan penyihir, mereka tidak terlatih untuk serangan fisik. Dengan mudah, jalan bagiku ke dalam penjara Ambruisia membuka lebar.
Kesenangan sudah terlanjur menguasaiku ketika geraman marah itu terdengar di antara suara perkelahian manusia yang mendominasi.
Menoleh dan teralihkan dari pertarungan yang kuhadapi, aku melihat segerombolan anjing-anjing neraka, belasan goblin, dan beberapa orc berlarian seperti serangkaian pasien sinting yang lari dari pasungan. Dengan mata yang berkilat penuh nafsu lapar, binatang-binatang sialan itu berlari dalam kecepatan penuh ke arahku.
Aku mendebas. Penjara ini benar-benar tidak hanya menampung manusia saja.
***
-
A/N:
Awwwhhhh ... dan ternyata beneran kapten kita yang dateng dong. Berniat menebus kesalahan dia dan menyelamatkan Alto.
Hohoho, apa kau pikir hati wanita bisa semudah itu berubah, Feguso? Kita sama-sama tau aja yeee, ada pepatah overused but not so boring di luar sana yang bilang:
"Kepercayaan itu ibarat (vas retak/kristal/kaca/gambar sobek/rok sobek/jahitan didedel/kursi patah/es meleleh/lilin mencair, dan wujud fisik ireversibel lainnnya di semesta} yang kalau sekali (hancur/retak/pecah/lepas/dan wujud penguraian lainnya di jagad raya) nggak akan bisa kembali/kelihatan seperti sedia kala, walau sudah kamu satukan dengan sedemikian rupa."
Kita lihat saja, apakah kepercayaan Alto pulih? Apa dia bisa menerima kembali sang kapten? Apa mereka bisa saling percaya? Dan apakah kapten kita sudah tobat?
Jangan lupa vote dan komentar kalian! See you next chap!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro