Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33. Target Ditemukan

"Kenapa kau diam saja, Tolol?!"

Teriakan salah satu awak yang tengah terdesak itu menyadarkanku. Perlahan tapi pasti pertarungan bergeser semakin dekat ke arahku. Para penyihir itu mencoba mendekatiku, mencoba menangkapku pelan-pelan dengan mendesak para awak. Pengalaman bertarung bertahun-tahun para awak Black Mary tampak tidak ada apa-apanya dibanding para penyihir ini. Para awak didesak dengan mudah.

"Cepat pergi!" Awak yang lain berteriak. "Kenapa kau malah—

Sebilah pedang yang menembus perutnya menghentikan kata-kata perompak itu. Penyihir yang menikamnya mencabut pedang itu dengan mudah seraya menyeringai padaku.

"Kalian ... siapa?" Hanya dua kata itu yang sanggup keluar dari mulutku di tengah rasa sakit yang menghunjam bertubi-tubi tanpa henti, kepala yang semakin lama terasa semakin berat, dan panas yang mendidihkan seluruh tubuhku.

"Untuk apa kau tahu?" Penyihir itu menodongkan pistolnya padaku sambil mencibir. "Kau akan segera mati."

Aku buru-buru berbalik. Baru satu langkah, terdengar bunyi retak di dekatku. Kakiku menginjak sesuatu. Kepalaku menunduk dan segera saja mataku membelalak lebar. Kacamata pelindungku. Gawat, aku sudah menginjak lensanya sampai retak!

Peluru yang tiba-tiba melesat di dekat kepalaku menjadi alarm bagiku untuk lari detik itu juga. Setelah memungut dengan cepat kacamata yang sudah retak itu, aku berbalik, menghindar dari pertarungan yang semakin mendekat. Selagi berlari, beberapa kali peluru memantul ke dinding dan melesat hampir mengenai beberapa bagian tubuhku.

Seakan rindu rasanya menggerogotiku pelan-pelan, rasa sakit ini sekarang menyerang dengan intensitas yang tidak main-main. Di tengah usaha melarikan diri, ringisan menyedihkan keluar dari mulutku. Setelah beberapa hari terbebas darinya, aku jadi tidak terbiasa dengan rasa sakit ini.

Segerombolan penyihir sedang bertarung di tengah lorong yang termasuk ke dalam ruteku melarikan diri, menutup jalan keluarku.

"Jangan biarkan target lolos!" Kepalaku menoleh ke belakang, melihat salah satu penyihir mampu mengejarku dan sudah sampai ke jarak yang sangat dekat. Tangannya siap dengan pistol yang sedang diisi ulang. Aku berbalik sekali lagi, menatap ke jalan yang tadi hendak kuambil.

Sial. Pertarungan telah berhenti sejenak dan aku sudah jadi pusat perhatian.

Aku mengambil lorong di sebelah kiri, menghindari pertarungan di depan mata dan pengejar yang gigih di belakang. Untunglah di lorong kali ini tidak ada pertarungan yang sedang berlangsung, hanya ada sisa-sisanya yang berserakan di lantai. Mataku menangkap belasan senjata tajam terabaikan di lantai. Tanganku memungut satu pedang yang tergeletak tak bertuan, meski tidak tahu apa yang mau kuperbuat dengan pedang ini. Persetan, yang penting aku memegang senjata dan tidak terlihat seperti anak bebek yang melarikan diri!

Tembakan kembali menghujani tubuhku. Sial, kenapa yang mengejarku terdengar semakin ramai? Apa orang-orang yang tadi melihatku mendadak memutuskan untuk mengejarku lebih dulu? Demi Langit, ini bukan malam keberuntunganku, kalau begitu.

Suara satu pengejar itu kini berubah menjadi suara sekelompok pengejar dan mereka terdengar semakin dekat. Kakiku mempercepat lajunya, namun entah kenapa aku merasa jarak di antara aku dan mereka yang mengejarku malah semakin tipis.

Di tengah jalan, ada beberapa perompak yang kujumpai. Tanpa kusuruh, mereka langsung menerjang para penyihir di belakangku tanpa pernah memedulikan aku yang jadi kejaran. Berkat para perompak itu, penyihir yang mengejarku terdengar berkurang.

Tapi masih ada satu yang tetap gigih mengejar.

Sekuat tenaga, aku berusaha berlari semakin kencang. Sayangnya napasku sudah hampir habis, otot-ototku menjerit, dan tenagaku sudah banyak terkuras.

Merasakan ada yang mendekat, tubuhku berputar dan berhenti berlari. Tanganku menghunuskan pedang untuk mempertahankan diri meski aku sendiri tidak tahu apakah aku menghunuskan pedang dalam posisi menyerang atau bertahan.

Dari arah samping, bilah mengilap mengayun secara horizontal ke leherku.

Suara dua besi yang saling beradu itu memekakkan telingaku. Seluruh bagian tanganku langsung menjerit sakit, nyaris melepas gagang pedang yang kugenggam hanya dalam satu kali kena tekanan. Penyihir yang sanggup mengejarku itu menyeringai. Pedangnya manual, bukan iaraghi dan dia hanya menggunakan sebelah tangan untuk menggenggam pedangnya. Dia berhasil mendesakku hanya dengan sebelah tangan. Baik dia maupun aku langsung paham perbedaan kekuatan kami berdua.

Nyeri di mataku semakin kuat sementara panas internal milikku menyala. Seakan keadaan ini belum cukup menyusahkan, aku juga terbalik menghunuskan pedang. Sisi tajamnya tidak menghadap lawanku, tapi menghadapku sendiri, tepat ke leherku.

Sialan.

Penyihir itu menyunggingkan senyum kemenangan. Dia jelas dan berhak menyunggingkan senyum menyebalkan itu karena tidak perlu bersusah payah untuk membuatku terbunuh. Pria ini hanya perlu mendorongku sedikit lagi dan kepalaku akan tertebas oleh tanganku sendiri. Aku terbunuh, tangannya tetap bersih.

Akhir yang sangat tolol dan menyedihkan.

Sekuat tenaga, aku mencoba bertahan di tengah gempuran tekanan dari pria ini. Aku meringis, merasakan tanganku mulai kesemutan dan mengancam akan terkilir jika berani terus menahan desakan serangannya lebih lama lagi, tetapi insting bertahan hidupku juga menjerit untuk jangan melemahkan kekuatan karena leherku sedang dipertaruhkan di sini. Sayangnya, segawat apapun kondisiku, rasa sakit ini tidak mau memberi toleransi.

Dari sudut mata, aku melihat tangannya yang bebas menarik pistol manual yang disembunyikan di balik punggungnya. Aku mengumpat dalam hati dan baru akan menatap penyihir ini lagi ketika kilau itu menarik perhatianku.

Lencana emas di dada kiri pria itu membuat perhatianku teralih. Dalam keadaan mata hampir tertutup, aku menangkap siluet singa pada lencana emas yang sedari tadi membuatku bertanya-tanya.

Singa ... Singa kembar yang memegang tameng dengan ukiran rumit di dalamnya.

Simbol kerajaan Inggris.

Aku menatap penyihir di hadapanku dengan tidak percaya. "Kalian ... Garda Kerajaan Inggris?"

Seringainya bertambah lebar. "Ya, dan kau buronan," jawabnya bangga. "Sesuai info, kau memang Peti Lazarus yang dibicarakan itu."

Sambil mendorong semua kesakitan, aku terus mendorong pedang yang mengancam leherku ini untuk menjauh. Sayang hasilnya nihil dan aku malah mengundang cibiran dari penyihir ini.

"Cara memegang pedang yang bagus," hinanya. "Membuatku lebih mudah membunuhmu."

Sakit di mataku semakin membara dan tidak bisa ditoleransi lagi. Dikuasai oleh kemarahan dan frustrasi, aku mendorongnya semakin kuat. Tapi kepayahanku membuahkan hasil yang lebih parah dari kata nihil. Dia terlalu kuat untuk dihadapi seorang diri, terutama oleh amatiran sepertiku. Menyadari dirinya akan menang, senyum pria itu mengembang semakin lebar hingga membelah wajahnya. Dorongannya semakin kuat.

Di tengah rasa sakit dan pandangan mata yang mulai tidak fokus, aku menangkap sesuatu yang aneh dari mata pria yang tengah menatapku itu.

Matanya berubah. Entah apa ini hanya perasaanku saja atau bukan, aku tidak bisa memastikan. Terlalu buram dan sakit untuk melihat.

Suara tembakan terdengar beberapa kali dari arah belakang. Aku sudah mengantisipasi rasa sakit yang mungkin akan menghunjam dada, kepala, kaki atau tangan. Namun rasa sakit itu tidak pernah datang. Alih-alih rasa sakit dan tumbang tanpa nyawa, tekanan yang mendesakku—tekanan yang ditanggung tanganku—hilang tanpa sisa.

Aku mencoba melihat ke depan di tengah pandangan mata yang mulai memburam.

Penyihir itu terjatuh.

Mataku tak berkedip ketika tubuh itu tersungkur ke belakang. Beberapa bagian dari pakaiannya berlubang, tampak basah, dan mengalirkan darah yang membasahi pakaiannya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Idiot?" Aku berbalik ke belakang, melihat sosok murka Gillian berdiri di ujung lorong. Wajahnya tampak coreng moreng oleh cairan gelap yang kuduga sebagai darah. Beberapa bagian pakaiannya tergores, mengalirkan darah yang masih mengilap di bawah sinar lampu temaram.

"Tuan Gill?" gumamku tak percaya. Rasanya seperti keajaiban ditolong olehnya di saat aku bahkan tidak mengharapkan ada pertolongan datang.

Tanpa memberiku kesempatan untuk berkata-kata lebih jauh, Gillian sudah meraih tanganku dan menarikku berdiri dengan kasar. Aku yang tidak sempat berpikir apa-apa, hanya bisa menurutinya tanpa melawan maupun protes. Pedangku terlepas dari genggaman tangan. Aku hendak meraihnya lagi, tapi Gillian tidak memberiku kesempatan. Tanpa bicara atau memberitahu apapun, dia langsung menarikku melintasi lorong-lorong yang lain.

Kami benar-benar diinvasi.

Hampir di seluruh lorong terjadi pertempuran sengit. Aku memang tidak melihat begitu jelas, tapi suara gaduh ini sudah cukup membuktikan dugaanku. Panas yang masih membara di tubuhku mengatakan dalam diam bahwa sihir yang melingkupi maupun yang menyerang kapal belumlah habis. Suara tembakan meriam kembali terdengar, kali ini dalam intensitas yang lumayan besar sampai mengacaukan langkahku di tengah lorong. Namun Gillian tampak tidak terpengaruh. Langkah kakinya tetap mantap di tengah goncangan, tak goyah dan terus menarikku berlari.

Di tengah gempuran serangan seperti ini, suatu keajaiban kapal ini masih mengudara dan belum jatuh. Sayang, di dalam kapal, kami terdesak di segala tempat. Para pasukan penyihir berpakaian hitam yang ternyata adalah Garda Kerajaan Inggris itu menang mudah. Belasan awak terluka dan terpaksa mundur sementara para penyihir itu, tidak tergores sedikit pun.

Apakah ini yang namanya 'mencium bau kekalahan'?

"Apa telingamu tuli?!" hardiknya selagi kami berdua berlari. "Aku memerintahkanmu untuk sembunyi tadi, Tolol!"

"Maaf, saya—

"Aku tidak butuh maafmu!" Gillian membawaku berlari dan terus berlari. "Aku butuh kepatuhanmu sekarang! Kalau kau masih tidak mau menurut juga, akan kubunuh kau di sini sekarang juga tanpa peduli Kapten akan bicara apa, kau dengar aku?"

Hardikan itu membungkamku.

"Kau kubiarkan hidup karena kau berguna, Bocah!" imbuhnya lagi. "Tapi kalau kau merepotkan, kau akan kubuang! Ada Peti Lazarus lain di luar sana yang mungkin akan mendengarku lebih baik darimu jadi tidak ada alasan untuk mempertahankanmu di sini selain ancaman kosong Xerlindar, kau paham tempatmu, Bocah?"

Lagi-lagi ... kata itu yang diucapkan. "Baik."

"Bagus," dengus Gillian. "Sekarang berhentilah berlari-lari seperti monyet dan turuti kata-kataku!"

Sakit di mataku masih semakin parah. Aku tidak bisa melihat dengan jelas di mana kami berada atau ke mana dia membawaku karena pandanganku yang semakin memburuk.

"Mereka ... ke sini karena saya." Aku berkata dengan lemah. "Jadi, mungkin ada baiknya—

"Baiklah kalau memang itu yang kau mau!" Genggaman pada tanganku mengencang hingga terasa sangat sakit. Kemudian kami berhenti. Tanpa melepas tanganku, pemuda itu berbalik menghadapku dengan moncong pistolnya mengarah tepat di antara kedua mataku. Mataku memang hampir tertutup tapi aku berani bertaruh seluruh nyawa, tidak ada keraguan di wajahnya ketika menodongkan senjata itu ke dahiku. Aku tidak akan ragu mengatakan dia bisa mencabut nyawaku sekarang tanpa simpati sama sekali. "Akan kusingkirkan satu Peti Lazarus di sini sekarang juga."

Sebelum ada peluru yang menembus tengkorak kepalaku, satu peluru menggores bahu Gillian yang memegang pistol. Sang wakil kapten berbalik dengan marah, menghadap seorang penyihir yang berdiri di ujung lorong.

"Dia mangsaku, Manusia!"

Ada musuh di depan kami. Gillian mendecih sebelum berbalik dan mengacungkan pistol kepada salah satu anggota Garda Kerajaan yang berdiri di ujung lain lorong itu. Dia berdiri menghalangi jalan sambil menodongkan xifos ke arah kami.

Xifos dan bukan senjata manual. Bagus.

Gillian balas menembak, tapi peluru yang ia tembakkan justru mental kembali ke arah kami sebelum sempat mengenai sang penyihir. Energi sihir milikku keluar tanpa repot-repot kucegah. Aku mengarahkannya lebih dulu kepada senapan penyihir itu, memakan seluruh energi yang mungkin dapat mengalir ke sana. Ketika penyihir itu menarik pelatuk lagi, tidak ada peluru yang keluar. Lebih jauh, aku membiarkan energiku memakan energi sihir miliknya sampai tidak bersisa.

Rasa sakit di mataku memuncak. Mataku akhirnya melelehkan cairan hangat berbau amis yang mengalir turun perlahan di atas pipiku.

Sekali lagi Gillian menembak penyihir itu. Kali ini berhasil. Perisai penyihir itu menghilang. Sayangnya tembakan Gillian gagal mengenai penyihir itu. Anggota Garda Kerajaan itu bisa menghindar dengan cepat dan tidak kelihatan terkejut melihat pelindung sihirnya menghilang tiba-tiba, persis seperti yang lain. Aku tidak akan terkejut jika tiba-tiba penyihir itu menarik pistol dan pedang manual. Sepertinya info mengenai kekuatanku sudah menyebar luas di antara para penyihir ini.

"Apa yang kau lakukan di sana?! Diam lagi seperti orang dungu?!" Gillian menghardik. "Aku tidak bisa melindungi diriku sendiri kalau kau terus merepotkanku di sini, Bodoh! Nyawaku lebih penting dari nyawamu, jadi pergilah. Aku tidak mau kehilangan nyawa sia-sia karena ada kau di sini!"

Dengan cepat, aku berbalik dan lari dari tempat itu secepat yang aku bisa, seperti kata Gillian.

"Berhenti di tempat!" garda Kerajaan itu berteriak di belakang.

"Jangan berhenti, Alto!" Gillian balas berteriak sebelum tubuhku bergerak menuruti hardikan penyihir itu.

Adu tembak lanjut terjadi di belakangku, disusul dengan suara adu pedang dan adu tanding yang terdengar semakin hebat seiring semakin jauh aku meninggalkan mereka. Dengan mata nyaris tidak bisa melihat apapun dan penglihatan yang semakin memburuk, aku menelusuri langkah yang tadi kugunakan menuju ke sini. Sejujurnya, aku tidak begitu ingat jalan yang kulalui tadi, tapi sejauh apa memangnya aku bisa tersesat di dalam satu kapal perompak?

Baiklah, sekarang aku tahu yang mereka incar adalah aku dan semua kekacauan ini disebabkan olehku seorang. Lantas? Apa yang harus aku lakukan sekarang setelah aku tahu kebenarannya?

Tepat ketika aku bertanya-tanya, terjadi ledakan yang mengguncang seluruh isi kapal, menggoyangkan seluruh bagian lorong hingga aku berhenti dan jatuh berlutut.

Apa itu?

***

-

A/N:

Ah, akhirnya momen yang saya nantikan datang juga. Momen ketika Alto mengetahui segalanya. HAHAHAHAHAHA

Tapi, btw, Gill keren ya. Mentingin Alto gimanaaaa gituuuu. Euh, jadi emesh ama Gillian!

Persiapkan diri kalian karena 3 chapter lagi, saya ambil jatah cuti ye. Minimal dua minggu lah ya. Kalau ada yang bikin mood saya baik, yaaa ... saya kurangin jadi satu minggu ye.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro