Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. Tarian di Tengah Malam

[Mainkan musik di media saat tarian dimulai.]

-

"Kau benar-benar masalah kecil, Nak." Seakan belum cukup ceramah panjang lebar dari Gillian yang lebih banyak disertai ancaman akan menghukumku jika berani berbuat masalah lagi daripada nasehat berisi, tuan Hoggs menimpali semua nasehat itu sekarang, tepat ketika kami berpesta di atap kapal Black Mary yang melaju.

Kukira dia dan Will benar-benar ingin tahu cerita lengkapnya, ternyata mereka hanya ingin menertawaiku. Menyebalkan, tapi itu bagus. Aku tidak perlu repot-repot mengarang kebohongan lain hari ini.

Selagi mengeluh dalam hati, mataku menatap nanar belasan lentera yang dipegang para awak untuk menerangi atap yang gelap. Jika lentera-lentera ini tak ada, mungkin mereka yang menari tidak akan dapat melihat kaki orang terdekat dan tarian meriah ini tidak akan bertahan lebih dari beberapa saat saja.

"Saya tahu, tuan Hoggs." Aku mendesah, merasakan pegal yang mulai menjalar di tangan akibat terlalu lama memegang lentera. "Saya tahu." Aku menatap lentera di tangan dan memutar sedikit sumbunya ketika kurasa cahayanya memudar sebelum menyerah dan menaruhnya di lantai.

Pria tua itu menenggak rum dari botol kacanya lagi. Kaki-kaki logamnya yang dibungkus sepatu kulit usang menghentak-hentak lantai kapal dengan semangat seirama dengan musik ritme cepat yang sedang mengalun. Beberapa kaki di depan kami, semua awak Black Mary menari membentuk lingkaran tarian yang berputar liar dialuni irama musik yang riang. Bukan musik mewah yang mengiringi, hanya sederetan instrumen musik apa adanya terdiri dari satu triangle, satu akordeon, satu biola, satu gitar, dan banyak perkusi dari teflon serta kuali. Namun cukup dengan itu, semua awak tampak bahagia, larut dalam alunan musik yang menghentak.

Di dalam lingkaran dansa, semua orang menari, berpasangan dua-dua yang selalu berganti dalam beberapa ketukan sekali. Mataku menelusuri para awak yang tak kusangka bisa memainkan alat musik dan menjadi pengiring tarian yang hebat.

Perompak wanita itu, Carmen, berada di tengah-tengah para awak, menari bersama para pria tanpa sungkan sama sekali, seakan dia sudah menjadi satu bagian dengan para awak di sini.

Bard memainkan akordeon dengan rona cerah di wajah yang baru kali ini kulihat darinya. Gus menggesek biola selagi kakinya menghentak mengikuti alunan musik. Will memukul-mukul pantat kuali dengan riang di luar lingkaran. Ia berteriak, menyanyi nyaring bersama para pria lainnya, menyemangati mereka yang menari.

Kapten menari bersama para kru dan awak. Pasangannya berganti secara cepat lalu khusus ketika dia menari dua-dua bersama Carmen, bentuk tarian mereka menjadi lebih intim. Jarak di antara mereka berdua menipis ketika saling berhadapan.

Dalam diam, aku memerhatikan Azran. Sejak dar terowongan, sihirnya tidak mau diam. Aku sampai harus mengenakan kacamata pelindung lagi di atas kapal meski kapal tidak sedang digerakkan dengan sihir. Mata anting Azran belum kembali, tapi berbeda dari biasanya, sihirnya tidak lenyap. Sihirnya malah bergejolak tak beraturan, lebih agresif.

Suara cegukan tuan Hoggs mengalihkan perhatianku dari pasangan dansa itu. Pria tua itu menenggak isi botol rum besar miliknya sekali lagi. Pipinya merah dan pandangan matanya tak lagi fokus. Kurasa sekarang dia tidak akan bisa membedakan antara tiang dan manusia yang berdiri menghalangi.

"Hari ini hebat sekali bukan untukmu, Alto?" Ucapannya diselingi satu cegukan. "Pertama, kau dengan ceroboh membuat kapten pingsan entah bagaimana." Cegukan lagi. "Lalu kau membuatnya membersihkan semua iblis-iblis terbang itu dari kaki cantikmu dan sekarang kau membuatnya menolongmu yang kabur seenaknya?" Dia cegukan lagi. "Selanjutnya apa? Kau membuat Kapten menjilat kakimu?"

Lelah dan tidak mau meluruskannya, aku hanya mendesah lagi. "Tidak juga, Tuan Hoggs." Aku menjaga suaraku tetap tenang, meski kejengkelan menumpuk tinggi di dalam hati. "Aku belum berpikir sampai ke sana."

"Oh, jangan coba-coba!" Tuan Hoggs bersandar padaku. Jari telunjuknya yang terlepas dari botol rum berayun ke kiri dan ke kanan. Bau alkohol yang menguar dari napasnya membuatku mual. "Kalau kau coba-coba, Gill akan ...." Dia memotong leher sendiri dengan pisau imajiner, lengkap dengan bunyi tercekik yang terdengar menggelikan alih-alih mengerikan.

Aku memutar bola mata terang-terangan di depannya. "Saya paham, Tuan Hoggs. Saya paham."

Sekali lagi aku mengamati lingkaran orang yang menari itu dan mencoba menikmati musiknya, seperti awak yang lain. Ada banyak kegembiraan di udara, kegembiraan yang baru kali ini kulihat dari wajah manusia.

Kemudian aku sadar ada beberapa wajah yang hilang. Menoleh, aku langsung termangu di depan tuan Hoggs yang mencoba menari walau tubuhnya limbung.

"Tuan Hoggs?" Mendengar jawaban samar darinya, aku memberanikan diri bertanya. "Dokter ke mana?"

"Bersarang!" Dia cegukan dan bersandar pada palang penyangga, terlalu mabuk untuk berdiri. "Pria itu selalu bersarang di kamarnya setiap kali menemukan hal baru! Dia berceloteh seperti orang mabuk dan bahasanya tidak aku pahami sama sekali!"

Perlahan, aku menjauh sedikit dari pria android tua itu, tak mau tertimpa tubuhnya kalau dia pingsan karena menghabiskan botol rum kelimanya. Berada di atas kapal penuh perompak mabuk adalah hal terakhir yang aku inginkan.

"Alto!" Dari tengah lingkaran yang masih terus berputar cepat, Will yang telah bergabung dalam tarian dansa entah sejak kapan, melambaikan tangan, menantangku ikut serta.

Aku menolaknya secara halus. Seumur hidup, aku tidak pernah berdansa. Dengan tempo secepat ini dan orang sebanyak ini, aku hanya akan mengacaukan pesta dan mempermalukan diri sendiri. Tapi Will bersikeras. Dia pasang wajah menghina yang terang-terangan mengataiku pengecut.

"Ada apa, Anak Baru?" Seorang awak tak kukenal yang duduk di sebelahku dengan seenaknya menyikut tulang rusukku. Pria itu terkekeh selagi aku mengusap bekas sikutannya yang ngomong-ngomong lumayan sakit juga. "Berlari seharian menyakiti kaki cantikmu?"

Kaki cantik, dia pasti dekat dengan tuan Hoggs.

Aku mengedikkan bahu. "Saya tidak bisa menari."

Awak itu mencebik, tanpa kata mengatakan bahwa apa yang aku katakan tadi benar-benar konyol. "Tidak ada yang butuh pelajaran dansa untuk menari seperti ini. Ikuti nadanya saja, Nak!" Tepukan keras itu mendarat di punggungku hingga membuat tubuhku tersungkur ke depan dengan wajah nyaris menyentuh lantai.

Aku buru-buru mundur dan menyingkir ke belakang saat ada kaki yang hampir menginjak wajahku. Lingkaran itu melebar dan semakin banyak awak yang berpartisipasi. Will menertawaiku dari tengah-tengah lingkaran. Azran masih menari bersama para awak dengan bersemangat tak terlihat lelah sama sekali, memengaruhi para awak lain yang masih diam untuk ikut menari. Dia dan Carmen tak lagi dekat, malah wanita itu sudah menyingkir dari lingkaran dansa dan hanya mengiringi musik dengan hentakan dan teriakan semangat sekarang.

Beringsut mundur, aku kembali ke tempatku duduk, mengundang cibiran dari awak yang masih belum kutahu siapa namanya itu.

"Kau benar-benar penakut seperti bayi!" cibirnya sebelum menenggak rum.

"Saya hanya masih sayang nyawa." Aku tidak berpura-pura takut ketika mengatakannya. Tapak sepatu bot tadi begitu dekat dengan wajahku.

Aku memberanikan diri melihat tarian itu lagi dan entah perasaan atau bukan, Azran sempat melirik ke arahku.

"Jadi ... wanita itu ...." Aku mengisyaratkan mata ke arah Carmen dan perompak itu mengerti isyaratku. "Dia siapa? Salah satu wanita Kapten?"

"Ya dan tidak." Awak itu menjawab sebelum menenggak rumnya lagi. "Carmen adalah kapten dari kapal Santo Marcosias. Kami bisa dibilang sekutu, tapi di antara mereka berdua ...." Jarinya secara bergantian menunjuk Kapten dan Carmen. "Aku tidak yakin ada sesuatu. Kapten bermain dengan banyak wanita sampai tidak ada dari kami yang sanggup menghitung." Dia terkekeh.

Bermain dengan banyak wanita sampai tidak dapat dihitung lagi?

Ucapan itu membuat mataku melirik Azran tanpa sadar. Tidak sampai satu detik kemudian, pandangan kami bertemu. Dia tidak tersenyum tapi matanya tidak pernah melepaskanku, seperti orang yang sedang menanti. Kuabaikan penyihir satu itu, mencari apa saja yang bisa diamati selain dia dan tingkahnya yang memuakkan.

Tidak ada wanita lain dia bilang? Lucu sekali.

"Berada di luar, artinya kau siap menari, Greenie!" Tiba-tiba saja seseorang menarik lenganku keras hingga aku ikut berdiri dan menjauh dari kumpulan awak yang duduk diam dan minum-minum. Awak temanku mengobrol itu hanya melambaikan tangan sambil terbahak, tangannya mengangkat lentera yang tadi kupegang dan hanya menonton aku ditarik ke dalam lingkaran tarian yang gila.

Saat tanganku digenggam seseorang, aku menoleh, berhadapan dengan pemuda berambut putih kusam yang tersenyum tanpa dosa. Dengan riangnya, Will memegang kedua tanganku, menyatukan dua tangan kami sebelum mendadak melempar tubuhku, membuatku berputar dan akhirnya kembali saling berpegangan tangan lagi.

Will terkikik geli sementara pandanganku berkunang-kunang. "Apa ini dansa pertamamu?"

Ya, tapi aku tidak akan membiarkannya mendapatkan kesenangan sebagai pasangan dansa pertamaku sekalipun dia tidak tahu aku ini perempuan! "Demi Langit, Will, kita di atap kapal yang melayang ribuan kaki dari tanah!"

"Lalu?" Will menyahut dengan santai selagi kakinya menghentak-hentak seirama musik. "Biasakanlah! Kalau tidak, selamanya kau akan bergantung pada palang-palang itu! Hei, gerakkan kakimu juga! Nikmati musiknya!"

"Aku menolak untuk menikmati musiknya!" geramku. "Kalau ada yang melepaskanku dan aku jatuh bagaimana?"

"Tidak akan!" Will berkata penuh percaya diri. "Nah, sekarang saatnya kau bertukar partner, Alto!"

"Apa?" Belum selesai kata itu keluar dari mulutku, tubuhku sudah dilempar oleh Will dan ditangkap oleh pria lain. Sekali lagi kami menarikan tarian yang sama, berputar, bergandengan tangan, dalam gerakan yang semakin liar.

"Kau terlihat sangat gugup." Aku mendongak, mendapati sepasang manik emas itu mengamatiku dan aku pun balas mengamatinya dengan kebingungan yang sama dari balik kacamata pelindungku. Dalam pandangan mataku yang dibalut nuansa biru karena lensa, mata Azran yang berpendar terlihat tak ada bedanya dengan bintang-bintang di langit. Jantungku menari seirama dengan musik yang mengalun cepat ketika menyadari jari jemari penyihir itu bertaut dengan jari jemariku lebih kuat dari yang seharusnya. "Cobalah untuk sedikit tenang."

"Aku bisa jatuh kalau terlalu terbawa suasana," bisikku.

Azran mengulum senyum, tipe senyuman yang membuat sesuatu di perutku bergolak dilanda angin badai. "Aku akan menangkapmu kalau itu terjadi." Dia membawaku berputar lagi. "Saatnya berganti."

Tubuhku sekali lagi dilempar. Namun alih-alih tenang, aku malah berdansa seperti orang kikuk. Kakiku menghentak lebih lambat dari tempo yang mengalun, lebih lambat dari tarian yang lain. Aku tidak bisa mengikuti, terlalu takut dengan kenyataan bahwa saat ini aku tidak berpegangan pada apapun dan bisa saja terlempar dari putaran dansa lalu terjatuh dari kapal karena tidak ada palang pengaman di sekeliling lantai tempat kami menari berputar-putar sampai bingung ini. Salah satu gerakan saja, kami akan terjun bebas.

Kekhawatiranku memuncak seiring musik yang temponya meningkat, tahap demi tahap mencapai puncak kecepatannya. Sambil meniru gerakan tangan dan tubuh para awak yang menari, aku berusaha untuk tidak terlempar dan mewujudkan bayangan jatuh dari kapal itu jadi nyata. Tarian semakin cepat di sekitarku. Putarannya semakin hebat, segala di sekelilingku berputar cepat, partnerku terus berganti-ganti hingga aku tak tahu lagi sedang berdansa dengan siapa.

Kemudian musik berhenti.

Tarian telah selesai.

Dengan napas terengah, aku menggelengkan kepala berkali-kali, berusaha mengusir pusing yang tidak kunjung pergi meski tarian sudah berakhir. Suara tawa dan kelegaan menular di sekelilingku. Baiklah, saatnya melepaskan diri dari semua kegilaan ini.

Tubuhku menghangat oleh panas asing yang terasa familiar dan langsung mendongak, bertatapan dengan sepasang mata emas Azran yang menatap langsung mataku. Tangannya menggenggam tanganku semakin erat, menautkan jari jemarinya di sela jari jemariku, mempererat genggaman yang mengikat kami.

Astaga, bagaimana mungkin aku berakhir padanya lagi?

Wajahku menghangat selagi berusaha memproses pertanyaan itu. Tadi aku yakin sekali sudah lepas darinya, bagaimana bisa berakhir bersamanya lagi? Sayangnya pertanyaan itu tenggelam bersama kehangatan yang semakin meningkat, entah akibat sihir yang bergejolak dari tubuhnya ataukah panas yang lain. Sepertinya aku tidak mau tahu jawabannya.

Tubuh Azran mendekat hingga wajahku hampir menempel ke dadanya. Tubuh kami perlahan berimpitan dalam jarak yang bisa dikatakan hampir nol saat ini. Kami berdua sama-sama terengah.

"Lelah?" Berbeda denganku, Azran hanya kelihatan bernapas dalam tempo cepat tanpa benar-benar terlihat lelah.

Aku mengangguk. "Ini kebetulan yang lucu." Aku mengakui. Azran memberiku tatapan penuh tanya yang sepertinya lebih baik tak diacuhkan. "Baiklah, sudah selesai, Kapten."

"Kau tidak mau coba dansa kedua?" tawarnya dengan senyum pongah yang sedikit banyak membuat urat kesal berkedut dengan cepat di kepalaku. "Kau kelihatannya tidak mabuk sama sekali."

Aku bersungut-sungut. "Kau juga tidak mabuk."

Dia mengangkat kedua bahunya dengan gaya yang mirip Will. "Aku tidak bisa mabuk, Alto."

Aku mendecak kesal. "Ya, kau benar. Bagaimana aku bisa lupa? Kau penyihir." Aku beringsut menjauh. Namun tangan yang menggenggam tanganku tidak mau pergi. Membelalak kaget, aku menatap manik emas yang kini tidak tersenyum itu. "K-Kapten, lepas!" desisku.

Wajah itu tak lagi cerah. Air mukanya berubah sendu. Sinar matanya mengiba, dalam diam memohon, seperti saat kami hanya berdua di gorong-gorong. "Aku tidak akan melepasmu." bisiknya lirih.

"Kau mau membuat semua orang tahu aku ini perempuan?" desisku.

Tidak ada jawaban keluar dari mulutnya. "Tidak."

"Lalu?" Aku semakin menjauh ketika pendar di manik emas itu menyala semakin terang, terlihat semakin dekat. "Lepaskan aku sekarang!"

"Aku hanya ingin mengatakan pada semua orang kalau kau milikku. Apa itu salah?"

Sekarang aku yakin wajahnya memang benar-benar mendekat. Mata emasnya sekali lagi menghipnotisku, berpendar terang kontras dengan warna hitam pekat yang mengelilinya. Sosoknya bagai perpaduan antara cahaya dan kegelapan ... suatu harmoni yang indah.

Sadar akan kebodohan yang hampir kulakukan, aku mendorong tubuhnya dengan keras. Setelah menarik napas satu kali, aku ikut bertepuk tangan bersama parak awak yang lain yang bersuara riuh, tak memerhatikan apa yang baru saja terjadi.

Sepertinya tidak ada yang sadar kami hampir berciuman tadi. Syukurlah.

Di seberangku, Azran berdiri mematung. Aku tidak menjauhkan diri cukup jauh darinya. Jika pemuda itu mau, dia bisa saja menarik tanganku sekarang. Tapi dia tidak melakukannya. Dia hanya diam di sana, terpaku memandangku dengan wajah yang aneh, mirip anjing yang baru saja dimarahi, maksudku terluka dan sedih, membuat rasa bersalah yang tak enak menggumpal di dasar perutku.

Sebelum digerakkan oleh nurani sialan ini, aku segera pergi dari tempat itu, meninggalkan segala riuh rendah yang perlahan membubarkan diri.

***

-

A/N:

Kak, nggak bosen apa pake judul mengundang? Nggak. Malah kalau bikin novel romance-fantasy lagi, saya mau lebih sering pake clickbait. Nipu orang mesum kayaknya gak salah-salah amat deh. Syukur-syukur saya bisa bikin mereka tobat.

Gak bosen nari-nari mulu di setiap cerita? Nggak nyadar. Sejujurnya, saya juga baru ngeh. Di mana pun karya saya menyentuh panjang lebih dari 30 bab, pasti ada tarian. Di series maupun di karya tunggal begini. Minimal pasti ada 1 adegan tarian. Yah, anggap saja itu semacam fetish saya. Gak ada tarian, gak afdol. Lagian, novel romance ( terutama non erotic) mana yang bisa tahan tanpa ada acara dengan embel-embel prom nite alias gala dinner? Saya rasa dikit sekali. Dan mumpung bajak laut emang sukanya berpesta di atas kapal, kenapa saya gak jadiin momen datangnya Carmen sebagai sebuah perayaan kecil kan?

Kok musiknya Rapunzel? Emang saya waktu bikin adegan ini diiringinnya pake lagu itu. Pas aja instrumennya.

Gak bosen bikin adegan romance-nya? Kok banyak banget? Alhamdulillah pas bikin ini saya cuma kejang-kejang aja sama insomnia dua hari.

Gak bete lagi? Alhamdulillah, ada komen LUAR BIASA yang bikin saya sangat terhibur dan mengobati saya. Semua rasa bete dan tersinggung saya lenyap karena satu komen ini dan saya kasih ini sebagai bonus.

P.S:

Pembaca lama sudah mengoreksi saya. Ternyata masih lima chap lagi dari chapter ini ding. Hahaha, jadi yang benar itu, akhir cour pertama Lazarus Chest adalah di Chapter 36 nanti. Hohoho, deg degan yaaa?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro