30. Pesta Penyambutan
Ternyata tidak terlalu sial.
Tapi aku juga tidak bisa bilang menyukai sepenuhnya ide ini.
Maksudku memang seorang perempuan senang dibantu dan dimanjakan, tapi dibawa dalam pelukan laki-laki dan diajak berlari sepanjang puluhan yard juga bukan hal menyenangkan. Aku merasa, di mata penyihir-perompak ini, aku hanyalah sosok yang sangat lemah sampai perlu dibawa digendong bak seorang putri. Seolah semua ini belum menyebalkan, aku harus menghadapi pasrah menjawab semua pertanyaan Azran sepanjang jalan, jika aku menolak, dia akan berhenti dan menjatuhkanku ke selokan.
Setelah menolongnya, aku malah dihadapkan pada ancaman jatuh ke selokan. Kedengaran bagus bukan?
"Kau mencari teman-temanmu di Serikat?" Azran mengulangi jawabanku, seperti memastikan apa tadi dia tidak salah dengar.
"Ya."
"Tapi kenyataannya ternyata mereka sudah kabur tiga tahun lalu." Aku terdiam dan Azran menghela napas. "Kau bisa bilang pada Dokter John, tak perlu sampai kabur seperti itu."
"Kalau kau mau aku tidak kabur, jangan tugaskan aku ke luar," dengusku kesal.
Dia balas mendengus. "Aku tidak sebodoh itu untuk mengambil risiko meninggalkanmu di dalam kapal yang penuh dengan laki-laki."
"Di dalam kapal, aku juga laki-laki."
"Haruskah kau mengingatkanku?" Azran menggeram.
Tak mau meneruskan topik membingungkan ini lebih lama lagi, aku menatap gorong-gorong yang berlalu dengan cepat di sekitar kami.
"Jangan bilang kau mempersiapkan gorong-gorong ini sebelumnya." Aku berpegangan lebih erat ketika Azran meningkatkan laju larinya.
"Tidak. Jalan ini sudah ada sejak dulu, disiapkan oleh para perompak yang pernah menyusup ke Inggris," jawabnya. "Dan aku mengetahui jalan rahasia ini baru dua tahun lalu."
"Tidak mengherankan. Kalau kau menemukan jalan ini, dulu kita tidak akan bertemu," gumamku sepelan mungkin.
"Tidak juga." Ups. Sepertinya aku sudah bergumam terlalu keras lagi. "Gorong-gorong ini tidak membentang sampai ke alun-alun."
Aku mendengus. "Setidaknya sekarang kau lebih memilih menyusup daripada serangan membabi buta."
"Hei ...." Aku mendongak, melihat wajah tersinggung Azran yang tidak ditutup-tutupi. "Biar bagaimanapun, sumber masalah waktu itu adalah aku. Jika aku cepat kembali, mereka tidak akan mendekat terlalu dekat dengan turret dan akan punya kesempatan untuk kabur, alih-alih membalas tembakan itu."
Dan terjadilah kekacauan itu, aku meneruskan dalam hati.
Lalu diam. Aku berusaha untuk tidak mencuri pandang ke arah Azran untuk mencari tahu kenapa dia diam tiba-tiba, tapi tidak mengacuhkannya sama sulitnya dengan memperbaiki mesin berkekuatan sihir tanpa membiarkan kekuatanku bocor.
Dari sudut manapun, semua ini masih menjadi kenyataan yang sulit dipercaya dan aku tergelitik untuk mengetahui lebih dalam tentang dia, tentang bagaimana bisa penyihir ini diasingkan. Tapi aku tahu itu tidak adil. Aku berbohong padanya tadi, jadi aku tidak punya hak untuk bertanya hal sepribadi itu.
"Apa ada yang mau kau tanyakan?" Lari Azran berubah melambat dan akhirnya kami hanya berjalan. Sebelum aku sempat angkat suara, Azran sudah memotong lebih dulu. "Jalan keluarnya sudah dekat. Jadi apa yang mau kau tanyakan?"
Aku mendesah dan langsung menyesal. Tarikan napas itu sudah membuatku menghirup aroma tubuh Azran terlalu dalam. "Belum tentu kau akan menjawabnya dengan jujur kan?"
"Sebisa mungkin akan kujawab dengan jujur." Kata-katanya terucap bagai janji. Aku menatapnya, berusaha meyakinkan diri bahwa kata-kata itu benar hanyalah 'bagai janji' bukan benar-benar janji, namun kesungguhan dari mata emas yang berpendar terang itu berkata lain. "Aku bersumpah," imbuhnya, yang sedikit banyak membuatku kehilangan kata-kata.
Jika tidak ada kacamata pelindung yang menutupi mataku, mungkin wajahku saat ini sudah semendidih ketel uap.
Semua orang tahu penyihir terikat pada sumpah mereka. Jika penyihir memegang sumpah padamu, mereka pasti akan menepatinya. Mereka bukan manusia yang bisa berkhianat ketika membuat janji. Sumpah akan mengikat mereka seperti kutukan sihir hitam. Dan Azran baru saja mengikat sumpah padaku dengan demikian mudahnya.
Salahkah kalau aku berpikir untuk memanfaatkan keadaan ini?
"Tiga tahun lalu ...." Aku bertanya, memutuskan untuk menanyakan pertanyaan yang tidak terlalu pribadi. "Bagaimana kau terluka separah itu?"
"Dengan cara yang sama seperti yang terjadi hari ini."
Mataku membuka selebar-lebarnya. "Kau bertarung dengan Oryziel?" Tidak heran lukanya separah itu, walaupun memang tidak bisa dibandingkan dengan luka yang ia dapat hari ini.
Senyum yang mendadak muncul di wajah Azran membuat sesuatu bergerak gelisah di dalam perutku, seperti ada mesin bor yang baru saja menyala dan berputar kencang di sana.
"Kau tidak memanggilnya dengan Yang Mulia? Dia kan raja." Ups. Aku baru saja menunjukkan pembangkangan terang-terangan ke hadapan kakaknya Oryziel sendiri. "Tidak perlu sepucat itu. Aku tidak akan mengungkitnya lagi. Semua manusia kemungkinan besar membenci Ziel seperti membenci penyihir lainnya."
"Dan kau tidak?" Pertanyaan itu meluncur keluar sebelum dapat kucegah. Sial. Padahal baru saja aku memutuskan untuk tidak bertanya pertanyaan pribadi! "Maaf, lupakan saja—
"Kau dan semua orang kemungkinan besar membenci Ziel, aku tidak akan menyalahkannya." Nada bicara Azran terdengar getir, seakan sedang menahan nyeri yang tidak terlihat. "Tapi dia adikku dan aku tidak bisa membencinya. Dia punya alasan kuat untuk membenci manusia, sama seperti kalian punya alasan kuat untuk membencinya."
Kuputuskan untuk tidak mengetahui lebih jauh. Mengetahui sebatas ini saja sudah menimbulkan rasa tidak enak yang tidak sedikit di dalam perutku. Tapi aku tidak akan menampik akan rasa penasaran yang muncul terkait kenapa Azran bilang Oryziel punya alasan di balik kebenciannya.
Diam sejenak. "Apa ... semua di Black Mary tahu siapa kau?"
"Soal aku penyihir? Hampir semuanya tahu." Wajahnya berubah gelap. "Tapi jika yang kau maksud adalah siapa aku sebenarnya, hanya Gill yang tahu."
Sepertinya mereka berdua memang cukup dekat. "Kalian ... maksudku, kau dan Tuan Gillian, sahabat?"
"Bisa dibilang begitu, walau aku lebih suka menyebutnya rekanan dan bukannya hubungan sentimentil semacam persahabatan," jawabnya.
"Gillian tampak memiliki tujuan jelas di kapal," Aku berkomentar, bermaksud menyindir kebiasaannya yang sepertinya sering sekali bermain-main sampai merepotkan Gillian.
Azran terkekeh. "Kami semua memiliki tujuan, satu tujuan yang sama."
"Karena tujuan itukah kau mencari informasi soal Andrea Serdin?" Tubuh Azran terasa kaku.
"Ya," jawabnya dengan nada kaku.
"Untuk apa?" Sebelum pertanyaan terakhirku ini terjawab, Azran berhenti.
Aku menoleh, melihat tangga membentang di depan kami. Kami sudah tiba di ujung terowongan. Melihat jalan yang membentang, aku hendak turun, tapi Azran malah mendekapku erat, tak membiarkanku bergerak.
Kami berdua menaiki tangga, satu demi satu anak tangga.
"Lima tahun, Alto." Azran tiba-tiba bicara. "Lima tahun dan semuanya semakin buruk. Aku hanya ingin semuanya kembali normal sebelum terlambat, karena itulah aku mencari Andrea Serdin."
Aku baru akan memintanya menjelaskan lebih lanjut ketika Azran berhenti.
Kami mencapai ujung tangga. Baru di sanalah Azran menurunkanku dan membuka pintu tingkap. Sinar matahari yang menyilaukan menerobos masuk dalam jumlah besar ke dalam mataku. Tanpa bicara, kami berdua melangkah keluar gorong-gorong.
Angin kencang meniup rambut pendekku. Aroma air laut pekat terbawa angin sampai ke hidungku. Hingga ke garis horizon, membentang lautan biru tak berujung. Melongok beberapa meter ke bawah, aku bergidik melihat ketinggian tebing tempat kami berada sekarang.
Tubuhku langsung beringsut mundur. Ada yang memeluk pinggangku posesif. Kepalaku berpaling dan langsung berhadapan dalam jarak sangat dekat dengan wajah Azran.
Retakan itu muncul lagi. Kesedihan, luka, dan malu yang tidak sedikit menyeruak menyatu di wajah yang kini kelihatan kalut dalam gejolak kesedihan itu. "Kau berhak membenciku. Aku dan kaumku adalah yang mengambil dunia ini dan membuatnya seperti sekarang. Tapi ...." Azran menjeda sejenak. Tangannya dengan lembut membelai wajahku. "Aku tidak membencimu. Tidak akan pernah."
Berusaha menyingkirkan perasaan aneh yang membuncah dan degup jantung yang menggila, aku mengingatkan diri, bahwa ada satu pertanyaan yang belum terjawab darinya.
"Kau bilang ingin membuat segalanya kembali normal." Aku berusaha mengatur napas sambil menyerap seluruh potret wajah Azran yang sekarang. "Apa maksudnya?"
"Bukankah sudah jelas? Aku dan kaumku bukan berasal dari dunia ini." Penjelasan itu menurunkan seluruh adrenalin yang tadi membanjiri tubuhku. Degup jantung dan napasku kembali tenang dan akal sehat kembali menguasaiku. Dia dan kaumnya bukan berasal dari dunia ini, aku tahu itu, tapi entah kenapa, kalimatnya terdengar tak asing. "Aku hanya ingin mengembalikan dunia ini kepada kalian, manusia. Itu tujuanku dan Black Mary."
***
Aku mendarat di kapal bersama segudang tanya.
Akibat kehilangan fokus, sekali lagi aku harus gagal mendarat dengan mulus, kali ini pantat lebih dulu. Ketika masih meringis menangisi pantat yang pecah berkeping-keping akibat mendarat di atas lempeng baja yang keras, mendadak saja bulu kudukku meremang.
Kepalaku mendongak dan benar saja, sekarang ini aku sedang menjadi pusat perhatian seluruh awak Black Mary. Mereka semua kelihatan tidak senang. Bunyi kaki sepatu yang terus beradu dengan lantai membuatku berpaling, melihat satu sepatu bot terus mengetuk-ngetuk lantai atap kapal dengan solnya yang tebal. Pandanganku naik, melihat Gillian yang memelototiku dengan wajah kesal setengah mati.
"Sudah puas dengan kekacauan hari ini?" tanyanya sinis, lengkap dengan senyum masam di wajah.
Aku hanya bisa menunduk. Biar bagaimanapun, semua ini memang kesalahanku. Setelah mengetahui kebenarannya, aku jadi tidak enak hati karena sudah kabur ... dan lebih tidak enak lagi karena sudah kembali begitu saja.
"Maafkan saya, Sir. Saya—
"Berhentilah menatapnya anak kecil seperti itu, Gill, kau membuatnya takut." Suara asing itu membuatku berani mendongak sekali lagi. Bukan karena suara ini baru pertama kali kudengar dalam kapal, melainkan karena kesan feminim yang mengalun berbalut ketegasan dalam suara itu.
Seorang wanita, dengan kemeja putih laki-laki dan celana hitam yang juga milik laki-laki, berjalan mendekatiku. Kulitnya mungkin adalah definisi yang pas untuk kata eksotis dengan warna seperti madu yang merah dan seakan berpendar dalam cahaya jingga ketika sinar matahari menerpanya. Bibirnya tidak membentuk senyum, tapi hanya dengan satu garis tegas itu, para pria sudah pasti akan melirik padanya, merasa bahwa dia wanita yang menantang untuk didekati. Tanpa malu, wanita itu memamerkan rambut merah panjang bergelombang miliknya yang tidak ada bedanya dengan nyala api. Sepatu botnya berderap stabil dalam setiap langkahnya menghampiriku.
Wanita berambut merah api itu berlutut di hadapanku. "Di mana Xerlindar?"
Mulutku baru akan menjawab ketika suara sepatu itu terdengar dari lantai tak jauh di belakangku.
"Aku benar-benar merasa tersanjung sampai dirindukan olehmu, Carmen." Aku dan wanita yang ternyata bernama Carmen itu menoleh ke belakang, ke arah pemuda yang berdiri dengan senyum pongah di sana.
Sosok rapuh yang kulihat tadi sudah lenyap tak bersisa. Entahlah, mungkin Azran yang kulihat sepanjang gorong-gorong tadi hanya ilusi mata.
"Teruslah bermimpi, Azran," cibir Carmen seraya bangkit berdiri. Aku buru-buru berdiri juga dan minggir beberapa langkah dari hadapan wanita itu. Carmen langsung melangkah mendekati Azran. "Kau tahu aku akan merebut Black Mary kalau kau tidak kembali mengingat kita sudah berlayar ratusan yard jauhnya dari pantai Inggris."
Azran memalingkan matanya ke Gillian. "Terima kasih sekali kau mau menunggu," ujarnya dengan nada sarkastis.
"Sama-sama." Gillian menjawab dengan cuek sebelum memelototi Azran. Andai Gillian tahu betapa kesalnya Azran ketika merasakan sihirnya yang tersisa di kapal menjauh tiga kali jarak semula. "Dan asal kau tahu, kalau Carmen mengadakan kudeta di sini, aku tidak akan melawan. Kau tahu aku tidak melawan wanita."
Tepat ketika aku ingin merangkak menyingkir pelan-pelan dari semua ketegangan ini, Gillian memergokiku dan langsung memberiku wajah berani-bergerak-kutembak-kepalamu yang berhasil membuat tubuhku mematung tak bergerak.
Azran memberikan senyum manis kepada Gillian yang akan kelihatan memukau jika saja tidak diliputi kemarahan. "Sayang sekali aku belum mati, kalau begitu."
"Benar, sayang sekali." Carmen mengakui sambil mengambil langkah mendekat. Jemarinya mengelus kemeja putih Azran, membuat alur tak kasat mata di sana. Kilat nakal melintas di matanya ketika wanita itu tersenyum, tapi itu belum cukup menghapus kesan wajah sekeras batu yang sepertinya sudah menempel padanya sejak lahir. "Tapi bukankah kau lelah, Azran? Terakhir kali kita bertemu, wajahmu benar-benar pucat, tapi lihat dirimu sekarang. Kau terlihat segar bugar. Apa yang terjadi?"
Sebisa mungkin aku berusaha tidak berpaling, tapi aku tidak tahan dengan lirikan Gillian. Melirik ke arah lain, kudapati sorot heran yang sama juga memancar dari semua awak yang menonton kami. Di sudut, aku melihat Will dan tuan Hoggs yang menatapku penasaran. Wajah mereka menyiratkan bahwa mereka menginginkan penjelasan dalam waktu dekat.
"Banyak hal terjadi." Aku melirik ke depan lagi, tepat ketika Azran melingkarkan lengannya di pinggang Carmen sambil membalas senyum nakal yang diberikan wanita itu. "Tapi mumpung kau di sini dan sepertinya tidak ada masalah lagi, mari kita rayakan apa yang kita capai hari ini dengan sedikit pesta."
***
-
A/N:
Yak, hitung mundur untuk akhir dari cour pertama kisah ini, dimulai. Kalian sebaiknya bersiap.
Apa? Saya udah peringatkan soal ending gantung kan? Bakalan lebih banyak lagi ending gantung di chap depan lhooo. Hahaha. Jadi, enjoy saja.
Saya tunggu vote dan komen kalian. See you next chap.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro