Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Bencana

Ini buruk. Sangat buruk.

Kejadian itu terulang lagi. Demi Langit, kejadian itu terulang lagi! Dan kali ini di hadapan sang pangeran sendiri!

Setelah sihir mati, pangeran Oryziel keluar dari ruang kemudi. Tak ada lagi senyum ramah di wajahnya. Tidak ada lagi sihir dari tubuhnya. Sulur-sulur yang tadi mengalir dari tubuhku mendadak sirna seiring menghilangnya sihir untuk dimakan. Benar-benar musnah total. Rasa sakit di mataku pun lenyap, menyisakan tubuh yang masih berdenyut lelah dan otot yang kebas karena serangan sakit dan panas internal yang bertubi-tubi. Aku, sendirian, menghadapi royalis garis utama kerajaan Inggris, pemilik salah satu sihir paling kuat di negara ini, yang berada dalam keadaan tidak senang.

Sial.

"Alto, hei!" Kurasakan cengkaman Edward di pundakku. Aku menoleh padanya sambil mengusap mata, mengusir denyut yang tersisa di sana. "Kau tidak apa-apa sekarang?"

"Ya." Aku berbohong. "Itu sihir yang luar biasa kuat."

Edward menghela napas lega. "Aku tidak tahu kalau kau alergi sihir!" Dia berdecak. "Kau menakutiku sampai mati tadi!"

Aku baru akan meminta maaf ketika derap sepatu itu terdengar mendekat. Perhatianku berpindah ke depan, ke arah sang pangeran yang keluar dari kapal.

Pangeran Oryziel berjalan menjauh dari kapal udara dengan tenang. Tapi siapapun tahu, ketenangan kali ini tidak seperti ketenangan saat dia datang. Ada kemarahan mengerikan di balik ketenangan kali ini, kemarahan yang siap untuk meledak pada orang pertama yang cukup kurang ajar untuk mengajaknya bicara.

Dia menemui Ketua Pengawas Frederic yang berdiri dengan wajah seputih awan di ujung anak tangga. Mulut cerewet penjilatnya terkunci rapat-rapat di bawah ancaman amukan sang pangeran. "Nah, Tuan Frederic, ini bisa menjadi catatan yang kurang memuaskan untuk Serikat Pandai di bawah naunganmu."

Pangeran Oryziel melirik kami semua. Mata hijaunya kini berpendar dingin mematikan seperti pusaran air laut dalam, menyisir kami satu per satu baik-baik. Mencoba menjaga kesopanan, kami semua menunduk.

Dalam diam, aku menahan keinginan untuk mengerutkan kening karena terheran-heran. Tidak biasanya ada penyihir yang menatap kami, para manusia, dengan tatapan seintens itu. Maksudku, dia seperti sedang berusaha menguliti semua rahasia dan topeng beku kami.

"Mohon maaf sebesar-besarnya atas ketidak becusan saya ini, Yang Mulia," Ketua Pengawas membungkuk di hadapan sang pangeran, sukses memindahkan perhatian pangeran Oryziel dari kami. "Saya bersedia dihukum atas kesalahan fatal yang bodoh dan memalukan ini."

"Tidak perlu merendah seperti itu, Tuan Frederic," tolak pangeran Oryziel. "Kesalahan bisa terjadi pada siapapun. Hanya saja, tolong pastikan kesalahan yang sama tidak akan terulang lagi."

"Baik, Yang Mulia." Ketua Pengawas kembali berdiri tegap. Dari sudut mata, dia mendelik kami semua dalam kemarahan yang kental. Mata coklat karamelnya terlihat mendidih oleh pendar yang menyala-nyala mirip bara api. Setelah ini kamilah yang akan jadi sasaran kemarahannya. Aku berani bertaruh seluruh nyawa. "Saya jamin tidak akan ada kesalahan yang sama." Artinya dia akan menghukum kami dengan sangat keras, tak terkecuali aku dan Edward.

Tidak, jangan Edward juga. Jangan sahabatku juga. Dia tidak bersalah. Perbaikan yang dilakukannya sempurna. Tidak ada satu pun dari mekanik di sini yang melakukan kesalahan. Mereka sudah melakukan apa yang mereka bisa dengan sempurna.

Akulah yang bersalah. Aku satu-satunya yang patut dipersalahkan di sini. Karena aku semua pekerjaan mereka jadi sia-sia dan akan kena hukuman berat. Tidak. Itu tidak boleh terjadi.

Aku menunduk dalam-dalam dan menarik napas panjang. "Maaf."

Menyadari tidak ada yang mendengar ucapan barusan, aku meninggikan volume. "Maafkan saya."

Sekarang perhatian semua orang tertuju padaku. Aku bisa merasakan tatapan mereka semua membakarku hidup-hidup. Kata-kata yang tadi hampir meluncur dari mulutku tiba-tiba tertahan di ujung lidah, menolak untuk keluar.

"Kesalahan apa yang kau lakukan?" Suara itu membekukan seluruh darahku. Itu suara pangeran Oryziel. Dia sendiri yang bertanya.

Kumpulan orang di hadapanku segera menyingkir, memberi pandangan lebih luas kepada sang pangeran sekaligus membuka wajahku bulat-bulat kepadanya.

Tahu apa yang harus dilakukan, aku merendahkan diri dengan menaruh kepalaku di tanah tanpa ragu, berharap dengan tindakan ini Pangeran ataupun Ketua Pengawas akan mengampuni kami semua hari ini. "Kapal udara ini tidak bisa bekerja karena kesalahan saya. Sihir di dalam kapal udara itu membuat alergi saya kambuh dan saya... melewatkan satu bagian."

"Kau melewatkan satu bagian?" Pangeran Oryziel bertanya lagi. Suaranya terdengar mendekat.

"Ya, Yang Mulia. Itu keteledoran saya—

"Artinya kau tahu di bagian mana kesalahanmu berada dan membiarkannya?" Pangeran menukas. "Kau tidak memberitahu yang lain tentang kelalaianmu dan mengakibatkan kekacauan hari ini, begitu maksudmu?"

Semudah itu kata-kataku dikembalikan. "Ya ... Yang Mulia." Aku diam ketika tapak sepatu pangeran menginjak kepalaku keras-keras hingga bibirku tergigit. Wajahku menempel dan bergesekan dengan lantai.

"Apa maksud pengakuanmu ini? Kau berniat jadi pahlawan bagi mereka semua?" Pangeran Oryziel bersuara dari atas kepalaku. "Kau mau mengabaikan mereka yang tidak bisa melihat kesalahanmu dan langsung memperbaikinya?"

"I-itu ... saya ...."

Kaki itu terangkat dari kepalaku dan bunyi derap langkah kakinya langsung pergi. "Kalau kau begitu ingin berbagi rasa bersama mereka semua sampai bersujud di tanah seperti itu, bukankah hasilnya akan sama jika kalian berbagi hukuman bersama-sama?"

Serta merta aku bangkit dari sujudku. "B-bukan itu maksud saya, Yang Mulia! Saya ingin Yang Mulia membebas—

Suara tamparan itu menggema di sepenjuru hanggar yang sepi. Pipiku berdenyut sakit. Tidak ada tangan yang terulur dalam posisi siap menampar. Aku pun tidak dapat melihat kapan dan dari mana datangnya. Yang aku tahu, kepalaku berpaling ke samping dengan kasar dan rasa sakit itu membakar wajahku.

Aku menoleh, memandang punggung bangsawan yang beranjak pergi itu. Mulutku terbuka, tapi ketika kata-kata sudah di ujung lidah, mulutku membeku. Lidahku kelu. Rahangku membatu. Sekujur tubuhku mematung. Panas dari energi sihir mengurungku. Sulur energi transparan sebening kaca dari tubuh Ketua Pengawas melilit seluruh tubuhku.

"Sudah cukup bicaramu, Manusia!" desis Ketua Pengawas Frederic.

Jika saja mulutku tidak dibungkam, sudah pasti aku akan menyumpah serapah. Kenapa di saat seperti ini aku malah bisa kena sihir dengan mudah? Kenapa di saat seperti ini perlindungan mataku tidak berfungsi? Kenapa malah di saat pengecekan? Kenapa bukan sekarang saja?! Keparat!

"Kau dan kalian semua tidak akan lolos dariku!" Ketua Pengawas Frederic mendelik padaku. "Dan karena kau yang meminta, aku akan memberimu tambahan hukuman yang sangat kau inginkan itu sebagai imbalan atas rasa malu yang kau tamparkan ke wajahku di hadapan Yang Mulia Pangeran!"

Dari sudut mata, pangeran beserta dua pengawalnya sudah lenyap, menyisakanku seorang diri, dihakimi ratusan pasang mata para pekerja yang menatapku nyalang, diabaikan para pengawas di sudut ruangan yang pura-pura buta, dan dipelototi Ketua Pengawas yang mengancam akan mendidihkan wajahku ke kuali panas.

Melihatnya marah seperti itu, yang ada di pikiranku hanya bagaimana mencungkil keluar bola matanya sampai hanya menyisakan rongga kosong, membiarkan banyak cacing dan lipan keluar dari dalamnya. Ketua Pengawas laknat dan Pengeran Pewaris Takhta sialan!

***

"Pergi sana!"

Aku terjerembap. Tubuhku terseret beberapa kaki di aspal kasar teras penampungan tempat tidur pekerja Serikat Pandai. Kuabaikan perih yang membakar di sekujur punggungku saat menatap puluhan pasang mata yang melotot penuh dendam.

"Hei, jangan kasar!" Edward menghambur ke arahku, membantuku berdiri. "Apa-apaan kalian ini?!" Dia nyaris saja menyembur di luar kendali jika aku tidak keburu memelototinya. "Dia sudah berusaha membela kita tadi!"

"Kita harus menguburkan dua orang hari ini karena dia!" Bentak salah satu dari kerumunan pria yang marah di hadapanku. "Hei, Nak, kalau ada yang harus disalahkan, itu adalah kau dan alergi sialanmu itu!"

"Kalian menyalahkan orang lain karena alergi? Apa kalian sudah gila?!" Edward balas membentak kerumunan itu sambil tetap menggamit lenganku dengan protektif. "Dia tidak memilih untuk punya alergi terhadap sihir! Sama seperti kita yang tidak memilih untuk berada di serikat ini!"

"Tapi dia bisa memilih untuk ditempatkan di Serikat lain! Serikat Pembangun banyak diisi orang-orang seperti dia!" Salah satu dari kerumunan pria-pria berbau keringat dan darah itu sekali lagi menghakimiku. "Dia bisa pindah ke sana tapi dia tidak melakukannya! Kenapa, Alto? Kau punya waktu banyak waktu untuk pindah ke Serikat Pembangun tapi tidak menggunakannya!"

Aku tidak bisa berkata apapun. Mereka semua benar. Akulah yang terlalu egois menolak bekerja di bawah naungan Serikat Pembangun hanya karena kekaguman konyol kepada mesin dan ketakutan akan pekerjaan Serikat Pembangun membangun jalan, jembatan, dan gedung yang terlihat tiada akhir. Memang seharusnya di sanalah aku berada, bersama para manusia lain yang alergi terhadap sihir. Serikat Pembangun adalah serikat dengan paling sedikit sihir. Aku akan nyaman di sana bahkan mungkin bisa lolos setiap bulan dengan hanya menerima sedikit hukuman, jika saja tidak termakan keinginan konyol untuk bekerja di Serikat yang sedikit memberi tempat bagi hobi lamaku.

"Aku akan tidur di luar, puas?!" Aku bersuara sebelum ada perkelahian lebih lanjut dan seorang pengawas terpaksa menghentikan kami dengan sihir. Sudah cukup sihir kulihat hari ini. "Tidak peduli akan hujan, badai, atau wabah sekalipun, aku tidak akan masuk dan tidak akan selamanya masuk lagi seumur hidup! Aku akan segera mengurus kepindahanku ke Serikat Pembangun, kalian puas?!"

Tidak ada yang bersuara. Tapi mata-mata kebencian itu masih menancap dengan kuat kepadaku. Kerumunan di belakang perlahan membubarkan diri, terus menular hingga barisan depan yang menjadi barisan terakhir yang mundur. Satu per satu dari mereka melangkah ke atas dipan untuk tidur dan melanjutkan kerja esok pagi. Sebagian besar tidak ada yang mau melanjutkan perkelahian ini kemungkinan karena waktu istirahat kami tinggal dua jam lagi. Hanya sedikit yang terus menerus memelototiku dan tak beranjak dari tempat, tak terima jika aku masih ada di penampungan pekerja Serikat Pandai.

"Aku ikut!" Edward mencengkam lenganku kuat-kuat. "Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di luar, Al!"

Aku memberengut jengkel padanya. Edward sedang tidak mau ditolak. Tapi aku harus menolaknya. Aku masih cukup tahu diri untuk tidak menyeret siapapun masuk ke dalam masalahku lebih dari ini.

"Aku tidak akan apa-apa." Aku balas menggenggam tangannya kuat-kuat, memberikan sinyal kepadanya untuk membiarkanku pergi.

Dengan berat hati, pemuda berambut merah itu melepaskan gamitannya, tapi tidak sebelum dia meraih tanganku lagi dan menyerahkan satu gulungan putih besar ke atas telapak tanganku.

"Kau perlu menggantinya." Dia membuatku menggenggam perban itu. Buku-buku jarinya memutih saat meremas buku-buku jariku erat-erat.

Aku berusaha meyakinkannya dengan seulas senyum. Edward berbalik, tanpa melepaskan pandangannya dariku, bahkan hingga pintu penampungan pekerja Serikat Pandai ditutup.

Setelah dia menyebutkannya, dadaku terasa sesak sekali, panas, dan perih. Perban yang melilit tubuhku di balik seragam budak ini terasa lembab oleh darah. Perban ini perlu diganti.

Aku baru saja melangkah pergi dari penampungan ketika seorang gadis mungil berambut pirang keriting berlari dengan wajah horor ke arahku.

"Suri?"

Gadis itu mencengkam kedua pundakku ketika kami berhadap-hadapan. Napasnya memburu dan tubuhnya gemetar. Suri mendongakkan kepala, manik coklatnya menatap cemas, meneliti tubuhku dari atas ke bawah.

"Ada apa?"

Gadis itu tidak menjawab dan malah menepuk punggungku yang masih nyeri. Tak ayal aku mencengkam gelang bahunya, menancapkan kuku di sana. Baiklah, dia harus punya alasan bagus, karena kini aku punya satu alasan kuat untuk menjambak rambutnya keras-keras sampai pitak.

"Oh astaga!" Suri meringis prihatin. "Jadi kabar itu benar? Pangeran benar-benar datang ke Serikat Pandai dan menghukum kalian semua?"

"Ya, aku baru saja membunuh dua orang hari ini." Pertanyaan penuh kecemasan tulus itu sudah membuat semua kemarahanku luntur. Akhirnya aku hanya bisa pasrah mengelus-elus punggungku yang malang. Beruntung tulangku tidak ikut rontok oleh pukulan kerasnya tadi.

"Oh, Al, itu bukan salahmu," Suri berusaha menyemangatiku meski wajahnya juga penuh duka.

"Ya, itu salahku," Aku bersikukuh. "Siapa yang tahu tubuhku bisa seanti ini dengan mesin?" Sebenarnya bukan mesin yang patut dipersalahkan, tapi biarlah Suri dan Edward tahu sebatas itu. Mereka tidak perlu tahu apa yang mereka tidak pernah lihat. "Alergi sihirku rupanya cukup parah juga—Jangan coba-coba mengasihaniku, Suri!"

"Aku tidak mengasihani!" Suri mengelak dengan payah. Dia bukan pembohong yang baik. Bukan sama sekali. "Ayo! Kita obati lukamu di suatu tempat!"

***

dC�R�i���

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro