26. Kebenaran yang Terungkap
Tadi aku salah dengar kan?
"Berhentilah ...." Sihir kapten Xerlindar yang tadi hampir musnah, entah kenapa bangkit bergejolak dalam jumlah yang tidak bisa dianggap main-main. Bersamaan dengan sihir yang tiba-tiba bergolak itu, darah dari luka di seluruh tubuh penyihir-perompak itu mengalir semakin parah. Walaupun begitu, wajah Kapten lebih kelihatan murka alih-alih kesakitan. "Berhentilah bicara, Anak Sialan!"
Kapten menekan lebih keras. Sekarang tidak ada sihir yang mengalir keluar dari tubuh Oryziel. Kemungkinan besar energi sihirnya ikut termakan saat aku menahannya tadi. Tapi itu tidak membuat raja muda itu gentar. Senyum masih betah bertakhta di wajahnya yang masih kelihatan tenang-tenang saja menahan tekanan pedang kapten Xerlindar yang semakin meningkat. Sayangnya raja baru itu tidak terlihat terpengaruh oleh tekanan tambahan yang diberikan kapten Xerlindar.
"Kekuatanmu masih merepotkan seperti biasanya." Oryziel tidak terdengar memuji sama sekali. "Apa ini karena kau terus lari dari satu tempat ke tempat lain? Hei, bagaimana rasanya? Lari dari satu negara ke negara lain tanpa mendapat sambutan sama sekali?"
"Lebih baik dari satu atap denganmu!" Kapten Xerlindar melancarkan tendangan yang sayangnya dapat dihindari dengan mulus oleh Oryziel.
Pemuda itu melompat dan mengayunkan iaraghi tepat ke leher kapten Xerlindar. Di saat terakhir, Kapten berhasil menahan serangan sang raja dengan kedua pedangnya. Oryziel kelihatan memberikan tenaga yang cukup kuat pada iaraghinya hingga tubuh kapten Xerlindar terdorong beberapa kaki dari posisi semua. Raja muda itu mengayunkan tendangan ke arah kiri yang mendarat ke wajah Kapten sebelum sempat penyihir-perompak itu melindungi diri. Tubuh kapten Xerlindar terlempar dan terseret sebelum mendarat di dekat tempat aku bersembunyi.
Perompak itu bangkit dengan kepayahan. Salah satu pedangnya terlepas dari jangkauan. Sihir yang keluar dari tubuhnya lenyap sama sekali. Gejolak yang tadi sempat terlihat, kini tidak bersisa sedikit pun. Darah membasahi tanah di tempat tubuhnya mendarat. Selama sesaat dia sempat terdiam menyaksikan tubuhnya sendiri, menyaksikan pakaiannya sendiri yang telah dinodai banyak warna merah. Wajahnya kelihatan terpukul, seperti tidak menyangka ada luka yang sedang mengalirkan darah di sana. Dia berusaha bangkit, namun kemudian berhenti.
Mata kami bertemu.
Awalnya sepasang manik emas itu kelihatan gusar, sedetik kemudian kosong, sebelum akhirnya kelihatan sangat putus asa. Wajahnya, meski masih sama, kini tampak berbeda. Seluruh ketegaran dan keangkuhan yang biasa tampil di wajah itu retak, menampilkan sosok lain yang tersembunyi di baliknya. Yang menatapku saat ini bukan seorang penyihir royalis, maupun perompak. Dia hanya seorang pemuda.
Pemuda yang terluka hatinya.
Secepat kilat, retakan itu lenyap. Air mukanya yang keras telah kembali. Penyihir itu bangkit, berbalik, dan kembali menerjang, menyadarkanku bahwa momen tablo itu hanya terjadi kurang dari dua detik.
Pedang mereka berdua yang kini tingkat mematikannya tidak lebih berbahaya dari tongkat besi saling beradu, mengeluarkan bunyi denting yang menggetarkan udara ketika bertemu berusaha merebut dominansi. Tidak ada energi lain selain energi fisik yang berkelahi. Tidak ada energi sihir maupun interupsi dari energiku. Gelombang energi milikku telah lenyap sesaat setelah menyadari tidak ada yang bisa lagi dimakan.
Pedang mereka berdenting dan sekali lagi serangan mereka berdua seimbang. Tidak ada yang mau kalah.
"Kau serius sekali." Lagi-lagi Oryziel mengejek kapten Xerlindar. "Apa kau jauh-jauh datang ke sini untuk menyelamatkan Peti Lazarus itu?"
Jantungku mencelus. Nama itu membangkitkan kenangan yang sudah lama kulupakan.
Lazarus.
Di malam itu, tiga tahun lalu, pangeran Oryziel memanggilku Lazarus. Sekarang, sekali lagi dia memanggilku Lazarus. Peti Lazarus.
Sebuah pertanyaan menyeruak, tapi aku memutuskan untuk memikirkannya nanti. Bukan itu yang harus aku pikirkan saat ini.
"Ya. Aku membelinya di Tortuga." Kapten mengakui, memaksakan diri untuk menyeringai di tengah rasa sakit yang mendera.
"Oh, apa dia awakmu? Salah satu dari awakmu yang akan menjadi bagian dari cacatan memalukanmu?" Sekali lagi Oryziel mengejek dengan nada merendahkan yang tidak ditutup-tutupi. "Kalau begitu, apa dia dan awakmu yang lain tahu kebenarannya? Apa dia tahu siapa kau yang sebenarnya, Azran?"
Ayah.
Kata itu muncul lagi di dalam kepalaku. Oryziel bilang ada tato di tubuh kapten Xerlindar, tato yang dipasang oleh seseorang yang dipanggil Ayah oleh Oryziel.
Ini tidak bagus. Sesuatu di dalam diriku menyuruh untuk lari dan tidak mendengar rahasia apapun yang sepertinya akan dikatakan Oryziel sebentar lagi, tapi tubuhku tidak mau mendengarkan. Dari mulai kaki hingga kepala, semuanya membeku, hanya diam mendengarkan.
Kapten Xerlindar saja berubah gusar. Keputus asaan itu menyeruak sekali lagi di manik emasnya. Dia tahu aku belum pergi dan dari nada mengejek Oryziel, kuasumsikan raja muda itu juga tahu aku belum pergi. Diamati dari jauh, wajah Oryziel tenggelam dalam kesenangan, sementara wajah kapten Xerlindar menggelap oleh kemurkaan.
"Wajahmu bilang dia belum tahu apa-apa. Pria kecil yang malang. Bagaimana kalau dia tahu, Azran?" Oryziel mengayunkan pedangnya melingkar, memenangkan dominansi dan berhasil mengempas kapten Xerlindar.
Penyihir-perompak itu, meski semakin kesusahan untuk bangkit, masih tetap bangkit dan kembali menerjang. Sekali lagi dua pedang mereka beradu berdenting membelah udara. "Dia tahu ataupun tidak, sama sekali tidak ada pengaruhnya padaku." Kapten Xerlindar memberikan senyum yang kelihatan dipaksakan, keangkuhan dalam nada bicaranya terdengar sangat tidak alami, tidak seperti dirinya yang biasa. Perompak itu berusaha mendesak lebih keras, namun Oryziel masih bergeming, tak terpengaruh serangannya sama sekali.
"Kau yakin?" Sekali lagi Oryziel berhasil mengempas kapten Xerlindar hingga terjerembab. Iaraghi-nya terlepas dari pegangan dan tubuhnya tidak bisa bangun lagi. Oryziel tersenyum puas. Dia menghampiri Kapten selangkah demi selangkah dengan pedang terhunus.
Aku sempat heran kenapa Oryziel tetap kelihatan percaya diri dengan iaraghi yang sekarang tidak lebih tajam daripada tongkat besi, tapi kemudian aku mendapat jawaban yang kubutuhkan ketika raja muda itu menyentuh pangkal pedangnya, melepaskan sarung pedang kedua yang menampilkan bilah mengilap pedang biasa yang tersembunyi di bawahnya.
Sekarang pedang itu sama berbahayanya dengan pedang biasa.
Pedang itu dihunuskan tepat di depan hidung Kapten. Tangan penyihir-perompak itu berhenti sebelum ujung jarinya menyentuh gagang pedang miliknya sendiri yang tergeletak di tanah, hanya sedikit lagi sebelum tangannya menyentuh gagang pedang yang terjatuh di luar jangkauan itu. Di atasnya, Oryziel menjulang dengan senyum angkuh di wajah, siap memotong tangan kapten Xerlindar jika penyihir-perompak itu berani bergerak.
"Kurasa pasti akan ada pengaruhnya," ujar Oryziel percaya diri. "Manusia mana yang mau dikomandani seorang pangeran terbuang sepertimu, Kakak?"
Kakak.
Itu hanya satu kata, satu kata yang sangat mudah, yang sangat sering diucapkan jutaan orang di planet ini. Seharusnya aku tidak perlu terkejut. Kata itu lumrah.
Kalau begitu kenapa dunia tidak terasa seakan runtuh di sekelilingku?
Kapten terlihat semakin murka di bawah kata-kata Oryziel, tapi tidak bisa berkata apapun. Dia hanya kelihatan gusar tanpa berbuat apa-apa, seperti anjing marah yang dikurung dalam kandang.
Seringai yang merekah di wajah Oryziel membuat pemuda itu sama sekali tidak terlihat seperti pemuda dua puluh tahunan. "Ada apa? Bukankah tadi kau bilang tahu ataupun tidak, sama sekali tidak ada pengaruhnya? Kalau begitu seharusnya kau beritahu saja dia dari awal bahwa kau pangeran yang sudah kehilangan semuanya." Hanya ada suara Oryziel yang sarat penghinaan yang terdengar saat ini. Tidak ada suara apapun yang menyaingi bunyi suara sang raja muda yang tengah bicara. "Biarkan dia tahu betapa menyedihkannya keadaan keadaanmu yang harus hidup sebagai perompak tanpa bisa mengakui hakmu atas takhta dan tidak bisa mengeluarkan sihir jika bukan tanpa bantuan batu kecil."
Oryziel menendang rusuk kapten Xerlindar keras hingga tubuhnya berbaring di tanah dengan tapak kaki Oryziel menginjak perutnya, memperparah luka yang ada di tubuh penyihir-perompak itu. Pedang sang raja mengayun dan untuk sesaat aku mengira pedang itu sudah menebas kepala Kapten.
Ternyata itu hanya perkiraanku.
Kepala Kapten masih utuh. Mungkin sabetan tadi hanya untuk menakuti dan sayangnya berakhir gagal. Kapten Xerlindar tetap terlihat tenang meski diancam dengan pedang dan harus terbaring di tanah di bawah belas kasihan kaki seseorang. Tidak sekali pun penyihir-perompak itu meringis.
Tanpa ampun, Oryziel menikam pundak kapten Xerlindar, memakunya ke tanah. Senyum di wajahnya hilang, berganti ekspresi dingin nan bengis tanpa sedikit pun sentuhan manusiawi: sosok seorang Oryziel yang sebenarnya.
"Kau benar-benar memalukan sebagai kakak kandungku, Azran."
***
Sejujurnya aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Dunia yang runtuh di sekelilingku hanya meninggalkan kekosongan yang tidak bisa kupahami. Aku tidak tahu apa yang sedang aku rasakan sekarang ini. Tidak seperti ketika melihat Suri dan Edward sudah menjadi buron, atau ketika dokter John bilang mereka mencari ibuku, ataupun ketika pertama kali menyadari ada penyihir di bar Simon's. Kali ini tidak ada gejolak emosi apapun, seakan otakku berhenti berputar, macet dan tidak bisa memikirkan apapun lagi.
Kapten Xerlindar masih bisa tersenyum sinis, melontarkan pandangan menantang pada Oryziel yang sudah menikamnya dan memegang kehendak apapun atas nyawanya saat ini. "Apa kau sudah cukup bicara, Ziel?"
Ziel. Nama yang terlalu akrab untuk dilontarkan seorang perompak terhadap seorang raja. Tapi tentu saja kapten Xerlindar punya hak. Dia kakaknya.
"Sudah." Kontras dengan senyum ramah di wajahnya, sepatu Oryziel masih menginjak perut kapten Xerlindar, malah semakin menekan luka di tubuh Kapten. "Sekarang adalah bagian yang menyenangkannya, Kak."
Bilah yang mengilap itu dicabut dari pundak kapten Xerlindar. Sinar matahari memberikan kilau mematikan ketika pedang itu terhunus sekali lagi. Senyum muncul di wajah Oryziel dan pedang itu pun berayun dengan cepat.
***
Apa yang terjadi selanjutnya, aku sendiri tidak tahu.
Ketika sadar, aku sudah berlutut di antara Kapten ... maksudku Xerlindar dan Oryziel. Mataku dan mata Oryziel bertabrakan. Sepasang manik hijau itu membelalak lebar kepadaku. Seharusnya aku juga berwajah demikian kaget karena sudah terjebak di antara dua orang yang sedang bertarung tanpa tahu apa-apa, tapi tak kubiarkan sedikit pun kelemahan muncul keluar dari nurani sialanku dan tumpah ke wajahku. Tidak saat ini, tidak di hadapan penyihir satu ini.
Bilah pedang itu terasa menyengat dalam genggamanku. Darah merah mengalir dari bilahnya, turun menetes ke kemeja putih Xerlindar yang sudah berlumuran darah.
"Apa yang kau lakukan?!" Terdengar desisan Xerlindar di belakang. Senang rasanya aku memutuskan untuk mendadak tidak lagi memanggilnya Kapten. Selain alasan karena dia adalah adik dari raja keji ini, aku tidak ingat ada alasan bagiku untuk pernah memanggilnya 'Kapten'.
"Sama-sama, Sir." Aku tidak repot menyembunyikan sarkasme dalam jawabanku.
Oryziel kesal. Dia mencoba menarik pedangnya dari genggaman tanganku dengan kasar. Darah semakin banyak keluar. Bilah tajam itu menyayat dagingku semakin dalam seiring dengan semakin kerasnya usahaku tetap menggenggam dan menahan pedang itu agar tidak lepas dari cengkaman tanganku.
Bunyi derak mengerikan itu membuat gerakan pedang mengendur. Oryziel melepaskan pedangnya tanpa daya dan jatuh ke belakang. Tubuh raja muda itu tumbang. Ia meringis kesakitan di tanah. Aku melepaskan genggaman pada pedangnya, berniat untuk segera kabur, namun terhenyak di depan kaki Oryziel yang berada dalam posisi janggal. Pergelangan kakinya patah.
Tidak butuh waktu lama bagi Oryziel meraih berhasil pedangnya lagi dan mencoba bangkit ... tepat ketika Xerlindar menendang perut raja muda yang masih terbaring di tanah itu hingga tubuhnya melayang dan menghantam deretan pepohonan di sebelah barat.
Mataku mengikuti arah mentalnya tubuh Oryziel, tak percaya bagaimana penyihir terkuat di Inggris bisa dimentalkan dalam satu tendangan tanpa energi sihir sama sekali. Karena terlalu tercengang oleh apa yang baru saja terjadi, aku tak dapat mengantisipasi seorang pemuda lain yang langsung berlutut di sampingku.
Salah satu tangannya menahan punggungku sementara tangan yang lain menyelip di antara lipatan betisku. Dengan entengnya, dia mengangkat tubuhku dari tanah. Kepalaku sempat miring ketika dia mencoba berdiri. Akibatnya pipiku jatuh tepat ke dadanya yang basah oleh peluh dan darah, tanpa sengaja mendengarkan detak jantungnya yang tak beraturan.
Malu dan tersengat oleh panas yang tak enak di wajah, aku buru-buru menarik diri. Sepelan mungkin agar tak memperparah lukanya, aku mencoba mendorong tubuhnya menjauh, memaksanya melepaskan dan membiarkanku berjalan sendiri.
Tapi tubuhnya sekaku tembok.
"Jangan bergerak." Kepalaku mendongak, melihat kemurkaan masih terlukis di setiap gurat wajah Xerlindar. Segala protes yang sudah mengantri di ujung lidahku langsung mundur perlahan.
Dengan cepat, kami berdua berlari. Xerlindar beberapa kali harus melompat melangkahi mayat-mayat yang tergeletak di tanah sebelum akhirnya melesat meninggalkan tempat itu sejauh mungkin.
***
Kami berbelok ke arah hutan dan berlari cukup dalam ke bagian pohon dan semak masih tumbuh sangat rapat. Xerlindar terus berlari dengan membawaku dalam pelukannya sambil merusak seminim mungkin jumlah semak, berusaha menyamarkan jejak kami.
Kemudian ia berhenti.
Tanpa bicara apapun, ia menurunkanku dan menyingkirkan semak di bawah kakinya, memperlihatkan pintu tingkap kayu tersembunyi. Xerlindar membuka pintu tingkap itu. Di baliknya, membentang tangga yang mengarah jauh ke bawah tanah.
Ketika lengannya melingkari pinggangku lagi, aku langsung beringsut mundur. Serta merta kemurkaan kembali wajahnya.
"Jangan melawan!" kecamnya dengan nada suara yang dalam sekejap membekukan seluruh tubuhku. Sumpah, aku tidak akan memanggilnya kapten lagi ... setidaknya di dalam hati.
Sekalipun dengan tubuh penuh luka dan baju basah oleh darah, Xerlindar bersikeras mengangkat dan membawaku masuk ke dalam lubang tersembunyi itu. Setelah lima langkah turun, pemuda itu menutup pintu tingkap dan terdengar bunyi klik. Pintu sudah terkunci.
Gelap. Sama sekali tidak ada lampu yang menyala. Tidak ada apapun untuk dilihat. Mataku tidak bisa melihat lantai tempat kami berpijak. Hanya ada kegelapan.
Seseorang pernah bilang padaku, kegelapan memang membuat mata buta, tapi di saat yang sama, juga membuat indera yang lain lebih peka.
Aku rasa sekarang aku paham makna kata-kata itu.
Kulitku dapat merasakan basah yang merembes dari tubuh pemuda yang mendekapku, telingaku bisa mendengar bunyi cicitan tikus di kejauhan dan bunyi air yang mengalir, lalu ... deru napasnya yang terengah dan degup jantungnya yang tidak teratur. Hidungku mencium bau tidak sedap serta bau darah yang menguar sangat kuat dari tubuhnya, darah yang sepertinya ikut membasahi pakaianku juga karena menempel padanya.
Pemuda ini tidak sedang baik-baik saja, tapi tetap memaksakan diri untuk membawaku.
Heroik sekali. Sungguh aku terharu, jika saja mengabaikan fakta bahwa dia adik dari raja yang paling mengerikan di dunia.
"Tolong turunkan saya."
"Tidak akan."
Aku menghela napas. "Maaf, kalau begitu." Lalu aku melakukan apa yang perlu dilakukan.
Aku meninju tubuhnya secara acak. Aku tak perlu repot-repot mencari bagian yang tepat karena seluruh tubuhnya sudah terluka.
Dalam sekali tinju, tubuhnya berubah kaku menahan sakit dan tidak butuh waktu lama bagi Xerlindar untuk langsung melepaskanku tanpa diminta.
Tinjuku bisa dikategorikan payah untuk serangan. Seorang pria seukuran Xerlindar seharusnya bisa berdiri dalam sekejap mata dengan serangan sepayah itu. Tapi kenyataannya, dia belum bersuara sama sekali sejak kutinju. Ini artinya lukanya sudah sangat parah.
Kekhawatiran baru saja merayapi belakang leherku ketika lampu-lampu pijar menyala satu per satu, menerangi gorong-gorong sepi tak berpenghuni yang membentang tanpa akhir. Tikus-tikus mencicit dan berlarian mencari kegelapan lain ketika cahaya lampu datang.
Mataku membiasakan diri di tengah cahaya yang baru saja muncul sambil mengamati tempat kami berada sekarang. Aku menunduk, melihat kakiku berdiri di atas aspal yang cukup padat. Hanya dua kaki dari tempatku berdiri, mengalir sungai kecil. Di bawah lampu pijar, airnya berwarna hitam pekat dan ada banyak sekali sampah terbawa arusnya. Aku rasa dari sanalah bau busuk yang menguar ini berasal.
Telingaku mendengar suara lain dan menoleh, melihat Xerlindar jatuh berlutut dengan tubuh penuh darah.
Tanpa bicara, aku berlutut di sampingnya. Tanganku terulur hendak menyentuhnya ketika tangan besar itu menepis dengan kasar semua percobaan usaha baikku, menyadarkanku akan rasa sakit di tangan yang sedari tadi terlupakan.
Mata emasnya sarat akan amarah. "Aku tidak menyuruhmu untuk menolongku," kecamnya dengan gigi terkatup rapat, menjadikan suaranya terdengar mirip desisan.
Aku lebih memilih untuk tidak ambil pusing atas sikap keras kepalanya yang entah bagaimana masih bisa muncul di saat seperti ini. "Anda terluka, Sir." Jadi sebaiknya diam dan berhentilah menggeram seperti anjing!
"Aku masih sanggup."
"Kelihatannya tidak."
"Aku bilang, aku masih sanggup." Mata emasnya mendelik penuh kemarahan padaku. Bibisnya menyunggingkan senyum sinis. "Jangan mencoba berbaik hati padaku. Kau pasti mau membunuhku kan? Setelah tahu kebenarannya dari Oryziel."
Setelah dia menyebutkannya, aku baru ingat tidak memanggil Oryziel dengan panggilan 'Yang Mulia' lagi atau 'Yang Mulia Raja' meski sudah mengetahui status barunya sekarang. Aneh sekali karena dulu aku akan patuh dan memanggilnya 'Yang Mulia' tanpa berpikir dua kali. Meski bertanya-tanya, pada kenyataanya, jauh di dalam hati, aku sudah mendapatkan jawaban sendiri.
Oryziel tidak pantas dipanggil dengan hormat sebagai raja, pun begitu dengan kakaknya ini.
"Tidak juga," jawabku dengan nada setengah tak acuh. Sepasang mata emas itu membelalak lebar-lebar. "Tapi kalau Anda punya penyakit kejiwaan yang sama, saya akan kabur sekarang juga."
Senyumnya berubah masam, seakan aku baru saja menghinanya. "Kau berdusta," cibirnya. "Kau membenci penyihir. Aku bisa melihatnya terlukis di seluruh bagian wajahmu."
Sekuat tenaga, aku menahan keinginan untuk kelihatan tidak sabar di hadapan penyihir yang sehari-harinya menjadi kaptenku ini. "Terserah Anda mau percaya atau tidak. Itu urusan Anda. Saya hanya mengatakan apa yang sebenarnya saya rasakan." Entah kenapa situasi menyebalkan ini rasanya pernah kualami sebelumnya di satu tempat. "Sekarang lebih baik kita periksa dulu luka Anda sebelum melanjutkan perjalanan. Anda terluka parah."
"Tidak perlu." Semakin lama deja vu ini semakin mirip saja. "Biarkan aku istirahat sebentar dan luka ini akan pulih sendiri."
Apa dia sedang berusaha untuk berlagak sok kuat? Di saat aku sekalipun tahu tidak ada sihir sama sekali tersisa di tubuhnya?
Saat itulah aku menyadari, di telinganya tidak lagi ada batu merah kecil yang berkilau seperti batu mulia. Batu bertuahnya hilang. Baiklah, itu masalah yang lain.
Tidak ada batu bertuah artinya tidak ada kesempatan baginya untuk pulih, itu jika aku memercayai apa yang dikatakan Oryziel tadi.
Meski sudah dalam keadaan separah ini, penyihir-perompak ini masih saja berlagak sok kuat. Aku benar-benar tidak mengerti laki-laki dan kepala mereka yang seakan terbuat dari batu.
"Anda tidak akan bertambah baik-baik saja." Aku berkata dengan yakin. Sekali lagi dia mendelikku kesal. "Saya tidak bohong, Anda tidak—
"Karena aku tidak punya sihir sama sekali dan batu bertuah sialan yang aku gunakan untuk menarik kekuatanku sudah disingkirkan entah ke mana, itu yang mau kau katakan?!" Di kondisi wajar, mungkin aku akan takut, tapi sekarang, ketika wajahnya berubah pucat akibat mulai kehabisan darah, hanya kejengkelan yang muncul.
"Ya." Aku mengakui, siap menghadapi kemarahannya yang lain. "Karena itu biarkan saya membantu."
Tidak ada lagi sahutan ata penolakan yang keluar. Dia hanya diam dengan napas yang terus terengah, nyaris habis. Darah semakin terkuras dari wajahnya. Napas tersengalnya perlahan melambat dan pendar perlahan memudar dari mata itu sebelum akhirnya tubuh Xerlindar ambruk.
Kedua matanya tertutup rapat.
***
.
A/N:
Judul clickbait sekaleeeeee
Yeahhh, Lazarus Chest suka click bait sebelum click bait is cool!
Percaya atau nggak, ini salah satu chapter yang pas saya edit, rasanya panjang, tapi kok pas diposting .... cuma 3k words ya?
Mungkin aing butuh liburan.
Yak, silakan tinggalkan vote dan komen. Sampai jumpa di chapter berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro