25. Melawan Sang Raja
Sekujur tubuhku bergidik ngeri di bawah senyum ramah hampa yang selalu datang di setiap mimpi burukku itu. Aku pikir didatangi di dalam mimpi adalah yang terburuk, tapi ternyata melihatnya langsung terasa belasan kali lebih buruk.
"Lama tidak bertemu. Kau kelihatan sehat-sehat saja," sapanya selagi mataku melirik belasan pria berseragam hitam berdiri tegap di kanan dan kiri sang pangeran yang telah menjadi raja itu. Warna sihir murni memancar dari tubuh masing-masing dari mereka. Sekilas mereka terlihat mengerikan daripada Oryziel yang tidak menguarkan energi sihir sama sekali dari tubuhnya, tapi aku tahu lebih baik. "Kau pasti lelah setelah banyak membuat kehebohan di stasiun. Bagaimana kalau kau ikut dengan kami dan kita bicara baik-baik?"
Tidak pernah ada kata bicara baik-baik dengan seseorang seperti Oryziel, tapi pilihan yang lain selain menurutinya tidak ada dalam benakku. Kedua tanganku diikat erat.
Kesabaran Oryziel berkurang dalam hitungan cepat sementara para prajurit di sisinya kelihatan semakin tegang, siap menarik senjata di pinggang kapanpun diperintahkan. "Nah, apa kau mau ikut dengan cara baik-baik atau dengan cara kasar?"
Tidak keduanya, mulutku ingin bicara seperti itu, tapi bibirku sudah terlanjur bergetar, tak bisa bicara di bawah tekanan ketakutan akan tindakan apa yang mungkin dapat dilakukan raja baru ini.
Senyum sang raja memudar. Kebengisannya yang tadi tertutup topeng keramahan palsu akhirnya muncul ke permukaan, membekukan sekujur tulang belakangku.
"Tangkap dia." Perintah itu diucapkan dengan nada sama dingin seperti perintahnya tiga tahun lalu. Yang berbeda, tidak ada teriakan penuh kemarahan kali ini, hanya ada perintah dingin dengan ketenangan yang kelihatannya sudah ada di ujung tanduk.
Sengatan dingin yang tak menyenangkan terasa dingin menusuk di kulitku akibat peluh yang menganak sungai. Prajurit-prajurit berseragam hitam di kedua sisi sang raja muda baru saja merangsek maju ketika tiba-tiba darah memancar di udara. Tubuh salah satu dari prajurit itu ambruk bersimbah darah. Lalu menyusul tubuh kedua, ketiga, dan akhirnya terjadi pembantaian.
Aku terhenyak.
Melesat dengan cepat, sosok itu menebas para prajurit dengan mudah, tanpa halangan sama sekali. Suara tebasan pedang dan daging yang tercabik saling beriringan di udara. Satu iaraghi menyala di belakang para prajurit, berselimutkan energi sihir berwarna merah delima bercampur hitam, menghancurkan dinding-dinding tak kasat mata yang melindungi para prajurit itu dalam sekali tebas sekaligus menyayat tubuh mereka hingga para penyihir itu jatuh dan berbaring tak bergerak di tanah dalam lumuran darah mereka sendiri.
Selagi sosok itu menari menebas semua penyihir tanpa ampun, aku hanya mematung di tempat. Oryziel juga hanya mematung, tetap tenang meskipun semua pembantaian itu terjadi di depan mukanya sendiri. Alih-alih gelisah, raja itu malah tersenyum senang, tidak ada niatan sama sekali untuk menolong para prajuritnya yang tewas di depan mata.
Ketika darah berhenti memancar dan suara ayunan pedang berhenti, dua belas penyihir terbaring tak bergerak dengan belasan luka sayatan melintang di tubuh masing-masing dari mereka. Satu pedang terhunus ke dekat leher Oryziel. Tidak terlalu jauh, tapi juga tidak dalam jangkauan untuk menebas lehernya.
Pedang itu membeku di udara, sedikit bergetar tapi tidak bergerak lebih jauh. Mataku bisa melihat bilahnya ditahan pelindung tak kasat mata miik Oryziel yang berdenyut berwarna emas setiap kali menerima perlawanan dari iaraghi yang terhunus ke lehernya. Sihir merah delima yang mengalir di iaraghi itu terlalu redup untuk dapat menembus pelindung sang raja.
Oryziel masih tersenyum, tidak kelihatan gelisah sama sekali meski sekarang hanya tersisa dirinya seorang. Aku memerhatikan dengan seksama, melihat matanya tidak menatapku.
Bola mata hijaunya melirik ke sisi kanan yang kosong. "Kau tahu, menyerang dari belakang itu sama sekali tidak mirip ksatria." Raja baru itu lantas memalingkan separuh wajahnya ke belakang.
"Aku bukan ksatria. Kau seharusnya sudah ingat itu baik-baik." Suara itu menyahut dengan nada dingin yang baru kali ini aku dengar darinya.
Oryziel tertawa pelan. "Aku mengingatnya dengan baik sampai detik ini. Kau memang bukan lagi ksatria."
Raja itu memalingkan separuh tubuhnya ke belakang, memperlihatkan padaku sosok kapten Xerlindar yang menghunuskan pedang ke leher Oryziel, tampak murka. Gelombang sihir dari tubuhnya meliuk-liuk tipis, hampir musnah.
Untuk pertama kalinya aku melihat Yang Mulia Oryziel menyeringai dan itu sama sekali bukan seringai yang bagus untuk diperlihatkan.
"Ada apa? Kenapa kau jadi lemah sekali?" tanyanya dengan nada mengejek. Raja itu menundukkan pandangan, menatap tubuh Kapten. "Ah, apa karena tato ini?"
Mataku turun, melihat tubuh kapten Xerlindar yang dibalut perban berlumuran darah segar. Itu darahnya sendiri. Sihirnya tinggal sedikit dan dia terluka parah. Keadaan Kapten sangat buruk. "Kau masih saja cerewet seperti biasanya."
"Diplomasi itu kemampuan penting bagi raja." Seringai Oryziel berubah menjadi senyum.
Apa ini? Rasanya ada sesuatu yang tidak benar di sini.
Mataku menatap Oryziel dan kapten Xerlindar bergantian, memerhatikan baik-baik sorot mata mereka yang beradu tatap. Itu bukan mata seseorang yang baru saja bertemu. Selain itu, cara mereka berdua saling bicara terdengar seperti saingan lama bertemu kembali. Apa mereka memang sudah pernah beberapa kali bertemu sebelum ini?
Kapten Xerlindar tertawa mengejek, tapi alih-alih terdengar merendahkan, tawanya malah terdengar menyedihkan. Dia benar-benar sedang menahan sakit. "Kau bukan seorang perunding yang ulung. Kau hanya memaksakan kehendakmu pada lawan yang sudah tidak bersenjata, hanya itu diplomasi yang kau miliki, Yang Mulia."
Senyum Oryziel mengembang semakin lebar. "Bisa kau ulangi lagi? Aku suka mendengarmu memanggilku Yang Mulia."
Sihir dari tubuh Kapten semakin sedikit. "Kau semakin memuakkan setelah menjadi raja."
"Mengaku kalau kau iri tidak sesulit itu, kurasa."
Ini tidak bagus. Oryziel sedang mengulur waktu, menunggu luka di tubuh kapten Xerlindar semakin parah. Tidak ada waktu lagi. Aku harus membantu atau minimal lari dari sini agar tidak menjadi potensi sandera empuk.
Kakiku baru saja melangkah ketika mata Oryziel tiba-tiba mendelik padaku. "Bisakah kau diam di sana? Kalau kau bergerak, terpaksa aku akan memotong kedua kakimu."
Aku tidak seharusnya berhenti hanya karena ancaman itu, tapi ketakutan terlalu menguasaiku. Oryziel bukan orang yang hanya mengancam. Dia selalu melakukan ancamannya.
Tapi diam oleh perintah penyihir juga tindakan yang sangat tolol. Baiklah, putar otakmu, Alto. Putar otakmu.
Tanpa menggerakkan sedikit pun anggota tubuh, mataku melirik ke tanah, mendapati iaraghi masih disarungkan di pinggang mayat-mayat itu. Pedang itu memang tidak terlalu berguna di tangan manusia karena bilahnya lebih tumpul dari pedang biasa, terlebih di tangan orang yang tidak tahu cara memegang pedang sepertiku, tapi di saat darurat, aku tidak akan menolak kaus kaki dan beberapa butir kacang jika memang hanya itu senjata yang ada.
Masalahnya, jarak senjata-senjata itu terlalu dekat dengan Oryziel. Tidak mungkin aku bisa mengambil pedang itu sekarang tanpa ketahuan olehnya dan ditebas lebih dulu.
Aku bisa kabur, tapi meninggalkan kapten Xerlindar bertarung dengan satu senjata juga tidak terdengar adil. Sayangnya kesempatan itu masih belum datang. Sekarang masih terlalu berbahaya untuk bergerak. Satu-satunya kesempatanku adalah saat saling serang dan perhatian mereka berdua teralih.
"Kau cukup berani memalingkan muka di saat ada lawan di hadapanmu," Kapten berkata lagi, alih-alih langsung menebas. Tindakan yang cukup aneh, tapi aku langsung mendapatkan jawaban saat itu juga.
Sekali, hanya untuk satu kali, aku melihat matanya melirik padaku, kelihatan nyaris memohon. Dia sedang mengulur waktu bagiku untuk pergi di tengah keadaannya sendiri yang memprihatinkan, tapi aku malah menyia-nyiakan usahanya dengan membeku di sini seperti orang tolol.
Oryziel berpaling pada lawannya lagi, berfokus hanya kepada Kapten. "Aku rasa kau tidak sebegitu pentingnya untuk diprioritaskan." Matanya meneliti penampilan kapten Xerlindar dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Pakaianmu tampak semakin mengesankan dari tahun ke tahun."
Tahun ke tahun? Mereka sudah saling mengenal dalam angka tahun?
Kapten tampak semakin frustrasi. Kedua alisnya bertaut, peluh membanjiri keningnya, dan giginya bergemeretak dalam kemarahan. Dia menekan pedangnya lebih kuat lagi, tapi itu malah membuat sihirnya semakin redup. Dia tidak melirik padaku, tapi bahasa tubuhnya sangat jelas.
Dia menyuruhku pergi dari sini sekarang juga.
Setelah meyakinkan diri bahwa kapten Xerlindar akan menceritakan detailnya di kapal, aku segera fokus hanya untuk lari. Tentu saja aku tidak berniat untuk langsung lari. Aku tidak bisa kembali sendirian tanpa disalahkan dan langsung dilempar ke luar kapal oleh Gillian.
Setelah menarik napas singkat, aku melopat turun dari gerbong yang berhenti dan mendarat di salah satu tubuh yang tidak bergerak, yang terbaring paling dekat denganku. Secepat yang aku bisa, tanganku meraih iaraghi yang masih disarungkan itu.
"Hei." Suara Oryziel terdengar dekat sekali denganku, menghentikan tanganku yang sudah menggenggam gagang iaraghi. "Bukankah tadi aku menyuruhmu untuk diam, Manusia?"
Tidak, jangan berdiam diri karena perintahnya, Alto. Dia penyihir. Saat ini kau bukan budak. Kau tidak perlu menurutinya.
Aku menarik iaraghi itu dan langsung melemparkannya ke arah kapten Xerlindar. Sihir melecut ke arahku. Kilau emas dari gelombang sihir milik Oryziel melesat secepat anak panah. Pedang masih melayang di udara, terlalu jauh dari jangkauan kapten Xerlindar. Tidak sempat. Sihir Oryziel akan sampai kepadaku lebih dulu sebelum Kapten dapat meraih iaraghi itu.
Tiba-tiba, nyaris seperti refleks, bayangan sihir sang raja berhenti mendadak kelihatan begitu nyata di dalam kepalaku.
Dan memang kenyataannya sihir Oryziel benar-benar berhenti.
Gelombang energi dari tubuhku keluar dalam jumlah banyak, membentengi diriku di setiap sudut. Sihir Oryziel berhenti sebelum lenyap sama sekali di udara, tepat sebelum menyentuh wajahku.
Selama satu detik, aku kehilangan kata-kata.
Mata raja baru itu membelalak, sementara kapten Xerlindar berhasil meraih iaraghi itu. Kapten tidak membuang waktu. Ia mengayunkan dua iaraghinya dan menyerang Oryziel. Gelombang energi milikku melesat cepat dan menghancurkan pelindung milik sang raja muda. Namun serangan itu tidak menebasnya seperti yang aku duga. Raja baru itu sudah menarik iaraghi miliknya sendiri dan berhasil menahan serangan kapten Xerlindar sebelum sempat menyentuh lehernya.
Kumanfaatkan kesempatan ini untuk lari ke arah hutan yang membentang.
Tidak ada dari mereka yang menghentikanku. Seakan memiliki pikiran sendiri, gelombang energi milikku bergerak melapisi tubuhku selagi berlari, melindungiku dari serangan sihir yang sempat menyerangku tiga kali sebelum akhirnya mencapai hutan.
Melompat melewati semak, aku segera bersembunyi di balik salah satu pohon ketika memastikan sudah tersembunyi dengan cukup baik dalam bayangan. Aku benar-benar tidak meninggalkannya, seperti keinginan awalku. Sialnya, sama sekali tidak ada niatan untuk berubah pikiran di dalam kepalaku. Sial.
Kuharap kali ini kejadian tiga tahun lalu tidak akan berulang karena ketakutan pada Gillian, segenap awak, dan kehendak nurani sialan yang sialnya kali ini terdengar sangat logis.
"Memberikan kesempatan padanya untuk lari, hm? Kau kelihatan peduli sekali padanya." Nada suara Oryziel terdengar sangat menghina dan merendahkan. "Apa dia salah satu awakmu, Azran?"
Degup jantungku sempat berubah lama dan dalam selama sedetik hingga rasanya dia bersembunyi jauh di dalam rongga dadaku. Azran? Dia memanggil kapten Xerlindar dengan nama Azran? Bukan Xerlindar?
Tidak terdengar sahutan sama sekali dari kapten Xerlindar. Aku berhenti bernapas, berharap bahwa kondisi Kapten tidak semakin buruk, tapi tentu saja itu pemikiran tolol. Aku meninggalkannya dalam kondisi terluka. Jelas saja kondisinya semakin buruk.
"Ada apa? Tidak ada sahutan? Tidak ada hinaan balasan?" Oryziel terdengar semakin senang. Dari balik pohon, aku mengintip, melihat wajah kapten Xerlindar sudah sepucat mayat sementara Oryziel masih kelihatan bugar. Raja itu belum kehabisan napas sama sekali. Senyum kemenangan sudah lebih dulu mengembang di bibirnya. Percuma. Perbedaan kekuatan mereka saat ini terlalu jauh. "Kau kehilangan kata-kata, Azran? Oh ya, aku lupa kau pasti sedang kesakitan setengah mati."
Dia benar. Perban kapten Xerlindar terlihat semakin merah.
Kapten tampak sekuat tenaga menekan Oryziel, tapi sang raja bahkan tidak terlihat menggunakan separuh kekuatannya. Sementara kapten Xerlindar bermandikan keringat, Oryziel sama sekali tidak kehabisan napas. "Kuanggap tato yang dipasang Ayah ini masih saja terasa menyakitkan, hm?"
Tanah di sekitarku seketika bergetar dan runtuh dengan cepat ketika otakku berusaha mencerna satu kata itu.
Dia bilang Ayah?
***
-
A/N:
Satu chap terbaru untuk menemani liburan kalian. Saya sebenernya mau lebih sadis lagi dengan bikin kalian gak bisa tidur sampai tanggal 25, tapi yah, saya lagi berbaik hati di sini, jadi izinkan saya untuk teriak bareng-bareng kalian:
"Aaaaaarggghhhhh!!!!"
Kayak gimana ya chap selanjutnya? Silakan ditunggu. Jangan lupa vote dan komennya. Sampai bertemu di chap selanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro