21. Xerlindar: Penyusupan
"Rencana ini gila."
Sudah kuduga Gill akan berkata demikian ... dan sudah kuduga dia akan tidak setuju pada rencanaku ini.
Gill, dengan wajah kurang ajar dan tanpa hormat sedikit pun, menunjukkan keberatannya terang-terangan di hadapanku. Jika orang lain yang melakukan ini, sudah kubakar dia sampai jadi abu. "Kau tidak lupa bagaimana terakhir kali kau keluar sendirian? Ke Inggris?"
Meski itu alasan yang tepat untuk melawan keputusan ini, aku benci jika dia sudah mulai mengungkitnya. "Kali ini berbeda."
Gill berdecak. "Berbeda apa?"
Tanpa ragu aku mendecih, kesal pada semua keraguan wakilku ini. "Seberapa berbahayanya aksiku kali ini?"
Dia memberengut. "Aku tidak akan menyebut menghadang kereta berisi salah satu tahanan paling mahal di Inggris yang akan dieksekusi mati sebagai kegiatan yang 'tidak berbahaya'."
Aku mengedikkan bahu. "Tidak kedengaran terlalu berbahaya di telingaku."
"Terakhir kali kau ke sini, Oryziel bisa mengendus kedatangan kita. Kali ini bukan tidak mungkin Oryziel sudah mengendus kita juga." Gillian memberikan alasan masuk akal. "Dan sejauh yang aku lihat, dia tidak punya alasan untuk melepaskanmu."
"Dia tidak perlu alasan untuk melepaskanku," sahutku santai.
"Kalau begitu setidaknya bawalah satu orang bersamamu. Melakukan semua ini sendirian sama saja bunuh diri!" hardik Gill.
Giliranku berdecak. "Ada seorang wanita mengejek kemampuanku, Gill. Aku harus memenangkan taruhan ini!"
Pemuda itu melesat. Dalam gerakan cepat yang hampir tidak kusadari, dia menghunuskan bilah tajam pedang ke leherku dengan niatan serius untuk membunuh. "Kali ini, jika kau tidak kembali sendiri, akan kutinggalkan kau, Xerlindar. Pegang kata-kataku."
Senyumku terkembang mendengar tantangan itu tanpa ada maksud meremehkan sama sekali. Gillian adalah orang yang selalu memegang kata-katanya, tidak peduli seberapa mengerikan pun kata-kata itu. Kali ini aku pun tak ragu dia akan melaksanakan ancamannya jika itu perlu untuk menyelamatkan seluruh awak dan seluruh tujuan kami. Benar, memang misi kali ini juga sama berbahayanya dengan tiga tahun lalu, terutama karena aku melakukannya sendirian, tapi senyum ini tetap saja tidak mau hilang.
Mungkin sudah kebiasaanku untuk tersenyum di depan tantangan.
"Sepakat." Aku menjauhkan diri dengan mudah dari bilah tajam pedang miliknya. "Nah, kalau kau tidak keberatan, Tuan Gill, aku harus bergegas." Aku mengumpulkan semua sihir yang bisa ditarik batu bertuah dari tubuhku. Sebisa mungkin aku menyembunyikan urat-urat yang menonjol dan apapun ciri-ciri lain yang menyatakan bahwa aku tengah menahan sakit.
Sihirku dalam jumlah sangat terbatas. Ini bukan hal bagus.
***
Menyelinap sembunyi-sembunyi sebelum menyerang secara langsung tanpa bantuan sihir sudah menjadi keahlianku dari dulu.
Aku selalu senang melihat wajah tegang orang-orang ketika menghadapiku. Seluruh bagian dalam diriku menikmati ketakutan yang bergelenyar di dalam setiap nadi mereka. Ada sesuatu yang membuncah gembira dalam diriku melihat saat warna darah yang memancar ke langit. Ada sekelumit perasaan bahagia ketika mengetahui aku telah berhasil melaksanakan apa yang aku inginkan dengan tangan sendiri tanpa melewatkan untuk memberikan ketakutan besar pada seluruh lawanku yang berhasil bertahan hidup untuk beberapa lama sebelum menyusul temannya yang terbujur kaku di bawah kakiku.
Benci mengakui ini, tapi terkadang pepatah manusia ada benarnya. Roda tidak selalu berada di atas.
Tato sialan ini tidak henti membakar kulitku karena terus berusaha menarik paksa sihir keluar dari dalam tubuh. Sekarang aku tidak bisa melakukan serangan dan teknik yang jadi kebanggaanku. Akibat terbatasnya sihir, aku harus bersembunyi seperti pengecut lebih lama dari biasanya, menunggu saat hingga detik-detik terakhir untuk menyerang agar keberhasilan seranganku maksimal. Di balik bayangan rumah-rumah yang sudah ada sejak sebelum era sihir dimulai, aku bersembunyi.
Dalam diam, aku menunggu target untuk lewat di atas rel besi yang dibangun sepanjang mata memandang, berusaha berhati-hati untuk tidak terlihat tanpa berada dalam naungan sihir sama sekali.
Cara ini menyebalkan dan menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan emosi, tapi hanya ini satu-satunya jalan untuk menghemat sihirku yang terbatas dan lolos dengan selamat dari semua misi yang tampak seperti misi bunuh diri ini. Aku tidak punya pilihan lain selain bersembunyi tanpa sihir karena beberapa penyihir, terutama royalis, sangat peka pada penggunaan sihir tidak wajar pada setiap individu, terutama bila digunakan untuk menyamar atau bersembunyi.
Royalis.
Tiba-tiba saja wajah Alto melintas. Setiap gurat wajah serta sorot yang memancar dalam hijau zamrudnya yang berpendar hidup memperlihatkan satu makna yang jelas: terluka. Dia membenci penyihir dan juga perompak. Sekarang setelah tahu aku royalis juga, tidak ayal dia terluka. Orang yang membelinya ternyata adalah penyihir royalis egois yang bekerja sebagai perompak.
Dibenci bukan hal baru untukku. Itu sudah menjadi hal lumrah. Aku bisa menelan bulat-bulat semua kebencian yang terarah langsung padaku dalam berbagai bentuk. Tapi dibenci oleh manusia satu itu, hanya dibenci olehnya saja yang tidak pernah masuk agenda mana pun.
Pikiran itu menyingkir dari kepalaku ketika suara kereta terdengar di kejauhan. Tubuhku langsung siaga. Kucabut iaraghi dari sarung di pinggangku dan bersiap. Sesuai informasi, kereta yang membawa Carmen lewat jalan ini.
Dengan sedikit konsentrasi, aku berlari melintasi padang rumput. Lokomotif kereta muncul dari ujung terowongan dari arah timur. Dalam hitungan kurang dari tiga puluh, seluruh badan kereta telah keluar dari terowongan, memberitahuku bahwa kereta dalam kecepatan tinggi, persis seharusnya ketika membawa narapidana terhukum mati.
Tampilan kereta besi itu mengerikan dengan seluruh badan berwarna hitam legam dan desain lokomotif lancip sarat prinsip aerodinamis. Panas pembuangan yang keluar dari cerobong yang berwujud asap transparan yang membuat langit bergelombang tampak sangat banyak dengan uap yang tipis, pertanda kereta memang berjalan dengan kekuatan penuh. Tidak ada jendela di sepanjang lorong. Hanya ada dinding dan celah sepit selebar yang dapat digunakan mata untuk mengintip keluar. Terdapat jalan keluar kecil di sepanjang sisi kereta. Ada setidaknya tiga pekerja yang keluar-masuk dari berbagai nomor gerbong kereta serta satu penjaga yang mengawal bagian belakang kereta.
Ciri-cirinya cocok.
Belajar dari pengalaman, serangan dari atas adalah serangan paling efektif jika menyerang target yang bergerak. Sedikit berbahaya karena risiko target akan memberontak hebat, tapi dibanding menyerang dari depan ataupun samping, cara ini lebih mudah. Hanya tinggal lumpuhkan seluruh penjaga yang ada di luar dan penyusupan akan dengan sukses dilakukan.
Ketika ekor kereta tiba di depan mata, tanpa ragu aku melompat ke atas gerbongnya dan melumpuhkan satu penjaga yang bersiaga di sana.
***
Darah membanjiri tanganku ketika pedang milikku menggorok leher tentara terakhir. Setiap bagian tanganku bisa merasakan dengan jelas ketika bilah pedang ini memotong nadi mangsanya dan membiarkan darah yang tersimpan di sana mengalir keluar. Tubuh penjaga itu jatuh. Yang terakhir telah tumbang.
Namun di kejauhan, mayat salah satu penjaga yang telah kulumpuhkan mulai bergerak. Sepertinya aku belum benar-benar membunuhnya. Dengan tenang, aku menghampiri tubuh sekarat itu dan menghunuskan pedang.
Tanganku membeku di udara di hadapan sepasang mata yang mendelik marah itu.
Tidak ada mata dari dunia ini yang terlihat seperti itu. Warna putih matanya digantikan oleh warna emas. Tidak ada iris, hanya ada pupil hitam vertikal tipis seperti celah yang mengintip dari balik tirai di tengah-tengah mata, menjadikan ukuran mata itu tampak dua kali lebih besar dibanding ukuran sebenarnya.
Jadi rumor itu benar.
Dengan cepat, aku mengayunkan pedang, memutuskan kepala itu dari tubuhnya dalam sekali tebas. Darah yang menggenang di kakiku jumlahnya semakin banyak. Seharusnya tubuhku setenang patung di hadapan genangan darah ini dan seharusnya warna merah itu tidak memberikan dampak apapun padaku.
Namun pada kenyataannya, sesuatu di dalam tubuhku bergelenyar. Bau amis darah berangsur-angsur memudar. Sesuatu di dalam otakku tidak lagi menganggap baunya memuakkan.
Baunya perlahan menjadi manis.
Aku melangkahi beberapa mayat, memutuskan untuk melihat ke celah tipis yang terhubung langsung ke luar. Di luar, bangunan-bangunan tinggi khas kota London menutupi sebagian langit yang membentang. Langitnya masih biru dan awannya pun masih putih. Tidak ada yang aneh, tapi aku tahu ada yang tidak beres. Aku bisa merasakannya.
Ini tidak bagus. Tidak hanya di Hindia-Belanda dan Prancis, tapi di sini pun sama.
Aku berlari melintasi gerbong penyimpanan senjata, gerbong penyimpanan bahan peledak, dan gerbong berisi puluhan ranjang kosong sebelum akhirnya tiba di gerbong yang pintunya tertutup. Sepertinya ini gerbong tahanan ditempatkan. Tanpa buang waktu, aku menyentuh kenop pintu kereta.
Dan langsung berhenti.
Seluruh tanganku bisa merasakannya.
Kenopnya sudah diakali. Mataku melirik tirai jendela yang tertutup rapat. Berpikir cepat, aku mengayunkan tangan, menciptakan aliran angin kecil yang mengalir masuk melalui celah pintu antar gerbong. Sihirku menyibak tirai yang tertutup, mempelihatkan isi dalam kereta kuda yang kosong tanpa ada satu pun orang di dalamnya.
Hanya ada sekumpulan pasak yang digulung, menggantung di tengah-tengah gerbong.
"Sial!"
Dalam sekejap mata, semburat cahaya putih memenuhi seluruh pandanganku.
***
Bunyi ledakan itu menggema ke seluruh jalanan kota London. Sembilan gerbong kereta uap meledak di tengah rel. Api menyala-nyala dan asap membumbung tinggi dengan cepat.
Namun tidak ada yang terbakar. Tidak ada asap yang mengalir ke udara. Tidak ada gelombang kejut. Tidak ada pasak yang terlempar bagai ratusan anak panah ke berbagai sudut sebagai serpihan bom. Semua efek ledakan tertahan di udara dalam kubah transparan yang mengurung semua asap dan api dari membumbung tinggi mengotori udara di kota London.
Setidaknya ada enam belas tentara di tempat meledaknya kereta, di depan salah satu gudang milik Serikat Tambang yang tidak lagi digunakan.
"Pastikan tidak ada yang kabur!" Salah satu tentara itu berseru, memenuhi dugaanku bahwa semua ini sudah diatur.
Dari balik bayangan salah satu gedung, aku mengamati kejadian tak jauh dari tempatku berdiri. Hampir saja aku kehabisan waktu. Aku mendecih kesal merasakan sekujur tubuhku terasa akan meleleh dalam panas yang tidak bisa pergi ini. Menunduk, perban yang melilit tubuhku mulai berubah merah. Tato sialan ini mulai berdarah lagi.
Napasku tersengal. Gelenyar sihir hampir hilang dari darahku.
Tak mau membuang-buang waktu, aku segera berlari menjauh dari ledakan. Menjauh dari para tentara adalah prioritasku saat ini. Tapi membawa tubuh tubuh terluka parah dan dalam kondisi sihir hampir lenyap juga bukan perkara mudah. Keberadaan tentara-tentara itu dan meledaknya kereta di gudang di wilayah Serikat Penambang hanya bisa berarti satu hal.
Aku sudah termakan jebakan bulat-bulat.
Berusaha berbaur dengan keramaian di jalan, aku melintasi alun-alun timur kota London, menuju tempat kedua yang ada dalam pikiranku. Mungkin Carmen masih ditahan di sana.
Di tengah jalan, aku memicingkan mata melihat beberapa mayat masih digantung di tiang gantungan. Kondisi tubuh itu kurus dan pembusukan sudah mulai terjadi, tapi tidak ada bau busuk karena tubuh-tubuh tak bernyawa itu sudah dilumuri tar.
Pemandangan menyedihkan itu dikelilingi kemeriahan yang tidak pada tempatnya. Di berbagai tiang rumah, masih kulihat selebaran berwarna merah menyala terang: warna kebesaran kerajaan Inggris dari masa lalu sebelum era sihir dan terus dipertahankan oleh kami sampai sekarang. Di setiap bendera itu tertera tulisan yang dirajut dari benang emas dan berbunyi sama untuk setiap bendera.
PANJANG UMUR SANG RAJA
Sesuatu menusuk lambungku melihat tulisan itu. Meski karakter dalam huruf itu tidak memiliki wajah, aku merasa mereka semua sedang menjulurkan lidah dan mencibirku terang-terangan.
Ketika aku sadar, derap lari itu sudah ada terlalu dekat di belakang.
"Itu dia! Tangkap orang itu!" Sekelompok orang setidaknya terdiri dari dua belas individu dalam balutan seragam merah tentara kerajaan Inggris berlari dengan kecapatan penuh ke arahku.
Berlari lebih cepat, aku menembus keramaian jalanan dengan buru-buru, melawan arah orang-orang yang sedang berjalan, dan seenaknya menyikut semua orang yang menghalanngi. Ledakan tadi sudah berhasil mengundang lebih banyak tentara untuk berpatroli dan mencari pelaku yang memicu ledakan dalam kereta.
Mengalirkan sedikit sihir ke tanah, aku memijak tanah kuat-kuat dan melompat ke atap salah satu rumah. Belasan peluru sihir melesat ke arahku. Sambil menghindar dari semua tembakan berbahaya itu, aku berlari dan melompat dari satu atap ke atap yang lain. Ketika tidak ada lagi bangunan untuk tempat mendarat, aku terjun dan meraih salah satu bendera untuk mendarat dengan mulus di atas mobil yang melaju cepat. Di belakang, para tentara belum juga menyerah. Mereka masih menembakkan peluru sihir yang dengan mulus menembus keramaian, mengejar hanya satu target.
Di kejauhan, di antara rumah-rumah yang menjulang, aku melihat istana Buckingham berdiri dengan kokohnya. Jika Carmen tidak dibawa melalui kereta hari ini, dan kereta yang seharusnya dinaiki wanita itu malah dipalsukan dan dijadikan jebakan untuk membunuh siapapun yang diduga akan datang menolongnya, tinggal satu kemungkinan besar yang tersisa.
Diam-diam, aku tersenyum sinis. Mataku terus terpaku pada istana kenegaraan itu, seakan ada yang juga sedang membalas tatapanku dan memberikan senyum sama sinisnya.
"Kau benar-benar ingin aku menemuimu secara pribadi, ya, Ziel?" gumamku.
Turun dari mobil, aku berlari menembus keramaian lalu lintas, menghentikan secara mendadak belasan mobil dan motor yang melaju kencang, membuat mereka membanting stir dan mengerem hingga ban-ban hitam mereka berdecit di jalanan. Aku berlari menyusup ke jalanan kecil di seberang perempatan jalan yang kutahu merupakan jalan tercepat ke istana Buckingham.
Tetapi aku tidak pernah mengira akan melihat bayangan melesat di depan mata.
Mataku terpaku pada bayangan itu, bayangan yang berpindah cepat di antara rumah-rumah penduduk, tak diperhatikan karena keributan yang aku buat dengan para tentara.
Bisa saja itu orang lain. Benar, bayangan sosok bertudung itu bisa siapa saja, bisa saja pencuri atau perampok yang sedang berlari dari kejaran scotland yard—polisi kerajaan Inggris—tapi rambut merah yang mengintip dari balik tudung kusam mirip karung tepung gandum itu tidak akan menipuku.
Berbelok, aku memutuskan untuk mengejar sosok bertudung itu.
Sekali lagi aku menggunakan sihir dan melompat ke atap bangunan, berlari ke arah yang berlawanan dengan bayangan mencurigakan itu. Tanpa sihir, aku melompat ke atap yang lain. Langkahku sempat berhenti satu detik ketika beberapa peluru sihir hampir menembus kepalaku. Di bawah, kuperhatikan bayangan itu berlari semakin cepat. Kelihatannya ia menyadari ada tentara juga. Aku berbelok ke kanan. Tanpa ragu, aku melompat dan mendarat di hadapan sosok mencurigakan itu.
Sepasang mata coklat karamel menatapku dari balik tudung itu. Bibirnya yang pucat sempat membeku beberapa detik sebelum disadarkan oleh suara derap kaki para tentara yang mendekat. Aku bergerak cepat dengan membekap mulutnya dan menarik sosok itu ke balik tempat sampah dan bersembunyi. Sayang para tentara itu tidak menyerah. Mereka juga memeriksa jalan tempat kami masuk.
Tidak ada waktu bersembunyi lagi.
Aku segera mencabut pistol dari sarungnya. Melepaskan sosok itu, aku keluar dari tempat persembunyian dan langsung menembaki para tentara. Sialnya, para tentara itu lebih dulu melindungi diri. Peluruku dimentahkan dengan mudah oleh tameng tidak terlihat di sekitar tubuh mereka. Pria-pria tolol itu sudah terlebih dahulu senang. Jengkel oleh senyum pongah di wajah mereka, kupaksakan diri untuk menggunakan sedikit sihir lagi dan memusatkannya ke tangan kanan. Dalam sekali ayun, sihirku menghancurkan pelindung mereka. Rasanya seperti baru saja memecahkan kaca sampai berkeping-keping, meski kenyataannya tidak ada serpihan yang berceceran.
Para tentara itu kelihatannya sadar pelindung tak kasat mata mereka sudah musnah. Tak membuang kesempatan, sekali lagi aku menembak. Kali ini kena.
Tanpa kuduga, ada sosok lain yang menerjang dari belakangku. Sosok bertudung itu merangsek maju dan langsung menikam seluruh tentara yang tersisa dengan sebilah pedang. Bagai bayangan, gerakannya yang gesit tidak bisa diantisipasi oleh para tentara. Sosok itu berhasil menikam enam tentara pria dalam hitungan detik. Kutembak tentara terakhir yang menerjang dari arah belakang sosok itu.
Dengan napas tersengal, kami berdua berhenti sejenak. Mata karamel itu sekali lagi menatapku sebelum menyibakkan tudung yang menutupi kepalanya. Rambut merah bergelombang menyeruak dari balik tudung itu. Beberapa bagian wajahnya memar dan berdarah, tapi secara keseluruhan dia masih utuh. Ekspresinya masih sekeras batu, menampilkan tekad serupa bara api yang memiliki warna persis rambutnya. Bibirnya yang penuh sama sekali tidak membentuk senyum.
Sepertinya penjagaan penjara di Inggris sedikit melonggar. Dia terlihat sehat-sehat saja. "Senang melihatmu masih utuh secara fisik dan mental, Carmen," sapaku santai.
Wanita itu tampak mual mendengar suaraku. "Kau terlambat," sapanya dingin. "Jadi taruhan kita tidak berlaku lagi, Xerlindar."
Kuberikan senyum masam padanya. "Aku tidak ingat kita menyepakati batas waktu, Nona Augusta," sahutku. "Dan seingatku, bunyi taruhannya adalah, jika aku berhasil membantumu seorang diri tanpa bantuan satu pun awak, kau akan berhutang budi padaku. Terlepas dari masalah waktu, seharusnya perjanjian tetap perjanjian, Sayang. Dan aku masih memenuhi kriterianya."
Wanita itu tidak menjawab, namun wajahnya menyiratkan ancaman ketika aku memanggilnya 'Sayang'. Dia selalu benci ketika aku memaggilnya seperti itu. Tapi kemudian, dia tidak bicara apapun, dalam diam mengakui bahwa aku telah menang adu mulut.
"Jadi ... apa jawabanmu?" tuntutku.
Carmen menjawabnya dengan jelas. Dia menyerangku dengan pedangku sendiri. Sayang, sebelum bilah tajam pedang itu menyentuh leherku, aku sudah lebih dulu membentengi diri dengan pucuk pistol yang masih ada di tangan. Mata karamelnya menatapku tajam.
"Jawabanku: kita pergi dari sini sebelum aku ditangkap lagi, Xerlindar. Kalau sampai aku tertangkap lagi dan harus mendengar ocehan tak jelas para sipirnya, satu huruf saja, perjanjian kita batal," kecamnya.
Menyeringai, aku mengangkat topi imajiner dari atas kepala dan sedikit membungkuk di hadapan wanita itu. "Apapun yang kau mau, My Lady."
Dengan gerakan cepat, Carmen menarik pedang itu dari leherku dan mengembalikan senjata tajam itu ke tempatnya yang seharusnya: pinggangku. Setelah menggeram kesal, wanita itu mengambil jarak satu langkah dariku.
"Jadi, di mana kapalmu?" tanyanya dengan nada menuntut.
***
Meski harus menempuh perjalanan pulang juga dengan berlari ke berbagai jalan kecil dan merapat di dalam bayangan, setidaknya kami berhasil pulang dalam keadaan utuh tanpa tambahan luka apapun. Carmen menatapku bingung ketika tidak melihat satu pun kapal di udara. Hanya ada awan dan langit biru.
"Tolong katakan kapalmu sedang dilapisi sihir." Ia memberengut.
"Tentu saja, Carmen. Masih ada cukup banyak sihir di tabung penyimpanan untuk mengaburkan kapalku selama dua malam ke depan," jawabku bangga.
"Itukah alasan kenapa tubuhmu banyak mengeluarkan darah?"
Sekarang setelah dia mengingatkannya, rasa sakit yang sedari tadi kuabaikan, mulai terasa tidak enak. Kepalaku menunduk, mencoba mengecek seberapa parah keadaannya dan langsung terdiam. Hampir seluruh perbanku sudah berwarna merah. John tidak akan menyukai ini. Lukaku parah dan sihir di dalam darahku benar-benar hampir habis. Mungkin hanya bisa menggunakan sihir dua sampai tiga kali lagi. Jumlah yang cukup untuk memindahkan Carmen dan rombongan dokter John nanti.
Sambil menahan sakit, aku menyelimuti tubuh Carmen dengan sihir. "Kuharap kau tidak lupa caranya mendarat," ucapku sebelum mementalkannya ke arah kapalku, tepat lima puluh yard di arah jam dua.
Setelah melihat sosok Carmen menghilang secara ajaib di langit, aku mengembuskan napas lega. Sekarang tinggal menunggu rombongan Alto dan dokter John.
"Kapten!" Aku berbalik, melihat Gus berlari ke arahku. Dia sendirian.
Firasat buruk langsung menghantamku. "Ada apa?" tanyaku, langsung siaga. "Kenapa kau kembali sendirian?"
"Dokter John dan Will, mereka ada di belakang, tapi Alto, dia ...." Gus tampak ketakutan dan mencoba memalingkan mata dariku, tapi tidak bisa.
Sebaiknya dia tidak memalingkan mata atau akan kucungkil matanya keluar saat ini juga. "Apa yang terjadi padanya?"
Dengan gugup, Gus menatap mataku ketika jawaban itu keluar dari mulutnya. "Alto hilang, Kapten."
***
A/N:
Update, karena saya lagi baik, kesal, senang, dan marah di saat yang sama.
Saya gak mood mau ngapa-ngapain dan mumpung saya lumayan kangen megang leppi, yasudah saya update saja.
Ketahuan sekali kalian bosan sama chap sebelumnya karena gak ada yang komen. Hahaha.
Mau apa lagi? Saya harus menjelaskan sedikit sihir dan hukum yang bekerja di dunia ini dan bab kemarin adalah momen yang pas untuk menjelaskan. Sekarang, kita kembali ke tempo. Kembali ke cerita utama dan langsung lewat sudut pandang kapten kesayangan kita semua.
Dengan ending yang khas saya juga.
Apa? Apa yang terjadi sama Alto? Tunggu chap selanjutnya.
Dan mumpung saya mau pindahan, mungkin chap selanjutnya ... bakal agak lama. Kecuali ada komen yang bikin saya seneng. Hahaha (sekali-sekali egois, boleh kan?)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro