Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Kembali ke Inggris

Dokter John meninggalkanku termenung sendirian di ruangannya. Rohku meninggalkan raganya, menyisakan wadah kosong yang terus berpikir keras.

Tubuhku kembali gemetar. Keringatku bercucuran. Kemeja di tanganku tak lagi halus akibat dicengkam kuat oleh tanganku yang gelisah. Jantungku bertalu-talu kencang hingga detaknya menutupi pendengaranku. Leherku seperti disumbat buntalan jarum.

Inggris. Kata itu berulang berkali-kali di dalam kepalaku seperti putaran piring hitam yang rusak.

Tiga tahun lamanya aku berhasil lari, lalu sekarang aku dibawa oleh kelompok perompak terkenal yang seenaknya membeliku untuk kembali lagi ke Inggris.

Dokter John bilang ini tujuan mereka. Inggris adalah tujuan mereka.

Kenapa Inggris? Apa sebenarnya tujuan mereka? Pertanyaan itu menancap kuat di akar kesadaranku. Mungkin sampai kapan pun aku tidak akan mendapat jawabannya sebelum waktunya sudah terlalu terlambat. Apakah tujuah mereka ke sini untuk menyerahkanku ke Serikat? Menjualku? Tidak, belum tentu itu jawabannya. Mungkin ada yang lain. Tapi apa?

Bangkit dari kasur, aku melangkah mendekati jendela yang terbuka. Getaran samar dari mesin kapal yang beroperasi terasa di lantai yang diinjak oleh kaki telanjangku. Mataku menatap hamparan awan dan langit biru yang membentang luas hingga ke cakrawala yang tidak terlihat. Langit cerah yang sama di belahan dunia manapun ini, sekarang terasa berbeda.

Ini langit Inggris, langit dari negara yang menuduhku berkhianat karena menolong satu perompak, langit dari negara yang sekarang dihuni makhluk nonmanusia yang berkuasa penuh tirani, negara dengan banyak Serikat yang menaungi banyak manusia yang putus asa dan ketakutan dalam ancaman sihir majikan mereka yang tidak bisa dilawan. Ini negaraku. Tapi itu dulu. Kembali ke sini sama saja bunu diri, itu pun jika aku memang dijadikan buronan, tapi kemungkinan budak tak berarti sepertiku menjadi buronan adalah satu banding seribu kemungkinan. Biar begitu, seluruh pikiran dan tubuhku dikuasai paranoid yang tak berkesudahan karena caraku pergi dari negara ini hampir seperti buronan kabur dan bayangan pangeran Oryziel yang marah masih melekat kuat.

Bayangan Ayah, Ibu, Lizzy, dan semua yang hilang dariku melintas, datang dan pergi. Lalu aku teringat sesuatu yang selama tiga tahun ini seakan lenyap.

Edward dan Suri.

Apa kabar mereka selama tiga tahun ini?

Rasa bersalah menusuk-nusuk lambungku. Mendadak saja aku merasa seperti pengkhianat, tega melupakan mereka selama tiga tahun dan seenaknya bersembunyi di Tortuga. Jika aku bisa menemukan mereka, mungkin aku bisa mengajak mereka kabur bersama. Aku bisa mengucapkan selamat tinggal kepada kelompok perompak ini dan melarikan diri bertiga bersama sahabat-sahabatku, jauh dari semuanya, perompak maupun penyihir.

Itu pun kalau mereka masih hidup, sebagian diriku yang lain mengingatkan.

Digentayangi berbagai pertanyaan dan berbagai kemungkinan yang simpang siur, aku berhasil membulatkan tekad. Segera kupakai pakaian yang diberikan dokter John dan beranjak keluar ruangan, berderap menuju arah sama yang dituju seluruh awak yang lain.

***

Di aula utama, semua orang berkumpul. Ekpsresi mereka semua serius. Tidak ada satu pun yang bingung, seakan sudah tahu apa yang akan dilakukan hari ini. Di pinggang masing-masing awak, bertengger dengan santai berbagai jenis senjata mulai dari pedang, pisau, pistol, hingga senapan laras panjang yang tidak repot ditutupi, seakan berjalan di muka umum dengan senjata itu di pinggang sudah jadi hal biasa dan mereka tidak akan ditangkap karenanya.

Satu ironi menamparku keras-keras di wajah. Aku belum mempunyai senjata apapun. Aku, dengan rencana segudang di otak, tidak memiliki senjata apapun untuk melindungi diri selain kacamata pelindung ini. Bagus sekali, Alto.

Di kejauhan, mataku menangkap sosok tuan Hoggs menguap lebar di antara kerumunan awak lain. Berjalan menembus kerumunan, aku menghampiri tuan Hoggs dan langsung mendapat pelototan tidak bersahabat darinya.

"Tidurmu nyenyak, Nak?" tanyanya ketus.

Aku memilih untuk tidak membalas pertanyaan yang itu. "Maaf saya tidak ada di tempat ketika jam jaga malam, Sir."

"Yeah," dengusnya kesal. "Sama-sama, berkat kau aku sama sekali tidak tidur semalam dan stok kopi Peru kita habis!"

Baiklah, ternyata kata maaf tidak ada gunanya. Setidaknya aku sudah mencoba dan tidak lupa kutambahkan catatan, lain kali jika ingin meminta maaf, aku harus membeli kopi Peru. Itu pun kalau aku punya uang.

Yah, aku tidak terlalu banyak berharap karena bentuk kopi Peru pun aku tidak tahu seperti apa.

Satu tepukan mendarat di punggungku yang terluka. Lagi.

Aku berbalik dengan jengkel, langsung memelototi Will yang memamerkan senyum jenaka. Pemuda itu cukup peka dengan gelapnya ekspresiku saat ini sehingga senyum jenakanya langsung lenyap, berganti ekspresi penuh penyesalan, sedetik terlambat menyadari kesalahan yang baru saja diperbuatnya.

"Ups, maaf. Lagi." Masih saja tidak ada penyesalan di dalamnya.

Selagi menggerutu dalam hati, mata Will meneropong seluruh tubuhku, mengamati mulai dari kacamata yang aku pakai di atas kepala, turun ke rambutku yang sangat pendek dan acak-acakan, kemeja putih, rompi hitam, celana hitam yang aku kenakan, hingga sepatu bot yang menutupi kakiku yang sebelumnya telanjang. "Penampilanmu tak buruk." Kemudian ia mendongak, mendongak ke arah kiri atas kami. "Psst, Kapten akan bicara!"

Memangnya dia pikir siapa yang mengajakku bicara lebih dulu?

Kepalaku berpaling ke arah yang sama dengan semua orang. Kepala kami semua mendongak, menatap satu arah di atas kami, di tempat seorang pemuda berdiri tegap di belakang balkon. Dari bawah, sosoknya tampak gagah, tak terlihat seperti orang yang baru saja bertarung habis-habisan semalam. Alis matanya bertaut, bibirnya tidak membentuk senyum. Selagi ia berdiri, Gillian tidak terlihat di manapun.

"Sesuai yang kita rencanakan, tim pertama akan dipimpin olehku bergerak ke penjara London." Penjara London? Mau apa kita ke Penjara London? "Tim kedua akan dipimpin oleh dokter John dan akan pergi ke utara. Tuan Gill akan memimpin selama aku tidak ada. Bubar!"

Selagi semua orang menyebar ke berbagai arah, aku hanya diam mematung di tempat. Pandanganku beredar ke berbagai arah dengan linglung, bingung harus apa. Tidak ada yang memanggilku. Tidak ada yang butuh bantuanku. Kapten beranjak turun dari balkon lantai dua tepat menuju kami yang hilir mudik seperti segerombolan nyamuk yang baru diusir. Berbeda denganku, Will berlari ke satu arah pasti. Tuan Hoggs tampak melangkah ke lorong yang menuju ruang mesin. Berpikir kalau mungkin aku tidak ditugaskan ke mana pun dan karena Kapten sudah memercayakanku pada tuan Hoggs, aku berjalan ke arah yang sama dengan pria tua itu. Kacamata pelindung sudah menutupi mataku ketika tarikan itu menahanku di tempat.

Bagai ikan yang kena kail pancing, dengan kerah kemeja yang ditarik ke atas dan kaki yang setengah melayang, aku ditarik dari dekat ruang mesin.

"Oh, tidak, Greenie, kau tidak akan pergi ke arah sana." Will, penarikku yang baik hati, bicara. "Kau ikut denganku di tim dua. Kapten memerintahkannya begitu."

Sambil menekan semua kejengkelan karena tidak diberitahu apapun, aku diam saat diseret oleh Will. Beberapa kali kakiku terpeleset di lantai dan nyaris terjerembab karena tidak terbiasa berjalan mundur dalam keadaan setengah melayang karena perbedaan tinggi kami, apalagi dalam keadaan ditarik.

"Tim kedua berisi siapa saja?" Aku bertanya.

"Aku, kau, Dokter, dan Gus."

Sedikit sekali. "Hanya empat?"

"Tidak boleh ada gerakan mencolok." Aku mendengus ketika Will berkata demikian. Tidak melakukan gerakan mencolok? Lalu tiga tahun lalu itu kenapa mereka menyulut huru-hara besar-besaran di seluruh London? Lagipula perompak mana yang bergerak tidak mencolok di dalam kota?

"Apa kau tidak tahu seberapa ketat pengamanan di Inggris?" sambungnya. Sejujurnya, aku tidak tahu. Will sepertinya sudah bisa menebak jawabanku sampai dia memutar bola mata dengan kesal. "Kita hanya bisa mendekat dalam jarak lima puluh yard, berada beberapa yard dari batas udara terluar negara Inggris. Selagi kita berada di wilayah bebas negara manapun, tidak ada yang berwenang menangkap kita. Lebih dari itu, jika mendekat, semua turret sihir akan menembaki kita tanpa ampun dan alarm akan berbunyi nyaring. Dalam sekejap, kita akan berada di penjara."

Itu penjelasan yang akan sangat mengerikan, jika sada tidak ada yang terasa janggal dalam penjelasan itu. "Bagaimana kita ke London jika kita terpisah lima puluh yard dari pantai Inggris?"

Will menyeringai. "Kau akan lihat nanti."

Seringaian seperti itu tidak pernah membuatku merasa lebih baik. "Apa tugasku nanti?"

"Hanya menemani kami," jawab Will santai. "Tugas kita tidak seberat tim pertama. Kita hanya disuruh mengumpulkan informasi." Will lantas melepaskan kaitannya pada kemejaku. Dokter dan pria bertubuh kekar yang bernama Gus—berdasarkan bisikan Will satu detik lalu ke telingaku—sudah menunggu kami.

Mataku terpaku pada pakaian dokter John. Pakaian pria tiga puluhan tahun itu sudah berganti. Dia tidak lagi memakai jas putih, hanya kemeja putih pendek seperti milikku dibalut rompi kulit coklat yang memiliki setidaknya enam saku. Kakinya diselimuti celana katun hitam dan sepatu berkuda yang solnya masih sangat tebal. Sebuah tas kulit jinjing berwarna hitam tersampir di salah satu bahunya. Sekarang ia kelihatan seperti pendaki gunung yang siap berkubang di lumpur alih-alih dokter yang bekerja di belakang meja dan selalu bersih.

Sadar kalau dokter John tahu aku perempuan, aku segera berhenti mengamatinya. Hal terakhir yang aku inginkan di kapal perompak adalah seorang pria paruh baya yang mengira aku tertarik padanya. "Ke mana kita akan pergi?" Aku bertanya pada siapapun yang bersedia untuk menjawab.

"Sebuah desa kecil di London, Tuan Alto," Kali ini dokter John yang menjawab.

Desa kecil di London? Tunggu, kenapa aku langsung terpikir Netherfield? Ah tidak. Mungkin hanya kebetulan saja. "Desa kecil?"

"Ya," dokter John memeriksa tas jinjing yang dibawanya untuk terakhir kali sebelum mengangguk puas. Dokter John memamerkan senyumnya padaku. "Desa kecil bernama Netherfield."

***

Jika otakku punya roda gir, roda itu pastilah sekarang sedang macet.

Netherfield.

Tidak hanya London, tidak hanya sebuah desa kecil di London utara, tapi benar-benar Netherfield, desa tempatku menghabiskan masa kecil, salah satu desa yang diserang oleh para penyihir pada gelombang pertama perang sihir lebih dari lima tahun lalu dan desa yang seharusnya kini hanya tinggal puing-puing mati.

Mau apa mereka—atau lebih tepatnya, kami—ke Netherfield?

"Hei!" Will menepuk punggungku keras-keras. Lagi. Tapi kali ini aku tidak kesal, sakitnya bahkan tidak terasa. Aku menoleh, menatap Will yang balas memandangku heran. "Baiklah, kau menakutiku. Kau tidak apa-apa? Kenapa dari aula utama kau terus-terusan pasang wajah tolol seperti itu?"

Sesungguhnya, aku juga tidak tahu jawabannya. Apa aku baik-baik saja? Kami akan kembali ke desa kampung halamanku, desa tempat kedua orang tua dan adikku tewas secara mengenaskan di tangan para penyihir.

Aku rasa jawabannya tidak. Aku tidak baik-baik saja.

Di atap kapal Black Mary, berdiri bersama Gus, dokter John, Will, Kapten, dan Gillian yang mengawasi seperti induk elang di belakang, aku merasa sangat lucu. Meski angin dingin dari ketinggian menerpa tubuh kurusku tanpa ampun, seluruh tubuhku tetap bergeming. Kulit dan rambutku yang ditiup angin sama sekali tidak merasakan dingin. Dadaku tidak terasa sesak meski berada di bawah tekanan semua bebat dan tekanan air yang rendah. Tubuhku berubah menjadi sekaku patung dan yang ada di pikiranku hanya: "Kami akan pergi ke kampung halamanku."

Apa itu terdengar baik-baik saja? Tidak, aku sepenuhnya yakin, aku tidak baik-baik saja.

"Ya." Suara yang keluar dari mulutku begitu kaku seakan pita suaraku terbuat tidak lebih dari pengeras suara sumbang yang sudah terlalu tua. "Aku tidak apa-apa."

"Kalau begitu bersiaplah. Kapten akan segera memindahkan kita." Menyadarkan diri, aku bolak-balik menatap Will yang sudah memakai kacamata pelindungnya sendiri dan kapten Xerlindar yang berdiri di belakang kami.

Panas asing itu menjalar di tulang belakangku. Pemandangan di depan mataku berubah penuh warna. Dari tubuh kapten Xerlindar, mulai keluar sulur-sulur merah delima bercampur sulur lain berwarna hitam pekat. Aku berbalik memunggungi kapten Xerlindar, berdiri dalam posisi persis sama seperti Will, Gus, dan dokter John, bersiap seperti kata Will, meski aku tidak tahu bersiap untuk atau dari apa.

Tiba-tiba saja tubuhku melesat cepat ke tegak ke atas seperti meriam yang ditembakkan tegak lurus ke langit. Di sebelahku Will bersorak kegirangan sementara dokter John dan Gus memasang sikap tenang. Di sekeliling kami, mataku melihat sulur-sulur merah delima milik kapten Xerlindar meliuk-liuk dengan cepat membentuk kepompong tipis yang membungkus kami berempat. Tidak hanya sulur-sulur terang itu yang terlihat, tapi juga bentuk sihir lain: sihir berbentuk asap merah.

Sihir hitam. Ada dua sihir yang menyatu di udara.

Dengan cepat, kami meluncur semakin tinggi dan semakin tinggi hingga menembus beberapa awan yang meninggalkan bekas basah di pakaianku yang segera kering oleh tiupan angin. Sesak oleh ketinggian, aku mencoba melihat pemandangan di bawah.

Tidak terlihat apapun.

Sekali lagi kami diluncurkan oleh ketapel tak kasat mata. Dorongan kuat melontarkan tubuh kami ke depan, menukik perlahan namun pasti ke tanah, meluncur secepat anak panah menuju tujuan kami entah di mana di bawah sana. Mataku menutup, terlalu takut untuk melihat. Angin menerpa wajahku dan bibirku bergetar dalam ketakutan.

Demi Langit dan Bintang, aku belum pernah jatuh dari ketinggian setinggi ini.

"Buka matamu, Alto!" Terdengar suara Will menjerit di sebelahku. Awalnya aku enggan, tapi pada akhirnya dengan enggan, aku membuka mata yang entah sejak kapan menutup padahal aku mengenakan kacamata pelindung.

Daratan hijau sudah berada terlalu dekat denganku.

Memekik panik, seluruh anggota tubuhku bergerak dalam gerakan tak keruan. Tangan dan kakiku meraih-raih udara kosong, berusaha mencari pegangan yang tidak pernah ada. Aku tidak siap untuk mendarat dan akibat dari ketidak siapan ini sudah jelas.

Aku jatuh terjerembab beberapa kaki di tanah ... dengan wajah mendarat lebih dulu.

Tanah dan kerikil terasa menggores siku dan lututku selagi tubuhku terseret. Kesal dan malu bercampur aduk jadi satu. Posisiku pasti memalukan sekali sekarang. Tanahnya memang empuk sampai tidak ada hidung yang patah ketika menghantamnya, tapi untuk beberapa alasan, rasa sakitnya lebih buruk dari mematahkan hidung. Selagi berusaha bangun dan membetulkan letak kacamata pelindungku yang melorot hingga ke pangkal hidung, terdengar kikik tawa di belakang. Aku menoleh dengan marah, mendapati tiga pria yang menjadi rekan seperjalananku tertawa terbahak-bahak.

"Well, itu pendaratan paling mulus yang pernah kulihat!" Gus terkekeh. "Lebih buruk daripada kau, eh, Will?"

"Aku tidak terseret dengan wajah mendarat lebih dulu, Gus." Will ikut terkekeh. "Yang ini rekor baru dan gaya baru."

Dokter John, pria dengan tawa paling pelan di antara mereka bertiga, mengambil inisiatif untuk menghampiri dan mengulurkan tangan padaku. Kuterima uluran tangan itu dan berdiri sambil masih mendelik ke arah mereka bertiga dengan kesal.

"Pelajaran untukmu, Rookie, lain kali jangan menutup mata!" Baiklah, pendaratan buruk memang bukan salah siapapun selain aku di sini. Will sudah memperingatkan, hanya aku yang terlalu takut untuk membuka mata. "Lagipula apa yang kau takutkan? Matamu terlindungi!" Dia menunjuk kacamata pelindungnya sendiri, memperjelas kebodohan yang baru saja aku lakukan.

"Apa itu perjalanan dengan sihir pertamamu, Tuan Alto?" Dokter John bertanya.

"Ya." Aku membersihkan semua tanah dan kerikil yang mengotori pakaianku, kemudian melihat sekeliling kami yang ditutupi hutan. "Apa kita tidak akan ketahuan?" Aku bertanya, mengundang wajah-wajah bingung dari mereka semua. "Kalian tahu, setiap negara punya batas yang bisa memberitahu jika ada penyusup, bukan? Terutama jika penyusupnya manusia."

Will mengangkat kedua bahunya. "Tidak. Seumur hidup melakukan perompakan dengan cara seperti ini, kami tidak pernah ketahuan pihak angkatan bersenjata negara mana pun," jawabnya bangga.

"Karena Kapten juga menyembunyikan kedatangan kita ke sini," sambung dokter John, memberikan jawaban yang aku cari.

Satu pemahaman muncul di benakku. "Sihir hitam yang tadi itu ya?"

Entah apa yang salah dengan jawabanku sampai dokter John membelalak lebar-lebar begitu. "Kau melihatnya?" gumamnya parau. "Dua sihir yang menyelimuti kita ketika berpindah?"

Apa aku sudah salah bicara? "Ya."

Ekspresi kaget itu segera pudar, berganti wajah cerah yang baru kali ini kulihat dari sang dokter, ekspresi yang entah kenapa memberiku sensasi tidak enak. Ekspresi apapun selain ekspresi normal bisa berarti berbagai hal, termasuk hal-hal buruk. Setelah aku memberi anggukan pelan, dokter John beralih dan menatap ke depan, ke arah deretan pepohonan yang seolah tidak berujung.

"Kita sampai tepat di London," ujar dokter John seperti seorang guru yang sedang menerangkan pada muridnya. "Ayo, Tuan-Tuan! Waktu terus berdetik!"

Dokter John sudah melangkah lebih dulu. Aku menyusul dua langkah di belakangnya, disusul oleh Will dan Gus di belakang.

Keluar dari hutan kecil itu, sebuah desa terbentang di depan kami. Dalam nuansa semi biru akibat lensa kacamata pelindung yang aku pakai, kesan suram di sana menjadi lebih terasa. Sebagian besar rumah-rumah itu hanya tinggal dinding tanpa atap dan beranda. Dinding-dinding itu dalam keadaan hangus dengan cat terkelupas dan semen yang berantakan, menyisakan bau kematian yang menguar dari segala sudut. Tanaman merambat tumbuh di berbagai sudut. Serpihan kaca serta ratusan batuan dari yang kecil hingga seukuran kepala manusia berserakan di mana-mana, menceritakan dalam diam bagaimana kekacauan pernah terjadi di desa ini.

Dalam benakku, semua reruntuhan dan serpihan kembali ke tempatnya, warna hitam mengelupas dari dinding-dinding, atap dan teras muncul kembali, dan tanaman merambat memendek hingga tidak tersisa sama sekali. Satu reruntuhan desa yang tampak mati, dalam sekejap berubah menjadi desa yang indah dan kelihatan sangat damai.

Kemudian api membakar semuanya. Kekacauan menghancurkan semuanya. Orang-orang aneh yang bisa membuat api obor bergerak liar bagai naga hidup, para penduduk yang berlari ketakutan, serta orang-orang dalam kendaraan-kendaraan mereka yang menyala terang dengan sinar aneh membunuh banyak orang hanya dengan satu ayunan tangan berlalu hilir mudik dalam pandangan mataku.

Dalam satu helaan napas, semua bayangan itu menghilang. Aku kembali ke kenyataan. Di hadapanku, terbentang desa hantu bekas Netherfield dulu pernah berada.

Desa kampung halamanku.

***

Kami berjalan di tengah salah satu jalan di bekas desa Netherfield. Papan-papan kayu tua yang hampir tanggal tertiup angin di atas kepala kami. Tulisannya hampir tidak bisa dibaca. Tidak ada hewan apapun selagi kami berjalan. Hanya ada tumbuhan. Ada sensasi tidak menyenangkan yang timbul akibat suasana sunyi yang tidak biasa ini. Rasanya seakan hewan-hewan pun enggan singgah di tempat ini.

Memang samar, tapi aku ingat di jalan ini banyak sekali toko bertebaran. Dulu aku sering menemani Ibu berbelanja di sini. Salah satu toko roti di sini adalah toko roti paling enak di Inggris, atau dulu begitu yang aku pikirkan.

"Sebenarnya apa yang kita cari di sini?" Aku bertanya setelah merasa kami berjalan cukup jauh ke dalam reruntuhan desa Netherfield tanpa arah jelas.

"Kita mencari rumah seseorang, Tuan Alto," dokter John menjawab.

Terdengar helaan napas. "Memangnya petunjuk apa yang kita punya, Dok? Kita tidak punya alamat rumah orang itu," Gus berujar dengan kesal sambil menendang salah satu tulang manusia yang menghalangi jalannya. Ada ratusan tulang manusia berserakan di sini. Mengerikan, tapi itu wajar. Para penyihir tidak sebaik itu untuk menguburkan mayat manusia secara layak.

"Sihir punya jejak, Tuan Gus. Aku sedang melacaknya. Jika kita tiba di rumah yang tepat, kita akan tahu."

"Jadi kita akan mengecek seluruh rumah ini satu per satu?" Will bersiul. "Kalau begitu lebih baik kita berpencar."

"Ide bagus," sahut dokter John tanpa berpaling dari salah satu jendela rumah yang terlihat paling utuh dari yang lain. "Sepertinya di sini juga bukan."

"Aku dan Gus akan mencari di sebelah sana." Will berkata lagi seraya berpaling ke salah satu gang kecil di antara dua rumah. Ada jalan lain di ujung jalan sempit itu dan tentu saja ada hamparan rumah lain. "Bisa pinjamkan salah satu alatmu itu, Dok?"

Dokter John segera mengaduk-aduk isi tasnya dan lantas melemparkan sesuatu yang ditangkap Will dengan cekatan. Benda itu terlihat seperti kotak bantu pendengaran yang dulu biasa dipakai para lansia di desaku untuk membantu pendengaran mereka yang sudah renta. Memicingkan mata, aku melihat ada banyak roda gigi, bohlam kecil, dan parameter di badan kotak itu, memberikan jawaban padaku bahwa benda itu bukan alat bantu dengar.

"Akan kukabari kalau kami menemukan sesuatu." Will berjanji seraya melambai dan segera pergi, meninggalkan aku dan dokter John berdua saja.

Dokter sudah semakin jauh di depan. Aku berlari kecil untuk menyusulnya meski tidak tahu rumah siapa yang sedang kami cari di sini. Dalam dua kali percakapan kami, dokter John selalu menjadi yang memulai pembicaraan lebih dulu, tapi sepertinya kali ini dia terlalu sibuk meneliti setiap isi rumah.

"Alat tadi ...." Aku memberanikan diri untuk membuka percakapan. "Alat apa itu, Dok?"

"Pelacak," jawabnya singkat. "Tapi pelacak itu khusus untuk melacak bio elektrik."

Keningku berkerut-kerut. "Bio—apa?"

Pertanyaanku sukses membuat dokter John teralihkan dari pencariannya. Dia membetulkan letak kacamatanya yang mulai turun.

"Bio elektrik. Kau tidak tahu? Itu listrik alami yang ada pada tubuh manusia. Setiap dari kita memilikinya. Sihir termasuk bentuk bio elektrik. Biasanya bio-elektrik terlalu lemah untuk dikendalikan, tapi mereka punya bio elektrik dalam jumlah yang sangat besar dan bisa mengendalikannya, sementara kita punya jumlah yang terlalu kecil untuk bisa dikendalikan," dokter John tertawa. "Tapi tentunya bentuk bio elektrik para penyihir jauh berbeda dengan kita karena mereka bukan manusia."

Sumpah aku tidak paham penjelasannya kecuali kalimat terakhir tadi.

Mengabaikan segala kesan tolol yang pasti sedang terpampang jelas di wajahku saat ini, dokter John berubah serius. "Kau tahu sihir hitam yang menyelimuti kita di udara." Ia mengingatkanku. "Apa kau melihatnya, Tuan Alto?"

Aku mengangguk, dalam hati bertanya-tanya apa jawaban itu akan membawaku ke masalah lain. "Ya."

"Keduanya?"

Dia bahkan tahu kalau ada dua sihir, bukannya hanya ada satu. "Ya," jawabku, mulai merasa ada yang tidak baik. "Anda tahu jumlah sihir yang membantu kita berpindah ada dua?"

"Aku juga melihatnya," jawab dokter John tenang, mengejutkanku lebih dari yang seharusnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Kau tahu sihir hitam bisa digunakan untuk memanipulasi indera? Seperti melihat apa yang tidak seharusnya ada dan menutupi apa yang seharusnya ada?"

"Saya pernah dengar," jawabku. "Sejak dulu sihir hitam selalu dikaitkan dengan hal semacam itu."

Dokter John tertawa pahit. "Yeah, kisah zaman dahulu."

"Tapi saya tidak tahu sihir hitam bisa digunakan untuk menyamarkan rupa seseorang." Aku mengeringkan kerongkonganku yang terasa getir. "Seperti yang Kapten lakukan waktu itu."

"Oh, kau melihatnya. Sihir yang luar biasa, eh? Bisa mengubah penampilan orang seperti itu." Dokter John terkikik geli sebelum tiba-tiba terdiam. Dia menatapku dengan sorot yang sangat aneh. "Kau tahu itu sihir hitam?"

"Ya ...." Ada nada menggantung di ujung kalimatku. "Ada apa, Dokter?"

Dokter John menyipitkan mata, tampak penasaran dan antusias. "Kedua sihir yang melapisi kita di udara, dalam wujud apa kedua sihir itu di matamu?"

Aku menelan ludah, pikiranku terbagi antara memberitahunya yang sebenarnya atau tidak, tapi mengingat dia sudah tahu, aku tidak bisa berbohong. "Sihir putihnya, berwujud seperti sulur-sulur cahaya berwarna-warni yang meliuk di udara, lalu sihir hitamnya seperti asap," jawabku, secara insting membuat penjelasanku terdengar sangat mudah dimengerti dan hati-hati, seakan aku sedang diancam jika salah sedikit saja, rumah sakit jiwa akan jadi rumahku selanjutnya.

Sebelah alis dokter John terangkat. Keningnya berkerut-kerut. "Sulur? Maksudmu gelombang?" Gelombang? "Bukankah bentuknya mirip gelombang pada tali yang diayun-ayun? Mirip benang tipis alih-alih sulur tanaman?"

Sepertinya kami berdua melihat dengan cara pandang yang sama. "Ya, seperti tali yang diayun-ayun ke atas dan ke bawah, tapi lebih ... tidak beraturan." Aku mengakui. "Tapi bentuk sihir yang saya lihat agak lebih tebal dari sekadar benang. Mereka lebih mirip sulur tanaman rambat ... yang lentur sekali." Persis benang, seperti katanya.

"Tepat sekali." Dokter John tersenyum, lalu berbalik memunggungiku dan kembali berjalan. Berbeda satu langkah di belakangnya, aku berjalan menyusul. "Nah, karena tadi kau menyebut soal sihir, ada berapa sihir yang kau tahu, Tuan Alto? Kau kelihatan bisa membedakan sihir dengan baik."

"Ada empat," jawabku. "Sihir putih, sihir hitam, sihir jiwa, dan sihir waktu, walaupun saya belum pernah lihat seperti apa wujud sihir waktu."

"Menakjubkan." Dokter John berbalik menghadapku lagi dan bertepuk tangan pelan. Biasanya tepuk tangan pelan berarti penghinaan, tapi dokter John kelihatan sangat tulus melakukannya. "Dari mana kau tahu? Hanya sedikit orang yang tahu ada lebih dari dua sihir. Lebih sedikit lagi yang tahu soal keberadaan sihir waktu. Apa kau pernah sekolah atau meneliti sihir sebelum ini?"

Aku menggeleng untuk kedua pertanyaan itu. Para penyihir sudah muncul sebelum aku sempat sekolah dan mengamati bukan termasuk penelitian, kurasa. Itu hanya cara menggunakan matamu dengan baik.

"Apa tiga sihir yang pernah kau lihat itu tampil begitu berbeda di matamu?" tanyanya lagi. "Seperti bentuk asap untuk sihir hitam dan bentuk gelombang yang sangat tipis untuk sihir jiwa?"

Aku mengangguk pada jawaban itu. Penjelasannya sama persis seperti yang aku lihat selama ini. Dadaku dipenuhi kelegaan yang tidak sedikit ketika mengetahui ada yang melihat hal persis sama denganku.

"Luar biasa." Dokter John mengangguk penuh pemahaman. "Pengetahuanmu sangat jauh di level berbeda jika dibandingkan manusia kebanyakan. Beritahu aku, siapa yang mengajarimu?"

"Mengajari? Tidak juga, Dok," kilahku. "Saya tidak pernah sekolah. Saya mengetahui empat sihir itu secara otodidak dari ... dari ...."

Jawaban mendadak hilang dari ujung lidahku.

Apa? Apa yang tadi mau aku katakan? Oh ya, sihir.

Sihir. Empat jenis sihir. Dari mana aku mempelajarinya? Dari mana aku tahu?

Mudah saja. Aku mengetahuinya dari ... dari ...

Dari siapa? Dari siapa? Dari siapa aku mendengar ada empat jenis sihir? Dari seseorang ... ya aku tahu itu, tapi siapa? Siapa?

"Tuan Alto! Tuan Alto! Alto!"

Terkesiap, mataku bertabrakan dengan sepasang mata coklat dokter John yang menatap cemas. Mataku melirik ke kanan dan kiri, menyadari dua tangan dokter itu memegangi pundakku, mengguncang-guncangkannya cukup kuat.

"Tuan Alto?" Dia menepuk-nepuk pipiku. "Kau masih di sana?"

Aku mengangguk dengan gugup. Napasku tersengal entah sejak kapan. "A-ada apa, Dokter?"

Kenapa dokter John kelihatan cemas sekali? Apa ada yang terjadi?

Dokter John kelihatan heran, tapi kemudian dia menghela napas lega. "Tidak, tidak ada apa-apa." Tersadar tangannya tengah memegang kedua pundakku. Pria itu buru-buru menarik diri. "Mohon maaf. Aku tidak sengaja."

"Tidak apa-apa." Aku menyahut dengan santai sambil memijat-mijat pundak yang terasa sedikit nyeri.

Dokter John menyeka setetes peluh di atas dahinya. "Baiklah." Aku menatap dokter John dengan heran dan bertanya dalam hati kenapa dia kelihatan lega sekali, tapi aku belum sempat bertanya ketika dokter itu kembali menatap jalanan di depan kami. "Ayo kita lanjutkan pencarian!" Dia kembali berjalan mendahuluiku dan kembali meneliti setiap rumah dengan seksama.

Langkahku terasa aneh ketika mengikuti Dokter, maksudku rasanya seperti melayang. Bukan melayang dalam artian bagus. Rasanya seperti ada yang aku lupakan. Tapi apa?

Kenapa Dokter tadi terlihat begitu cemas lalu satu detik kemudian terlihat lega sekali? Apa ada yang terjadi?

Kutatap bangunan-bangunan kosong di sekitar kami. Sekujur tubuhku merinding merasakan aura kematian yang begitu kental. Mungkin kami seharusnya bergegas. Tempat ini tidak baik dikunjungi lama-lama.

"Ngomong-ngomong, Dokter." Aku memutuskan untuk mengatakan hal yang sedari pencarian ini dimulai, terus saja mengganggu pikiranku. "Rumah siapa yang kita cari di desa ini?"

"Rumah seorang pengkhianat yang melegenda, Tuan Alto. Seorang pengkhianat yang dianggap berbahaya oleh para penyihir. Kudengar dia sudah meninggal, tapi sebelum meninggal dia dikabarkan tinggal di sini." Jadi kita ke sini mencari orang yang sudah mati? Dan bukan hanya sekadar orang mati, melainkan juga pengkhianat dan dianggap berbahaya oleh para penyihir? "Kami berharap bisa menemukan beberapa petunjuk di rumahnya, jika memang rumah itu di desa ini sesuai info yang kami dapatkan."

"Petunjuk apa yang ingin Anda dapatkan?" Aku bertanya lagi.

"Apa saja."

Kalau begitu pastilah siapapun orang mati ini, dia orang yang sangat penting sampai dicari bahkan setelah kematiannya. Seorang pengkhianat yang dianggap berbahaya oleh penyihir. Siapa yang dia khianati? Penyihir atau pihak lain? Kenapa dia dianggap berbahaya?

Mau tak mau, aku ikut terbawa antusiasme dokter John dalam pencarian ini. Siapapun orang mati ini, ia kedengaran sangat menarik.

"Kalau boleh tahu," Aku berdeham. "Siapa nama pengkhianat itu, Dokter?"

Dokter John tidak langsung menjawab pertanyaanku. Pria paruh baya itu terdiam sambil terus mencari di setiap rumah. "Serdin. Namanya Andrea Serdin."

Tubuhku membeku.

Nama itu terus bergema di kepalaku bagai ombak yang mengamuk. Nama itu tidak asing, tidak sama sekali. Aku berkali-kali mendengar para penduduk Nertherfield menyebut nama itu untuk memanggil seorang wanita, istri seorang mekanik ternama di desa, Alexander Serdin. Di Netherfield, Andrea Serdin tidak lebih dari seorang wanita, istri dari seorang mekanik terkenal, tapi bagiku, dia lebih dari segalanya.

Dia ibuku.

***

-

A/N:

Sekali lagi, chapter panjang lebih dari 4000 words. Saya harap mata kalian gak pegel bacanya.

Lalu, ada yang menduga sampai ke sini? Kalau ada, selamat, kalian udah berhasil menghindari satu troll dari saya. Kalau nggak nebak, well, kalian cuma miss satu troll. Bukan jumlah yang besar. Tetep enjoy aja arc ini, oke?

Oiya, apa ada yang ngerasa Doctor John sedikit shady? Dia kayak punya motif tersleubung gitu ya, nolong Alto? Apa dia sama kayak Gill? Atau....

Hahaha, silakan tebak sendiri. Akhir kata, See you next chap



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro