Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Sampai di Tujuan

Aku berjalan dengan langkah gemetar di sepanjang lorong.

Benakku berusaha mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai apa yang baru saja terjadi, tapi percuma. Tidak ada informasi apapun yang datang ke kepalaku. Yang aku ingat hanya sedang bicara berdua dengan Kapten di atas sana.

Detik berikutnya aku sadar, kami berdua sudah dikelilingi makhluk-makhluk mengerikan bertubuh burung dengan wajah serupa binatang buas kelaparan. Bajuku sempat dicengkam oleh cakar salah satu binatang entah apa namanya itu dan dibawa pergi beberapa kaki ke langit, bagusnya makhluk itu tidak sempat membawaku terlalu jauh. Punggungku hanya tergores sedikit, mungkin akan patah jika Kapten tidak menangkapku dengan cepat sebelum mendarat di atap.

Detak jantungku meningkat satu detak.

Beruntunglah aku dan kapten Xerlindar hanya berdua di atap ketika kejadian memalukan itu terjadi sehingga tidak ada yang melihat kami beradegan memalukan seperti itu. Aku masuk ke kapal ini sebagai laki-laki, jika sampai ada yang melihat, statusku akan langsung dipertanyakan.

Diam-diam, tanganku meraba bagian dalam pinggang sendiri, di tempat Kapten melingkarkan lengannya hampir sepanjang waktu selagi kami bertarung dengan makhluk-entah-apa-itu. Perasaan hangat nan asing itu masih tertinggal di sana.

Menyingkirkan semua pikiran kotor yang mulai muncul, aku melepaskan kacamata pelindung yang melindungi mataku selama di atas. Kupandangi badan kacamata dan lensa birunya dengan kagum sambil membolak-balikkan benda itu di dalam telapak tanganku.

Kacamata ini luar biasa.

Pikiranku melayang-layang mengingat kejadian di atap tadi, ketika asap merah kehitaman keluar dalam jumlah luar biasa banyak dari tubuh kapten Xerlindar dan meliliti setiap makhluk bersayap mengerikan itu. Asap dari tubuh Kapten melilit tubuh makhluk-makhluk itu dari kepala hingga kaki, mencekik mereka, dan menjatuhkan mereka dari langit bagai tetes hujan. Dengan mata sendiri, aku melihat asap perwujudan sihir hitam itu masuk ke mulut burung-burung aneh itu. Hanya butuh beberapa detik untuk melihat efek sihir hitam miliknya. Makhluk-makhluk mengerikan itu dalam sekejap berubah kurus sebelum kemudian busuk dan berubah menjadi abu.

Sihir hitam sebanyak itu, dalam keadaan biasa, sudah akan membuat mataku kesakitan setengah mati. Namun pada kenyataannya mataku sama sekali tidak sakit. Benda ini sanggup melindungiku dari ledakan sihir sebesar itu tanpa merasakan perih sama sekali.

Sebenarnya dibuat dari apa benda ini?

Mataku mengamati setiap detil kacamata itu. Pandangan mataku bergetar. Aku mendekatkannya ke mata untuk melihat lebih jelas, melihat ada serat-serat di lensanya. Serat-serat halus itu tidak terlihat dari jauh maupun ketika dikenakan, tapi dari dekat barulah terlihat.

Sekuat tenaga, aku berusaha melihat serat-serat yang bentuknya mirip tulang daun itu lebih jelas, namun pandanganku tidak mau fokus. Segalanya tampak berputar semakin hebat setiap detik.

Sedetik kemudian aku tersadar, tidak hanya pandangan mataku yang bergetar, tapi tangan dan seluruh tubuhku juga ikut bergetar. Menggigil. Sejak kapan kapal jadi sedingin ini?

"Bukan malam pertama yang baik di atas kapal, heh, Greenie?" Will menepuk bahuku keras, menyentak luka di punggungku yang masih basah. "Ups, Maaf, tidak sengaja." Dia tidak terdengar menyesal sama sekali ketika mengatakannya, aku berani sumpah. Tapi sudahlah, luka ini tidak terlalu sakit. Lagipula salahku juga mengabaikan dan hampir melupakan dia ada di sampingku. "Bagaimana rasanya menghadapi samodiva dan kembali dalam keadaan utuh?"

"Samo ... diva?" Aku mengerutkan kening. "Itu nama makhluk yang menyerang—tunggu, kau tahu?" Aku memekik dan berhenti di tengah jalan. Aneh memang mendengarku menghardik ketika aku biasa diam dan menjawab pertanyaan seadanya, tapi siapa yang tidak akan marah mendengar hal seperti ini? "Apa yang lain tahu kami diserang? Dan tidak ada yang mencoba datang membantu?"

Will mengangkat bahu dengan cuek. "Jangan salahkan kami. Kapten sendiri yang meminta untuk membiarkan dia menanganinya sendiri." Will menunjuk telinganya. "Kami menutup telinga sepanjang waktu. Tidak mendengar apapun. Begitu memasuki wilayah laut, kami menutup semua jendela dan telinga. Gillian pun mengemudikan kapal hanya ke depan tanpa melihat jalur."

Di tengah suhu ruangan yang semakin dingin, aku berusaha berpikir. "Dan kenapa kau datang?" Aku bertanya penuh curiga, mengutuk suaraku yang gemetar karena semua hawa dingin yang entah datang dari mana ini.

"Dokter mendengar tidak ada lagi suara samodiva dan Gillian bertanya-tanya kenapa Kapten tidak kunjung turun," jelasnya. "Kami harus bersiap untuk segala kemungkinan."

Entah kenapa, ada yang janggal dari penjelasannya. "Termasuk kemungkinan Kapten tidak selamat?"

"Termasuk kemungkinan itu," Will mengakui dengan enggan. "Jika kemungkinan itu jadi kenyataan, akan ada banyak hal yang berubah, termasuk keberadaanmu di kapal ini."

Mataku memicing, menatap Will skeptis. "Bagaimana kalian akan tahu akan menghadapi samodiva di dalam perjalanan?"

"Kau tidak tahu?" Will menjawab pertanyaanku dengan heran, seakan aku menanyakan pertanyaan paling bodoh lagi. "Seluruh dunia tahu wilayah laut harcliff bay yang tadi kita lewati dikenal sebagai lautan samodiva. Laut dan langitnya dipenuhi siren. Tapi itu jalan terdekat untuk sampai ke tempat tujuan kita tanpa ketahuan."

Bagaimana mungkin aku bisa tahu satu meter wilayah di luar teluk London jika aku tidak pernah keluar dari Serikat? "Tapi kalian tahu." Aku tidak menutupi nada menuduh dalam nada bicaraku.

Will mengangkat bahu. "Jangan salahkan aku. Kau yang tidak bertanya, Tuan." Dia membela diri. Kemudian Will berhenti. Tubuhnya menghadap pintu besi kusam yang tidak ada bedanya dengan pintu ruang mana pun di kapal ini. "Kita sampai."

Aku maju dan mengetuk pintu. Ada suara yang mempersilakan kami masuk dari dalam. Tanpa pikir panjang, aku masuk. Dokter John menyambut kami dengan senyum ramah di balik meja kerjanya. Matanya jatuh padaku dan dokter itu pun langsung bangkit, berpindah ke samping ranjang putih bersih yang belum lama ini kutiduri.

"Ada apa?" tanyanya serius.

"Cakaran samodiva," Will berkata dengan tenang. Kuanggap ini bukan kasus serangan samodiva pertama yang dihadapi Will.

"Mari, duduk di sini!" Dokter John menyuruh dengan pandangan yang tidak lepas dariku. Tangannya menepuk-nepuk ranjang. Aku menurut dan langsung duduk di atas ranjang dalam posisi memunggunginya.

Aku terus santai begitu sebelum sadar Will masih bertengger di ambang pintu dengan santainya.

"Will, pasienku butuh privasi," dokter John berkata dengan nada tegas. Aku mengintip sedikit, melihat Will mengangkat dua tangan ke udara sebelum menutup pintu di belakangnya dengan pasrah. Dokter John kembali menatapku ketika pintu sudah menutup sepenuhnya. "Nah, sekarang tolong buka bajumu."

Aku terkejut tidak ada pekikan yang keluar dari mulutku.

Tidak ada yang aneh. Perintah itu wajar. Lukanya ada di punggung. Aku harus buka baju agar dokter John bisa melihat dan mengobati lukaku dengan baik. Tapi sungguh? Di hadapan seorang pria? Nanti identitasku bisa ketahuan.

Aku baru saja hendak bicara ketika dokter John tersenyum ramah. "Jangan khawatir," hiburnya dengan nada berbisik. "Aku tidak akan melakukan perbuatan tidak senonoh. Begini-begini, aku masih hormat pada wanita."

Jantungku berhenti seketika.

***

Mataku menatap nyalang dokter John yang tampak tenang-tenang saja. Napas tertahan di dadaku dan mulutku terkatup rapat. Mendadak saja aku merasa benar-benar telanjang meski pakaian masih menempel di tubuhku.

Menghadapi keterkejutanku, dokter John hanya tersenyum, seolah dia sudah memiliki prediksi akan reaksiku dan prediksinya terbukti tepat.

"Aku yang memeriksamu kali pertama kau datang ke ruangan ini." Melihat wajahku yang pastinya horor tingkat satu, dokter John mengangkat bahu. "Aku bisa bilang apa? Yah, walaupun aku sendiri terkejut ada wanita di kapal ini." Dia menyahut santai. "Tapi apa Kapten tahu soal ini ketika dia membelimu?"

Aku sendiri juga tidak yakin, jadi aku menggeleng sebagai jawaban.

Dokter John mendesah. "Asalkan kau tidak sedang menjalin hubungan romantis dengan siapapun di kapal ini, kurasa tidak ada masalah membawa wanita."

Sebelah alisku terangkat. "Kenapa ... tidak boleh?"

Dia mengangkat bahu dengan wajah tak acuh. "Kutukan. Cerita dari zaman dulu. Kapal akan celaka kalau membawa wanita yang dicintai ke atas kapal. Tidak relevan sebenarnya jika dibandingkan dengan ilmu pengetahuan, tapi kecelakaan yang membuktikan kenyataan larangan itu selalu berulang sampai aku bertanya-tanya sendiri," jelasnya. "Nah, apa kau sudah siap?"

Aku mengangguk, mencoba mempercayai dokter John. Dengan ragu, aku membuka pakaian budak yang menutupi tubuhku dari atas ke bawah. Sebelum Dokter sempat menyentuh, aku sudah mengambil inisiatif membuka perban yang menutupi tubuhku, membuka luka yang disebabkan samodiva itu kepada dokter John sambil menahan dingin yang semakin menusuk.

"Bukan luka yang serius, tapi racunnya sudah menyebar," jelas dokter John. "Kau merasa dingin?"

"Ya." Terutama ketika dokter John mulai mengolesi salep-entah-apa ke atas lukaku yang terbuka. Hanya dingin yang terasa, tanpa ada rasa sakit.

"Salep ini akan menyembuhkan lukanya dan aku punya obat untuk racun samodiva. Tolong kau tahan sebentar." Ia menambahkan. "Ngomong-ngomong, kau sudah memberikan tonik itu pada Kapten?"

"Sudah, Dokter." Lalu aku teringat telah kembali tanpa botol toniknya. Kuharap dia tidak menanyakan nasib botol yang entah ke mana itu.

"Lalu bagaimana kondisi Kapten sekarang?" Dokter John berhenti menyalepi lukaku dan pergi ke mejanya. Dia kembali menghampiri dengan segulungan perban di tangan. "Sekawanan samodiva bukan hal yang mudah ditangani. Ngomong-ngomong, kau mau aku membalutkannya atau kau membalutkan sendiri?"

Mengingat tanganku yang gemetar hebat dan indera-inderaku yang mulai tidak bisa diandalkan, aku rasa mustahil mengobati diri sendiri. Lagipula dokter John kelihatan cukup bisa dipercaya.

"Tolong." Aku meminta dengan sopan.

Dokter John mengangguk, lalu mulai membalut tubuhku dengan perban. Dia memintaku duduk tegak, yang sangat susah aku lakukan dengan tubuh yang gemetar seperti sekarang. Suhu dingin di sekitarku meningkat tajam, seakan tubuhku sedang berendam di kolam es. Satu tangan terulur di depan wajahku, menyodorkan satu lembar kertas yang dilipat. Entah sejak kapan dokter John sudah selesai melakukan pembalutan.

"Langsung telan." Suara dokter John terdengar, mengalun pelan bagai bisikan. Tanganku yang gemetar meraih kertas di atas tangan dokter John dan membuka lipatannya. Ada serbuk berwarna putih di dalam sana. Mengikuti perintah Dokter, aku langsung menelan serbuk itu sekali telan.

Tidak ada rasanya. Obat itu mengalir masuk begitu saja melewati kerongkongan, meninggalkan butir-butir kasar di pangkal lidahku. Dokter John menyerahkan bajuku, menyuruhku untuk memakainya lagi. Aku memakai pakaian itu dengan perasaan linglung. Suhu udara semakin turun dan kepalaku berputar hebat.

Sebelum aku sempat sadar, kepalaku sudah jatuh di atas ranjang di ruangan dokter John. Tubuhku diselimuti sesuatu yang hangat, meringankan semua suhu dingin gila-gilaan ini, dan sebelum tertidur, aku mendengar suara yang berbisik pelan.

"Beristirahatlah. Aku tidak ingin kau sakit."

Pikiraku berkabut, memikirkan siapa yang baru saja bersuara sudah terasa sangat berat. Namun sebelum kegelapan menutupi semua pandanganku, aku teringat kata-kata Will.

Dokter tidak lagi mendengar suara samodiva.

Dengan kata lain, dokter John adalah yang pertama kali tahu ketika para samodiva itu berhenti menyerang.

***

"Jangan membuang barang terlalu cepat, Gill. Kita masih belum tahu sejauh apa kekuatannya."

"Dia sudah menyusahkanku dua kali dalam waktu satu malam!'"

"Dan ingat salah siapa sampai semua jadi menyusahkan seperti ini."

Suara-suara itu merasuk ke dalam alam sadarku, memaksaku bangun dari tidur. Aku kenal suara-suara itu: Gillian, dokter John, dan kapten Xerlindar. Mereka berisik sekali. Ada apa? Mereka meributkan apa?

"Maaf, aku benar-benar ingin tahu sebatas mana Peti Lazarus yang melegenda itu bisa bekerja. Sekarang setidaknya kita tahu dia tidak bisa diandalkan untuk melawan makhluk hidup."

"Dengan menjadikanku partisipan dalam eksperimenmu? Apa kau sebegitu inginnya aku mati, Dokter?"

Kata 'mati' membuat mataku terbuka lebar-lebar. Perasaan tak nyaman yang bercokol ini terlalu membludak jumlahnya untuk tak diacuhkan lagi. Setelah selama satu detik terdiam, aku mengerjap, berusaha membiasakan mata dengan cahaya yang masuk sekaligus mengingat-ingat beberapa hal. Tembok putih ini terlihat familiar.

Ruangan Dokter John.

Suara berisik itu masih terdengar. Aku membalikkan badan dan melihat ada tiga pria lain di ruangan ini. Dua di antara mereka berdiri, sementara yang ketiga duduk di atas kursi di balik meja kerjanya. Mereka bertiga duduk berhadap-hadapan. Ekspresi di wajah mereka gelap, tidak ada kesan santai sama sekali di sana.

Pria berjas putih, Dokter John, terkekeh. "Tentu saja aku tidak ingin membunuhmu, Kapten. Mana mungkin aku punya pikiran sebusuk itu?"

"Tapi kau tahu aku ada di atas sana dan tetap mengirimkannya." Kapten Xerlindar menggeram. Amarah terukir dalam-dalam di setiap gurat wajahnya. "Mengirimkan tonik? Jangan bercanda!"

"Aku melakukan bagian itu dengan tulus, kau tahu." Dokter John menyahut dengan santai. "Kondisimu memprihatinkan."

"Dan kau memperburuknya, Dokter." Gillian menyahut. Wajahnya tidak lebih santai dari Kapten, bahkan mungkin lebih parah.

"Aku setuju denganmu, Gill, itu yang penting," dokter John membela diri. "Kalau dia terlalu lemah, tidak ada gunanya menjaganya. Aku bukan penjaga bayi."

Tanpa sadar aku sudah menatap terlalu tajam dan membuat orang pertama sadar akan keberadaanku. Kapten Xerlindar keluar dari percakapan. Mulutnya tertutup, diam tak bicara, dan matanya terfokus hanya padaku. Tak butuh waktu lama bagi dua orang lain untuk ikut sadar dan berhenti mengobrol.

"Hai lagi," sapa dokter John dengan senyum ramah seperti biasa. "Agak aneh mengucapkan hai dua kali padamu dalam satu hari."

Aku bangun pelan-pelan dan duduk di atas ranjang, lega mendapati suhu ruangan tidak lagi menggigil seperti dalam lemari penyimpanan daging dan tubuhku tidak lagi gemetar. Dua dari tiga orang yang ada di ruangan itu menatapku dengan sorot tajam. Cara mereka menatap sama sekali tidak ramah.

"Ada yang harus aku urus." Gill segera pergi dari ruangan itu dengan langkah menghentak. Pintu berdebam keras di belakangnya, tapi tidak ada yang terkesiap kecuali aku.

Ditinggalkan bertiga sama dengan dokter John dan Kapten Xerlindar, gunung es segera menjulang di antara kami bertiga yang terdiam di tempat masing-masing.

Saat itulah aku menyadari semuanya tampak begitu berwarna. Tidak ada lagi siluet biru yang menerangi tubuh semua orang. Meraba pelipis, napasku tercekat menyadari tidak ada kacamata pelindung yang menutupi mataku.

"Mencari ini?" kapten Xerlindar memutar-mutar kacamata pelindung yang kucari-cari dengan santainya. Tanpa perlu kuminta, dia melemparkan kacamata itu, yang berhasil aku tangkap dengan kikuk. "Memangnya masih sakit?"

Aku mengerjap beberapa kali, menyadari mataku sama sekali tidak berdenyut. Aku lantas menggeleng.

Mataku menatap kapten Xerlindar sekali lagi, menyadari ada yang tampak berbeda dari dirinya.

Mata anting yang dikenakan Kapten lenyap.

Hilangnya anting itu memusnahkan sihir dari tubuhnya. Sihir sama sekali hilang dari tubuh penyihir-perompak itu. Dia sepolos manusia biasa. Senyum hampir merekah di bibirku sebelum menyadari kemeja kapten Xerlindar berbeda dari yang aku ingat ia kenakan. Kemeja itu tanpa kancing dan dibiarkan terbuka di bagian depan, memperlihatkan tubuh yang dibalut perban.

"Kapten ... Anda ....?" Jariku menunjuk tubuh Kapten, menganga melihat semua perban putih bersih yang melilit seluruh tubuhnya. Itu luka yang sangat banyak.

"Ya, parah sekali bukan?" Dokter John yang menyahut. "Dia terlalu memaksakan diri, padahal sudah tahu kalau percuma saja—

"Diam, Dokter!" Satu detik setelah seruan itu terdengar, seisi ruangan berguncang. Kesunyian yang tanpa sengaja terbentuk karena hardikan keras kapten Xerlindar seketika mencair ketika kapten itu keluar ruangan dengan tergesa-gesa, tidak lagi menghiraukan aku dan dokter John yang masih tersisa di ruangan itu.

Aku dan sang dokter saling bertatapan. Lalu kami menarik napas lega hampir bersamaan. Suasana ruangan jadi tidak terlalu sesak semenjak kepergian Kapten.

"Guncangan apa tadi itu, Dokter?" tanyaku pada dokter paruh baya itu.

"Kita sudah sampai di tempat tujuan, atau ... setidaknya jarak yang paling dekat dari tempat tujuan—tangkap ini!" Dokter John melemparkan beberapa lembar kain ke wajahku. Aku menangkap lembaran-lembaran kain itu dengan kikuk, mencoba mencari tahu kain-kain apa ini sebelum akhirnya tercenung.

"Ini untuk apa?" Aku membolak-balikkan kemeja putih, rompi hitam, dan celana katun hitam itu dengan tidak percaya. Meski kalah jauh di banding baju-baju bersih dan mahal para penyihir, ini pakaian terbagus dan termewah yang pernah aku lihat.

"Untuk dipakai, tentu saja, Tuan Alto."

"M-maksud saya ... ini untuk ...." Aku menatap kemeja putih bersih itu, tidak sadar tanganku meninggalkan noda di kemeja itu ketika menyentuhnya. Pikiranku terlalu takjub tertelan kemewahan kemeja itu yang tampak berbinar penuh kilau surgawi di mataku. "Ini untuk saya?"

"Tentu saja." Dokter John mengamati seluruh penampilanku. "Kau tidak berniat memakai pakaian itu selamanya, kan? Karena kalau ya, akan ada banyak yang memintamu dari kami dan aku yakin Kapten tidak akan mau menyerahkanmu. Tidak dalam waktu dekat ini, setidaknya."

Jawaban itu membuatku tertegun. Kapten tidak akan menyerahkanku katanya? Setelah kesusahan yang kubuat selama satu malam saja di kapal ini? Benarkah?

Semuanya semakin membingungkan. Di sini aku tidak dirantai, tidak dibelenggu, dan tidak dibentak, aku malah diperlakukan dengan layak, seperti halnya manusia biasa, bukan budak, bukan makhluk non sihir yang seharusnya hanya digunakan sebagai buruh kasar yang tidak pernah diberi upah dan hanya menunggu usia habis di perbudakan.

Apa semua ini karena kekuatan yang ada pada diriku? Karena itukah aku dibeli, sesuai kata dokter John? Karena itukah aku diperlakukan secara layak sebagai manusia di sini?

"Kenapa?" Aku menurunkan kemeja itu dari pandanganku dan menatap dokter John lekat-lekat. "Kenapa aku masih dibiarkan di sini? Setelah masalah yang kusebabkan kemarin ... kenapa aku masih ada di sini?"

"Karena banyak orang bergantung padamu, Tuan Alto." Sebelum aku dapat mengerti jawaban itu, dokter John mengatupkan dua tangannya. "Nah, karena kapal sudah berhenti, sebaiknya kita bersiap-siap. Kapten akan membagi-bagikan tugas." Dokter John bangkit berdiri dan menghampiri pintu. "Segeralah pergi ke aula utama kalau kau sudah berganti pakaian."

Sesuatu menyentak pikiranku. "Tadi ... Anda bilang ... berhenti? Kita sudah sampai tujuan? Apa maksudnya?" Aku mengulangi jawaban itu, menghentikan Dokter John tepat di depan pintu. "Memangnya kita berhenti di mana?"

Dokter John memutar tuas pintu dan menyunggingkan senyum lebar. "Di Inggris, tentu saja."

***

-

A/N:

Pemirsa yang budiman, secara resmi London Arc saya nyatakan dimulai.

Tumbenan ya, pake ucapan begini? Hehehe. Kalian akan lihat nanti. Buat para pembaca baru, enjoy your ride because shit is going to happen! Buat pembaca lama, jangan spoiler.

Akhir kata, see you next chap

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro