Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Xerlindar: Samodiva

Suara nyanyian merdu itu mengacaukan semuanya.

Benci mengakuinya, tapi aku tidak pernah sesenang ini ketika mendengar suara nyanyian sialan itu. Memasang senyum sinis, aku mendelik sesosok wanita yang telah berdiri di balik bahu Alto sejak satu detik lalu. Wajahnya pucat dengan pendar yang menyala dari dalam.

Tidak ada yang cacat dari wajah makhluk sekelas Samodiva. Mereka punya wajah putih yang berpendar terang di malam-malam gelap, rambut yang bertiup pelan walau angin tidak sedang berembus, bibir tipis yang merona cerah, mata yang berpendar dalam warna emas yang lebih terang dari mata penyihir manapun, serta suara surgawi yang dapat membuat para pria lupa makan berhari-hari dan para wanita kehilangan jiwanya. Tapi selalu ada alasan kenapa makhluk secantik mereka dijuluki Siren Langit.

Aku ceroboh. Ruang untuk membuat percakapan kami lebih nyaman tidak pernah dilengkapi dengan pengamanan anti-penyusup. Sebagai catatan, lain kali akan kubuat ruang anti-maling sekalian.

Alto dengan mudahnya takluk pada suara merdu samodiva yang tidak pandang bulu dalam memikat sasaran. Dengan pasrahnya, dia membiarkan sang samodiva menyentuh wajahnya. Jari jemari sang siren langit mengelus setiap jengkal wajah Alto, berhati-hati sekaligus mengancamku dalam diam, jika aku berani bergerak sedikit saja, cakar-cakar hitamnya akan dengan senang hati memberi cacat pada wajah Alto. Dengan suara nyanyian sekencang ini, aku tidak yakin dapat sadar sebelum wajah Alto terlalu rusak oleh ulah mereka.

"Selamat malam, Cantik." Makhluk keji itu tersenyum ketika dipuji, tapi tangannya masih belum beranjak dari wajah Alto. Dengan hati-hati, ia hanya mengulum senyum tipis, mengumbar wajah cantik memikat dan dengan rapi menutupi mulutnya yang penuh taring. Diam-diam aku melingkarkan lengan pada pinggang Alto, menariknya mendekat dan menjauhi sang samodiva. Tapi seperti halnya manusia lain yang terpikat kecantikan sang samodiva, tubuh Alto kaku dan menolak untuk ditarik. "Aku tidak ingat mengundangmu kemari."

Samodiva itu memasang wajah sedih. "Aku melihatmu sendirian."

Aku mengedikkan bahu, berusaha tenang selagi peluh membanjiri tubuhku. Suara terkutuk itu terus mengalun, bergema dan terdengar semakin indah setiap detiknya. Mataku naik, melihat ada belasan makhluk seperti dia terbang melayang di atas kapal, berputar dan menari-nari di udara. Kami sudah berada di jalur yang benar. Kuharap Gillian tidak lupa menutup telinga seluruh awak seperti yang kuperintahkan.

Sekumpulan samodiva itu, tanpa malu, menari-nari di langit dan terbang melayang semakin rendah mendekati atap kapal. Dua di antaranya berani turun dan mengajakku ikut serta dalam tarian mereka yang menggoda. Tubuhku gemetar menahan hasrat. Berulang kali kutekankan pada diri sendiri untuk tidak terpancing.

"Kau kelihatan sangat lelah, kaptenku yang gagah berani." Samodiva itu melayang, berdiri di antara aku dan Alto. Tangannya yang sedingin angin musim gugur menyapu pipiku dengan lembut, mengirimkan sensasi menggetarkan jiwa yang sulit ditolak. Samodiva itu tersenyum, merasakan kemenangannya semakin dekat. "Bagaimana kalau sedikit menari bersamaku dan melupakan semuanya? Kalian berdua tentu saja." Matanya melirik Alto.

"Tidak terima kasih. Aku sudah sangat lelah menari." Aku berdalih.

Makhluk licik itu berpindah kepada Alto yang otaknya saat ini tidak lebih pintar dari burung camar. "Bagaimana denganmu, Tuan? Tuan ini sudah menolak permintaanku." Wajahnya mengiba namun matanya berkilat penuh nafsu lapar. Tangannya yang seenaknya menyentuh dan mengusap pipi Alto membangkitkan gelegak amarah dalam diriku. "Kau tidak akan menolak permintaan tulus dariku ini, kan, Tuan?"

Mata Alto kosong, seakan jiwanya sudah lenyap entah ke mana. "Ya, tentu. Aku akan sangat senang sekali." Alto membeo.

Yeah, bagus. Kau sudah benar-benar kehilangan akal. Diam-diam aku semakin mengeratkan peganganku pada pinggangnya, menjaga tubuhnya agar tetap di sisiku.

"Tidak, terima kasih, Sayangku." Aku tersenyum kaku. "Aku dan Tuan ini lebih suka ditinggalkan sendiri."

Samodiva itu berhenti mengacuhkanku. Ia terus membelai wajah Alto dengan punggung tangannya, menggoda dengan keahlian yang tidak akan bisa kusamai hingga seribu tahun lamanya. Melayang menjauh, samodiva itu mulai melakukan apa yang paling aku takut akan ia lakukan.

Menari.

Nyanyian di sekelilingku berubah semakin merdu, semakin menggoda, dan semakin mengundang. Dalam alunan lembut yang seakan bersatu dengan bumi dan langit, nyanyian itu menggema ke seluruh sudut bahkan sampai ke dalam telingaku. Sosok samodiva itu berputar, menari-nari seirama alunan nyanyian sesama mereka yang lebih indah dari satu instrumen musik lengkap gedung opera. Gaun bulunya yang keemasan panjang menyapu lantai tampak tertiup begitu tidak alami, seakan gaun itu hidup dan bergerak. Beberapa samodiva lagi turun ke atap kapal dan ikut menari dengan gemulai. Gerakan tubuh mereka jelas: mereka menantangku untuk ikut dalam tarian mereka.

Di dalam pelukanku, Alto memberontak semakin keras. Tangannya mulai menyikut tulang rusukku, kakinya menendang ke segala arah, dan pandangannya tertuju pada para samodiva yang menari. Aku bisa saja membelenggunya dengan sihir, tapi sesuatu dari dalam tubuh anak ini, kekuatan yang dipendamnya, terus menerus menelan sihir yang keluar dari tubuhku, membuat sihirku tidak berada dalam jumlah yang baik detik ini.

Siren-siren langit itu semakin banyak berdatangan menghampiri kami berdua. Tangan-tangan dingin samodiva itu menyentuh tubuhku. Aku bisa merasakan kulit halus mereka yang membuat sekujur tubuhku bergelenyar. Senyum-senyum maut menghiasi wajah-wajah rupawan mereka. Selagi beberapa samodiva menggodaku secara langsung, belasan yang lain masih berusaha keras memikatku lewat tarian. Tubuh mereka terbang melayang semakin dekat menggodaku.

Nyanyian itu semakin nyaring terdengar. Pikiranku dipenuhi kabut. Pandanganku berubah putih. Tubuhku perlahan berubah ringan, sangat ringan sampai aku ingin menari karenanya.

Celaka.

Belaian para samodiva itu turun ke leher. Wajah salah satu dari mereka mendekat ke lekukan leherku. Ketenangan tak wajar mengaburkan akal sehatku. Dia hanya ingin menciumku, satu sisi diriku berkata demikian, tapi sisi diriku yang lain meneriakkan kata bahaya.

Dari sudut mata, bisa aku lihat bibirnya mendekati nadiku dan taringnya mencuat semakin panjang.

Tanganku mendorongnya dengan keras dan langsung menarik kacamata pelindung Alto. Dia mengaduh kesakitan. Sesuatu dalam diriku ikut berteriak sakit mendengarnya kesakitan, tapi itu pertanda baik. Ia sudah lepas dari belenggu nyanyian samodiva.

"A-apa yang ....?" Alto bertanya-tanya dengan nada linglung. "Demi Langit!"

Kekacauan pecah seketika.

Nyanyian riang itu berubah menjadi kaokan parau yang menggetarkan seluruh nadi. Makhluk-makhluk itu kehilangan pendarnya. Kulit-kulit mereka berubah gelap dengan rambut yang berkobar laksana api. Mulut mereka membuka lebar, memperlihatkan deretan taring yang mengilap tajam. Dari mlut-mulut mereka, keluar raungan yang mendesis mirip besi yang ditetesi asam. Cakar-cakar mereka yang hitam tumbuh memanjang dan tangan mereka membesar dua kali lipat, persis cakar burung. Gaun mereka mengembang, berubah menjadi sayap yang membentang dari bagian bawah lengan, memperlihatkan kaki mereka yang berbentuk cakar raksasa. Dengan marah, mereka terbang pergi, tapi tidak pernah terlalu jauh, karena mereka tidak berniat untuk melepaskan kami.

"Senang melihatmu sadar, Tuan Alto," sambutku sarkastis sambil menduga-duga dari mana samodiva pertama akan datang. "Kau ketinggalan banyak obrolan hangat tadi. Tapi sebelum kita mengobrol lagi lebih jauh, pakai kacamatamu lagi!"

Sebelum salah satu dari mereka sempat menyentuh kapal, aku mematikan sihir yang menciptakan ruang bagiku dan Alto untuk bisa bicara dengan nyaman tanpa semua angin berisik di ketinggian. Deru keras angin dan tekanannya yang tinggi telah kembali ke tengah-tengah kami.

Tubuhku bergolak oleh panas internal. Sihir mengalir dari seluruh tubuhku dan langsung menyelimuti seluruh bagian kapal tanpa kecuali. Tubuhku merasakan seluruh badan besi kapal ini, setiap inci lempeng dan setiap mur yang melekat pada badannya. Denyut panas berdetak semakin cepat seiring semakin banyaknya sihir yang kualirkan ke badan kapal. Tubuh beberapa samodiva terpental dan jatuh ketika mencoba menyentuh badan kapal. Aliran sihir sudah melindunginya.

Namun mulutku terkatup rapat ketika panas lain datang menyerangku seperti kawat berduri panas yang dililitkan secara ketat ke seluruh tubuhku.

Peluhku bercucuran semakin deras ketika sadar bahwa halang rintangku bukan hanya para samodiva. Mendelik, aku melihat Alto mengusir salah satu samodiva dengan tangan kosong sambil berteriak "Hush! Hush! Pergi, Burung! Pergi!"

"Kurasa pedang atau senapan lebih berguna daripada sekadar teriakan 'hush, hush', Tuan Alto." Aku mencabut pedang dan menebas lengan salah satu samodiva, menjatuhkannya langsung ke laut di bawah.

"Kalau begitu, boleh saya pinjam pedang Anda, Kapten?" Aku memelototinya. "Tidak boleh? Baiklah."

Salah satu dari mereka menukik cukup tajam dan berhasil menggores lenganku. Sadar tidak ada sihir yang melindungi tubuhku, para samodiva itu mulai berani menyerang kembali, kali ini terfokus seluruhnya pada kami berdua, tidak lagi pada kapal. Mencabut pistol dari pinggang, aku mulai menembaki burung-burung sialan itu, tapi tidak ada satu pun tembakan berhasil menggores sayap-sayap mereka.

Peluh memenuhi celah antara tubuh dan bajuku, membuat secarik kain itu menempel ke tubuhku yang lembab. Sakit dan panas internal membuatku tidak bisa banyak bergerak. Kesadaranku mulai berkhianat seiring tenagaku yang terkuras banyak dan tersisa semakin sedikit setiap detiknya.

"Tuan Alto!" Aku akhirnya melemparkan pedang di tangan kanan kepadanya tanpa repot melihat ke mana aku melempar. Tidak ada suara benda jatuh, artinya dia menangkap pedangku. Terdengan suara cacahan daging dan kaokan parau samodiva yang jatuh. Darah ungu memancar ke atap kapal. Bagus.

Para samodiva semakin kesal. Semakin banyak dari mereka berdatangan mendekati kami berdua. Masing-masing makhluk itu terbang menukik rendah sekali sambil mengarahkan kuku atau cakar mereka untuk menjangkau kami. Aku berhasil menembak satu samodiva yang menukik dengan ceroboh karena mengambil jarak terlalu dekat. Darah ungu mereka memancar semakin banyak ke atap kapal.

Peluru berhenti keluar dari pistolku. Amunisiku habis. Aku menyarungkan senjata api itu ke dalam pinggang, diam-diam mengisi ulang amunisi dengan satu tangan selagi para samodiva itu tidak melihat atau berniat merebut persediaan amunisi di pinggangku.

Bisa kulihat seringai mengembang di wajah para samodiva itu, memperlihatkan deretan taring yang selama fase pendekatan selalu mereka sembunyikan dengan rapi dan hati-hati. Mereka melihat kesempatan emas. Kemungkinan besar, mereka tidak akan berbaik hati untuk menungguku selesai mengisi ulang senjata.

"Tuan Alto, bisa kupinjam senjataku lagi?" Sadar tak mendapat jawaban, aku berpaling, dan mendapati baru saja meminta pada udara kosong.

Mendongak ke langit, aku melihat salah satu samodiva membawa pergi sesosok manusia yang masih meronta-ronta dalam cengkaman cakar kakinya. Amarahku mendidih hingga ke ubun-ubun. Tanpa mengacuhkan sekeliling, aku berlari mendekati dua sosok yang masih belum terlalu jauh dari atap kapal itu. Aku menyaksikan Alto terus meronta, berusaha berputar dan menebas kaki samodiva itu dengan pedang yang untungnya masih berada dalam genggaman tangannya. Dengan tangan amatir yang tidak terlatih, Alto berbalik, menusuk kaki makhluk itu. Tubuhnya lepas dari cengkaman samodiva yang berkaok marah.

Tubuh itu jatuh dalam kecepatan tinggi. Aku berlari dan bersiap di bawah ketika tubuhnya yang seringan beberapa potong kayu bakar jatuh di dalam dekapanku.

Sekali kami bertatapan dalam jarak sangat dekat.

Tidak untuk waktu yang lama.

Amarah yang mendidihkan otakku sudah tidak bisa dibendung. Setelah menurunkan Alto ke atas atap dan melingkarkan lenganku di pinggangnya sekali lagi, aku memandang nyalang segerombolan burung-burung terkutuk itu di udara.

Tato di tubuhku membara, melelehkan tulang dan dagingku. Tato ini tahu apa yang hendak aku lakukan dan berusaha menghentikannya dengan membakar tubuhku dari dalam.

Persetan!

Panas aliran sihir mengalir di sepanjang tulang belakangku, menyebar hingga mengaliri sekujur tubuhku secara merata. Aku mengalirkan sihir itu keluar dan sihirku dengan cepat menghitung berapa banyak samodiva yang mengelilingi kami.

Totalnya ada dua puluh enam. Ada dua puluh enam burung yang siap dipanggang.

Energi itu meledak keluar dari tubuhku bagai gelombang kejut. Dalam sekali hentakan, seluruh samodiva itu terjatuh. Tubuh-tubuh siren langit itu dengan lunglai jatuh dari langit. Beberapa ekor dari mereka jatuh ke atas atap. Tubuh mereka yang hitam berubah menjadi sangat kurus dan tampak tua dalam hitungan detik, sebelum akhirnya hanya tersisa tulang belulang yang dengan segera menjadi abu.

Terdengar kaokan lain di udara, tapi itu bukan kaokan yang sama dengan gerombolan yang mati ini. Ada kawanan samodiva yang menyusul. Tapi suara mereka tidak terdengar mendekat. Dengan cepat, kaokan itu menjauh. Sisa-sisa samodiva yang hendak menyusul untuk menyerang lagi, sudah kabur.

Kedua tungkaiku kehilangan tenaga dan langsung ambruk. Alto memekik di sampingku dan langsung bertindak cepat dengan melepaskan diri, memindahkan lenganku ke pundaknya, menopangku untuk tidak jatuh. Tato di tubuhku mendidih, melelehkan daging dan darahku hingga menjadi buih. Lelehan panasnya turun mengalir membasahi seluruh pakaianku, berdenyut sakit dalam setiap detiknya. Kepalaku pening dan pandanganku mulai berkunang. Sempat khawatir, aku mengembuskan napas lega melihat sihir masih melindungi kapal. Bagus. Teruslah begitu.

"Kapten, kita harus menemui Dokter sekarang!" Alto berteriak panik di dekat telingaku. Menyebalkan, tapi entah kenapa aku tidak bisa marah.

Melirik, aku melihat kecemasan tulus terpancar dari sepasang mata yang menatap dari balik kacamata pelindung yang telah terpasang lagi itu. Mata hijau zamrudnya lenyap, berganti dengan mata gelap yang tidak menyalakan pendar apapun. Keningku berkerut-kerut mendapati darah menetes dari belakang lehernya.

"Kau terluka."

"Hanya tergores," dalihnya, tapi keringat yang bercucuran dan wajahnya yang pucat tidak bisa membohongiku. Racun samodiva sudah menyebar di tubuhnya.

"Kau saja yang pergi." Aku berusaha melepas lenganku dari pundaknya, namun tubuh Alto sekali lagi berubah kaku. Kami saling mendelik selama beberapa lama. "Masih ada sihir yang harus aku jaga di sini!"

"Untuk kali ini, saya akan bilang tidak, Kapten."

Pancaran kesungguhan dari mata itu menarikku mendekat. "Kenapa?" Kedua mata Alto tampak semakin besar. Kulitnya yang kecoklatan tampak merah oleh pembuluh darah dan mata hijaunya sekali lagi muncul, berpendar terang di balik kacamata pelindung itu. "Aku ini penyihir dan juga perompak. Kau membenci keduanya kan? Terutama karena aku membelimu seperti barang murahan."

"Ya," jawabnya jujur, tanpa menghilangkan keteguhan dari wajahnya. "Tapi Anda juga menyelamatkan saya, Kapten. Saya bukan makhluk tak tahu diri."

Selalu seperti itu. Dulu alasannya pun seperti itu.

Jika keinginan ini disebut biadab, sebutlah aku biadab karena aku sungguh ingin para samodiva tidak mati secepat ini. Aku ingin ada serangan lagi. Aku ingin mereka terus menyerang agar aku tidak ditinggalkan berdua saja dengan Alto seperti sekarang ini.

Karena kalau ditinggalkan berdua saja, aku akan terus meminta untuk ditinggalkan bersamanya lebih lama dan lebih lama lagi.

Tubuh yang menopangku berubah sekaku patung batu, tapi tidak setitik pun akal sehatku peduli. Yang terpenting dia ada di sisiku, ada dalam jangkauanku, dan tidak pergi ke manapun. Bibirnya mengatup rapat dan matanya membuka lebar-lebar tanpa berkedip. Tubuhku dikuasai gejolak panas yang berbeda dari dua panas internal sebelumnya. Tidak seperti dua panas tadi, aku menyukai panas yang menjalar perlahan dan menyiksa ini. Katakan aku gila, tapi kesakitan yang ditimbulkan panas membara pada tubuhku ini terasa manis.

Tubuhku sudah sepenuhnya diambil alih oleh keinginan aneh tak masuk akal, namun aku pasrah saja menerimanya. Pasrah seperti ini sama sekali bukan diriku, tapi tidak ada kuasa yang tersisa untuk melawan balik. Pikiranku berkabut, tak ada apapun yang bisa aku pikirkan kecuali wajahnya dan bagaimana reaksinya nanti.

"Kapten, kau masih hidup di atas sana?" Aku buru-buru berpaling dan menjauh.

Terdengar suara pintu tingkap terbuka. Tak perlu menghitung menit, Will Clayton sudah berlutut di hadapan kami.

"Demi Makhluk Terkutuk—

"Bawa Tuan Alto dulu." Aku memotong rutukannya dan melepaskan diri dari Alto. Bangkit berdiri dengan susah payah, aku bersandar pada salah satu palang pembatas sambil menatap cakrawala yang mulai berubah warna di kejauhan. "Masih ada sihir yang harus kujaga di sini."

"Kalau boleh tahu—tentu kalau kau juga mau mengatakannya—kenapa kau tidak masuk ke dalam tadi? Kau bisa mengamankan sihirnya dari dalam." Will bertanya. "Kau tahu? Seperti biasa, Kapten."

Berbalik dengan marah, aku memelototinya. "Lakukan saja perintahku!" Dan pemuda itu pun langsung terbirit pergi, membawa Alto yang masih kebingungan masuk ke dalam kapal bersamanya.

Pintu tingkap tertutup di belakangku, meninggalkanku sendirian bersama angin yang berembus kencang dan malam yang mulai menghangat seiring fajar yang mulai menyingsing. Menarik napas dalam-dalam, aku menunduk, melihat kemeja putihku yang berlumuran darah. Seperti biasa.

Aku tertawa penuh ironi. Kata-kata Gill kemarin sore berdengung di dalam telingaku.

"Dia akan jadi kehancuranmu jika kau tidak bijak menghadapinya, pegang kata-kataku."

"Tepat sekali, Gill." Aku terkekeh. "Dia memang membuatku hancur seketika."

***

A/N:

Yak, resmi!

Kalian terbukti gampang terpancing dengan clickbait.

Hahaha, kalau mau ngelak, coba jelaskan kenapa chap sebelum ini punya vote lebih banyak dari yang lain? Hayooo, ngaku deh. Kalian pasti ngira bakal ada adegan nganu ketika bicara berdua. Hahaha. 

Selamat karena kalian sudah jadi korban troll terbaru saya. Hahaha

Sebagai kompensasi sebelum kalian santet massal saya, kalian bisa nikmati chapter terbaru dari sudut pandang Xerlindar. Eksklusif hanya untuk kalian.

Akhir kata, sampai jumpa di chap selanjutnya!


TTD

Diah Sulis, yang lagi pusing nyari tempat liburan akhir tahun yang banyakan udah penuh dan full booking semua.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro