Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Bicara Berdua

Sepanjang lorong, aku terus mengamati cairan merah gelap dalam botol kaca yang ada dalam genggaman tanganku. Dokter bilang ini tonik untuk memulihkan kondisi badan ... untuk kapten Xerlindar.

Aneh juga harus mengantarkan ramuan seperti ini. Pemuda itu kan penyihir, seharusnya dia tidak butuh tonik karena punya pemulihan sendiri. Tapi aku tidak pernah mengatakan hal itu dan hanya keluar ruangan, mematuhi perintah dokter John.

Deru mesin bergaung di dalam dinding-dinding besi. Lantai di bawah kakiku bergetar pelan akibat gerakan kapal yang mengudara. Tidak ada lagi sulur-sulur energi berwarna merah delima. Tidak ada lagi rasa sakit yang tersisa di mataku. Kapal ini benar-benar tengah dijalankan dengan tenaga manual.

Tapi kenapa mereka menyediakan dua mode energi dalam kapal ini? Kenapa tidak menggunakan salah satu?

Benar juga, warna sihirnya tidak murni. Pasti akan sangat sulit mengendalikan kapal sebesar ini sepanjang waktu tanpa adanya energi cadangan. Tidak heran Kapten pingsan. Mengendalikan kapal dengan sihir terbatas saja sudah sulit tanpa harus ada kompetitor yang terus menerus memakan sihirnya tanpa ampun. Seandainya ada cadangan sihir pun, belum ada penampung yang dapat menampung sihir lebih dari dua jam energi untuk mengudara dalam kondisi kapal digunakan secara penuh. Kebijakan yang bagus dan sangat berguna untuk menyediakan dua mode energi di dalam kapal. Berkat itu, perjalanan kapal tidak terhambat sekarang.

Merenung selagi berjalan di sepanjang lorong, aku sadar mulai sekarang, semuanya akan berbeda. Semua awak pasti menyaksikannya.

Aku meraung-raung seperti orang gila di ujung ramp, ada goncangan keras seiring dengan teriakanku yang menggema, dan kapal pun mati. Itu bukan kejadian biasa dan wajar saja jika banyak yang ingin melemparku.

"Hei, hei, hei, selebriti baru kita sudah sadar!" Benci mengakui ini, tapi aku senang tidak mendengar sarkastik apapun di dalam kalimat itu.

Dari ujung lorong, Will berjalan menghampiriku. "Tidurmu nyenyak?"

"Lumayan," jawabku sekenanya.

"Senang mendengarnya, tapi kau berhutang banyak penjelasan pada kami." Nada serius Will membuat detak jantungku meningkat satu detakan. "Pertama-tama soal matamu yang berdarah banyak sekali itu. Apa kau tahu aku fobia darah tapi kebagian tugas harus menggendong dengan matamu yang mengeluarkan air mata darah itu sampai ke ruangan dokter John?"

"Maaf."

Will mendadak canggung entah untuk alasan apa. "Yah, sudahlah. Sebenarnya Kaptenlah yang berhutang banyak, jadi tidak usah dipikirkan." Ia kembali tersenyum ringan. "Itu kekuatan yang hebat, kau harus lebih melatihnya. Aku ingin lebih sering melihat Gillian panik seperti itu."

Kekehan Will menyiramkan air yang dingin menusuk ke kepalaku. Kata-kata dokter John di ruangannya tadi terngiang di dalam pikiranku.

Kekuatan ini adalah sihir.

"Kau tahu, untuk ukuran orang yang alergi sihir, kau cukup parah. Aku belum pernah melihat ada yang sampai berdarah-darah seperti itu. Kalau reaksi alergi biasa, aku pernah melihatnya," ungkapnya panjang lebar. "Aku pernah punya teman yang langsung kebas tangan kanannya kalau melakukan kontak dengan sihir."

Aku tahu ke mana topik ini akan berlabuh, jadi buru-buru aku mengalihkannya. "Aku dengar ada yang ingin melemparku keluar kapal." Aku menyuarakan kecemasan yang tadi terus menghantuiku itu. Jika ada yang berniat demikian, aku tidak akan pernah bisa tidur tenang di sini.

Sekarang Will tampak jengah. Matanya mengawasi dengan tajam semua orang yang mengawasi kami dengan tatapan-tatapan curiga dari berbagai arah. Atmosfer berubah berat menyesakkan di detik pertama aku menunjukkan wajahku di aula utama kapal. Jika di awal, sambutan mereka dingin, mungkin sekarang benci dan penuh curiga adalah kata yang tepat untuk menggambarkan tatapan-tatapan tajam tak bersahabat itu. Tidak ada wajah Gillian maupun kapten Xerlindar sepanjang mata melihat.

"Yeah, aku akui itu," Will berbisik, membalas tatapan tajam para awak dengan tatapan dingin. "Ada beberapa yang paranoid melihat kekuatanmu. Tapi aku memaklumi itu. Kekuatanmu itu tidak biasa. Kapten melarang siapapun mengganggumu dan kami masih sayang nyawa, jadi ... yah, seperti yang kau tahu selanjutnya."

Aku menangkap kesan bahwa Will tidak setulus yang aku kira. Dari jawaban tadi, sepertinya dia hanya mengikuti perintah kapten dan wakilnya.

Ngomong-ngomong soal Kapten, aku teringat ada perlu dengan pemuda itu. "Kau tahu di mana Kapten?" Aku menunjukkan botol berisi cairan merah jernih itu kepadanya. "Aku perlu mengantarkan ini kepadanya."

***

Bagus.

Baru kali ini aku merasakan yang namanya terbang dan harus langsung mendaki ke atap. Setelah membuat kapal ini nyaris tidak bisa terbang, pingsan secara mendadak, dan mengundang keributan antar awak, aku harus naik ke atap dan mengantarkan minuman aneh ke kapten kapal yang katanya senang menyendiri di atap.

Sekarang aku mulai berpikir Will seperti sedang menyuruhku lompat sendiri dari atap.

Memutar pintu tingkap, angin dingin langsung menerpa wajahku. Langit malam menyambutku dengan awan putih bersemburat kelabu oleh sentuhan kegelapan malam dan langit dengan beberapa gugusan bintang yang berkelip di antara awan. Embusan angin terasa lebih kasar, lebih dingin, dan lebih kencang, membisikkan deru yang sama bisingnya dengan aktivitas di bengkel pandai besi Serikat ke telingaku yang tidak tertutup apapun.

Aku menarik diri keluar dari tingkap, berada sepenuhnya di atap kapal udara yang terbang. Angin dari baling-baling yang hangat dan angin dingin malam saling bercampur di udara. Bau hangus terbawa angin ke hidungku, membuatku berbalik dan melihat asap membentuk ekor kelabu di bagian belakang kapal. Kapal ini benar-benar terbang dengan tenaga manual.

Setelah menutup tingkap, aku mencoba berdiri.

Dan nyaris ambruk diterpa angin.

Sambil berpegangan pada palang-palang pengaman, aku berusaha menenangkan jantungku yang bertalu-talu panik dan napas yang dengan cepat berubah terengah-engah di bawah ketakutan. Tidak perlu punya vertigo untuk mendadak pusing melihat ke bawah dari ketinggian entah berapa jauhnya dari tanah ini. Sialnya, aku malah mengintip ke bawah, melihat lautan biru gelap membentang di bawah kami. Salah langkah sedikit saja dan aku akan tamat.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Suara keras di tengah terpaan angin itu membuat kepalaku berpaling, bertatap muka dengan pemuda yang berdiri menjulang di hadapanku. Mataku mengamati tubuh tegapnya yang sanggup berdiri tanpa berpegangan di palang pengaman di tengah deru angin yang kencang. Jika saja ketiadaan sihir dari tubuhnya tidak dihitung aneh, ia kelihatan sehat-sehat saja untukku.

Aku menyerahkan botol tonik itu juga padanya, berharap dapat segera keluar dari horor mengerikan ini. "Dari Dokter, Kapten!"

Kapten Xerlindar merenggut botol itu dengan kasar, membuka sumbatnya dengan gigi dan membuang tutup itu entah ke mana, sebelum langsung menenggak separuh isinya dalam hitungan detik tanpa banyak bicara. Baiklah, tugasku sudah selesai, saatnya kembali.

"Berhenti!" Aku baru saja berbalik ketika suara hardikan itu menghentikan langkahku. Mataku bertukar pandang dengan mata emas Kapten yang berpendar hidup dan menatapku tajam. "Aku belum menyuruhmu pergi," tegasnya.

Kurasa bukan tempatku untuk bertanya. "Aye, Kapten!"

Dahi kapten Xerlindar berubah berkerut-kerut. Alisnya turun, nyaris bertemu. "Kau sudah menerima benda itu dari Dokter John?" teriaknya, melawan kerasnya angin.

Segera kukeluarkan benda yang tadi diberikan dokter John, jika memang benda ini yang dimaksud oleh Kapten. Aku mengeluarkan tali elastisnya keluar dari bajuku yang lusuh, sedari tadi terus mengalungkannya di leher karena pakaian budak tidak memiliki saku. Sepasang kacamata pelindung berkilau di dalam telapak tanganku. Jari jemariku tak henti mengelus dan membersihkan debu dari lensanya yang biru. Jika ada yang istimewa dari kacamata ini, itu adalah lensa birunya yang berbeda dari lensa umumnya.

"Pakai itu!" suruhnya, yang langsung kupatuhi.

Tidak banyak perbedaan. Kukira semuanya akan lebih gelap atau semacamnya, jadi ini benar-benar di luar dugaan. Semuanya hanya tampak sedikit lebih sendu dengan semburat warna biru pucat. Selebihnya, tidak ada banyak perubahan. Selagi aku membiasakan pandangan, kapten Xerlindar menaruh sesuatu di antingnya. Aku sempat bertanya-tanya, namun batu merah mengilap yang satu detik tadi belum menjadi mata antingnya dan pendar sihir yang menyala dalam warna merah delima di tubuhnya, sudah menjawab semua pertanyaanku.

Ada yang aneh, maksudku benar-benar aneh.

Panas asing itu mulai menyala di dalam tubuhku, terpicu energi sihir, seperti biasanya. Panas itu merambat dan sulur-sulur hijau zamrud keluar dari tubuhku, mulai memakan sulur-sulur merah delima milik kapten Xerlindar yang meliuk-liuk di udara. Tidak ada rasa sakit sama sekali.

"Apa ada yang terasa sakit?" Dia bicara keras mengatasi deru angin.

Aku menggeleng. "Tidak, Kapten!"

Entah apa yang salah dengan jawabanku sampai kapten Xerlindar terlihat sangat lega. Sulur-sulur merah delima Kapten terlepas ke udara, menyebar dan lenyap perlahan seperti uap pipa rokok yang diembuskan. Secara tiba-tiba, seluruh deru angin yang berembus kencang di sekitar kami berubah tenang. Berubah sunyi, nyaris tidak bersuara sama sekali. Bukan berhenti secara pelan-pelan, tapi seakan ada yang menarik tuas dan menghentikan deru angin saat itu juga.

"Sekarang suasana sudah tenang," kapten Xerlindar bicara dengan volume normal, tidak perlu lagi berteriak melawan deru angin.

Pandanganku naik, mengamati sulur-sulur merah delima bercampur hitam yang pecah menjadi kabut tipis di sekeliling kami, membentuk kubah yang menyelimuti kami berdua. Energi yang keluar dari tubuhku masih terus berusaha meredakan energi sihir Kapten dan langsung saja aku merasa harus buru-buru pergi. Kapten baru saja pingsan sama sepertiku. Kondisinya pasti masih buruk dan energi sialan entah apa namanya milikku ini terus berusaha memakan habis semua sihirnya. Ini tidak baik. Kondisi Kapten akan memburuk di dekatku. Kalau Kapten sampai memburuk dan pingsan lagi, aku akan dijatuhkan dari kapal detik ini juga.

"Kapten, kalau Anda mengizinkan—

"Aku tidak mengizinkan." Apa? Aku bahkan belum mengatakan mau apa.

Selagi aku bertanya-tanya, kapten Xerlindar menyerahkan botol tonik yang masih tersisa separuh itu padaku. "Habiskan. Aku tidak suka rasanya."

Kupatuhi perintah itu dengan bingung. Selain bingung karena entah karena apa tidak boleh pergi meninggalkannya, aku juga bingung kenapa dia tidak suka rasa tonik ini. Aku sudah menerima satu dari Dokter tadi dan menurutku sebenarnya rasa tonik ini tidak buruk, bahkan bisa dibilang tidak ada rasanya. Tidak ada alasan untuk mencela rasa tonik ini, tapi entah bagaimana penyihir ini bisa menemukan satu celaan.

Setelah menghabiskan semua tonik itu, aku memain-mainkan botol kosong di tangan, tak bisa berbuat apa-apa pada kesunyian canggung yang terbentuk di antara kami. Kapten bersandar pada palang, menjaga jarak beberapa inci jauhnya dariku. Beberapa detik kemudian, aku tersadar, kali terakhir aku bertemu dengannya, suasana di antara kami tidak menyenangkan.

Mengingat hal itu membuat kecanggungan di antara kami berdua semakin kental.

Aku melirik dan terkesiap mendapati mata emasnya tengah mengawasiku. Meski tertangkap basah, pemuda ini sama sekali tidak berniat memalingkan wajah. Terpaksa, akulah yang lebih dulu memalingkan muka. Lalu diam. Tidak ada yang bicara. Rasanya seperti ada bongkahan es yang terbentuk di tengah-tengah kami dan aku beserta penyihir ini terjebak di dalamnya. Berusaha mengatasi kecanggungan, aku mencoba melepas kacamata pelindung aneh ini.

Dan langsung menyesal karena pernah mencoba.

Rasa sakit itu masih ada. Detik pertama kacamata itu lepas, sihir menyerbu masuk dan menusuk-nusuk mataku. Kapten hanya menyaksikan percobaan nekatku tanpa bicara sepatah kata pun.

Aku mencoba memakai kacamata itu lagi dengan benar. "Kacamata apa ini, kalau saya boleh tahu, Kapten?" Aku memberengut heran. Kenapa di dalam kacamata pelindung ini aku tidak merasakan sakit apapun meski dikelilingi sihir?

"Kacamata khusus untuk orang yang alergi sihir sepertimu."

Oh. "Terima kasih." Dua kata terakhir itu keluar tanpa ragu dari mulutku, tanpa aku perlu berpikir dua kali, tapi entah kenapa dua kata itu terdengar parau, seolah keduanya keluar setelah ditahan bongkahan entah apa di dalam leherku untuk waktu yang lama.

Ada kesunyian panjang yang cukup mengkhawatirkan setelah ucapan terima kasih itu hingga aku khawatir dia tidak mendengar ucapanku tadi, tapi melihat ekspresi kosongnya yang membeku, seakan sedang melihat hantu di hadapannya, aku ragu dia tidak mendengar.

"Untuk apa?" Dua kata itu akhirnya keluar dengan berat dari mulutnya.

Yeah untuk apa? Aku juga mau tahu. Sejauh ini dia lebih banyak buruk daripada baiknya. Sebagai tambahan, aku masih belum lupa fakta bahwa dia penyihir, jadi sebenarnya hanya sedikit sekali alasan bagiku untuk berterima kasih padanya. Tetap saja, secuil apapun itu, aku harus berterima kasih. Itulah yang membedakanku dari makhluk seperti mereka.

"Dokter bilang ... Anda meminta benda ini khusus kepadanya. Dan Dokter bilang, susah membuat benda ini. Terima kasih sudah memberikan benda langka seperti kepada saya."

Dia mendengus. Ekspresinya kembali hidup, tak lagi kosong. "Aku tidak membelimu untuk mendengarmu meraung-raung setiap kali kapal menyala."

"Maaf ...." Butuh sedetik bagiku untuk sadar bahwa kata tadi berasal dariku. Maaf? Sungguh? Aku baru saja minta maaf pada penyihir? Sadar baru saja mengatakan hal yang tidak wajar, mulutku langsung mengatup rapat.

Wajah kapten Xerlindar tampak penuh penantian, sadar akan nada menggantung yang keluar dari mulutku tadi. Masih ada kelanjutan setelah kata maaf yang janggal itu dan dia menunggu. Penyihir ini menungguku dengan kesabaran yang semakin menipis setiap milidetik selagi mulutku tertutup rapat.

Setelah menarik napas panjang dan menyingkirkan semua ego yang mengamuk tak keruan, aku meneruskan, "Maaf untuk hampir saja menjatuhkan kapal ini."

Dia menggumam tak jelas. "Terserah." Lalu berpaling dariku, menatap lantai di bawah kaki kami.

Sungguh? Setelah memberiku wajah yang dipaksakan untuk bersabar, hanya itu jawabannya?

Setelah ia berpaling, sekarang giliranku mengamati dirinya. Sungguh, tidak banyak yang berbeda antara dirinya dengan penyihir yang aku temui tiga tahun lalu. Jika mereka benar-benar orang yang sama, secara keseluruhan, dia hanya sedikit jadi lebih tua, lebih tinggi, dan lebih penuh luka, tapi sisanya, tidak ada yang berubah. Apa mereka benar orang yang berbeda?

Tunggu, apa aku baru saja berharap mereka orang yang sama? Dia yang menciumi Jocelinne dan mencumbu wanita itu dengan perilaku yang demikian rendah di hadapan umum, sama dengan penyihir-perompak yang aku temui tiga tahun lalu?

Baiklah, mereka memang sama kurang ajarnya dalam hal mencium perempuan, tapi hanya untuk memikirkan kalau mereka orang yang sama, rasa jijik menyeruak di dalam perutku.

Hampir tak sadar, aku menggigit bibir, melipatnya ke dalam mulut dengan frustrasi.

Tidak boleh. Mereka bukan orang yang sama. Jangan sampai mereka orang yang sama.

Aku hanya salah orang. Mungkin bukan pemuda ini. Apapun bisa terjadi dalam waktu tiga tahun. Dia memang memiliki ciri yang hampir semuanya sama, tapi itu bukan berati mereka sama. Lagipula sebesar apa usahaku malam itu? Saat itu dia terkena stigma dan salepku tidak membantu apapun. Itu bukan perbuatan yang pantas diungkit maupun diingat-ingat.

"Bisakah kau hentikan itu?"

Aku menengok, hanya untuk bertatapan dengan wajah kesal kapten Xerlindar. Apa yang ia suruh hentikan itu sama dengan apa yang aku kira di dalam kepalaku? "Hentikan ... apa?"

Saat itulah aku baru menyadari wajah kapten Xerlindar mengilap oleh peluh. "Tidak perlu berlagak tolol lagi. Seluruh awak kapal sudah melihat bagaimana semua sihir hilang dan mesin kapal mendadak mati setelah kau menjerit memanggilku keparat."

Sejujurnya aku tidak ingat bagian mengatainya keparat, tapi aku ingat sempat memaki-maki sebelum semuanya berubah gelap. Jadi hitung saja aku memang memakinya.

Sekarang aku mulai berandai-andai jika saja aku dapat menjawabnya dengan mudah. Menghentikan? Mengendalikan? Astaga, tahu kekuatan ini semacam sihir saja baru beberapa saat yang lalu.

"Kalau begitu, kenapa tidak menurunkan saya, jika saya boleh tahu?" Pertanyaan ini mengundang wajah penasaran kapten Xerlindar. "Kalian bisa saja menurunkan saya di Tortuga karena kapal belum berangkat, tapi kenapa Tuan Gillian tidak membuang saya selagi ada kesempatan?"

"Aku tidak pernah membuang barang yang kubeli dengan susah payah."

Ada sesuatu yang menyengat ketika dia memanggilku barang. Sudah tiga tahun aku tidak dijuluki barang dan telah lupa bagaimana sakit dan terhinanya dikatai seperti itu.

"Tuan Simon bukannya tidak akan menerima pengembalian barang." Aku beralasan, meski anak paling kecil di Tortuga pun tahu betapa Louis Simon tidak akan menerima pengembalian barang walau itu hanya satu keping mur sekalipun.

Kapten Xerlindar mencondongkan tubuhnya, menggunting sedikit jarak antara kami berdua. "Kau pikir aku tidak tahu risiko ketika aku membelimu? Aku tahu risikonya, Tuan Alto." Wajahnya semakin mendekat. "Aku sudah tahu semua risikonya ketika pertama kali bertemu denganmu di gudang."

Gudang. Benar, kami bertemu di gudang tuan Hector. Di sana, kapten Xerlindar berpenampilan buruk rupa. Dia menggunakan sihir hitam—meski aku tidak tahu kalau sihir hitam bisa digunakan untuk cara seperti itu—untuk menyamarkan diri agar tidak disukai dan untuk memuluskan urusan dagang, tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa dia menguasai sihir hitam.

Sihir hitam.

Menatap melewati sela-sela rambut hitamnya yang bertiup pelan di bawah sentuhan angin, aku mendapati kabut-kabut merah tipis yang terbang melayang di udara di belakang kepalanya. Mataku mengikuti mengikuti arah asap itu membumbung di sekeliling kami. Ini sihir angin, sihir elemen.

Sihir putih.

Penalaran itu membuatku tersentak mundur. Mataku membelalak menatap pria di hadapanku dengan kengerian yang tidak ditutup-tutupi.

Sihir hitam dan sihir putih. Dia bisa menggunakan dua sihir. Penyihir seharusnya hanya bisa menguasai satu sihir. Penyihir yang bisa menguasai dua sihir hanya satu golongan: para penyihir dengan kekuatan di atas rata-rata.

"Royalis."

Kata itu bergema di pikiran dan keluar langsung dari mulutku. Di tengah udara sunyi di antara kami, suaraku seakan bergema berkali-kali meski pada kenyataannya kata itu hanya terucap satu kali. Kapten Xerlindar tidak terlihat bingung dengan kata yang baru saja keluar dari mulutku. Tidak ada kebingungan yang membuatku merasa harus mengulang kata itu maupun menjelaskannya. Dia paham, seakan sudah jutaan kali ada orang yang menjulukinya demikian.

"Penguasa lebih dari satu jenis sihir, maksudmu?" Tanpa bisa kuhentikan, kapten Xerlindar meraih leher baju budakku.

Tangannya menarikku dengan kasar. Berkat tenaganya yang besar, dalam sekali tarikan, jarak di antara kami hampir musnah sama sekali. Wajah kami nyaris bersentuhan. Embusan napas kami yang menjadi satu berubah menjadi uap tipis di udara. Jika saja tidak ada kacamata pelindung yang melindungi mataku dari kontak mata langsung, mungkin aku sudah berpaling atau menundukkan kepala.

"Kalau ya ...." Jari telunjuk dan ibu jarinya menyentuh daguku, sementara tubuhnya semakin condong kepadaku, semakin mendekatkan wajah kami berdua, "memangnya kenapa?"

Pertanyaan itu menarikku paksa ke dalam deja vu. Dia menanyakan pertanyaan yang sama persis, dengan cara yang sama seperti pemuda di malam itu. Sialnya, reaksi tubuh yang kuberikan juga sama. Napasku tercekat dan jantungku berdentam dalam irama kacau ketika wajah kapten Xerlindar semakin dekat. Pendar di matanya semakin terang.

Aku ditelan oleh pendar hidup di matanya tanpa melawan sama sekali ketika nyanyian itu terdengar.

***

-

A/N:

Judul babnya nganu sekali yeee.

Adakah yang terpancing clickbait yang saya tanam di sana? Wahai para pembaca lama, mengaku sajalah, kalian terpancing kan sama judul bab di atas? Heuheuheu

Sayang sekali, mesra-mesraannya belum bakal kejadian di sini. Tahan teriakan histeris kalian, Hadirin. Sekarang biarin saya dulu ketawa puas. Hahaha.

Untuk sementara kalian nikmati dulu kebenaran yang terkuak satu demi satu di sini, oke?

-

Pengumuman kecil dan gak penting sama sekali:

Ketika lihat ranking ini di wattpad kemarin, saya langsung nyengir-nyengir kuda macam orang gila. Lazarus Chest ranking 2 di tagar steampunk dooonggg!!1 Kyaaaaaa!!!

Eh, waktu saya lihat, berapa kompetitornya, cengiran saya berubah jadi tawa gila.

Cuma 20 yang lain woy! Cuma dua puluh lagi dan saya masih belum bisa jadi nonmor satu dong!

Oke, akhirnya saya mikir....

Masa bodo berapa pun kompetitornya! Berapa banyak pun yang nyaingin! Yang penting saya masuk tiga besar! Buahahahahahaha!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro