Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Menjadi Awak

"Kapanpun Anda bersedia, Sir."

Will terkekeh sebelum melontarkan senyum jenaka kepadaku. "Tidak perlu seformal itu padaku. Perbedaan jabatan kita tidak terlalu jauh di sini." Dia mengedikkan bahu dengan santai.

Dahiku berkerut-kerut bingung. "Apa ... kiranya jabatanku di sini?"

"Awak," jawab Will santai. Dia menunjuk dirinya sendiri. "Swain—perwira junior—yang menangani bagian bongkar dan angkut barang-barang," jawab Will. Mengambil langkah mendekat, mata gelapnya menatap ember di pelukanku. Senyum jahil merekah di bibirnya yang tipis. "Tapi aku juga ditugaskan bersih-bersih seluruh bagian dalam kapal sebagai hukuman. Jadi ... kita berbagi tugas, eh?"

Aku melirik ember di pelukanku selama sedetik. "Kurasa begitu," jawabku tak acuh. Lalu aku tersadar sesuatu. "Hukuman apa?"

Hampir terlihat seperti kebiasaan, Will menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang kurasa tidak gatal. "Aku ... melakukan kesalahan dengan salah satu pesanan penting. Kapten marah besar."

"Oh." Pantaslah di gudang tadi dia senewen sewaktu Hector mencegahnya mengambil pesanan.

Dia menepuk pundakku. "Nah, ayo, Greenie! Kita bersihkan bagian dalam kapal." Dengan keakraban yang entah datang dari mana, dia merangkul pundakku, menarikku ke dalam dekapannya dan menyeretku pergi. Tapi kemudian dia berhenti lalu mencondongkan tubuhnya dan menatapku lekat-lekat. "Bagaimana kau melakukannya?"

Ada dugaan kuat yang meraung-raung dalam pikiranku. "Apa maksudmu?"

"Warna matamu itu." Benar dugaanku. "Bagaimana bisa warna matamu berubah dari hijau ke coklat seperti itu?"

Sejujurnya, aku tidak siap menghadapi jawaban itu. Hijau ke coklat? Warna mataku berubah seekstrim itu? Berkali-kali aku bercermin dan masih ingat warna mataku segelap biji buah kenari. Sudah ada dua orang yang bilang warna mataku berganti, sekarang ada yang menjelaskan bagaimana perubahan warna mataku bisa membuat dahi mereka berkerut-kerut bingung.

Kemudian pertanyaan itu menghantam benakku.

Bagaimana jika mataku berubah tanpa aku ketahui?

Demi Langit, bagaimana kalau itu benar? Bagaimana kalau selama ini mataku sering berubah warna tanpa aku tahu?

"Hei!" Seseorang memetik jarinya di depan mataku, menyentakku dengan paksa kembali ke kenyataan. Setelah mengerjap beberapa kali, wajah heran Will berada dekat sekali dengan wajahku. "Kenapa mendadak kau melamun?"

"Tidak, tidak ada apa-apa. Hanya sedikit ... bingung," jawabku seadanya.

Will bergumam sebentar sebelum merangkul pundakku semakin erat. "Kalau begitu, ayo! Bard mengawasi kita malam ini dan kalau sampai dia melihat ada noda di lantai ...." Will meringis, menandai hal buruk tanpa perlu bicara panjang lebar. Setidaknya dia sudah memberiku peringatan, itu bagus, meski aku tidak tahu siapa Bard yang dimaksud di sini. "Wow, Greenie, kau benar-benar butuh makan! Pundakmu kecil sekali! Tapi tenang, bekerja di sini akan membuat seluruh otot-ototmu muncul dan para wanita akan langsung berdatangan!"

Aku tidak berniat untuk dikagumi para wanita dan jelas aku tidak akan kagum pada pria sepertimu, batinku sambil diam-diam menjengit ke arah Will.

"Sebelum itu," ujarku, melepaskan diri secara paksa dari rangkulannya yang terlalu akrab untuk ukuran dua orang yang baru saling kenal selama satu hari, "apa kau punya cermin?"

***

"Air tidak banyak membantu," protesku saat kesekian kalinya aku berkaca di permukaan air di dalam ember sebelum membilas kain lap ke air kotor di dalamnya. Refleksi wajahku pada air sempat hancur di antara riak-riak air sebelum kembali utuh.

Warna mata beserta wajahku hanya hitam putih di sana dalam gradiasi warna yang tidak bisa kubedakan. Tidak ada warna mencolok yang dapat membuktikan kata-kata Will dan tuan Hoggs.

Will mengedikkan bahu. "Hanya itu yang bisa kau dapatkan di sini," jawabnya selagi menggosok-gosok lantai dengan spons berbusa. "Kau lihat berapa banyak orang rapi di kapal ini?"

Tidak ada.

Hoggs punya janggut mencuat ke berbagai sisi, kelihatan sekali tak pernah dicukur maupun disisir. Aku tidak bisa mengukur berapa aftershave—krim bercukur—yang harus ia gunakan kalau mau mencukur habis semua janggut itu. Rambut di kepalanya punya nasib tidak lebih halus dari janggutnya yang carut marut.

Will sendiri tidak tampak terlalu baik. Rambut putihnya memang terlihat kontras dalam artian indah di atas kulitnya yang gelap, tapi minimnya perawatan membuat keadaan rambut itu lebih baik dari sapu ijuk. Tiap helainya kusam, kotor, dan tampak kaku.

"Tepat sekali," tegas Will tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku tadi. "Nah, setelah melihat keadaan kami, apa kau berpikir kami punya cermin?"

Aku rasa tidak. "Tapi kaptenmu rapi sekali."

"Yeah," Entah ini hanya perasaanku saja atau Will terdengar agak jengah saat bersuara. "Kapten memang selalu rapi, karena itulah dia menakutkan. Mengerikan dan jorok adalah dua kata berbeda, jika kau paham maksudku."

Sejujurnya aku tidak paham. Apa maksudnya dengan mengerikan dan rapi adalah dua kata berbeda? Apa rapi membuatmu kesan mengerikan tetap menempel padamu?

Pertanyaan terakhir itu menyalakan api pemahaman di dalam kepalaku yang sempit dan gelap. "Oh ya, aku mengerti maksudmu." Lalu figur pangeran Oryziel muncul di dalam kepalaku, menampilkan sosoknya yang sempurna dan mengerikan di saat yang sama. Diam-diam, aku mengakui ucapan Will.

"Oh, aku rasa aku harus menolak, Tuan Xerlindar."

Suara nyaring feminim itu membuatku dan Will bertukar pandang. Aku heran, sementara Will sedikit terkejut, tapi kemudian dia memutar bola mata dengan jengah. Ekspresinya terlihat bosan, seolah ini sudah sejuta kalinya ia mendengar suara itu. Will menengok ke belakang melewati pundaknya sementara aku menjulurkan leher untuk melihat ramp yang terbuka di belakang Will.

Seorang gadis muda berambut pirang dengan gelungan yang rumit di atas kepalanya berdiri di pangkal ramp, tepat di tepi lantai yang baru saja aku, Will, dan beberapa orang lain bersihkan. Gaun pirangnya diangkat sedikit, memperlihatkan sepasang sepatu putih berkilau yang menutupi kakinya. Mata biru gadis itu memicing menatap kami yang membersihkan lantai dengan tatapan jijik, seakan sedang melihat kecoak berjalan di atas kakinya yang putih bersih.

Sentakan sakit yang menyengat mataku memberi info penitng bahwa akan ada orang lain yang datang.

"Kenapa pergi terburu-buru, Lady Jocelinne?" Kapten Xerlindar muncul dan langsung merangkul pinggang sang wanita.

Mata Jocelinne berpindah-pindah antara kami dengan kapten Xerlindar. "Tapi, Tuan Xerlindar, kapalmu sedang dibersihkan," ujarnya dengan nada manja yang membuatku mual. Tangannya menggoyang-goyangkan ujung gaun birunya. "Lantainya basah dan aku takut terpeleset."

"Kurasa aku bisa menanganinya." Jocelinne terkesiap ketika dengan mudah kapten Xerlindar mengangkat tubuhnya, menggendong wanita itu dalam dekapannya. Pekikan Jocelinne berubah menjadi kekehan manja ketika Kapten menggendongnya bagai pasangan pengantin baru melintasi lantai yang basah.

Ketika aku bilang lantai yang basah, maka itu artinya termasuk lantai yang baru saja aku bersihkan. Mataku mendelik kesal pada tapak-tapak kaki kotor penuh pasir dan tanah di atas lantai. Sambil berusaha tenang dan mendorong semua amarahku jauh ke dasar kepala, aku mendekati jejak kotor itu dan mulai membersihkannya lagi.

Sialnya, Kapten malah berputar-putar seperti balerina di atas lantai yang baru saja dibersihkan.

Di belakang, kudengar kekeh geli Will yang tak bisa ditahan. Tanganku berhenti di lantai, bergetar akibat amarah yang siap meledak kapan pun. Aku membayangkan diriku melempar kain basah ini ke bawah kaki Xerlindar dan dia terpeleset dengan muka lebih dulu menghantam lantai, menjatuhkan gadis itu entah ke mana.

Aku mendesah pasrah karena paham bayangan itu tidak akan pernah jadi nyata, lalu dengan sabar menunggu hingga mereka berhenti berputar-putar di lantai seperti orang idiot. Jocelinne tertawa bahagia dalam gendongan kapten Xerlindar. Mengherankan melihatnya tidak muntah diajak berputar-putar seperti itu.

"Kapten, ada lebih dari sepuluh kamar kosong di sini sekarang." Suara itu menghentikan putaran konyol mereka berdua. Aku melongok ke pintu masuk kapal dan bersyukur melihat Gillian datang tanpa wanita. Sayang kelegaanku cepat menguap di hadapan wajah kusut pemuda itu yang menjadikan dirinya tampak lebih tua enam tahun dari saat ia pergi. "Biarkan ruangan-ruangan itu berguna untuk dua jam ke depan sebelum kita lepas landas."

Kapten Xerlindar berhenti dan Jocelinne bersandar dengan senang hati di dadanya. Laki-laki itu menghadapi Gillian yang jengah dengan santai.

"Ah, tentu, Tuan Gill. Tentu." Sang kapten menyunggingkan senyum menggoda pada Jocelinne dalam gendongannya. "Bagaimana kalau kau kuajak melihat-lihat isi kapal ini, My Lady? Kami menambahkan beberapa detail baru di dalam sini." Jocelinne hanya terkikik dan mengayun-ayunkan kakinya dengan manja di dalam gendongan kapten Xerlindar ketika mereka berangsur-angsur menjauh dari ruang depan.

Untuk beberapa alasan, aku merasa butuh mandi saat ini juga.

Tanpa banyak bicara, aku mendekati jejak-jejak kotor sepatu itu dan mulai membersihkannya lagi. Dari sudut mata, aku melihat Gillian melangkah di lantai yang belum dibersihkan, diam-diam menghormati kerja kami yang belum selesai. Perhatianku dari pemuda itu dialihkan oleh wajah Will yang menyeringai jahil. Sambil berpura-pura membersihkan lantai, dia merangkak mendekat.

"Jangan iri begitu, Greenie!"

Mendadak saja jantungku melompat ke tenggorokan. "I-iri apa?"

"Iri melihat Kapten, tentu saja!" Will menjawab seakan aku baru saja berusaha mengelak dari kebohongan yang tampak menyedihkan. "Kalau kau sudah naik pangkat jadi Swain, kau bisa membawa satu atau dua wanita ke dalam sini!"

Mengesampingkan perasaan lega yang merebak, keningku berkerut-kerut, tanpa sengaja memerhatikan kemeja putih Will yang kusam dan celana katunnya yang kumal, jauh dari kata menawan untuk menarik wanita. "Kau sudah pernah membawa wanita kemari?"

"Satu kali," jawabnya bangga. "Dan aku bahagia. Tentunya tidak sedang dihukum seperti ini. Kau juga bisa, andai saja ...." Bagai dijatuhi karma, sekarang Will gantian meneliti seluruh penampilanku. Ia terkikik. "Kau menyingkirkan pakaian lusuh itu dari tubuhmu."

Aku segera sadar diri. Satu kain setel lusuh mirip kain sarung bantal dari perbudakan di bar Simon's masih menempel di tubuhku. Dan tadi aku mencela mereka semua lusuh dan kumal? Aku benar-benar tidak tahu diri.

"Hei, apa tadi aku mendengar suara di sini?!" Suara parau itu membuatku menengok, berhadapan dengan wajah sangar penuh luka. Pria berbandana hitam itu memelototi semua orang yang membersihkan lantai termasuk aku dan Will.

Tanpa sengaja, mataku terpaku pada kedua matanya. Sebelah matanya memang mata normal berwarna hitam, tapi matanya yang lain, hanya terdiri dari lensa yang lampunya menyala putih. Beberapa rangka mini bergerak di sekitar lensa itu, menggerakkan lensanya maju-mundur.

Mata automaton.

Dia juga android.

Kepalaku digerakkan dengan paksa untuk kembali menatap lantai.

"Apa yang kau lakukan, Idiot? Kau mau dihukum membersihkan pispot?!" desis Will.

Mataku mengintip, mencoba menatap wajah pemuda yang seenaknya menyentuh kepalaku. "Memangnya apa yang sudah kulakukan?" Terbawa suasana, aku ikut berbisik.

Will membelalak seakan aku baru saja mengatakan hal paling konyol di seluruh dunia. "Menatap mata Bard!" desisnya lagi. "Apa kau belum pernah bertemu android sebelumnya, Demi Bintang-Bintang!"

Aku bukannya tidak pernah bertemu. Sejak dulu, sebelum para penyihir merajai dunia ini pun, android sudah ada. Orang-orang, terutama yang kehilangan organ setelah perang, memasang organ prostetik untuk menggantikan anggota tubuh mereka yang hilang. Ayahku bukan spesialis pemasangan organ prostetik, tapi beliau pernah memasang kaki untuk Ruffie, anjing keluarga kami yang kehilangan salah satu kakinya karena gigitan serigala.

"Dia yang namanya Bard?" bisikku.

Diam-diam aku melirik android bernama Bard itu sekali lagi. Waktu itu mungkin gelap dan mungkin aku hanya sekali melihat saja, tapi wajah dan sinar putih dari mata android itu tidak keliru. Dia android yang malam itu kulihat. Tiga tahun lalu, aku dan Suri melihatnya membunuh seorang penyihir.

Kemudian aku teringat peringatan Will. Apa salahnya menjadi punya organ prostetik? "Tidak ada yang salah dengan menjadi android." Aku menyuarakan pikiran.

"Lima belas tahun lalu, baiklah, itu tidak salah, tapi sekarang?" Will menjauh, kembali mengepel lantai. "Bard tidak menjadi android karena dia mau."

Pikiran itu segera terhapus setelah aku ingat, para penyihir membenci android. Ketidak murnian, menurut mereka. Android adalah simbol kecacatan yang harus dihapuskan. Bagi para penyihir, android bukanlah manusia. Mereka hanya seonggok logam hidup yang berpura-pura menjadi manusia. Android tidak diterima di Serikat manapun. Mereka adalah manusia-manusia yang dibuang dan menjadi sampah di jalanan. Tapi kurasa perompak tidak masalah menerima android setelah melihat ada dua android di dalam kapal ini.

"Tidak ada yang mau, kurasa," gumamku sambil ikut mengepel lantai. "Siapa yang mau mengganti kulit dan tulang dengan sebongkah logam penuh pipa dan katup uap?"

Diam. Kami berdua terus mengepel lantai. Aku berusaha menjauh, tapi Will terus menjaga agar jarak kami tetap dekat.

"Dia mendapatkan mata itu dari penyihir," bisik Will kemudian. "Kudengar mereka menyiksanya dengan mencungkil sebelah matanya dengan iaraghi ketika dia sadar."

"Tapi dia berada di kapal yang dikomandani penyihir dan dia sadar itu." Jawaban ini mengundang tatapan kaget Will. Sengatan di mataku menguat ketika membalas tatapannya. "Kau pun sama."

Untuk sesaat yang singkat, waktu membeku. Kami berhenti berhenti dan hanya saling menatap. Hanya ada kami berdua di ambang batas dunia sebelum waktu kembali berjalan normal.

Will adalah yang pertama kali memalingkan wajah. Dia terus saja mengepel, tapi tangannya mencengkam spons dan air yang dituangkannya ke lantai jadi tumpah ruah tak keruan.

"Kapten berbeda," tegas Will tiba-tiba, mengalihkanku dari Bard. "Dia bukan penyihir seperti itu. Pada saatnya kau juga akan tahu." Dia menaruh spons basah itu kembali ke dalam ember dan berdiri. "Dan di sini sudah selesai. Ayo!" Dia berbalik menghadapku. "Masih ada banyak lorong untuk dibersihkan."

Lorong? Dia bercanda kan?

***

A/N:

Nasibmu, Alto

Kapal sebegitu gedenya, dibersihin. Cucoook


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro