Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Xerlindar

Tidak ada lagi kapten Xerlindar tambun yang buruk rupa.

Di hadapan kami semua kini berdiri seorang pemuda di pertengahan usia dua puluh, bukannya pria paruh baya. Alih-alih tambun dan pendek seperti kentang, tubuhnya tinggi dan perutnya rata. Kancing-kancing di kemejanya tidak lagi kelihatan menderita. Sebaliknya, mereka terlihat sangat lega di tubuh yang sudah jauh mengecil itu.

Cara berdirinya tegap. Kakinya tidak mengangkang membentuk huruf O seperti pria tambun yang tadi berdiri di tempatnya. Wajahnya yang berjanggut kasar, penuh kutil, dan lipatan lemak lenyap, berganti wajah mulus dengan rambut hitam halus menutup seluruh permukaan kulit kepalanya. Mata hitamnya lenyap, berganti sepasang mata emas yang berpendar lebih terang. Sepasang mata itu memandang Will dan bibirnya menyunggingkan senyum.

Wajah itu, potongan rambut itu, suara itu, dan mata emas itu, semuanya sama. Semuanya masih ada pada tempatnya. Dia benar-benar pemuda yang aku temui malam itu.

"Kau!" Mataku terpaku pada pelipisnya, mencari luka sayat namun hasilnya nihil. Mulutku membeku. Tuduhan sudah ada di ujung tenggorokanku, tapi lidahku berubah kelu.

Sebelah alisnya terangkat dalam cara yang benar-benar menyebalkan untuk disaksikan. Senyumnya sirna. Wajahnya memberengut. "Aku apa?"

Percuma. Tidak ada luka untuk membuktikan apa yang terjadi malam itu. Dan dia tidak terlihat mengenalku. Dia malah menatapku sama seperti melihat orang asing. Aku hanya akan mempermalukan diri sendiri jika berteriak seolah mengenalnya. Berpikir cepat, satu tuduhan lain langsung singgah di kepalaku.

"Kau penyihir!" pekikku, berusaha terdengar sespontan mungkin, berusaha terdengar bahwa aku tidak baru saja merencanakan kata itu untuk keluar dari mulutku.

Sebelah alis kapten Xerlindar terangkat. Keheranan terlukis jelas di wajahnya. "Ya, lantas?" tantangnya.

"Lan-tas?" Kata terakhir dari pemuda itu bergaung keras di dalam kepalaku.

Kenapa caranya bicara seolah aku baru saja mengatakan hal paling tidak penting sedunia?

Jawabannya langsung datang. Tatapan tajam dari mengawasiku dari segala sudut. Seluruh awak menyorot tajam ke arahku. Mereka semua, tanpa kecuali, memicingkan mata, menyatakan kebencian secara terang-terangan. Tangan-tangan mereka sudah bersiap di senjata masing-masing, pedang maupun senapan, seolah jika aku mengatakan sesuatu yang buruk, mereka akan menggunakan senjata-senjata itu membunuhku sekarang juga.

Tatapan mata mereka mengatakan semuanya. Jadi para awak sudah tahu kalau kapten mereka penyihir? Begitu saja? Tidak ada yang melawan? Semuanya hanya diam dan menurut?

Kalau begitu apa bedanya kapal ini dengan Serikat? Kelompok perompak terkenal ini jadi terlihat seperti replika Serikat, hanya saja dengan fasilitas lebih bagus dan kebebasan yang lebih luas.

"Aku menunggu ...." kapten Xerlindar melipat tangan di depan dada. Sudut-sudut bibirnya naik membentuk senyum congkak, sama persis dengan senyum yang ditunjukkannya malam itu. Ah bukan, maksudku pemuda yang aku temui malam itu.

"Tidak ...." Aku menarik napas dalam-dalam dan menunduk di hadapannya. Kurasa bicara bukan pilihan bijak di sini. "Tidak ada ... Sir."

Kapten Xerlindar mengambil satu langkah maju. Bunyi langkahnya bergema di dalam telingaku. Hampir secara refleks, aku mengambil satu langkah mundur. "Apa kau mau bilang penyihir tidak pantas menjadi kapten perompak?"

"Tidak ...." Entahlah apa aku harus senang atau merasa sial karena terdengar terlalu tenang. "Saya ... tidak pernah berpikir untuk mengatakannya."

Kapten Xerlindar mengambil satu langkah maju lagi, begitu pula denganku menarik satu langkah mundur. "Oh, tapi kau ingin mengatakannya tadi. Kalau tidak, untuk apa kau memekik?"

"Itu ... tidak sengaja." Sekarang suaraku terdengar sangat gugup, seperti seorang yang siap menangis jika ia mendesak sekali lagi. "Saya ... hanya ...."

"Hanya?" Perompak Sialan! Kapan dia akan berhenti mendesakku?!

"Hanya ... agak terkejut." Aku menunduk semakin dalam. Jarak yang semakin dekat membuat rasa sakit di mataku meningkat pelan-pelan. Berusaha kuatur napasku agar tetap normal. "Perompak penyihir itu tidak biasa, t-tapi itu bukan masalah. Sama sekali ... bukan."

"Benarkah?" Terdengar satu langkah mendekat lagi dari sang kapten. Kali ini tubuhku membeku. "Sama sekali bukan masalah? Tapi kau begitu bersikeras di Simon's tadi. Kau sampai memohon-mohon untuk tidak dijual. Ada apa? Kau membenci perompak?"

Mulutku sama sekali tidak bersuara. Bukannya aku ingin mengakuinya terang-terangan, hanya saja tidak ada alasan bagiku untuk menyangkalnya. Di mataku perompak itu kasta yang rendah. Mereka seenaknya bebas, mengacau, dan menjadi buronan, sementara mengabaikan nasib sesama manusia lain yang berada dalam perbudakan para penyihir.

Mereka tidak ada bedanya dengan penyihir.

"Kau membenci perompak, eh?" Kapten Xerlindar mendapatkan jawabannya. "Dan dari caramu memekik tadi, sepertinya kau juga membenci penyihir. Bagaimana perasaanmu dibeli perompak yang juga penyihir?"

Buruk. Sekarang setelah kau menyebutkannya, jadi terasa sangat buruk.

Kepalaku disentak. Mataku dipaksa bertatapan dengan mata emasnya yang berpendar hidup penuh energi sihir. Tidak ada senyum di wajah kapten Xerlindar. Kedua alisnya bertaut, menjadikan tatapan itu seganas anjing-anjing neraka yang kelaparan.

"Tatap lawan bicaramu, aku sudah pernah bilang kan?" geramnya. "Dan jawab setiap aku memberimu pertanyaan, apa perintahku kurang jelas, Tuan Alto?"

Rasa sakit itu menyengat mataku lagi. Sulur-sulur merah dari tubuhnya menari-nari dalam pandangan mataku. "Ya, Kapten."

"Sekarang jawab aku, apa kau benci berada di sini? Kau benci aku beli dari bar bau itu?" tanyanya tajam.

Sulur-sulur hijau zamrud mulai keluar dari tubuhku, melilit perwujudan energi sihir miliknya. Sekali lagi udara bertambah panas. Dua energi kami beradu, berusaha meraih dominansi di atas yang lain.

Aku bisa saja berbohong. Sungguh aku bisa. Namun entah kenapa keinginan berbohong berada jauh sekali di belakang kepalaku. "Apa pertanyaan itu perlu dijawab?"

Kapten Xerlindar menjengit. Kemarahan membuat energi sihirnya menggelegak, memaksa suara ringisan maju hingga ke ujung lidahku. "Kau cukup berani menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, Tuan Alto."

"Karena menurut saya, dijawab pun tidak akan ada gunanya." Kedua mata itu membelalak lebar. "Apa yang saya rasakan itu tidak penting bukan? Anda membeli saya. Selama saya bekerja di sini, saya akan dibiarkan hidup, jika saya tidak berguna atau memberontak, saya akan dibunuh. Semudah itu saja kan?"

Gila. Aku baru saja mengatakan perasaanku pada seorang penyihir, di depan mukanya sendiri. Ini gila.

Kapten Xerlindar masih saja mematung di dekat mataku. Energi dari kami berdua masih saling beradu berebut dominansi. Kelopak mataku mulai bergetar, tak sanggup terus-terusan menatap sang kapten di tengah terpaan perih yang menyengat.

Jika aku dihukum mati setelah ini, tidak ada yang aneh. Aku baru saja mengungkapkan kebencianku terang-terangan kepada seorang penyihir, kepada seorang kapten perompak yang kelompoknya dikenal tidak memiliki ampun. Hidupku akan tamat.

"Hoggs!" Mendadak sang kapten berseru lantang selagi wajah kami berdekatan, memekakkan telingaku.

Tanpa sungkan, dia mencampakkan rambutku dengan kasar. Sang kapten berpaling ke arah lain. Tanpa kusadari, kerumunan sudah terbentuk di sekeliling kami. Para awak, yang kesemuanya laki-laki, menatap kami berdua dengan sorot penasaran, seolah kami tontonan gratis.

Terdengar bunyi derap lari mendekat. Bunyinya terdengar aneh, lebih terdengar seperti dua besi yang berkelontang karena diadu alih-alih langkah sepatu.

Dari arah ramp yang masih terbuka lebar, masuk seorang pria tua yang berlari di atas dua kaki prostetiknya. Aku melihatnya di luar tadi. Dia salah satu kru yang memperbaiki kapal di luar. Mataku berpindah dan langsung terpaku sepenuhnya pada sepasang kaki logam miliknya yang muncul dari ujung celana katun hitamnya yang hanya sebatas betis. Sepasang kaki itu tidak memakai alas apapun.

Dia android, aku tahu. Tapi bentuk kaki seperti miliknya baru kali ini kulihat. Kakinya memiliki lebih sedikit pipa pembuangan uap. Bentuknya sangat mirip kaki manusia asli.

"Aye, Kapten?" Pria tua itu buru-buru melepas kacamata pelindung yang masih terpasang di matanya dengan gerakan kikuk.

"Anak baru itu tanggung jawabmu sepenuhnya." Aku menatap kapten Xerlindar dan pria bernama Hoggs itu bergantian. Segenggam kunci dilemparkan ke udara. Tangan bersarung katun milik Hoggs berhasil menangkap kunci itu.

Meski meraih kunci itu dengan sempurna, Hoggs malah kelihatan linglung. Dia menatap kunci di telapak tangannya dan sang kapten secara bergantian dalam kebingungan yang tidak ditutup-tutupi.

"A-apa, Kapten? Tapi, saya ...." Kapten Xerlindar berbalik, menanti jawaban keluar dari mulut tua itu dengan sorot mata tajam mengintimidasi. Hoggs mendadak bisu. Ia menelan ludah dengan gugup dan langsung salah tingkah. "Baiklah ... apapun katamu, Kapten." Lalu pandangan mataku dan pak tua itu beradu.

Buru-buru aku mengalihkan pandang ke arah mana saja kecuali pria tua itu, sementara kapten Xerlindar pergi ke arah ramp tanpa pernah berbalik.

"Hei, Xerlindar, kau mau ke mana?" Dari atas, Gillian berseru marah.

Di pangkal ramp, kapten Xerlindar menebar senyum pada Gillian. Bukan tipe senyum yang menyenangkan, lebih mirip senyum menyebalkan yang membuatku ingin menggilas siapapun pemiliknya. "Lady Jocelinne menungguku, Tuan Gill. Tadi kami berpapasan dan aku berhutang mentraktirnya minum."

"Dan kau bilang tidak ada yang menarik minatmu!" geram Gillian. "Kita berencana untuk berangkat malam ini!" Gillian berteriak lagi.

"Tuan Gill, kau seharusnya ikut denganku juga."

"Tidak, terima kasih. Aku punya kekacauanmu yang harus diurus!"

"Tuan Gill." Nada suara kapten Xerlindar berubah serius. "Aku memaksa."

Ekspresi Gill mengeras. Mulutnya berkomat-kamit mengucapkan gerutuan yang tidak jelas selagi ia berderap turun dari lantai atas, menyusul kapten Xerlindar yang masih menunggu di ramp. Berdua, mereka berangkulan keluar dari kapal, membicarakan sesuatu dalam bahasa yang tidak kumengerti.

"Apa yang kau lihat, Nak?" Teguran itu menyentakku, memaksaku menatap Hoggs yang sudah memberengut kesal. "Ada banyak yang bisa kau lihat nanti! Sekarang seret dua kaki cantikmu itu dan ikut aku, itu kalau kau mau dapat jatah makan malam!"

***

Tidak peduli berada di mana pun, pekerjaan kasar selalu menghampiriku.

Kutatap penuh ironi ember dan selembar kain usang yang lapuk dan mulai berjamur di genggaman tanganku.

"Clayton akan menunjukkan jalan padamu untuk mengambil air dan sabun. Dia juga bersih-bersih sekarang," jelas tuan Hoggs. "Dan nanti malam gantikan aku berjaga dari tengah malam hingga fajar. Empat jam, tidak kurang, tidak lebih."

"Apa?" Kata itu meluncur keluar dari mulutku secara spontan.

Tuan Hoggs mendelik. "Apa tadi aku mendengar sesuatu, Nak?"

"Aye, Sir," koreksiku cepat-cepat. "Saya paham."

Tuan Hoggs hanya memberikan dengusan sebagai jawaban. Dengusan itu tidak bernada marah, malahan terdengar santai. Jadi kuasumsikan aku tidak mengatakan sesuatu yang salah. Namun manik-manik kusam yang mendadak menyipit itu mencegah napas lega keluar dari mulutku.

Menelan ludah dengan gugup, aku menundukkan kepala. Mencoba menghindari kontak mata. Tidak ada yang bagus jika ada orang yang menatapmu seintens itu. Entah mereka ingin mengelupas seluruh rahasiamu atau ingin mengancammu, benar-benar tidak ada yang bagus.

"Dongakkan kepalamu, Nak!" suruhnya. "Aku ingin lihat lebih jelas."

Dikuasai kebingungan, tanpa sadar aku mendongakkan kepala seperti apa yang pria tua ini katakan. Kukira dia akan puas dan langsung pergi, namun responku malah membuat keningnya berkerut-kerut, menampilkan keriput-keriput penuaannya semakin jelas.

"Apa mataku sedang menipuku atau memang matamu seperti itu?"

Tanpa bisa dihentikan, sebelah alisku terangkat. Sekarang aku semakin bingung. "Apa maksud Anda, Sir?"

"Matamu." Dia mengulangi dengan jengkel, lantas berhenti mencondongkan tubuhnya kepadaku. Keningnya masih berkerut-kerut seolah tengah berpikir keras. Sangat keras. "Apa matamu selalu berubah warna seperti itu?"

"Berubah warna?" Sekarang aku semakin bingung saja. "Apa maksud Anda?"

"Jangan tanya aku! Itu matamu, bukan mataku!" Pria tua itu berdecak kesal. "Demi Hantu Langit, apa kau tidak pernah berkaca? Lihat sendiri matamu yang aneh itu!"

Kemudian tuan Hoggs pergi begitu saja, meninggalkanku melongo dengan tololnya di tengah lorong yang sepi. Kukira dia akan menelitiku, mengajakku menemui Kapten, atau minimal memberiku cermin untukku mengecek sendiri, tapi tidak.

Dia hanya pergi begitu saja. Tidak peduli apakah ini urusannya atau bukan.

"Jadi kurasa kita akan jadi teman baik selama dua jam ke depan?" Aku hampir melompat jika tidak keburu membeku di tempat saking kagetnya mendengar suara itu.

Menoleh dengan kaku, aku mendapat balasan cengiran jahil dari Will yang berdiri tepat di sampingku. "Jadi ... kapan kau siap?"

***

A/N:

Saya selalu suka adegan pembukaan identitas, dengan cara apa pun. Hehehe.

Lagian, siapa yang nggak suka bagian ketika karakter utama identitasnya terungkap? Sensasinya itu loh. Beuuuuhhh

Dan kira-kira apa yang bakalan terjadi ya? Apa Alto bisa bertahan di kapal yang semua isinya laki-laki? Kira-kira Kapten punya rencana apa ya sama dia? Fufufu, layak ditunggu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro