Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Kelompok Perompak

Tidak ada yang bicara selagi kami bertiga mengarah ke pelataran kapal udara utara. Tanpa melakukan kontak dengan orang lain, kami berjalan dalam diam melewati berbagai macam orang yang sebagian besar berjalan dan bersenda gurau dalam keadaan mabuk. Mulut mereka bersuara parau dengan berbagai macam racauan tidak jelas sementara langkah mereka sempoyongan, membentur apapun yang berani menghalangi jalan.

Sulur-sulur hijau milikku terus keluar memakan sihir hitam milik penyihir-perompak di depanku, namun seakan tidak ada habisnya, jumlah sihirnya tidak berkurang sama sekali. Nyala asap merah-hitamnya masih sama terang dengan beberapa menit lalu.

Sementara dia tampak baik-baik saja, aku sudah kepayahan setengah mati di sini.

Kepalaku menunduk, napasku tersengal, dan peluh menetes tanpa henti karena energiku terus menerus terkuras oleh rasa sakit akibat sihir sialan miliknya. Bersikap tenang terasa semakin sulit. Sinar menyengat matahari musim panas membakar kulitku sepanjang jalan yang mulai mendaki menuju pelataran kapal udara, membuat kepalaku pening dan semakin memperparah rasa sakit ini.

Terdengar gelak tawa. Kepalaku mendongak sedikit dan melihat Will memalingkan separuh wajahnya, tersenyum padaku. "Baru beberapa langkah dan kau langsung kehabisan napas?" Pemuda itu mencibirku. "Kau diberi makan apa di dalam sana?"

Apa saja yang layak, jawabku dalam hati.

Tampak sedikit kecewa karena tidak mendengar jawaban dari mulutku, Will berpaling ke depan ke arah kaptennya. "Kapten, kau sungguh-sungguh ingin dia bergabung dengan kita? Dia kelihatan tidak berguna sama sekali!"

Sang kapten tidak menjawab, membuat Will langsung terdiam dan tidak bertanya lagi. Kecanggungan yang tidak menyenangkan mulai terbangun di antara kami bertiga.

Pertanyaan-pertanyaan berkutat di benakku sepanjang langkah. Untuk apa aku ada di sini? Kenapa dia mendadak membeliku? Kenapa aku? Kenapa bukan orang lain padahal ada banyak orang lain di dalam gudang saat itu?

Will berbalik lagi dengan wajah heran. "Kau tahu, ini saatnya kau mulai banyak bertanya, misalnya siapa kami, apa mau kami, atau kenapa kau ada di sini." Sungguh aku juga ingin tahu, tapi apa gunanya bertanya? Semua sudah terjadi. "Sungguh? Tidak ingin bertanya? Padahal aku juga ingin tahu sekali kenapa kau ada di sini. Kenapa dia ada di sini, Kapten? Aku tidak ingat agenda kita ke Tortuga untuk mencari awak baru."

"Memang tidak ada, Tuan Clayton. Aku baru saja memikirkannya tadi."

Itu tidak membantu. Jawaban itu hanya membuat pertanyaan di dalam kepalaku bertambah banyak. Dia baru saja berpikir untuk membawaku. Dia tidak berencana dari awal untuk membeli budak.

Kenapa? Kenapa begitu mendadak? Kami belum pernah bertemu sebelum di gudang tuan Hector kan? Apa sejak dari sana dia berniat untuk membeliku?

"Kurasa dia akan jadi orang yang membosankan," Will mengeluh. "Hei, kalau kau sekarat dan merasa akan mati, cobalah untuk melapor lebih dulu ya! Aku lebih suka calon mayat berjalan sendiri dan keluar kapal daripada menyusahkan awak lain untuk membuang jasadnya!"

Akan kuusahakan.

"Demi Hantu Perompak!" Will mengerang frustasi. "Kau ini sama sekali tidak suka bicara ya?"

Aku mendesah dan kembali menunduk. "Karena bicara tidak ada gunanya."

Diam sedetik. "Apa kau baru saja bilang sesuatu? Kalau ya, tatap mata orang yang mengajakmu bicara!" Pemuda berkulit gelap itu menggeram.

"Sungguh?" Tanpa sadar aku menyeringai. "Kau mengizinkanku menatap matamu, Sir? Seorang budak sepertiku diperbolehkan menatap lawan bicara yang derajatnya lebih tinggi dariku?" Di Simon's, aku memang diperbolehkan menatap lawan bicara. Louis malahan melarangku menundukkan kepala di hadapan orang lain. Tapi pria itu, sang kapten, adalah penyihir. Tidak ada penyihir yang suka ditatap oleh manusia.

"Baiklah," Will terdengar canggung. "Setelah kupikir-pikir lagi, lebih baik kau diam. Kata-kata yang keluar dari mulutmu agak terlalu—

"Tentu saja, Tuan." Kini sang kapten yang bicara. Bayangan Will berhenti berjalan. Aku pun ikut berhenti. "Kau boleh menatap dan boleh bicara, selagi kami belum menjahit mata dan mulutmu, karena kami suka sekali membuang apa yang tidak berguna, bukankah begitu, Tuan Clayton?"

"Aye, Kapten!" Will menyahut dengan gembira.

Yeah, para penyihir suka mencabuti mata para tahanan sebagai hukuman, aku pernah mendengar rumor itu. Tidak mengejutkan jika kapten ini ingin melakukannya juga. Dia penyihir.

Berusaha tak mengacuhkan rasa sakit yang masih menusuk, aku mendongak menatap sang kapten dan Will secara bergantian. Meski dibilang menatap, aku tidak bisa betul-betul menatap mereka dengan semua sakit yang menyengat ini, lebih tepat jika dikatakan mataku mencoba mengintip dari balik kelopak mata untuk mengamati siluet pudar mereka berdua.

"Bagus." Sang kapten mendengus puas. "Dan bicaralah yang jelas. Tidak keras, hanya jelas untuk didengar semua orang! Aku tidak menghabiskan uangku untuk budak yang bisu dan tuli! Tapi aku juga tidak suka bicara yang berbelit-belit! Bicara saja yang biasa tanpa semua formalitas sampah itu, paham?"

Entah karena sudah terbiasa dengan semua kediktatoran para penyihir ataukah memang tidak ada jalan untuk melawan, hanya satu jawaban yang keluar dari mulutku: "Aye, Kapten."

***

"Kau tidak mau tahu kami dari kelompok perompak mana?" Will sekali lagi bertanya di tengah jalan kami.

"Bukannya aku akan segera mengetahuinya?" Aku membalas tak acuh, sukses membungkam mulut Will sekali lagi.

Tapi tidak untuk waktu lama.

"Baiklah, tapi jangan menyesal ya! Kalau kau menganga terlalu lebar, aku akan memasukkan sesuatu ke mulutmu, Dude! Jangan lupa kalau perompak selalu menepati kata-katanya!" Yeah, dan aku juga tidak lupa dengan pepatah 'Jangan percaya pada perompak'.

Sesuatu menyentak pikiranku.

Mereka perompak, dan perompak dikenal sebagai pemburu hadiah. Mereka bukan orang yang bekerja sama dengan Angkatan Udara negara manapun, tapi kapten perompak yang kuhadapi kali ini adalah penyihir.

Oh tidak, kuharap ini bukan seperti yang aku bayangkan.

"Jika aku boleh bertanya ...." Sebelah alis Will naik, menatapku penuh minat. "Apa kalian dari Inggris?"

Will mengeluarkan kikik tawa tertahan. "Apa kau tahu apa itu perompak?"

Aku tak repot-repot untuk pura-pura tidak tersinggung. "Tentu saja aku tahu."

"Kalau begitu kau seharusnya tahu kami tidak berasal dari manapun. Tapi kalau yang kau maksud adalah daerah tempat kami biasa merompak ... itu lain cerita." Will menyeringai, memperlihatkan sisi gelap yang tersembunyi di balik semua sikap jenakanya. Sorot mata itu sekarang berbinar penuh kelicikan dan tato ular di wajahnya tampak segahar sebagaimana mestinya.

Aku tidak mau dengar cerita sisanya, jadi kuanggap mereka bukan dari Inggris ataupun memihak Inggris. Ketakutanku tidak terbukti, tapi sebagian besar diriku masih belum percaya pada kapten satu itu.

"Ada apa? Kau buronan di Inggris?" Will kembali menjadi orang yang jenaka.

"Kurang lebih," jawabku seadanya, meski sebenarnya aku tidak tahu apakah aku sudah dianggap buronan di tanah Inggris atau tidak. Kemungkinan besar tidak, mengingat budak biasa diambil alih haknya oleh orang lain dengan sangat mudah.

"Bagus." Hah? "Aku juga jadi buronan di satu negara, tapi bukan Inggris."

Kami akhirnya sampai di pelataran kapal udara utara. Bentangan lapangan luas berhektar-hektar jauhnya terhampar di hadapan kami. Belasan kapal berbagai ukuran melabuhkan jangkar di tanah luas itu, bertahan kokoh di tengah terpaan angin musim panas.

Kami berjalan melewati berbagai kapal dalam berbagai bentuk dan ukuran, mulai dari ukuran kapal udara darurat yang hanya mampu menampung enam orang hingga kapal sebesar kapal udara komersil terbaik. Warna hitam menjadi warna favorit, sewarna dengan bendera yang berkibar di ekor kapal-kapal perkasa itu.

Aku memberengut tak suka melihat simbol-simbol yang akan segera menjadi naunganku itu. Simbol dalam semua bendera yang dipasang pada setiap kapal kurang lebih sama: tengkorak dengan dua senjata kembar bersilangan di bawahnya, pedang maupun senapan.

Lambang bagi perompak.

Semua kapal di sini memiliki bendera berlambang itu di masing-masing ekor kapal mereka. Satu simbol inti berupa tengkorak terlukis di bendera masing-masing kapal dengan tambahan variasi untuk membedakan satu kelompok dengan kelompok lain. Kuamati lebih jauh kapal-kapal yang dijangkar tak bergerak di tempat mereka masing-masing, mengamati setiap detil badan metalik mereka yang tampak tua dalam terpaan cahaya mentari terik.

Goresan berbagai ukuran yang tidak bisa dihilangkan memenuhi badan hampir setiap kapal. Karat tampak di pertemuan lempeng baja di badan kapal, beberapa kapal tampak memiliki satu hingga tiga sekrup yang kendur dari persendian dan sejumlah patahan yang tidak dapat dipulihkan.

Di luar, di bawah naungan bayangan kapal, beberapa awak berpakaian lengkap namun serba apa adanya, kumal penuh jelaga dan oli, meminum rum bersama-sama dan berceloteh tak jelas arahnya dalam pengaruh alkohol. Beberapa awak di kapal lain sibuk mengasah pedang, mengelap pucuk senapan, atau memoles badan kapal. Salah satu dari mereka yang ternyata android memerhatikan kami dan menyeringai, memamerkan gigi emas dan tangan prostetiknya yang memiliki ujung bor yang berputar aktif.

"Oh, ngomong-ngomong, kami belum tahu namamu." Will bertanya tanpa repot-repot menatapku, maka aku pun tidak bersusah payah menatapnya. Lagipula sang kapten juga tidak menaruh perhatian sedikit pun pada apa yang kami bicarakan.

"Apa itu perlu?" Mengingat kaptennya adalah penyihir, seharusnya aku bisa dipanggil ras saja atau nomor seri yang ditato di lengan kananku ini.

"Sebaiknya kau memberitahuku namamu, Dude." Will terkikik geli lagi. "Percayalah, kau tidak akan mau dinamai oleh awak yang lain. Mereka bisa memberimu nama yang mengerikan, fart—kentut—dan hiccup—cegukan—hanya sedikit contohnya."

Sang kapten tidak bersuara. Kalau dipikirkan lebih jauh, terasa aneh juga. Kapten itu, walaupun dia penyihir, tetap memanggil Will dengan nama, bahkan memakai kata 'Tuan' di depan namanya. Dia tidak memanggil Will dengan nama ras maupun nomor seri, meski entah apa Will punya nomor seri atau tidak.

"Alto." Aku bersuara sambil melirik ke depan, memergoki Will tengah memalingkan separuh wajahnya untuk menatapku juga. "Namaku Alto."

Will memalingkan wajah ke depan lagi dengan seulas tipis senyum merekah di bibirnya. "Alto ya?" Kami berbelok sedikit, menuju ujung pelataran kapal udara, tempat satu kapal udara raksasa menurunkan jangkarnya dan berlabuh.

Mataku membelalak selebar-lebarnya.

***

Bentuk kapal ini masih sama. Warnanya yang hitam legam, enam baling-baling utama, bentuk haluan, badan, dan ekornya masih sama. Aku yakin. Ingatanku belumlah selapuk itu. Walaupun saat itu malam hari pekat oleh asap tebal, aku tidak akan pernah lupa siluet raksasa berselimutkan sihir yang berkilau terang di gelapnya malam penuh asap hitam itu.

Namun saat ini tidak ada sihir merah yang melapisi badan kapal seperti malam itu. Kapal udara ini sama polosnya dengan kapal perompak mana pun yang dikemudikan manusia. Sayangnya mataku tidak akan bisa ditipu. Sulur-sulur energi merah bercampur hitam masih mengaliri badan kapal walau terlihat samar dan hanya sesekali terlihat. Warna sihirnya sama. Tidak salah lagi. Ini kapal yang sama yang kulihat di malam terakhirku di wilayah Inggris.

Kapal kelompok perompak Black Mary.

Mataku beralih ke dua orang yang berada di depanku. Ini benar-benar kejutan. Mereka anggota Black Mary yang terkenal. Pemuda bernama Will dan penyihir yang memiliki sihir sewarna dengan sihir yang mengaliri kapal itu adalah bagian dari kelompok Black Mary. Penyihir yang memimpin jalan kami adalah—tunggu sebentar.

Dia kaptennya? Penyihir buruk rupa itu kaptennya? Dan sihirnya berwarna sama dengan warna sihir di kapal? Tunggu—bagaimana bisa?

Terakan pangeran Oryziel, teriakan yang masih menghantui malam-malamku hingga detik ini, menggema nyaring sekali lagi di dalam kepalaku.

"Kau membantu kapten Black Mary kabur, Manusia Rendah!"

Kapten. Aku membantu sang kapten melarikan diri. Pemuda waktu itu adalah kapten. Tapi Will memanggil penyihir paruh baya buruk rupa itu sebagai kapten. Mereka anggota Black Mary, artinya pria paruh baya itu kapten Black Mary. Apa waktu itu pangeran Oryziel salah sangka? Apa waktu itu sebenarnya yang kutolong bukanlah kapten? Tapi jika benar pemuda itu kapten, kenapa sekarang dia berwujud seperti ini? Apa yang terjadi? Tidak, wajah kapten ini terlalu tua untuk masa tiga tahun. Mereka dua orang yang berbeda, tidak mungkin sama. Tapi kalau tidak sama, pemuda yang kutolong itu siapa? Jelas-jelas aku melihatnya masuk ke kapal ini.

Aduh, mendadak saja kepalaku sakit.

Merasa sedang ditatap, aku menoleh. Mata seluruh awak Black Mary yang ada di luar kapal membalas tatapanku. Segala keramaian aktivitas di atas kapal berhenti, mereka yang membersihkan badan kapal, mengecek mesin, bahkan yang sedang melakukan bongkar muatan pun terdiam, seakan ada yang menghentikan waktu. Mata-mata mereka yang kusam terlihat mati tanpa pendar nyala sihir di dalam tubuh mereka mengawasiku dalam diam.

Mereka semua manusia. Kenyataan itu mengusik benakku.

Belum sempat aku berpikir lebih jauh, secara tiba-tiba, seorang pemuda mendarat dengan kedua kakinya di hadapan penyihir di depanku. Kepalaku naik turun dengan tololnya, berusaha mencari asal pemuda entah dari mana itu sehingga bisa mendarat tepat di hadapan kami.

Apa dia baru saja turun dari langit atau itu hanya perasaanku?

Pemuda dengan kain merah di kepalanya itu memicingkan mata kepada sang kapten, lalu berpindah pada Will, sebelum akhirnya kepadaku ... dan hanya terpaku padaku selama beberapa lama. Ekspresinya yang tenang berubah berkerut-kerut penuh kecurigaan ketika memandangku lekat-lekat. Sorot dari mata birunya yang tajam mengulitiku lapis demi lapis. Tidak ada pendar sihir di dalam matanya. Pemuda ini juga manusia. Seharusnya aku tidak merasakan sakit yang lebih dibanding rasa sakit yang kurasakan di dekat penyihir ini, tapi untuk beberapa alasan, keringatku bercucuran lebih deras di bawah tatapan sinis pemuda dengan ikat kepala itu.

"Apa aku sedang berimajinasi atau memang kau membawa orang lain bersamamu, Xerlindar?"

Seluruh tenagaku seperti menguap mendengar nama itu. Dengan mata melotot selebar-lebarnya, aku memandang punggung penyihir yang berdiri di depan Will.

Pria itu memanggil penyihir ini Xerlindar. Sang kapten Black Mary yang tersohor. Dia? Pria tambun paruh baya ini? Dia benar kaptennya, seperti kata Will? Kalau begitu pemuda yang kutemui malam itu siapa?

"Kau tidak sedang berimajinasi, Tuan Gillian. Aku memang membawa orang lain bersamaku," sang kapten, Xerlindar, berujar dengan tenang, memancing kejengkelan meningkat beberapa derajat di wajah pemuda itu.

Suasana santai menurun drastis sementara ketegangan dan kecanggungan merebak dengan cepat. Diam-diam aku melirik orang-orang yang menonton kami. Wajah mereka semua kelihatan antusias. Aku menyaksikan mereka saling berbisik satu sama lain dalam berbagai ekspresi sebelum kembali terfokus pada pemuda yang dipanggil Gillian itu. Asap dari tubuh Xerlindar mengelilingi mereka, tapi tidak ada sulur yang terlihat selain miliknya. Hanya mata sang kapten yang berpendar dan mereka tidak. Mereka semua, para awak, adalah manusia. Hanya sang kapten yang penyihir.

Sang kapten Black Mary—terlepas dari yang mana yang sebenarnya kapten—adalah penyihir. Aku sudah mengetahui fakta ini selama tiga tahun lamanya. Kelompok perompak yang ditakuti, Black Mary, diketuai oleh penyihir. Kukira awak Black Mary juga penyihir seperti kapten mereka, tapi nyatanya mereka semua manusia.

Itulah masalah yang mengusikku sedari tadi.

Mereka semua manusia sementara pemimpin mereka penyihir. Mereka rela dipimpin oleh penyihir? Oleh salah satu dari kaum yang menjajah kami selama bertahun-tahun lamanya? Apa tidak ada yang mengetahuinya? Apa mereka semua tidak tahu kalau mereka dipimpin oleh seorang penyihir?

Sekali lagi pikiranku diinterupsi oleh Gillian yang menghela napas. Carut marut di mukanya memberi jawaban betapa tinggi derajat kejengkelannya saat ini. Matanya meneliti kapten Xerlindar dari atas ke bawah.

"Kukira kau akan pulang dengan beberapa wanita lagi." Gillian masih memberengut kesal. "Bukankah ranjangmu sudah cukup dingin beberapa hari ini? Karena itu bukan kita ke Tortuga? Untuk mencari wanita yang bisa memenuhi seleramu?"

"Sayangnya mereka sudah diambil semua, Tuan Gill. Aku kurang beruntung hari ini," jawab Xerlindar masih dengan suara yang lepas dan ringan. "Dan tidak ada banyak wanita yang menarik di Tortuga, seharusnya kita berdua sudah tahu soal itu kan?" Selagi mereka bercakap, aku berdoa agar sulur energi dariku yang masih saja berusaha memakan energi sihir hitam miliknya segera berhenti, mengakhiri semua rasa sakit ini.

Gillian memutar bola matanya dengan malas sebelum menatap sang kapten lagi. "Beruntunglah aku sudah menyuruh Felippe dan Gus untuk mengangkut sisa muatan yang masih belum diangkut." Kali ini sorot tajam itu mengarah pada Will yang langsung mendongak ke langit, entah melihat apa.

"Aku melihat mereka mabuk di bar bersama dua wanita." jawab Xerlindar.

"Aku tidak banyak berharap pada mereka berdua juga." Matanya memicing tajam. "Dan seharusnya aku tidak banyak berharap padamu juga." Kemudian mata birunya yang tajam menatapku lagi. Entah ini hanya perasaanku saja atau dia memang semakin lama dia semakin tak suka padaku. Matanya beralih ke kapten Xerlindar lagi. "Berapa harganya?" Dia mengedikkan dagunya padaku.

"Seribu empat ratus barrel."

"APA?!"

Pekikan murka itu membekukan seluruh tulang punggungku. Tanpa ragu, Gillian merangsek maju ke depan wajah Xerlindar dengan mata berapi-api. Dari dekat, tinggi Gillian menjulang beberapa senti lebih tinggi dibanding Xerlindar, dengan tubuh dan langkah lebih prima dibanding sang kapten sendiri. Meski tidak melihat ekspresinya, sikap tubuh sang kapten sudah cukup menjadi jawaban bahwa ia tidak takut menghadapi Gillian.

"Seribu—Itu emas—Demi Langit!" Gillian kehilangan kata-kata. Dia tampak kalap sebelum sedetik berikutnya mati-matian berusaha untuk tenang. "Katakan padaku, Xerlindar, apa emas yang kau gunakan itu adalah emas yang baru kita dapatkan dari Singapura?" Gillian mendesis. Alis matanya menyatu, dahinya berkerut, dan giginya terkatup rapat. Jika ia naga, mungkin dari mulutnya sudah keluar asap. "Yang kita dapatkan dengan susah payah dari Ling Dao?"

"Aye." Suara Xerlindar terang-terangan menantang kemurkaan Gillian. "Apa ada yang mau kau katakan, Tuan Gill?

Aku menelan ludah dengan kasar. Situasinya semakin tidak baik. Aku berada di tengah-tengah dan menjadi sumber keretakan yang mulai muncul di dalam kapal.

Gillian terdiam mendengar tantangan itu. Sebenarnya dia kelihatan ingin sekali berputar dan menendang seluruh pantat awak yang malah keasyikan menonton kami, tapi dia memilih menjaga ketenangannya dan terus menatap sang kapten. Kuduga posisi pemuda itu cukup tinggi dan cukup dipercaya di atas kapal. Buktinya kapten Xerlindar belum menghunuskan pedangnya ke lehernya atas hardikan kurang ajar tadi. Gillian lantas mendelik padaku. Buru-buru aku menunduk, menyembunyikan wajah darinya. Kalau bisa, sebenarnya aku ingin mengkerut dan hilang saja dari sini.

"Apa dia setimbang dengan pengorbanan yang kita berikan?" Gillian bertanya. Kali ini lebih kedengaran tenang, meski masih mendesis seperti ular.

"Lebih dari setimbang." Sang Kapten hampir berbisik. "Kita sudah mendapatkan petinya, Tuan Gill. Tinggal menjaga dan memolesnya sampai siap."

Telingaku berjingkat. Peti? Peti apa yang mereka bicarakan?

Aku melirik mereka berdua lagi. Gillian memicingkan mata penuh curiga pada Xerlindar. Keberatan masih terlihat di wajahnya ketika ia menghela napas kalah.

"Terserah. Kau kaptennya." Dia mengedikkan bahu lalu berbalik, menangkap basah seluruh awak yang mengamati kami penuh minat. "Apa yang kalian lihat, Otak Udang?! Kerjakan tugas kalian atau kuikat kalian di ekor kapal semalaman penuh!"

Dengan satu ancaman itu, seluruh awak kembali bekerja. Tidak ada lagi yang berani menatap kami atau mencuri pandang. Mereka yang membersihkan kapal kembali membersihkan kapal tanpa saling mengobrol dengan lawan bicara di hadapannya sedangkan mereka yang melakukan perbaikan kembali melakukan perbaikan dan pengecekan tanpa menaruh minat lagi pada kami.

Rantaiku digoyangkan. Will tersenyum ringan padaku. Jarinya memberi isyarat untuk berjalan mendekat. Aku menuruti isyaratnya. Pemuda itu membimbing jalanku ke dalam kapal, mengikuti sang kapten yang sudah lebih dulu meniti ramp—pijakan rata menuju bagian dalam kapal—dan masuk ke dalam burung besi itu.

Detik pertama menginjak besi ramp, sakit di mataku meningkat. Sulur-sulur energi sihir berwarna merah-hitam muncul beberapa kali sebelum redup di lantai ramp. Sedetik kemudian, ada lagi sihir yang muncul di lantai ramp sebelum menghilang kembali. Sihirnya benar sewarna dengan warna sihir kapten Xerlindar. Tidak diragukan lagi, dialah yang memberi energi pada kapal ini, memberi satu lagi bukti padaku bahwa benar dia adalah kaptennya.

Tapi itu tidak mungkin. Jika kapal ini dialiri sihir, artinya semua awak seharusnya tahu kapten mereka penyihir. Biar bagaimanapun, fluida yang digunakan pada mesin bertenaga sihir dan mesin bertenaga uap itu berbeda. Para awak, terutama para teknisi, akan tahu dalam hitungan detik bahwa yang menjalankan kapal ini adalah penyihir.

Aku tidak punya waktu untuk berpikir lebih jauh ketika kami masuk ke dalam ruang besar mirip aula dengan beberapa anak tangga terhubung ke lantai dua, ruang kemudi, dan beberapa ruang lain di kapal. Di aula itu, ada lebih banyak awak yang bertugas. Lebih banyak mata yang menonton dan lebih besar juga ketertarikan yang memancar dari puluhan pasang mata itu. Namun berbeda dengan keadaan di luar, di dalam sini semua orang mengamati sambil terus bekerja sehingga amarah Gillian tidak tersulut.

Terdengar bisik-bisik dari beberapa awak yang mengamatiku, tapi tidak ada yang benar-benar berhenti bekerja maupun berkomentar lebih jauh. Mungkin karena atmosfer dingin yang dibawa Gillian sudah cukup untuk membuat mereka semua takut untuk sekadar berhenti sejenak atau mungkin mereka hanya terlalu takut karena Kapten sudah memasuki kapal.

"Jadi ... Kapten?" Will menegur sang kapten yang langsung menengok. Jari jemarinya memain-mainkan rantaiku, mengumpankannya dari satu tangan ke tangan lain seperti bola mainan anak kecil. "Akan kita apakan anak baru ini?"

"Aku tidak peduli bagaimana caranya." Dia mengibaskan tangannya remeh pada Will, tapi entah kenapa aku juga ikut tersinggung. "Buat dia berguna. Aku tidak mau menghabiskan seribu empat ratus barrel—koin emas—untuk tulang dan daging yang tidak bisa apa-apa."

Kalau begitu kenapa Anda memutuskan untuk membeliku dari awal?

"Ngomong-ngomong, Kapten." Gillian berkata lagi dari tengah tangga menuju ruang yang kuduga sebagai ruang kemudi. "Sampai kapan kau akan berpenampilan seperti itu?"

Xerlindar berdecak. "Penampilan menakutkan dibutuhkan untuk bernegosiasi dengan beberapa orang, Tuan Gill, terutama tuan Simon."

"Louis si Tambun?" Gantian Gillian yang berdecak. "Tak heran harganya tak masuk akal."

Senyum puas mengembang di wajah sang kapten ketika menatapku lagi. "Tapi hasilnya pantas." Aroma daun teh tercium samar di udara. Aku mengedarkan pandangan, mencoba mencari asal aroma itu ketika asap hitam tiba-tiba berputar di depan mataku. Aula menghangat oleh panas yang terasa asing di kulit.

Ringisan nyaris keluar dari mulutku ketika sulur-sulur zamrud milikku keluar dalam jumlah banyak, terpicu oleh pelepasan sihir. Menyadari bau teh yang memenuhi aula berasal dari asap di depan mataku ini, aku menoleh. Mulutku membisu ketika melihat dari mana asal semua asap ini.

Tubuh kapten Xerlindar lenyap. Asap, entah dari mana asalnya, berkumpul banyak di tengah aula. Asapnya sangat pekat sampai mataku tidak bisa melihat menembusnya. Warna merah tampak di beberapa bagian asap, menunjukkan padaku bahwa asap ini adalah sihir, bukan asap murni. Sakit di mataku semakin tidak terbendung. Panas membakar sekujur tulang belakangku, mengalir ke kepala, dan melelehkan mataku. Kepalaku menunduk, kedua tanganku mengepal kuat dalam kungkungan belenggu, buku-buku jariku memutih, dan urat kebiruan mencuat di kulitku yang putih.

"Benci mengakuinya, tapi ...." Aku mendengar Will bergumam, "tidak peduli berapa kali aku melihat prosesnya, aku selalu kagum. Bagaimana mungkin sihir bisa mengubah bentuk seseorang begitu jauh?"

"Karena hukum sihir menentang nalar, Tuan Clayton."

Jantungku mencelus. Seiring rasa sakit yang perlahan sirna, panas internal yang mereda, dan sihir yang perlahan musnah, mulutku membeku. Benakku ditikam berkali-kali oleh perasaan familiar yang tidak menyenangkan.

Suara itu tidak asing.

Dengan napas tersengal dan peluh yang masih bercucuran, perlahan pandangan mataku bergerak merayap di tanah, mengikuti arah asap tadi berasal.

Sepasang kaki bersepatu bot hitam berdiri kokoh di tengah lantai. Mataku terpaku selama beberapa detik pada sepatu bot penuh lumpur dan tanah itu sebelum perlahan merangkak naik ke tubuh dan ke wajah sosok yang tadi berdiri sebagai penyihir luar biasa tambun buruk rupa yang merupakan kapten kapal Black Mary.

Dan meski sudah berusaha untuk tetap tenang, aku masih saja terkesiap.

***

A/N:

Godaan untuk hiatus lagi besar sekali, Pemersaaah.

Saya lagi gak bisa baca buku. Gak bisa riset. Keracunan hape dan webtoon. Lagi gak ada inspirasi. Lagi males banget nulis hal baru yang kontinyu. Lagi gak mau mikir. Lagi dalam situasi gawat tanggap otak banget. Ada yang punya solusi?



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro