Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Pria Buruk Rupa

"Budak wanita pertama dan satu-satunya hari ini!" Suara Louis terdengar dari jarak beberapa kaki di luar bar. "Usianya masih dua puluh tahun dari Prancis." Antusiasme para perompak meningkat dalam skala besar. Suara mereka terdengar riuh di dalam bar. "Baiklah, harga dibuka mulai tiga ratus koin emas! Tiga ratus barrel!"

Dan keributan pun semakin menjadi-jadi.

Sementara huru-hara sudah dimulai di dalam sana, aku menyibukkan diri dengan tumpukan kotak kayu berisi dinamit, pedang, senapan, dan berbotol-botol rum di gudang Hector&Co yang berjarak dua yard dari bar Simon's. Memindahkan, menyerahkan, dan menghitung jumlah barang dalam kotak-kotak kayu yang nantinya akan diangkut puluhan lori—bak angkut beroda—ke pemilik masing-masing menjadi aktivitasku selagi pelelangan berlangsung.

Louis sudah pasti akan marah jika tahu aku mengangkut kotak-kotak kayu berisi selain suplai untuk Simon's, tapi aku rela menjadi tukang pembersih pispot jika itu artinya bisa menjauh dari sihir. Sayangnya meski sudah menjauh, asap merah-hitam dari sihir hitam itu masih saja menari-nari di tanah di dekat bar, menandakan penyihir sang pemilik sihir itu masih betah bercokol di dalam sana.

"Hei, Tuan!" Seruan itu mengalihkan perhatianku dari bar. Pemilik gudang ini, Hector, berseru padaku, menunjuk enam kotak kayu yang bertumpuk di dekat pintu masuk gudang. "Angkut barang-barang ini ke sana!" Pandanganku mengikuti telunjuknya yang mengarah ke pelataran kapal udara utara.

"Dan jangan lupa untuk menagih! Mereka belum membayarku!" Sungguh? Dia memintaku menarik lori—bak angkut beroda—berisi enam kotak kayu penuh ke pelataran kapal udara? Jika kotak-kotak ini diangkut ke sana, artinya semua peti kayu ini milik perompak bukan? Dan dia meminta budak sepertiku bisa meminta sejumlah uang dari perompak?

Menelan semua kebingungan itu sendiri, aku mengangkat dua kotak kayu sekaligus, merangkulnya di antara kedua lengan dan sudah berputar hendak keluar ketika tangan-tangan putih itu muncul. Tangan itu mengangkat kotak kayu paling atas, lalu wajah seorang pemuda berkulit gelap eksotis dengan rambut nyaris putih muncul dari balik kotak yang terangkat. Ia tersenyum. Mata hitamnya yang kusam memberiku sorot jenaka, berlawanan dengan tato ular hitam gahar yang meliuk di dahi hingga pipinya.

"Yo!" sapanya riang. "Ini barang-barang kaptenku! Tidak perlu repot-repot membawanya!"

Kaptenku. Dia baru saja mengatakan kapten. Laki-laki ini perompak. Satu catatan lagi, kaptennyalah yang memesan enam kotak kayu ini.

"Dan kukira kau tidak akan datang, Will!" Hector menggerutu kepada pemuda berkulit gelap itu. Pria tua itu mengisap cerutunya satu kali sebelum meletakkannya lagi ke atas meja yang penuh dengan dokumen pengiriman.

Pemuda bernama Will itu berputar menghadap Hector. "Kapten sudah lama memesan barang ini. Dia tidak akan mungkin lupa." Kemudian dia beralih kembali kepadaku. Matanya menatap satu kotak tersisa. "Bisakah kau ....?"

Memahami isyaratnya, segera kuserahkan kotak itu ke atas lengannya. Kemudian aku memberinya satu kotak lagi, dan hampir memberikannya satu kotak lagi ketika ....

"Oke, aku bukan Goliath, Dude! Santai saja!" Will menggeram, tampak kesusahan dengan tiga kotak di lengannya. "Lagipula aku akan kembali lagi. Aku harus membayar semua barang ini."

Pria tua bernama Hector itu tahu-tahu saja sudah berada di belakang Will, memegang pundaknya, dengan raut wajah kesal setengah mati. "Oh tidak bisa, Will. Kau tahu aturannya! Tidak ada uang, tidak ada barang!"

Will memutar bola matanya dengan jengkel dan menaruh kotak-kotak itu ke lantai sebelum kembali menghadap Hector. "Hanya karena sekelompok perompak menipumu, tidak berarti kaptenku akan menipumu juga, Pak Tua!" omelnya. "Kau tidak pernah mengeluh seperti ini jika berurusan dengan Kapten!"

"Aku percaya kaptenmu, tapi aku tidak percaya padamu!" Saat aku menonton perdebatan konyol tak berguna itu, sakit tiba-tiba menyerang mataku hingga membuat keduanya menutup dengan keras. Pertanda buruk. "Sekarang kalau kau bersedia—

"Apa yang terjadi di sini?!"

Mataku yang masih kesakitan seketika membelalak, memandang asap merah-hitam yang sudah mengelilingi tubuhku. Panas asing itu kembali muncul, menjalar dari tulang belakang, bergerak ke lengan, hingga ujung kaki, memberikan panas internal yang berdesir gelisah bagai gerakan uap terperangkap dalam ketel. Sulur-sulur energi berwarna hijau zamrud keluar dari bawah kulitku, segera melilit asap merah-hitam itu.

Demi Langit, padahal aku sudah berusaha menjauh!

Pura-pura tenang, aku berbalik. Dengan susah payah, aku membuka mata di tengah perih yang menghunjam tanpa henti, berusaha menyibukkan diri dengan mengacak-acak belasan kotak kayu, mengangkat dan menurunkannya tanpa ada aktivitas pasti.

"Nah, bagus! Sekarang aku akan kena masalah!" Terdengar Will menggerutu di belakang.

"Tidak ada masalah, Sir." Hector berbicara dengan nada segan—setengah takut, kurasa—kepada siapapun yang menghardiknya tadi. "Sekarang setelah kau muncul, tidak ada masalah."

Terdengar geraman kesal. Panas energi sihir terasa semakin membara.

Keningku berkerut-kerut keheranan. Kali ini sulur-sulur hijau zamrud milikku tidak menang. Asap merah itu masih mengelilingi kedua kakiku. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun energi sihir itu akan berkurang atau melemah, seakan tidak terganggu.

Rasa penasaran mengusikku. Peluit di dalam kepalaku meneriakkan bahaya, namun rasa penasaran di dadaku lebih kuat. Aku menoleh, mencoba mencari tahu siapa penyihir pemilik sihir hitam ini dan napasku langsung tercekat.

Dia pria terburuk yang pernah kutemui.

Tubuhnya luar biasa tambun. Kancing-kancing dari kemeja putih yang ia kenakan tengah berjuang mati-matian untuk tidak tanggal demi menutupi rasa hormat di tubuh bulat itu. Kulit lehernya bergelambir beberapa lapis dengan wajah penuh kutil. Matanya susah payah melotot dari balik lipatan kulit yang luar biasa tebal. Janggutnya kusut dan mencuat ke segala sisi, menolak untuk diatur sementara gigi geligi di dalam mulutnya yang dilapisi bibir tebal tampak menguning penuh air liur.

Sihir hitam mengelilingi tubuh pria tambun itu berputar dalam jumlah yang tidak sedikit, memperburuk kesan penyihir itu yang sudah sangat jatuh di mataku. Sulur-sulur energi itu keluar dari lehernya yang nyaris tidak terlihat, ujung-ujung lengan baju, belakang mantel, hingga dari balik celana panjangnya yang hampir lepas. Sihirnya meliuk, mengelilingi setiap makhluk yang memiliki darah hingga hampir membalut seluruh tubuh semua makhluk hidup di ruangan ini hingga memenuhi udara.

"Sesuai pesananku, kalau begitu?" Penyihir itu menggeram.

"Aye, Sir!" Hector mencicit, terdengar sangat lega. "Dua kotak amunisi, satu kotak senapan, satu kotak pedang, dan dua kotak rum segar dari Moldova."

Penyihir itu menyerahkan satu kantung kulit gemuk ke atas tangan Hector yang sudah siap. Wajah Hector berubah berseri-seri menerima kantung kulit gemuk itu telapak tangannya.

"Selalu senang berbisnis denganmu, Sir!" Hector berseru riang.

Will mendengus. "Sekarang setelah Kapten datang, baru kau mencicit!" Ia mencibir. Pemuda itu membungkuk dan mengangkat tiga kotak kayu yang tadi hendak ia angkat. Ketika Will memergokiku menonton mereka, aku berbalik seperti pengecut tertangkap basah, kembali berkutat dengan kotak-kotak kayu dengan seribu tanya di kepala.

Apa tadi aku tidak salah dengar? Will memanggil penyihir itu dengan panggilan Kapten? Penyihir itu adalah Kapten yang ia maksud?

Setahuku Tortuga adalah wilayah netral tempat penyihir tidak boleh menyentuh manusia. Terlalu banyak manusia sampai para penyihir tidak mau datang ke tempat ini. Pembeli Hector mewakili dua golongan yang ada di pulau ini: para penghuni pulau seperti Louis, lalu para perompak yang hanya sekadar singgah. Kemungkinannya sangat kecil bagi panggilan 'Kapten' disematkan pada sekadar pilot dari kapal udara penyihir yang secara kebetulan dan entah kenapa mau singgah. Di pulau ini, panggilan Kapten menjadi milik pemimpin perompak dan hanya pemimpin perompak.

Kalau begitu, penyihir itu pemimpin perompak? Seingatku perompak yang juga penyihir hanya ada satu. Mengingat hal ini, seketika ingatanku melayang ke malam petaka itu, malam untuk pertama kalinya aku bertemu seorang pemuda yang merupakan penyihir sekaligus perompak.

Memberanikan diri, aku mengintip ke belakang sekali lagi, mencoba mengintip Will yang beranjak menjauh. Pakaian pemuda itu lusuh, memang, tapi dia memakai celana, dan juga kemeja putih yang bagus. Dia juga memakai sepatu bot. Pakaiannya berbeda dariku yang hanya terdiri dari satu baju terusan tanpa alas kaki. Dia memakai pakaian lengkap.

Mungkin istilah 'perompak' terlalu bagus disematkan pada sekelompok manusia yang dipimpin penyihir. Jika penyihir yang memimpin, kapal itu tidak ada bedanya dengan Serikat berjalan. Tapi Will tidak berpakaian seperti budak. Dia benar perompak. Matanya tidak berpendar, artinya dia memang benar manusia. Manusia tunduk pada penyihir dalam kelompok perompak?

Mustahil.

Sadar hampir tertelan pikiran sendiri, buru-buru aku berbalik menghadap tumpuka kotak lagi, berharap penyihir itu tidak keburu memergokiku melirik Will.

Pemuda yang kutemui malam itu adalah kapten Black Mary. Penyihir itu kaptennya. Kukira hanya penyihir muda waktu itu yang menjadi perompak, ternyata ada lebih dari satu penyihir-perompak. Kenapa para penyihir ini memilih untuk menjadi perompak yang merupakan musuh penyihir lain di seluruh dunia? Bukankah mereka bisa hidup dengan mudah di manapun? Kenapa menjadi perompak? Mungkinkah hanya untuk memperkaya diri? Atau karena sang kapten, penyihir itu, memperbudak semua awak?

Kalau begitu, kelompok ini tidak ada bedanya dengan perbudakan biasa kan?

"Hei, kau yang di sana!" Sebenarnya tanganku sudah membeku di udara, tapi aku tetap memaksakan diri untuk tidak berbalik. "Aku memanggilmu, Otak Kerdil!"

Dengan ragu, aku berbalik dan mendapati kenyataan pahit bahwa Hector baru saja memanggilku. Pria tua dengan rambut penuh uban itu mendelik marah. Yang lebih buruk, penyihir buruk rupa itu juga ikut memandangku. Mata hitam sipitnya mengintip dari balik lipatan kulit itu.

"Ya ... Sir?" Aku menghadap Hector seutuhnya, menatap mata laki-laki tua itu.

"Apa yang kau lakukan, Idiot?! Kau hanya membolak-balikkan barang-barangku sejak sepuluh menit lalu!"

"Maafkan saya," cicitku. "Saya hanya mencoba memastikan tidak melakukan kesalahan, Sir."

Hector mendengus jengkel. Dia berniat mengomel lebih lanjut jika saja penyihir buruk rupa itu tidak menoleh padanya.

"Nah, urusanku sudah selesai di sini." Pria itu lantas berbalik pergi, membawa serta semua sihir hitam itu bersama tubuh tambun dan kedua kakinya yang berjalan mengangkang seolah melangkahi batu besar di setiap langkah. Setiap langkah yang ia ambil tampak menyiksa dirinya. Pelan-pelan aku beringsut mundur, mencoba menjauhi sihir hitam itu bagai menjauhi kecoak raksasa.

Sihir hitam itu semakin pudar seiring sumbernya yang semakin jauh. Dari dalam gudang, mataku terus mengawasi penyihir itu, berharap dia pergi dan tidak mengarah ke Simon's hingga tanpa sadar aku sudah menatapnya terlalu lama.

"Apa yang kau lihat?" Satu ludah mendarat di baju lusuhku. Hector mendesis kesal. "Cepat angkut kotak-kotak itu ke pelataran kapal udara selatan!" Dia menunjuk delapan kotak kayu yang menumpuk di sudut. Aku buru-buru bergerak ke arah yang diperintahkannya, tanpa lupa untuk melirik sedikit ke arah penyihir tadi pergi.

Penyihir itu sudah menghilang.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro