Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Pelelangan

Tiga tahun kemudian

Poster pelelangan itu menghinaku.

Bukan aku sebenarnya, melainkan seluruh budak yang akan dilelang di pelelangan yang diadakan di Simon's, toko dagang dan bar milik Louis Simon, hari ini.

PELELANGAN TERBESAR

HADIRI PELELANGAN, DAPATKAN BARANG MENJANJIKAN DENGAN HARGA MEMUASKAN

Melihat tulisannya yang cukup jelas dibaca di atas kertas kuning kumal begitu, bisa kusimpulkan Henry yang menulis poster itu karena tulisan tangan Louis tidak lebih baik dari anak tiga tahun. Kertas itu ditancapkan ke dinding dengan beberapa paku, dipasang di tempat-tempat strategis yang bisa dilihat banyak orang. Ketika kubilang strategis, itu termasuk di depan kandang para budak yang dilelang—maksudku barang lelang—di gudang belakang bar, berdesakan dengan gudang anggur.

Entah apa maksud menempelkan poster di sini. Tidak akan ada yang melihat posternya kecuali para barang lelang sendiri, kecuali jika Louis ingin mengejek para barang lelang malang ini.

Kuberikan tatapan menyesal pada enam belas budak yang ditakdirkan untuk dijual ketika menempelkan poster itu di depan hidung mereka. Entah apa semua dari mereka bisa membaca, tapi setidaknya, aku tahu mereka dapat memahami apa yang akan terjadi dari semua riuh antusias seluruh pegawai Louis yang lain.

Sebaliknya, aku memberikan tatapan menghina pada poster itu.

Pelelangan? Persetan. Sekeren apapun namanya, tetap saja kegiatan tukar menukar budak.

Jika saja tidak ingat bahwa aku juga bekerja sebagai budak Louis dan mungkin saja akan menjadi objek pelelangan yang akan diadakan selanjutnya, aku sudah akan menyobek dan membakar poster ini di hadapan Louis. Pria tambun itu memang adalah penyelamatku dan orang yang memperkerjakanku selama tiga tahun lamanya, tapi itu bukan berarti dia bisa seenaknya menjual budak-budak yang menurutnya sudah tidak berguna lagi. Dia pikir akan ke mana budak-budak ini selain ke tangan para perompak yang singgah atau para pedagang kikir yang tinggal di Tortuga? Siapapun tahu nasib manusia-manusia malang ini tidak lebih baik di tangan para perompak dan pedagang licik yang hanya tahu uang, rum, dan wanita. Tapi majikanku itu memilih tidak acuh dan lebih mementingkan perutnya yang sudah kelewat besar.

Diam-diam, aku melirik rantai serta belenggu yang mengikat kedua tangan masing-masing budak, miris melihat ratusan roda gigi di dalamnya. Roda-roda itu siap berputar ketika ada sesuatu yang bukan kunci asli yang masuk ke dalam lubang. Louis suka menyebut borgol ini "Tricky" dan itu bukan tanpa alasan.

Selama berada di sini, pernah ada beberapa kali percobaan untuk membuka belenggu itu. Kesemuanya dilakukan oleh anak baru yang tidak tahu apa-apa dan dikuasai ketakutan. Mereka menggunakan benda kecil apa saja yang muat masuk ke dalam lubang kunci dan mengutak-atik kuncinya. Roda gigi di dalam belenggu ini sangat sensitif sampai bisa digerakkan dengan jarum jahit. Begitu bergerak ke arah yang salah, pemicu bom akan aktif dan dalam hitungan detik, budak-budak yang tidak sabar akan kehilangan kedua tangan mereka.

Tentunya tidak akan ada akhir yang bagus bagi budak tak berguna yang tidak punya tangan.

Ada kasus lain ketika seorang budak menggerakkan belenggu ini terlalu keras hingga meledak. Aku menyaksikan dengan mata sendiri ketika serpihan daging dan tulang itu berhamburan ke lantai dan budak malang itu menjerit menangisi kedua tangannya yang sudah hilang.

Belenggu ini jelas terlalu kejam untuk mereka. Louis benar-benar tidak berperasaan ketika melingkarkan benda setan itu ke tangan-tangan manusia malang ini. Biar bagaimanapun, kita sama. Mereka bukan penyihir dan Louis juga bukan. Di tengah kondisi seperti ini, aku kaget mendapati masih ada manusia seperti Louis.

Seakan benar-benar tidak ada lagi tempat bagi manusia lemah di dunia ini, manusia-manusia sepertiku: manusia yang tidak bisa melawan sama sekali.

Perbudakan yang ada di sini hampir tidak ada bedanya dengan Serikat buatan para penyihir. Kebersihan di Simon's pun tidak lebih baik dari Serikat Pandai di London dengan semua muntahan di bar yang ada di sebelah timur dan semua debu di barang antik curian Louis di toko kelontong di sebelah barat.

Satu-satunya yang berbeda dan membuat keadaan secuil lebih baik di sini adalah ketiadaan penyihir.

Selama tiga tahun aku di sini, tidak pernah ada penyihir yang mau datang ke Tortuga. Louis pernah menyebut Tortuga adalah wilayah netral. Dia sendiri tidak begitu mengerti. Tapi di sini manusia bisa bebas, meski yang bebas hanya terdiri dari dua golongan: perompak yang tinggal tunggu waktu penangkapan oleh tentara dan mantan perompak yang memilih untuk tinggal dan beralih kerja dari pedagang di pulau ini. Meski mendapat sedikit masalah dengan beberapa barang antik Louis yang terbuat dari vanadium—logam yang dapat dialiri sihir—asal tidak ada penyihir di sini, aku akan terus bertahan.

"Wah, wah, wah, lihat siapa yang tidak sabar berpindah tangan hari ini?" Sosok tambun itu masuk melalui lubang pintu. "Apa-apaan ekspresi kalian semua ini? Kalian kelihatan begitu bersemangat."

Pria tambun itu berjalan dengan limbung ketika melewati celah pintu karena kaki prostetik yang baru ia dapatkan minggu lalu. Aku ingat betapa dia tak ada bedanya dengan anjing yang berkaing-kaing memohon belas kasihan ketika pertama kali mendapat kaki automaton itu dan menjadi android setelah kaki kanan tercintanya harus direnggut dan dijadikan pajangan oleh salah satu perompak yang kesal padanya.

Louis berjalan perlahan di setiap sel yang tiap sel hanya setinggi pinggangnya. Senyum mengejek diplester di mukanya yang berlipat-lipat penuh peluh dan keringat. "Kau tampak lebih cerah dan kau lebih penurut dari biasanya." Dia terus berjalan, terus menerus salah mengasumsikan wajah kosong para barang lelang lainnya hingga berhenti pada kandang terakhir. Ia menyandarkan tubuhnya pada pinggiran kandang dengan napas tersengal. "Dan kau kelihatan lebih jinak hari ini." Tangannya menepuk atap kandang terakhir.

Ia lantas berputar, berbalik menatapku.

Alih-alih menatap wajah bulatnya, aku malah menatap kaki prostetiknya. Benda malang itu kelihatan sudah mencapai batas kapasitas di usianya baru satu bulan di bawah berat badan Louis yang luar biasa tambun. Uap-uap yang keluar dari katup pembuangan kaki buatan itu jauh lebih banyak dari seharusnya, karat tampak memenuhi bagian persendian yang tersambung dengan bagian tubuh asli, dan dari peluh yang membasahi tungkai Louis, kaki buatannya kemungkinan besar sudah over heat.

Jika dia tidak segera mendinginkan kaki buatan itu, dia akan berjalan pincang lagi dalam beberapa jam.

"Bagaimana denganmu?"

Pertanyaan itu menyentakku untuk kembali menatap wajah bulat Louis. "Apa?" Aku menunjuk diriku sendiri. "Saya?"

"Kau dengar aku!" Louis menghardik, tak suka disuruh mengulang ucapannya dua kali.

"Maaf, Sir." Kutahan keinginan untuk memutar bola mata di hadapannya. Nyawa dan keberadaanku yang aman di tempat kumuh ini bergantung pada setiap kata-kata dan sikapku. Jika ada sedikit saja yang salah dariku, terutama di hari pelelangan ini, barang lelang akan langsung bertambah jadi tujuh belas. Segera kuplester senyum palsu di wajah. "Aku hanya kagum pada kaki prostetik baru itu."

Louis mendengus. "Pengalihan topik yang bagus dan, ya, ini memang kaki yang mahal, tapi ketakutanmu masih sangat terbaca." Setengah mati kupertahankan senyum itu untuk tidak luntur. Ketika Louis menyeringai, aku hampir tidak tahan untuk mendengus. "Apa kau takut akan kujual, Alto?" sindirnya. Tangannya mengetuk-ngetuk pinggiran kandang. "Kau takut bergabung dengan mereka?"

Mataku menyipit menatap wajahnya yang berlipat-lipat penuh lemak. "Anda berniat untuk menjual saya, Sir?" Aku bertanya sambil menatapnya luru-lurus. Louis tidak suka aku mengalihkan pandang ketika berhadapan dengannya dan aku suka menatap ekspresi orang lain, itu kesempatan yang tidak kudapatkan selama berada di Serikat: bertatapan.

Ia mengedikkan bahu, membuat tubuhnya yang berlapis-lapis lemak sedikit bergolak seperti riak air ketika melakukannya. "Kau sudah bersamaku selama tiga tahun. Asal kau tahu, untuk ukuran orang yang bekerja padaku, itu waktu yang lama."

Tersirat ancaman dari kata-kata itu bahwa aku akan dijual sebentar lagi. Lama-lama pria gemuk ini semakin memuakkan.

"Tiga tahun?" Aku memasang wajah lugu terbaikku. "Saya benar-benar tidak sadar, Sir. Kecintaan pada pekerjaan mungkin jadi penyebabnya."

Kenyataannya tidak juga. Aku sadar betul setiap hari yang kulalui selama tiga tahun.

Kenangan ketika tersadar di kapal nelayan itu masih segar seakan baru terjadi beberapa jam lalu. Aku tidak bercanda soal dia menyelamatkan nyawaku. Memang dialah yang menyelamatkanku, atau lebih tepatnya kapal nelayan miliknya yang kebetulan sedang memancing di teluklah yang menjalaku. Aku masih ingat betapa lucunya tersangkut di jala nelayan dan disodok-dosok dengan harpun, persis ikan hiu.

Louis mendengus. "Cinta pekerjaan? Bah!" Dia meludah ke sudut ruangan. "Jangan mengoceh tentang cinta pada pekerjaan! Kau pikir aku tidak melihat raut kurang ajarmu setiap kali kau membuat kekacauan dan merasa diri paling benar?!" Sumpah, setidaknya aku melihat sepuluh titik ludah menyembur dari mulutnya saat berceramah panjang lebar. Melengkapi tingkah jorok yang membuat ketampanannya yang sudah di bawah nol itu semakin jatuh, Louis meludah lagi ke tempat yang sama di pojokan.

Baiklah, sekarang aku tahu dari mana bau aneh yang sering kucium di sudut ruangan.

"Kau membuatku merugi! Kau dan sentuhan sialanmu itu!" Louis menyumpah serapah lagi. Benar. Louis mengira sudah mendapat budak gratis untuk toko kelontongnya di Tortuga, tapi kenyataannya, aku malah mendatangkan kerugian karena ternyata beberapa barang di toko Louis adalah barang sihir dengan vanadium—logam yang dapat dialiri sihir—sebagai bahan bakunya. "Semua barang yang disentuh olehmu tidak bisa mengalirkan sihir! Iaraghi, xifos, pendulum, semuanya!"

"Saya mohon maaf." Itu kalimat pertama yang tulus keluar dari mulutku hari ini.

Dia memang menyebalkan, tapi aku tidak bermaksud membuatnya merugi, sungguh. Kekuatan ini selalu keluar tanpa diinginkan setiap kali melacak keberadaan sihir dan aku tidak tahu cara mengendalikannya.

Kalau begini, wajar saja dia ingin menjualku setelah tiga tahun harus mengurusi kerugian yang aku sebabkan. Itu tidak mengejutkan sama sekali. Louis memang bukan majikan terbaik yang bisa didapat seorang budak, tapi, hei, aku bisa apa? Dia manusia dan itu yang penting. Aku bisa saja berada di majikan yang lebih buruk dari Louis, jadi setidaknya keadaan sekarang ini patut sedikit disyukuri. Setidaknya tidak ada yang akan memberi ultimatum bermodalkan hukuman mati atau cambuk sihir.

"Mohon dipertimbangkan sekali lagi, Sir." Aku memasang wajah memelas terbaikku. Persis anak anjing kehujanan. Mengemis sambil berkaing-kaing begini memang tindakan pengecut, tapi aku akan melakukan apapun agar bisa terus hidup. "Saya tidak punya keluarga dan saya tidak mau lagi bekerja pada para penyihir itu."

Langsung berhasil. Louis membuang muka. Ia iba padaku. "Semua manusia di dunia ini bernasib demikian, asal kau tahu." Dia meludah lagi. "Tidak ada tempat bagi kaum nonsihir seperti kita selain di Tortuga." Sekejap kemudian, raut iba di wajahnya lenyap. Sial. "Semua orang mau ke sini dan yang sudah ke sini akan melakukan apapun untuk tetap tinggal, termasuk saling menjegal dalam bisnis. Aku sudah berhutang banyak pada Tuan Rodriguez mengenai sewa tempat dan pajak tinggal, jadi aku tidak akan membiarkan ada pengacau kecil dengan tangannya yang membawa sial mengganggu kelangsungan hidupku di sini."

Sialan.

"Tapi selain sentuhan sialanmu itu, kuakui kau bekerja dengan baik, karena itulah kau masih ada di sini." Louis tergelak. "Setidaknya untuk saat ini." Dia menatap kandang dan mengetuk jeruji besinya. "Memangnya apa buruknya dilelang? Para pelangganku hanyalah perompak. Mereka hanya sekumpulan manusia pengacau, apa buruknya?"

"Buruk sekali," bisikku diam-diam, langsung merasa jijik dengan ide bekerja untuk perompak. "Menyerahkan kebebasan pada sekumpulan pemabuk yang hanya tahu uang, itu benar-benar menjijikkan."

***

Pelelangan di bar Simon's tinggal dua jam lagi. Aku bersama para pegawai Louis yang lain membongkar meja panjang di bar, memindahkan, menggantinya dengan podium kayu, dan melapisinya dengan karpet merah yang entah didapat Louis dari mana. Sebagai latar, kain biru gelap membentang menutupi lemari yang memajang berbotol-botol rum di raknya. Dalam sekejap, bagian depan bar kumuh itu berubah menjadi panggung kecil.

Setelah selesai, aku disuruh menunggu di luar, bersiap bersih-bersih ketika pelelangan usai.

Dari luar bar, aku mengintip keramaian yang sudah terbentuk. Seperti biasa, keramaian didominasi pria. Hanya ada segelintir wanita di dalam bar dan semuanya dalam keadaan mabuk bersama pria hidung belang pasangan mereka. Wajah-wajah kumuh mereka dihiasi senyum dan tawa yang tolol. Selagi Louis bersiap, mereka menggebrak-gebrak meja dengan gelas bir sampai isinya tumpah sambil mendendangkan lagu khas para perompak dengan suara sumbang mereka.

Selagi keadaan bar riuh, para budak dibariskan di belakang tirai merah kusam yang bagian tepinya sudah dimakan rayap. Henry, tangan kanan Louis, memegang ujung rantai para budak, bersiap menerima komando dari Louis. Kutatap para budak itu dengan raut penuh penyesalan. Aku benar-benar menyesal tidak bisa menolong mereka lebih dari ini. Andai saja ada cara menolong mereka tanpa membahayakan posisiku juga.

Beralih ke panggung sambil mencoba menyingkirkan rasa bersalah yang menyengat dadaku, Louis memakai mantel hitamnya yang kekecilan dan tampak tersiksa menutupi tubuh lebarnya.

Dengan gaya anggun dipaksakan yang malah membuatnya kelihatan konyol, pria itu mengetuk gelas kaca di tangannya sebanyak tiga kali, mengundang kesunyian yang perlahan menular ke seluruh isi bar.

"Baiklah, Tuan, Nyonya, dan Nona," Louis berkumandang dengan suara lantang, "terima kasih karena sudah menyempatkan waktu kalian yang berharga untuk datang ke acara pelelangan termegah di Tortuga! Perkenalkan, namaku Louis Simon, pembawa acara kalian hari ini!" Tidak terdengar tepuk tangan riuh. Hanya terdengar sorakan untuk cepat melangsungkan pelelangannya. Tidak ada yang mau mendengar Louis.

Pria itu pantang menyerah. Ia terus saja berceloteh, mengundang amarah serta rasa penasaran para peserta lelang. Selagi di luar Louis berceramah, Henry menunggu dengan sabar di balik panggung. Wajahnya datar seperti biasa.

"Baiklah, tanpa membuang waktu lagi, lelang yang pertama!"

Henry lenyap ke balik tirai selama beberapa detik lalu keluar di panggung bersama budak pertama: seorang laki-laki berkulit hitam. Henry memberikan ujung rantai dengan patuh kepada Louis.

"Budak ini diimpor langsung dari Afrika! Dia ahli membuat senjata dan melempar tombak! Cocok dijadikan pengawal!" Louis berkata dengan antusiasme tinggi. "Nah, mari kita buka dari harga dua puluh barrel!"

Dua puluh barrel? Dua puluh keping emas? Semurah itu harga penawaran awal? Ini konyol!

Sakit yang datang tiba-tiba itu membuat kepalaku tersentak. Menjauh dari jendela, tubuhku sempoyongan saat bersandar ke dinding bar. Aku menutup mata keras-keras, berusaha menahan rasa sakit yang membuat seluruh mata dan kepalaku berdenyut gila-gilaan. Semenjak tiga tahun, inilah pertama kalinya rasa sakitnya sampai separah ini.

Tidak ingin mengundang perhatian, aku kembali berdiri tegap, menahan rasa sakit yang semakin parah. Di dekat kakiku, berkumpul asap berwarna merah berbalut warna hitam kental. Terkesiap, mataku menelusuri arah asap yang keluar diam-diam tanpa peringatan dari dinding-dinding bar. Aku menelan ludah dengan gugup.

Sihir hitam.

Ada penyihir di dalam bar.

***

rue&teQ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro