Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8 | Belum Benar-Benar Padam

Cakra batal membawa Ratna ke rumah Doni. Di tengah perjalanan, Ratna akhirnya menyebut alamat tempat tinggalnya yang baru. Dia berjanji akan terbuka pada Cakra asalkan pria itu bersedia mengantarnya pulang, bukan menemui pengacaranya malam-malam. Kesepakatan tercapai dan pertukaran jasa pun dimulai, Cakra yang mengantar pulang dan Ratna yang wajib menjawab pertanyaan.

Hunian Ratna terletak di tempat strategis, dekat dengan area kampus yang mana membuatnya ramai hingga malam hari. Mall Galaxy sudah tutup ketika mobil Cakra melintasinya. Ratna memberi arahan singkat di mana sebaiknya Cakra memarkirkan mobil.

"Pastikan semua jendela tertutup dan pintu aman terkunci," kata Ratna mewanti-wanti saat turun dari mobil. "Minggu lalu kaca mobil Doni sempat dibobol nggak lama setelah antar aku ke kantor. Nggak ada kerusakan berarti, sih. Nggak ada barang-barang yang hilang juga. Tapi, tetap aja seram."

"Apa itu ulah si pengirim pesan spam?"

Ratna mengedikkan bahu. "Belum tahu. Sampai saat ini nggak ada isi pesan yang berkaitan dengan kejadian itu." Ratna menunggu hingga Cakra selesai mengitari mobilnya untuk memeriksa. Saat laki-laki itu kembali berdiri di sisi Ratna, ucapannya berlanjut, "Doni sempat memikirkan kemungkinan ada orang jahat yang memang mengincar dia, terlepas apakah berhubungan dengan kasusku atau bukan. Doni, kan, pengacara yang akrab sama kasus-kasus tindak pidana. Bisa aja ada musuh lain."

Cakra mengerutkan kening. Dia tahu risiko akibat terlibat dalam pekerjaan yang menuntut keadilan. Tidak semua orang memiliki jiwa perlambangan mata tertutup seperti Themis, atau yang biasa disebut sebagai dewi justitia. Manusia dapat menyimpan perasaan yang terkadang mengalahkan objektivitas. Kalau sudah begini, dendam bisa bercokol di hati dan pengacara jadi target sasaran empuk.

Banyak cerita aneh yang Cakra dengar dari para rekan. Ancaman yang mereka dapat beragam, mulai dari kiriman surat ancaman sampai antaran santet. Pembobolan mobil hanyalah bumbu kecil intrik yang cukup dijadikan bahan pembelajaran agar tetap waspada.

"Kamu pernah dapat ancaman kayak gitu?" Cakra bertanya.

Mata Ratna menyipit selagi garis bibirnya tertarik ke samping. "Ada alasan kenapa aku nggak terlalu panik dapat pesan aneh yang rutin masuk ke HP meskipun aku sudah bolak-balik ganti nomor."

Benar-benar tipikal Ratna. Jawabannya berputar, menuntut si pendengar berpikir. Intinya, pesan aneh itu tidak terlalu mengganggu karena sesungguhnya Ratna pernah mendapat rintangan yang lebih gila.

Cakra sangat bersyukur. Sampai detik ini, dia tidak pernah terlibat dengan pihak lawan yang aneh-aneh. Boleh jadi ancaman itu tak datang karena Cakra kurang lama berpraktik atau kasus yang biasa dia tangani memang kurang menantang.

"Terus, kalau kamu nggak terganggu, kenapa kamu minta bantuan Doni?" Cakra tak bisa berhenti bertanya.

"Kamu mau kita ngobrol di sini? Di tempat umum dan di ruang terbuka?"

Mata Cakra berkedip cepat dua kali. Ratna yang melihatnya terkekeh. Wanita itu mengajak Cakra masuk ke apartemennya.

Ratna menempati kamar tipe studio yang bisa dibilang cukup luas untuk ukuran satu orang penghuni. Begitu membuka pintu masuk, di sebelah kiri berjajar kitchen set bergaya minimalis, sedangkan di seberangnya langsung disodori pintu kamar mandi.

Cakra dipersilakan duduk di soft sofa yang sepertinya satu paket dengan coffee table berwarna cokelat gelap. Sekat antara ruang tengah dan kamar tidur hanya berupa kaca tanpa ditutupi gorden. Cakra bisa melihat tumpukan baju belum disetrika di atas kasur.

"Maaf masih berantakan. Sejak pindahan aku belum beres-beres."

Rona merah muda menghiasi wajah Ratna. Cakra terpaku mendapati hal langka tersebut. Sisi feminim Ratna menguar manis. Selama ini, Cakra lebih terbiasa dengan sosok Ratna yang mandiri dan dapat diandalkan.

Jemari Cakra yang awalnya tertekuk, mulai membuka. Dia tidak jadi gemas melihat ketidakteraturan di penjuru ruangan. Obsesi Cakra untuk berbenah mutlak teralihkan. Kecantikan Ratna-lah penyebabnya.

"Mau minum apa?" tanya Ratna sambil membuka kulkas. Dari tempat duduk, Cakra bisa ikut melongok. "Kalau mau yang nggak dingin, cuma ada air dari dispenser."

Mata Cakra terbuka lebar membaca nama merek di kaleng minuman yang sangat mencolok. "Kamu minum bir?"

Buru-buru Ratna menutup lemari pendingin. Bola matanya berputar-putar menandakan dia sedang mencari alasan. Namun, sepersekian detik kemudian Ratna sadar. Sejak satu dekade lalu umurnya masuk dalam kategori legal untuk minum minuman beralkohol. Apa yang perlu ditakutkan?

Cakra bangkit berdiri dan menggeser pelan tubuh Ratna ke samping. Dia mengambil dua kaleng bir, lantas menyerahkan salah satunya pada Ratna.

"Nggak ada yang lebih jujur daripada ucapan anak kecil dan ucapan orang mabuk." Dengan satu tangan Cakra membuka penutup kaleng. Dia membenturkan sisi kaleng minuman di tangannya dengan yang ada di tangan Ratna. "Cheers!"

Ratna mengerutkan kening. "Kamu pikir aku bakal bohong kalau lagi nggak mabuk?"

"Ada kemungkinan," balas Cakra sambil menepuk-nepuk sisi sofa yang kosong. "Aku nggak kayak Doni. Aku nggak bisa kamu jadikan boneka."

"Kamu masih menganggapnya begitu?" Ratna mendesah pelan. Meski kesal, dia tetap saja menuruti keinginan Cakra untuk duduk di sebelahnya.

"Nggak sebenarnya salah, kan?"

Ratna bungkam. Wanita itu memindahkan isi kaleng minuman ke lambung dengan cepat. Reaksi tersebut membuat Cakra merasa menang.

"Nggak masalah kalau kamu nggak mau jawab. Aku tetap harus tahu kasus sesungguhnya yang menimpa kamu." Cakra menahan tangan Ratna saat wanita itu berniat menempelkan bibirnya lagi ke kemasan minuman. "Ratna, jawab! Kayak yang aku bilang di mobil tadi, aku melakukan ini semua karena peduli sama kamu. Aku pasti bakalan bantu kamu dan Doni."

Cakra mengamati bagaimana tangan Ratna bergerak meletakkan kaleng bir di permukaan meja secara perlahan. Tercipta keheningan yang cukup panjang. Kesabaran Cakra diuji. Akan tetapi, Cakra tetap berusaha menunggu. Dia tahu Ratna sedang merangkai kata. Ratna memang begitu. Toh, nantinya waktu yang berlalu akan dibalas oleh kejujuran Ratna.

Ratna selalu berhati-hati dalam bertindak dan bicara. Cakra paham kebutuhannya yang satu itu.

"Sebelum aku kasih tahu, aku mau mengingatkan satu hal." Suara Ratna terdengar sangat jelas di malam hari. Ketegasannya tidak berkurang. "Sekarang kamu mendengarkan permasalahan ini karena menempatkan diri di posisi sebagai teman. Tapi, kita juga punya hubungan profesional, aku mantan klien kamu. Aku harap kamu tetap memegang teguh janji kamu untuk nggak membocorkan rahasiaku di masa lalu ke siapa pun dan atas alasan apa pun."

Cakra memiringkan kepala dengan kelopak mata menyipit. Apakah permasalahannya sepelik itu? Apakah perkara di masa lalu belum benar-benar selesai padahal hubungan pernikahan Ratna dan Dewa sudah terputus?

"Aku nggak ngerti, Na."

"Sampai saat ini aku dan Doni sepakat tersangka utama cyberstalking ini mantan suamiku. Dia punya motif kuat dan lebih dari mampu untuk melakukannya. Selain itu, dilihat dari pola ketikan dan cara berkomunikasi, memang benar-benar mirip."

"Oke," Cakra manggut-manggut, "terus belum bisa ditangkap?"

"Masalah ini masih diproses di kepolisian." Ratna menghela napas berat. "Kasusnya bakal jadi perlawanan yang berat. Seandainya pesan itu ditujukan sebagai teror ke aku saja, aku nggak masalah. Parahnya, pelaku mulai bawa-bawa nama orang lain yang nggak ada kaitannya." Ratna mengerling ke arah Cakra sejenak. "Contohnya kayak bawa-bawa anak kamu tadi."

"Sebelum Raga, pasti ada orang lain yang dilibatkan," timpal Cakra saat menemukan celah dalam pemaparan Ratna. "Kamu sudah proses kasusnya sama Doni sebelum kamu berinteraksi dekat dengan Raga hari ini."

Anggukan kecil dan usapan kesal di sisi wajah menjawab tuduhan pria bermata awas tersebut. Ratna mengakui. "Ya, dan kamu kenal dengan orangnya. Karena alasan itulah aku lebih percaya sama Doni untuk menangani kasus ini."

"Aku kenal sama orangnya? Siapa?"

Cakra mengusap dagu menggunakan tangan kiri sedangkan tangan yang satunya lagi memutar-mutar kaleng. Daya pikir Cakra tidak melemah hanya karena dijejali beberapa teguk minuman beralkohol. Ada satu nama yang terlintas, yang membuat Cakra tersentak.

"Jangan-jangan ...." Cakra tercekat, tak bisa melanjutkan tebakannya.

Dua orang itu saling menatap. Tatapan Ratna melahap mimik keterkejutan Cakra. Berkebalikan dengan Cakra, Ratna andal mempertahankan emosi.

"Ya, Haiyan." Ratna sengaja membuat jeda yang cukup lama. Gerakannya meneguk minuman menambah efek dramatis sebelum dia menunduk dan kembali membuka mulut. "Pelakunya mengancam dengan menyebut nama Haiyan."

Api unggun telah mati, tetapi baranya masih memantik. Itu adalah perumpamaan yang paling mendekati gambaran masalah Ratna saat ini. Cakra menyesal. Seharusnya dulu dia tak ragu-ragu menyelesaikan semuanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro