Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 | Situasi Genting

"Please, Mbak. Nanti aku jemput lagi. Akhir pekan ini gantian aku jaga anak-anak, deh."

Citra merapikan luaran camisole yang sedikit merosot. Sore tadi Raga membawa huru-hara karena hilang dari rumah tanpa pamit. Citra sudah agak tenang mendengar kabar lanjutan dari Cakra yang bilang bahwa anaknya menyusul ke kantor. Namun, pukul setengah sembilan malam, tiba-tiba pintu rumah diketuk. Cakra muncul membawa Raga di gendongan dan bermaksud menitipkannya pada Citra.

"Memang ada urusan apa lagi? Sudah malam, lho." Dengan penuh kewaspadaan, Citra menekan volume suara. "Cakra, bukannya Mbak nggak mau, tapi–"

"Mas Arya?" potong Cakra. Pria itu menjilat bibir bawahnya yang terasa kering. "Sama sekali nggak bisa bantu, Mbak? Aku benar-benar kepepet. Teman aku butuh bantuan."

Citra jadi agak panik. "Teman kamu? Siapa? Kenapa?"

"Ada, Mbak. Kapan-kapan aku kenalin." Cakra berhenti bicara karena Raga sedikit menggeliat. Tidur bocah itu terganggu oleh percakapan Cakra dan Citra. "Boleh ya, Mbak?"

Rasa iba bertunas di hati Citra. Tanpa ragu lagi, wanita itu mengambil alih Raga dari Cakra. Perkara Arya akan marah padanya bisa dipikirkan nanti. Citra cakap membedakan kapan adiknya itu hanya mengada-ada atau sedang serius.

“Hati-hati, Cak!” Citra mengusap punggung Raga penuh kasih sayang. “Mbak nggak tahu kamu mau ngapain, tapi jangan lakukan hal-hal berbahaya. Ingat Raga.”

Cakra bingung harus memberikan jawaban seperti apa. Bahaya atau tidak, itu di luar kuasanya. Cakra belum bisa menerka-nerka. Reaksi paling tepat yang bisa dia tunjukkan sekarang hanyalah diam. Kecupan ringan tertanam di belakang kepala Raga, sebelum Cakra pamit pergi.

Di dalam mobil, Ratna menunggu. Kegundahannya tak kasatmata. Kekhawatirannya berbeda dengan yang dirasakan Cakra. Seharusnya Ratna bisa mencegah semua ini. Kalau sore tadi dia mengabaikan keberadaan Raga, pasti Cakra jadi tak kerepotan.

“Maaf agak lama,” kata Cakra sambil kembali menutup pintu pengemudi. Dalam cahaya minimal, mata elangnya mengamati raut wajah tanpa ekspresi yang Ratna tampilkan. “Raga sudah aman sama kakakku. Sekarang kita bisa ke–”

“Cakra,” potong Ratna. Nada bicaranya tegas. “It’s just a mere message. Nothing threatening.”

Gaya tarik-menarik kuat terjadi di antara dua alis tebal Cakra. Gelengan keras kepala pria itu membalas pembelaan kosong Ratna. Cakra memiliki pendapat lain, yang tentu saja tidak selaras dengan ucapan wanita di kursi sebelah.

“Penanganan pertama pada kasus cyberstalking adalah pengabaian,” tambah Ratna.

“Ucapan dan tindakan kamu nggak sesuai, Ratna,” balas Cakra sambil menyalakan mesin mobil. “Bukannya kamu butuh bantuan Doni untuk mengurus masalah ini?”

Otot penggerak rahang Ratna seakan kejang. Kata-kata di ujung lidahnya tertelan kembali. Respons Cakra cukup mengejutkan, tetapi tidak terlalu mengherankan.

Ratna bisa menilai bahwa kepekaan Cakra pada suatu hal yang tak beres melebihi kebanyakan orang. Dulu Cakra berhasil mengendus hal ganjil dalam perkara perceraian Ratna. Bukan sesuatu yang susah bagi Cakra untuk menebak-nebak. Pasalnya, masalah Ratna seperti ikan mas di kolam jernih nan dangkal. Dengan kata lain, masalahnya mudah terlihat.

Lagi pula, setelah menyaksikan sendiri pesan sejenis apa yang masuk ke ponsel Ratna, Cakra pasti bisa menebak alasan dibalik Ratna memilih Doni sebagai kuasa hukumnya. Ratna hanya menyayangkan satu hal. Pada kasus kali ini, Cakra terlalu emosional.

“Aku tahu bukan dari Doni,” lanjut Cakra ketika Ratna tak kunjung bicara. “Awalnya masih berupa dugaan. Tapi, kalau kamu diam terus, aku anggap jawabannya ‘iya’. Kamu menggunakan jasa Doni karena pesan penguntit itu.”

“Kamu sudah punya jawaban. Itu artinya, kamu sudah tahu kalau kasus ini bisa aku handle sama Doni. Kamu nggak perlu ikut campur.”

Bagaimana bisa Cakra tidak ikut campur ketika anaknya terseret dalam pesan menjijikkan yang masuk ke ponsel Ratna? Kalau Cakra tidak sengaja mencuri lihat pop up notification di ponsel Ratna, pasti Ratna akan terus mengelak adanya kejadian tak mengenakkan yang tengah menghantuinya. Karena tadi ada Raga, Cakra tak bisa langsung menekan Ratna supaya bicara. Cakra tak mau membuat Raga ketakutan.

Sejak pertemuan tanpa rencana di restoran, Cakra selalu berpikir keras. Ratna yang dia tahu adalah pengacara kredibel yang bekerja untuk sebuah firma hukum. Namun, setahu Cakra, di gedung kantornya berada tidak ada tenant yang bekerja di bidang hukum selain HAD Law Firm. Ratna tidak pernah menunjukkan wajah di kantor Cakra, sudah pasti Ratna tidak bekerja sebagai pengacara.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa Ratna berhenti dari pekerjaan lamanya ketika memiliki banyak prestasi di bidang tersebut? Atasan Cakra yang menyebalkan saja mengakui kepiawaian Ratna dalam menangani kasus, sampai-sampai memamerkannya di depan pengacara lain. Lantas, bukankah keanehan itu sangatlah nyata dan tak terelakkan?

“Kamu benar-benar bermaksud menghilangkan masa lalu?” Sebuah pertanyaan terlontar begitu saja di tengah keheningan. Cakra melirik Ratna tanpa memindahkan tangan dari roda kemudi. “Nomor telepon ganti. Pekerjaan ganti. Teman pun dibuang.”

Embusan napas panjang terdengar memilukan. Punggung Ratna merosot di sandaran kursi. Sama sekali tidak ada pembelaan darinya. Ratna masih sama seperti dulu, selalu menciptakan kesan misterius di balik topeng senyum ceria.

“Enggak, kan?” Cakra yang bertanya, Cakra juga yang takut dengan jawabannya.

“Terserah kamu mau menganggapnya seperti apa.”

Apakah kaum hawa tidak bisa dipisahkan dari kata terserah? Cakra dongkol sampai ubun-ubun. Dia ingat tutorial meredakan emosi menggunakan metode bernapas: tarik napas dalam-dalam sampai perut, tahan, dan buang lewat mulut perlahan. Hitungannya semakin bertambah, dilakukan dalam lima set berturut-turut. Cakra selalu menggunakan cara ini tiap kewalahan mengurus Raga yang membandel. Sama sekali tak terpikirkan oleh Cakra bahwa teknik begini sangat berguna saat menghadapi Ratna.

“Cak, ini bukan arah ke rumahku,” ucap Ratna dengan benak bertanya-tanya.

“Memang,” sahut Cakra. “Aku cuma tahu alamat rumah kamu sebelum bercerai, yang kemungkinan besar kamu sudah nggak tinggal di sana lagi. Lagian, kamu belum kasih alamat baru ke aku.”

“Terus, kamu mau bawa aku ke mana?”

“Ke rumah Doni.”

“Jangan!”

Cakra tergemap mendengar seruan kencang Ratna. Mobilnya sedikit oleng. Untung saja tidak ada korban celaka. Ratna tidak pernah mengeraskan suara saat bicara pada Cakra. Tidak sampai saat ini.

“Doni kuasa hukum kamu. Dia pasti mau bantu. Pesan tadi bisa kamu jadikan alat bukti ke kepolisian.” Cakra mengeluarkan pendapat. Pria itu berusaha menenangkan Ratna yang terlihat kalut. “Andai kamu hubungi aku lebih dulu, pasti sekarang aku bisa leluasa bantu kamu sebagai pengacara tanpa perlu takut dicap merebut klien rekan sejawat.”

“Aku punya alasan kuat kenapa milih Doni,” sangkal Ratna. “Cak, berhenti di sini aja. Aku bisa pulang sendiri naik taksi.”

Bagaikan tuli, Cakra tetap menginjak pedal gas. Tangan kanannya menekan satu tombol di panel pintu pengemudi. Bunyi klik terdengar dan seluruh pintu terkunci dari pusat pengaturan.

"Kamu nggak milih aku sebagai kuasa hukummu karena aku sudah nggak bisa dijadikan puppet?" Pertanyaan Cakra terkesan menyerang ego Ratna. "Makanya kamu milih Doni."

"Pikiran kamu ngaco," kilah Ratna. "Cak, buka pintunya."

"Nggak mau."

"Cakra!"

"Kamu janji setelah bercerai akan baik-baik aja," ucap Cakra dengan penekanan pada tiap kata yang terucap. Sudut bibirnya berkedut menahan emosi mendalam. "Kamu bohong, Ratna. Meskipun kamu sudah dorong aku, kamu malah nggak baik-baik aja."

Tidak semua janji berlaku abadi. Ada beberapa janji yang diucapkan sebagai ilusi. Ratna tak keberatan disebut pembohong. Selama janji yang dia ucapkan bisa membuat tenang dan membawa kedamaian bagi orang-orang di sekitar, Ratna akan terus melakukannya.

Ratna sadar bahwa Cakra tak akan menuruti permintaannya, jadi dia menyerah. "Cak, sebenarnya aku nggak paham. Kenapa kamu peduli sama aku? Apa yang sudah aku lakukan ke kamu … sampai bikin kamu bereaksi begini terhadap masalah aku?"

Pertanyaan dengan nada pasrah itu membuat Cakra terhenyak. Dia tidak punya alasan kuat. Semua perhatiannya secara otomatis tercurah tanpa henti pada Ratna sejak Cakra mengetahui penderitaannya. Apakah ini karena belas kasihan semata?

Lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Cakra mengatur persneling dan menarik rem tangan. Dia bebas memandangi Ratna. Di mata wanita itu, Cakra menemukan pantulan dirinya yang terkesan tangguh tetapi sebenarnya rapuh.

Jika memang ini welas asih, sesungguhnya Cakra sedang iba pada diri sendiri. Cakra menemukan sebagian dari dirinya pada Ratna. Kesepian, tersakiti, dan selalu berusaha terlihat tegar. Cakra dan Ratna terlalu serupa.

"Kenapa?" Cakra tersenyum tipis, lantas mengalihkan pandangan. "Aku peduli kamu sama besarnya dengan aku peduli dengan diri aku sendiri."

Ratna memiringkan kepala. Jawaban Cakra terlalu melankolis. Andai itu pernyataan cinta, Ratna tentu tanpa ragu akan menepisnya.

"Jangan ke rumah Doni," pinta Ratna bersungguh-sungguh. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya mengalah. "Kita bicarakan masalah ini di rumahku, di apartemenku."

To be continued …

Berikan cinta yang banyak untuk karya ini, pals! 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro