6 | Makan Malam
Note: Bab ini tidak ada di versi sebelumnya. Mohon dibaca karena mengandung informasi penting.
***
"Kamu nggak masalah makan di sini?"
Pertanyaan itu membuat Ratna memalingkan wajah dari kondisi jalanan yang padat merayap, tepat di sisi tempat parkir mobil. Raut wajah Cakra saat bertanya benar-benar menggambarkan kekhawatiran. Ratna segera menjawabnya dengan gelengan. Tangannya juga mengibas santai.
"Raga lagi pengin terung goreng. Aku juga mau, kok," balas Ratna. Dia menoleh ke kursi belakang, tempat duduk Raga. "Raga benaran mau makan di sini, kan?"
Raga mengangguk mantap. Secara mandiri, anak laki-laki itu melepaskan sabuk pengaman. "Aku mau terung dan sambal."
"Raga, tunggu Ayah!"
Cakra bergegas keluar mobil, mendahului anaknya yang terkadang nekat membuka pintu sendiri tanpa melihat-lihat sekitar. Ratna menjadi saksi mata bagaimana kekhawatiran Cakra beralih begitu cepat. Cakra dalam mode ayah rupanya menciptakan kesan tersendiri di pandangan Ratna. Wanita itu tersenyum kecil memandangi Cakra yang sigap menggandeng putranya supaya tidak berlarian seorang diri.
Warung makan penyetan ini penuh sesak oleh pengunjung yang kelaparan. Ratna, Cakra, dan Raga termasuk beruntung bisa mendapat tempat di jam makan malam seperti sekarang. Itu pun mereka harus berbagi meja dengan rombongan lain. Cakra yang tahu dari keluarga seperti apa Ratna berasal jadi tak enak hati mengajaknya makan di tempat murahan.
"Santai aja, Cak. Aku suka makan di warung, kok. Waktu kuliah, bisa kali, tuh, setiap malam Minggu mainnya di angkringan," balas Ratna.
Kuliah. Kata itu membunyikan bel di kepala Cakra.
"Beberapa minggu lalu aku ketemu Haiyan," kata Cakra. Tatapan pria itu melahap perubahan bahasa tubuh lawan bicaranya. "Kalian berdua dulunya teman sekampus, kan?"
Ratna terkekeh canggung. "Dia adik tingkat, dua tahun di bawahku. Memang kenapa?"
"Nggak apa-apa." Cakra berusaha terlihat santai. Dia menuangkan air minum untuk mereka bertiga, meski sudut matanya sesekali melirik Ratna. "Kalau Haiyan nggak minta tolong aku soal urusanmu yang lalu, kayaknya aku nggak bakal tahu Haiyan sudah menetap di sini sama keluarganya."
"Bisa kita bicarakan hal lain?" Ratna tampak tak nyaman, lantas mengedarkan pandangan ke sekitar, sengaja memutus kontak mata. "Tempatnya ramai, ya. Keluargamu kalau ke sini selalu dapat tempat?"
Cakra mengulum bibir bawahnya sebelum menjawab, "Cuma berdua. Mudah dapat tempatnya."
"Cuma berdua?" Ratna bolak-balik menatap antara Cakra dan Raga. Setelah lama berpikir, Ratna tersentak sendiri. Dia sampai menutup mulut dengan kedua tangan akibat tak mampu menyembunyikan rasa terkejut.
Dari mana saja Ratna selama ini, sampai-sampai tidak memahami situasi keluarga Cakra? Selama menghabiskan berminggu-minggu bersama untuk mengusut kasus perceraian yang pelik, tak sekalipun Ratna menaruh perhatian berlebih pada teman barunya itu. Ratna mengetahui Cakra telah memiliki anak juga akibat pernah tanpa sengaja melihat foto bayi yang terpampang di lock screen ponselnya.
"Cerita lama. Nggak usah kaget gitu," kata Cakra. Kekehannya keluar sebab ekspresi Ratna memang lucu di matanya.
Pesanan mereka datang tak lama kemudian. Meskipun masih muda, Raga ternyata doyan sekali makan makanan pedas. Peluh yang bercucuran di dahi tak lantas membuat nafsu makannya reda. Seperti sudah menduganya, Cakra telah menyiapkan sapu tangan. Sesekali Cakra akan berhenti menyuap demi membersihkan tetesan keringat dari kening putranya.
"Memang nggak apa-apa anak kecil makan makanan pedas?" tanya Ratna penasaran.
"Aku pernah tanya ke dokter. Beliau bilang, selama nggak ada masalah, boleh-boleh aja Raga makan pedas."
"Aku bukan anak kecil, Tante," sahut Raga, padahal biasanya dia diam saja tiap dirinya dijadikan bahan pembicaraan orang-orang dewasa.
Ratna dan Cakra bertukar pandang, kemudian keduanya sama-sama tersenyum. Lucu sekali. Baru menginjak kelas satu sekolah dasar, Raga sudah merasa dirinya sama seperti anak-anak yang lebih besar.
"Aku serius!" ucap Raga lagi. Alisnya berkerut-kerut karena tahu Ratna dan Cakra tak memercayai ucapannya.
"Iya, iya. Raga hebat sudah jago makan sambal." Ratna mengalah. "Tante aja nggak kuat makan sambal kebanyakan."
"Tante lemah," ejek Raga, "kayak Om Doni."
Tawa Cakra pecah. Napas pria itu hampir habis akibat perutnya terkocok.
Di antara banyaknya teman Cakra, Doni adalah salah satu yang paling dekat dengan keluarganya. Mereka berteman dekat sejak masa kuliah. Doni bahkan tahu masa-masa Cakra menjadi anak nakal. Maka, ketika Cakra sudah punya anak pun, Doni otomatis ikutan akrab dengan putranya. Keduanya sangat kompetitif. Kedekatan Raga dan Doni terjalin akibat keunggulan si bocah soal makan sambal.
Ratna yang mendengar cerita itu pun terperangah, "Wah, ternyata Pak Doni bisa begitu?"
"Di depan klien, dia memang kelihatan kalem," kata Cakra dengan sisa-sisa tawa. "Kamu nggak tahu aja, Na. Semua hal suka dijadikan ajang lomba sama Doni dan Raga. Dari makanan pedas sampai merakit lego tercepat, mereka tanding terus. Mungkin kalau Raga sudah kenal sama yang namanya pacaran, Doni bakal tertantang buat buru-buru cari pasangan hidup."
Ratna mengulum senyum. Dari cara Cakra bercerita, dia bisa menebak kedekatan Cakra dan Doni. Dunia rasanya punya skenario yang tak tertebak. Biar sudah berusaha meninggalkan segala kenangan mantan suaminya dan hal-hal yang berkaitan dengannya, termasuk salah satunya adalah pengacara yang membantunya bercerai, Ratna malah menjatuhkan pilihan penasihat hukum lain yang rupanya merupakan teman dekat Cakra.
"Omong-omong, Na," Cakra menyesap es jeruknya tanpa melepaskan pandangan dari si wanita, "kamu lagi jadi kliennya Doni?"
Ratna mengangguk kecil. Dia melirik pada Raga yang kembali asyik dengan ayam goreng dan sambalnya.
"Siapa yang kena kasus? Kamu atau perusahaanmu?" tanya Cakra.
"Rahasia."
Cakra menaikkan kedua alis. Ratna tak terlihat main-main saat mengucapkan satu kata itu. Dari reaksinya, Cakra meraba bahwa permasalahan tersebut menyangkut urusan pribadi. Jadi, Cakra pun menutup mulut.
"Cakra," panggil Ratna lembut. Dia sadar jawabannya barusan terkesan arogan. "Aku berharap nggak perlu ada orang lain yang tahu masalahku. Kita tetap teman, tapi sebaiknya kamu memang nggak perlu tahu apa-apa soal aku."
"Apa pun?" tanya Cakra dengan hati yang sedikit retak.
Ratna mengangguk. "Soal kabarku, teman kuliahku dulu, atau … permasalahan yang sedang aku lalui." Ratna tersenyum tipis. "Ini caraku untuk melindungi orang-orang di sekitar. Seandainya tahu Doni itu teman dekatmu, sudah pasti aku nggak pakai jasa dia."
Kening Cakra berkerut. Dia berpikir, apakah masalah Ratna memang seberat itu? Cakra tidak sekali dua kali berhadapan dengan orang kaya nan berkuasa yang punya segudang permasalahan aneh. Namun, dia tidak menyangka bahwa Ratna sampai harus menarik diri dari lingkungan cuma karena satu kasus.
Kira-kira kasus apa yang tengah Ratna hadapi?
"Ayah, aku sudah selesai." Raga menginterupsi keheningan. "Aku mau cuci tangan."
Ratna segera menimpali, sekaligus menjadikannya ajang melarikan diri sejenak dari lapang pandang Cakra. "Raga cuci tangan sama Tante aja, yuk! Tante juga sudah selesai makan." Ratna menatap Cakra untuk meminta persetujuan. "Aku titip tas dan HP, ya, Cak." Setelah mendapat anggukan, Ratna pun mengajak Raga untuk bersama-sama pergi menuju wastafel.
Belum begitu lama ditinggal, ponsel Ratna bergetar. Vibrasinya sempat membuat Cakra terkejut dan otomatis menoleh. Layarnya berkedip beberapa saat, menunjukkan pop up notifikasi pesan masuk berbunyi, "Tumben nggak langsung pulang. Bahagia banget kelihatannya." Cakra langsung mengalihkan tatapan karena sadar diri telah berbuat lancang. Namun, ponsel itu kembali bergetar di meja, menampilkan pesan berikutnya yang membuat Cakra sukses melotot.
Nomor tidak dikenal:
"Anak siapa, tuh? Baik banget sampai dibantu cuci tangan. Nggak sabar mau punya anak, ya?"
Cakra mengedarkan pandangan dengan waspada. Di sana hanya ada pelanggan yang tengah menikmati santapan, serta para pelayan yang sibuk menerima pesanan. Bulu kuduk Cakra meremang ketika menyadari bahaya apa yang tengah mengikuti mereka.
Cakra sampai pada satu kesimpulan. Ratna adalah korban penguntitan. Gerak-gerik setiap orang yang membersamainya sekarang juga ikut-ikutan diawasi.
"Ada apa, Cak?" tanya Ratna keheranan. Dia menoleh ke kanan dan kiri, ikut penasaran mencari entah apa itu yang sepertinya membuat Cakra rela memutar tubuh 360 derajat.
"Kita pulang sekarang," ujar Cakra tegas. "Kamu juga pulang, bareng aku dan Raga."
"Aku bisa sendi–"
Dengan urat-urat kening yang mulai menonjol, Cakra memotong, "Aku nggak terima penolakan, Ratna."
***
Yuk, vote & comment banyak-banyak! 😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro