Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

58 | Sebagai Ibu

Menurut Doni, kemenangan semu mendatangkan ketenangan meski berlaku sementara, dan tetap saja harus dirayakan. Kemenangan semu itu merujuk pada penangkapan para kroco di tiap kasus. Meski belum bisa menjebloskan Dewa ke balik jeruji besi, kesaksian Andre tempo hari membuat Doni sangat optimis.

Sesuai rencana Ratna dan Doni, Andre akhirnya mengakui kejahatannya. Dia orang yang menyadap ponsel, memfasilitasi kasus penguntitan siber, dan memanggil para preman bayaran untuk menakut-nakuti. Andre mengaku sama sekali tidak menyangka bahwa preman itu akan membuat Cakra terluka, bahkan sampai tidak beraktivitas sehari-hari. Bayang-bayang hukuman berat menghantui Andre, hingga tercetuslah nama Dewa sebagai dalang kejahatan yang sesungguhnya.

Ratna menitipkan pertanyaan untuk Andre pada Doni. Wanita itu tidak habis pikir mengapa Andre mau mempertaruhkan hidupnya menuruti permintaan Dewa. Usut punya usut, ternyata kekasih Andre bekerja di firma hukum tempat Ratna bekerja sebelumnya. Demi melindungi karier kekasihnya yang telah membuat Ratna terdepak, Andre terpaksa menjadi kaki tangan Dewa.

Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dari kesaksian Andre, Doni sibuk mempersiapkan surat pemeriksaan Dewa, sedangkan Ratna sibuk berurusan dengan komite etik. Beberapa hari sebelum sidang lanjutan, terdapat jeda yang menyenangkan.

Ratna tidak tahu apa yang Doni lakukan di masa istirahat yang singkat ini. Hal yang jelas Ratna lakukan adalah tidak mengusiknya dengan terus menghubungi dan menanyakan kabar kasus setiap hari. Sebagai ganti, intensitas Ratna menghubungi Cakra meningkat. Inilah perayaan kemenangan semu ala Ratna, yaitu menghabiskan waktu bersama orang kesayangan.

Salah satunya sekarang, pagi-pagi dia sudah menelepon Cakra sambil asyik bergelung di bawah selimut. Layar televisi menyala dan membuat kilatan gambar bergerak di langit-langit kamar yang gordennya dibiarkan tertutup. Ratna yang sedang dalam mode pengangguran menggunakan kesempatannya dengan baik untuk bersantai dan bermalas-malasan.

"Sampai kapan kamu mau tinggal di hotel? Apa nggak susah?" Terdengar bunyi peralatan masak saling beradu dari seberang. "Makannya bagaimana? Cukup? Bosan sama makanan hotel, nggak?"

Ratna melenguh panjang. Menyenangkan sekali mendengar Cakra mengkhawatirkannya. Ratna bahkan bisa membayangkan raut muka Cakra yang setengah kesal, tetapi juga setengah kerepotan karena harus membagi fokus antara mengomeli Ratna dengan membuat menu sarapan di seberang sana.

"Cak, aku sudah dewasa," balas Ratna setelah selesai peregangan badan, tetap di bawah selimut.

"Tapi kamu masih sakit."

"Dan percakapan kita ini bakal terus berulang sampai kamu lihat aku olahraga angkat beban seratus kilogram."

Cakra tertawa. "Mustahil. Kamu nggak mungkin sekuat itu."

Tawa Ratna hadir sebagai balasan. Memulai hari dengan candaan adalah hal yang menyenangkan. Sebenarnya lebih menyenangkan lagi bila mereka bisa bicara secara langsung, seperti dulu. Namun, demi kebaikan masa depan bersama, Ratna dan Cakra mampu menahan rindu untuk sementara waktu.

Percakapan manis Ratna dan Cakra terjeda oleh suara seseorang. Orang itu sudah pasti Raga, terdengar dari caranya menyebut panggilan "ayah". Ratna sengaja diam dan berusaha menguping. Wanita itu terkikik saat Raga mengatakan bahwa hari ini ada kelas prakarya dan harus membawa stik es krim warna-warni.

"Kamu baru bilang hari ini?"

Pertanyaan bernada rendah itu tentu tertuju pada Raga, bukan Ratna. Ratna menggeleng-geleng kecil membayangkan adegan apa yang sedang terjadi di seberang saja. Kalau sudah begini, rasanya dia ingin cepat-cepat serumah lagi dengan mereka supaya tidak ketinggalan satu pun drama rumah tangga antara ayah dan anak.

"Iya. Kan, kelas prakarya jadwalnya hari ini, Yah."

"Bukan kelas prakaryanya," balas Cakra, agaknya tak sabar. "Kamu memang sudah punya stik es krim? Bagaimana bisa ikut kelas prakarya kalau kamu aja nggak punya stik es krim?"

"Ayah, jangan ngomel dulu! Nasibku gimana? Aku harus bilang apa sama Bu Guru?"

"Bilang jujur kalau kamu lupa dan belum menyiapkan stik es krim."

"Nanti aku dihukum!"

"Itu konsekuensinya. Kamu bisa. Anak Ayah pasti bisa bertanggung jawab."

"Aku takut, Ayah!" Raga memekik.

"Kalau Tante Ratna temani, Raga jadi berani bilang ke Bu Guru?" Ratna akhirnya urun bicara. Tampaknya meski dari tadi Ratna tertawa, Raga belum menyadari keberadaannya lewat telepon.

Derap kaki terdengar mendekat. Ratna sampai duduk di kasurnya, mengantisipasi apa yang akan terjadi berikutnya. Dengan harap-harap cemas, Ratna mengganti posisi ponsel menempel ke daun telinga yang lain. Apakah Raga akan mengomelinya karena Ratna lagi-lagi memosisikan diri sebagai tante ketimbang ibu?

"Halo! Ini Ibu? Ibu mau temenin aku ngomong ke Bu Guru?"

Tidak ada nada merajuk. Ratna aman.

Suara berubah. Sekarang Cakra yang bicara pada Ratna. "Maksudnya, kamu mau ke sini untuk antar Raga ke sekolah?"

"Sebagai pengangguran, jadwalku fleksibel." Candaan itu lagi, candaan sarkastis penuh kegetiran. Ratna segera menyambung, "Raga tunggu di situ, ya. Tante bakal ke sana."

"Siap, Ibu!" balas Raga bebal, tak mau mengubah panggilannya meski sudah dipancing.

***

Dari jarak sepuluh meter sebelum masuk ke area sekolah, suasana jalanan sangat ramai. Ratna bisa melihat antrean kendaraan roda empat para pengantar. Taksi yang dia tumpangi bersama Raga ikut terjebak. Ratna sama sekali tidak memprediksi hal ini. Dia jadi memaklumi mengapa Cakra memasrahkan tugas mengantar Raga ke sekolah pada mobil jemputan. Sebagai pengantar, apalagi kalau mau langsung berangkat bekerja, kondisi seperti ini berpotensi membuat orang stres.

Ratna melihat seorang ibu berdaster menggandeng anaknya turun dari mobil Alphard di seberang jalan. Di sebelahnya, wanita yang tampak lebih tua dan mengenakan seragam suster pengasuh juga menggendong anak yang lebih kecil. Keduanya menyeberangi jalan terburu-buru. Di situlah Ratna ikut panik, waktu terus bergulir meski roda kendaraan ini tidak juga berputar.

"Pak, turun sini aja," kata Ratna pada si sopir. "Raga, lari sedikit nggak apa-apa, ya? Sudah dekat, tuh! Daripada kamu terlambat."

Mata Raga melebar. "Lari? Ayo, Ibu!"

Raga si penyuka tantangan berniat membuka pintu tanpa aba-aba. Ratna langsung mencegahnya, dan mengarahkan Raga untuk turun di sisi pejalan kaki. Raga bahkan lari mendahului Ratna. Seandainya mereka tidak bergandengan, sudah pasti Ratna tertinggal jauh. Mengurus anak seaktif Raga memang tidak mudah, Ratna serasa dilatih di kamp militer yang mengharuskannya banyak bergerak.

"Bu Guru, kenalin ini Ibu aku," kata Raga pada seseorang yang berdiri di teras sekolah. Perempuan itu bertugas mendata siapa saja murid yang telah datang dan siapa yang mengantarnya. Raga tidak memberi kesempatan pada Ratna untuk menarik napas, apalagi mengoreksi ucapannya. "Aku sama Ibu mau ketemu Bu Winda. Ibu aku mau nemenin ngomong kalau aku lupa nggak bawa stik es krim."

"Selamat pagi, Bu," sapa Ratna sambil mengulas senyum tipis. "Saya calon ibunya Raga. Mohon maklumi ucapan anak-anak, sering bikin salah paham."

Akan tetapi, Raga semangat sekali mengenalkan Ratna sebagai ibunya pada lebih banyak orang. Raga sepertinya lupa pada janjinya untuk tidak mengumbar hubungan Cakra dan Ratna sampai pesta pernikahan nanti. Pasalnya, Cakra telah memperbolehkan Raga memanggil Ratna "ibu", dari situlah Raga meyakini bahwa Ratna sungguhan telah menjadi ibunya, tanpa maupun dengan pesta pernikahan.

Usai menemani Raga mengakui kesalahannya di depan wali kelas, Ratna berpamitan. Dia mewanti-wanti Raga untuk menunggunya sepulang sekolah. Ratna-lah yang akan menjemput. Raga tentu senang karena sekarang Ratna telah mengganti posisi si om penjaga yang menyeramkan.

"Dia bilang begitu, Cak," kata Ratna setelah menceritakan paginya yang sibuk sebagai seorang ibu. Kini dia melipir ke warung makan tak jauh dari sekolah Raga untuk sarapan. "Yah, sejak ada bodyguard dari Hana, si om penjaga menyeramkan itu sudah nggak nungguin Raga di sekolah lagi, sih. Raga jadi lebih bebas bermain."

"Makasih, Sayang. Habis ini kamu mau ke mana?" tanya Cakra di sambungan telepon.

"Mungkin balik ke hotel dulu, mandi dengan benar, ambil laptop, dan balik buat nunggu di kafe terdekat dari sekolah Raga sampai waktunya jam pulang sekolah."

"Kamu belum mandi?"

"Mandi bebek," balas Ratna mengakui. Obrolannya dengan Cakra terjeda sejenak saat semangkuk bubur ayam tiba di mejanya. "Lagian, Cak, tadi kayaknya ada yang lebih parah. Aku lihat ibu-ibu masih pakai daster waktu antar anak ke sekolah."

"No offense, Sayang. Tapi, sebenarnya aku mau lihat kamu sesibuk itu waktu urusin anak-anak kita nanti. Kayaknya seru lihat kamu kewalahan, pontang-panting, sampai hilang kesabaran." Cakra tertawa, puas sekali terdengarnya. "Sebentar lagi aku ada meeting sama orang penting. Jaga diri dan kesehatan. Selamat bersenang-senang sebagai ibu!"

Ratna menyimpan ponselnya ke dalam tas. Sebelum meraih sendok, dia melihat ke seberang ruangan di mana seorang pria muda duduk menunggu pesanannya sambil membaca koran. Anak muda zaman sekarang langka sekali yang terlihat lebih menyukai kertas ketimbang ponsel.

Setelah mengamati lebih teliti, Ratna segera menyadari. Sejak Ratna keluar dari rumah sakit, orang itu selalu berada di sekitarnya. Pasti dia adalah penjaga yang Hana utus sementara waktu untuk menjaga Ratna.

Ratna mengangguk kecil padanya, yang membuat orang itu terlihat agak kebingungan harus berbuat apa. Ratna tak lagi mengusik melalui tatapan. Dia justru bersyukur. Di akhir masa pertarungan ini, mungkin kemampuan bela diri Ratna bisa terasa kurang membantu. Bantuan tambahan tentu tak akan Ratna sia-siakan.

***

New character unlocked: "mas bodyguard"🔒😎

Siap-siap memasuki era Pingumerah nulis dark romance 😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro