Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 | Pertemuan Kembali

"Ayah nggak boleh ingkar janji lagi! Nanti malam kita harus rakit gundam bareng-bareng!"

Kalimat peringatan yang Raga ucapkan sebelum berangkat sekolah tadi membuat Cakra tak bisa menghilangkan senyum dari wajah. Cakra menganggap itu adalah tantangan tak langsung dari putranya. Dia sudah menyetel alarm di ponsel pukul lima sore. Segala urusan pekerjaan harus sudah selesai sebelum alarmnya menyala. 

"Selamat pagi, Pak Cakra!" Ria menyapa sambil membawa setumpuk dokumen di tangan. "Hari Rabu, hari sibuk."

"Ria, pagi-pagi kamu sudah bikin saya puyeng," keluh Cakra sambil meletakkan tas di kursi. "Saya mau bikin kopi dulu. Kamu lanjut aja susun berkas acara hari ini."

"Maaf, Pak. Sebelum itu, saya mau lapor. Nanti saya harus ambil berkas dari kepolisian. Habis sidang, kita ada jadwal ketemu klien bahas prenup."

Bayangan Cakra menghabiskan sore hari bersama Raga merakit robot-robotan buyar. Sepertinya Cakra harus menelepon kakaknya dan meminta bantuan. Namun, belum sampai tangannya memegang gawai, Cakra teringat ucapan Citra semalam. Dia jadi enggan merepotkan kakaknya lebih jauh. Mau tak mau, tepat pukul lima sore nanti, Cakra harus menjemput Raga di rumah kakaknya, biar mereka tidak jadi parasit di malam hari.

"Padat, ya," komentar Cakra. Dia memutar otak. "Untuk jaga-jaga, coba pastikan lagi pertemuan klien di sore hari, benaran jadi atau nggak. Kalau jadi, kita, kan, rencananya ketemu di resto. Tolong tanyakan, boleh nggak kalau saya bawa anak."

"Pak Cakra mau bawa anak ketemu klien?"

Cakra meringis. Selama ini Cakra tak pernah mempertimbangkan keberadaan Raga dalam menyusun jadwal bekerja. Namun, mulai detik ini Cakra harus bersikap selayaknya seorang ayah. Karena belum bisa mencarikan sosok ibu, Cakra tak keberatan memegang dua peranan penting bagi pertumbuhan putranya.

"Anak saya sudah besar. Dia nggak bakal bikin kacau meeting. Nanti saya bikin dia sibuk di meja sebelah sambil kita kerja."

Dugaan Cakra tepat. Persidangan yang dijadwalkan selepas jam istirahat siang jadi mulur dan baru mulai pukul setengah tiga. Selesai sidang, Cakra masih harus menjelaskan beberapa hal pada klien. Alarm ponselnya keburu berbunyi sebelum Cakra menyelesaikan rangkaian pekerjaannya untuk seharian ini.

"Pak, Bu Maria dan Pak Yosef bilang sudah lagi on the way ke resto," lapor Ria sambil mengecek ponsel.

Cakra mendesah. Pada jam pulang kantor seperti sekarang, Jalan Basuki Rahmat pasti macet. Mencari jalan memutar untuk menjemput Raga pun akan terlalu memakan waktu. Cakra tak kehabisan akal. Dia menelepon Citra supaya memesankan taksi daring agar Raga bisa menyusulnya ke tempat perjanjian.

"Kamu gila, ya?"

Cakra jadi malu karena suara bentakan kakaknya keluar tanpa pertanda. Cakra melirik Ria yang sepertinya juga mendengar. Pria itu buru-buru mengecilkan volume gawai, kemudian kembali menempelkan ke daun telinga mendengar kelanjutan omelan Citra.

"Kecuali mobil antar-jemput sekolah, Raga belum pernah naik angkutan umum sendiri. Kalau anak kamu hilang, gimana?"

"Duh, nggak usah nge-gas, Mbak!" Cakra menggigiti pinggiran kuku ibu jari sambil berpikir. "Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Raga anak cowok tanpa ibu. Dia harus dibesarkan dengan keras biar mandiri."

"Bentar lagi mas kamu pulang. Mbak jadi nggak bisa nemenin Raga pergi ke sana." Citra terdengar sangat bimbang. "Ini benaran nggak apa-apa? Kamu yakin mau melatih Raga sekarang juga? Dia belum genap tujuh tahun, lho."

"Biar aku bicara sama Raga. Kita bisa menganggapnya sebagai ajang adventure. Di mata Mbak, mungkin Raga terlihat seperti anak kecil. Tapi, sebenarnya dia anak pintar yang bisa diandalkan."

Bujuk rayu Cakra lebih mempan pada Raga dibandingkan Citra. Di tengah meeting merumuskan poin-poin penting dalam perjanjian pra-nikah, Cakra mendapat telepon dari sopir yang mengantar putranya ke sana. Cakra meminta izin pada rekan dan kliennya untuk menjemput Raga di lantai bawah. Begitu bertemu dengan sang ayah, Raga langsung berceloteh heboh menceritakan pengalaman pertamanya bepergian seorang diri.

"Besok Ayah beliin HP, ya. Tapi, kamu cuma boleh pakai untuk telepon minta bantuan. Nggak boleh untuk main," kata Cakra sambil menahan pintu supaya Raga masuk lebih dulu.

Raga jadi bersemangat. "HP-nya untuk pesan taksi kayak tadi? Berarti aku bakal pergi-pergi tanpa Ayah atau budhe lagi?"

"Mungkin," sahut Cakra. "Kalau Ayah bisa jemput, ya Ayah jemput. Mulai sekarang Raga bakalan lebih sering ikut Ayah ke mana-mana. Kalau Ayah lagi kerja, Raga juga kerja." Cakra menggenggam sebelah tangan putranya saat mereka menaiki tangga. "Kamu nggak lupa bawa PR, kan?"

"Ingat, kok!"

"Bagus!" puji Cakra. "Setelah makan, Raga harus tenang duduk di kursi sebelah Ayah."

Pertemuan dengan klien tetap berjalan sebagaimana mestinya. Raga tidak berulah. Setelah selesai makan, dia sibuk menggambar, menuruti ucapan ayahnya tadi. Calon pengantin di hadapan Cakra justru terus-terusan melirik ke arah Raga yang asyik sendiri dengan kegiatannya.

"Kalau tidak ada hal yang ingin diperbaiki lagi, lusa kita bisa ke notaris bersama," kata Cakra sambil melirik Ria. Juniornya itu mengerti dan sigap menyiapkan catatan khusus untuk kelanjutan proses pengesahan perjanjian pra-nikah ini.

"Anak Pak Cakra memang anteng banget, ya?" tanya calon pengantin putri, klien Cakra.

Tangan Cakra berhenti menyusun kertas-kertas yang terserak di meja. Dia mengikuti arah pandang kliennya. Raga tak terusik sama sekali menjadi objek pembicaraan orang dewasa, atau sebenarnya dia sedang tenggelam dalam dunia penuh warnanya.

"Mamanya mana? Nggak ikut buat nemenin anaknya, Pak?" Kali ini klien Cakra yang satunya yang bertanya.

Masalah keluarga Cakra nyaris tak pernah terendus di lingkungan kantor. Desas-desus cuma mengatakan bahwa Cakra memiliki satu anak. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri hari ini, Ria pasti tak tahu bahwa anak Cakra sudah bersekolah di tingkat dasar. Ria pun baru tahu bahwa Raga tak punya ibu dari hasil mencuri dengar percakapan telepon Cakra dan Citra di mobil.

Tak ingin membuat Cakra kesal, Ria bermaksud mengalihkan pembicaraan. "Maaf, Pak, Bu–"

"Anak saya sedang latihan belajar mandiri," sela Cakra lengkap dengan senyum manis andalannya. "Sekarang saya jadi ayah sekaligus ibu. Mohon maaf jika kehadiran anak saya membuat Bu Maria dan Pak Yosef terganggu."

Jawaban tandas penuh sopan-santun ala Cakra membuat mulut-mulut yang ingin tahu otomatis tertutup. Bukan Cakra namanya kalau tidak andal mengendalikan situasi. Kemampuan inilah yang mengantar Cakra makin tenggelam dalam tumpukan pekerjaan.

"Ria, kamu bisa balik ke kantor sendiri? Kerjaannya dilanjutkan besok aja, kamu minta bantuan sama Lanang," ucap Cakra setelah mereka melepas kepergian klien. Tangan Cakra sibuk membantu Raga merapikan peralatan gambarnya.

"Bisa, Pak. Untuk draft tadi, biar saya bawa saja. Besok pagi bisa Bapak cek."

Cakra mengangguk. Kini fokusnya benar-benar tertuju pada Ria. "Untuk masalah keluarga saya, saya minta tolong supaya kamu simpan sendiri saja. Ini hari pertama saya punya batas waktu kerja supaya bisa mengasuh anak. Saya cukup kewalahan. Mohon bantuan untuk hari-hari selanjutnya, Ria."

Tanpa perlu disuruh pun, Ria tahu apa yang harus dilakukan. Dia lantas berpamitan pada Cakra, juga pada Raga. 

"Tante tadi siapa, Yah?" Raga bertanya sambil mengamati punggung Ria yang berjalan menjauh. "Kok Ayah minta bantuan? Tante itu nggak bakal jadi suster aku, kan?"

Cakra tertawa. Semua baby sitter yang pernah Cakra beri tugas untuk menjaga Raga selalu tak ada yang betah. Maka dari itu, Raga jadi lebih sering bermain di rumah Citra selagi menunggu jemputan ayahnya.

"Ayah cari suster kalau kamu memang mau aja. Kapok Ayah ngurusnya," ucap Cakra main-main. Dia memakaikan tas di punggung Raga. "Ayo, kita pulang!"

Cakra berjalan dua langkah di depan Raga saat menuruni tangga. Tanpa Cakra sadari, sejak dia menjemput Raga tadi, ada sepasang mata yang mengamati. Keyakinan orang itu bertambah kuat untuk menyapa saat melihat Cakra dan Raga muncul lagi.

"Cakra! Oi!"

Sampai sedetik yang lalu, Cakra selalu mengira bahwa Surabaya adalah kota yang luas. Namun, ini kedua kalinya Cakra bertemu teman sesama pengacara dari firma hukum lain di luar waktu bertugas. Minggu lalu dia bertemu Haiyan. Hari ini Cakra justru bertemu Doni.

Cakra menjabat tangan Doni. "Kamu ngapain di sini?"

Seingat Cakra, kantor maupun tempat tinggal Doni tidak berada di sekitar area ini. Mereka bertemu di tempat yang tak terduga.

"Oh, kebetulan gue lagi ketemu klien. Kalau nggak salah kantornya malah satu gedung sama kantor lo. Lo belum pindah dari HAD Law Firm, kan?" Si pria bermata sipit itu justru bertanya balik.

Raga jenuh menunggu ayahnya yang sibuk mengobrol padahal sudah bilang akan pulang. Bocah itu bergelayut di kursi panjang. Jari telunjuknya memainkan hiasan yang tersampir di pegangan tas tangan wanita.

"Bagus, ya, gantungannya?"

Seorang wanita berambut panjang yang baru kembali dari toilet menyapa Raga. Akibat terlalu kaget, Raga langsung melompat mundur sampai punggungnya menabrak paha Doni. Wanita itu tak kalah terkejut. Dia buru-buru membantu Raga berdiri.

"Biar saya saja, Bu Ratna," sela Doni sigap sambil menepuk-nepuk belakang celana Raga. "Oh, ya, perkenalkan ini anak teman saya. Namanya Raga. Kemudian, ini ayahnya, Cakra."

Wanita itu mengangkat wajah dan matanya bersirobok dengan milik Cakra. Keduanya sama-sama terkejut. Ada gelagat panik di wajah Ratna, yang tak luput dari pandangan Cakra.

Sebab melihat tingkah Ratna yang gugup, Cakra tahu apa yang layak dilakukan. Dia harus tutup mulut bahwa Ratna adalah mantan kliennya.

"Selamat malam, Bu Ratna," sapa Cakra layaknya pemain peran. Dia mengangsurkan tangan kanan penuh rasa hormat. "Perkenalkan, saya Cakra, pengacara di HAD Law Firm."

Ratna membalas jabat tangan Cakra. Dia tersentak merasakan kekuatan genggaman pria itu. Tidak menyakitkan, justru meyakinkan. Tindakan tersebut Cakra lakukan semata-mata untuk menegaskan pada Ratna bahwa rahasia wanita itu aman di tangannya.

"Selamat malam," balas Ratna tak kalah pandai memainkan ekspresi wajah. Dia lanjut bicara sambil menampilkan senyum palsu, “Senang bertemu dengan Pak Cakra.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro