37 | Kemalangan
Tidak ada jam ramai yang pasti di IGD. Malam ini pun begitu. Dari sekian banyak pasien yang masuk, Cakra menjadi salah satunya.
Pria itu berbaring di kasur beroda. Sejak tadi dia memegangi kaki kirinya, sembari menenangkan Raga yang menangis kebingungan. Celana panjang Cakra yang koyak menampilkan area tulang kering. Meski dari luar cuma terlihat luka lecet dan luka gores, nyeri yang Cakra derita sanggup membuat peluh sebesar biji jagung bercucuran di dahi.
"Ayah." Raga masih terisak. Sambil memegangi pinggiran kasur, anak itu terus memanggil sang ayah.
"Raga, tenang. Ayah nggak apa-apa," ucap Cakra dengan suara gemetar. "Ayah pinjam HP Raga dulu. Ada di mana?"
Sambil merengek, Raga menyerahkan tas ransel yang tak pernah lepas dari punggungnya sejak makan malam selesai. Cakra menerimanya. Dia mengaduk-aduk isi ransel Raga dan menemukan ponsel di dalam sana. Cakra lantas menghubungi nomor kakaknya, yang masuk dalam daftar kontak darurat.
Sang ayah merentangkan lengan, yang langsung Raga sambut tanpa perlawanan. Anak laki-laki itu berjinjit demi mengalungkan tangan ke pinggang ayahnya. Dia masih terisak, tetapi kucuran air matanya tidak sederas tadi.
"Halo, Mbak. Tolong ke IGD National Hospital. Aku kecelakaan," ucap Cakra cepat. Dia melenguh saat mendapat rentetan pertanyaan tambahan. "Ke sini dulu, Mbak. Tolongin aku. Raga syok sendirian di sini."
Orang berikutnya yang dia kabari adalah Ratna. Beruntung sekali sejak tinggal bersama dan sering menghabiskan waktu berdua, Ratna menyimpan nomornya di ponsel Raga. Cakra keheranan ketika mendengar suara Doni di seberang sana. Namun, dia menurut saja saat Doni dan Ratna bilang akan menyusul bersama ke rumah sakit.
"Bapak Cakra Dhananjaya?" Seorang perawat menyibak tirai. Sebelum bicara lebih lanjut, perawat itu sempat melirik ke arah Raga. "Apakah ada wali yang bisa datang ke mari?"
"Ada. Kakak dan tunangan saya sedang dalam perjalanan," jawab Cakra.
Perawat wanita itu kebingungan untuk beberapa saat. Matanya beralih bolak-balik antara Raga dan Cakra. Mungkin benaknya bertanya-tanya, bagaimana seseorang bisa punya anak, tetapi baru punya tunangan?
Cakra memutus rangkaian keheningan yang tercipta. Dia tidak punya tenaga untuk meladeni penilaian orang lain. "Sus, boleh minta tolong ambilkan kursi untuk anak saya? Terima kasih."
Perawat itu agak tergagap sebelum menyanggupi permintaan Cakra. Setelah meletakkan kursi di samping ranjang Cakra, dia menjelaskan prosedur apa saja yang akan Cakra lalui. Cakra mengangguk-angguk mengerti sebagai balasan.
Lima belas menit berselang dari panggilan telepon, Ratna dan Doni tiba lebih dulu daripada Citra. Raga segera berdiri dan menghambur masuk dalam dekapan Ratna. Sambil menggendong Raga, Ratna mengusap-usap lengan kemeja Cakra yang lembab oleh keringat. Pinggiran mata Ratna terlihat merah, seperti habis menangis. Namun, wanita itu berusaha keras bersikap tegar di depan Raga dan Cakra.
"Sayang, bisa tolong urus administrasi di meja pendaftaran?" Cakra berhenti bicara sejenak untuk meraba-raba saku belakang celananya, kemudian mendesah. "Maaf. Dompetku hilang. KTP-ku ada di sana."
"Biar gue yang urus." Doni urun bicara. "Gue hapal nama panjang sampai alamat tempat tinggal lo."
Cakra mengangguk sambil tersenyum tipis. "Makasih, Don."
"Ceritanya bagaimana? Kenapa kamu telepon pakai HP Raga?" Ratna duduk di kursi penunggu pasien sambil memangku Raga, tetapi tangannya tak sedikit pun meninggalkan lengan kekasihnya. "Selesai kamu telepon, aku langsung hubungi Mbak Citra. Kakakmu aja nggak tahu kamu kenapa. Kamu bikin semua orang khawatir."
"Aku kecopetan. Aku kehilangan dompet, HP," Cakra melirik putranya yang tengah bersandar di bahu Ratna, "bahkan aku hampir kehilangan Raga."
Ratna syok. Lengan kanannya otomatis melingkar makin kuat di punggung Raga. Tak akan dia biarkan seorang pun menyentuh anak ini.
Cakra menceritakan kejadian lengkapnya secara urut. Usai makan malam di warung penyetan langganan, Cakra dan Raga berjalan bersisian kembali ke mobil yang terparkir agak jauh di belakang. Pada jam makan malam, antrean pelanggan memang biasa mengular, pun begitu kendaraannya.
Saat itu Cakra merasa aman karena sudah terbiasa dan mengenal tempatnya. Namun, tiba-tiba muncul seseorang dari arah belakang yang menarik tangan Raga dengan cepat. Tubuh Cakra sempat membeku beberapa detik, sebelum akhirnya sadar anaknya mau diculik. Si pelaku yang sudah menyeberang jalan agak kesusahan karena Raga memberontak keras. Cakra lantas menubrukkan tubuhnya pada si penculik hingga cekalannya pada tangan Raga terlepas. Cakra dan pelaku berguling-guling di aspal.
Ketika orang-orang di sekitar mulai menyadari keributan yang terjadi, tiba-tiba saja muncul pengendara motor. Dua motor, tiga orang tambahan. Cakra dikeroyok oleh empat penjahat. Dompet dan ponselnya raib, bahkan mereka sempat berteriak memfitnah bahwa Cakralah penculik Raga. Belum sempat membela diri, motor-motor itu melaju kencang, menyerempet Cakra yang kembali limbung dan jatuh menumbuk tanah.
"Aku hampir kena hajar massa seandainya Raga nggak langsung meluk badanku. Raga nangis sambil terus manggil aku pakai sebutan ayah. Kelakuan Raga bikin orang-orang semakin yakin bahwa aku ayahnya benaran." Cakra mengakhiri cerita sambil tatapannya tak lepas dari Raga.
Ratna mengusap belakang kepala Raga. Dia menimpali, "Lagian orang bodoh mana yang mengira kamu bukan ayahnya Raga? Muka kalian sama banget, kayak hasil fotokopi."
"Mungkin itu juga kenapa orang-orang cepat percaya." Cakra mendengkus.
"Kamu luka di bagian mana saja?" Ratna mengamati sekujur tubuh Cakra. "Kaki? Astaga, celanamu sampai robek begitu. Sakit banget pasti."
Cakra cuma meringis. Sebagai orang tua, dia lebih memikirkan anak. Dia melirik Raga yang matanya kuyu. Tampaknya anak itu kelelahan dan mulai merasa nyaman dalam dekapan orang yang dia percaya. Cakra tentu tak bisa merusak ketenangan Raga dengan bicara blak-blakan bahwa kakinya nyeri luar biasa.
Tirai hijau yang mengeliling kasur Cakra tersibak. Doni kembali bersama seorang perawat. Sedetik kemudian, Citra tergopoh-gopoh menghampiri. Dalam sekejap, area itu menjadi penuh sesak.
"Penunggu pasien cuma boleh satu, Pak, Bu. Yang lain silakan tunggu di luar." Perawat memberi imbauan.
"Mbak, tolong jagain Raga. Doni, kamu tunggu sebentar di luar. Masih ada yang mau aku diskusikan dengan Ratna," ucap Cakra memberi perintah.
Raga menangis kuat-kuat karena tidak mau berpisah dari ayah. Peristiwa beberapa menit lalu sepertinya sangat melukai kondisi kejiwaannya. Raga trauma melihat ayahnya mendapat kemalangan. Raga baru mau diajak keluar, asal bersama Ratna. Formasi pun berubah. Doni-lah yang menetap di samping Cakra.
"Gue dengar penjelasan lo ke Ratna tadi," ucap Doni setelah perawat yang bertugas memasukkan pereda nyeri telah pergi. "Gue sengaja tunggu di balik gorden sampai perawat datang. Lo aman. Nggak ada orang mencurigakan di sini."
"Ada gunanya juga aku punya teman kayak kamu," kata Cakra berkelakar.
Akan tetapi, Doni tidak tertawa sedikit pun. "Satu poin yang bikin gue bingung. Orang bodoh mana yang mau melakukan penculikan di muka umum? Risikonya besar."
Cakra kembali memasang mimik serius. Dia tidak berpikir sampai sana. Cakra bahkan tidak seawas biasanya. Pria itu hanya memikirkan keselamatan Raga.
"Lo ingat pelakunya?" Doni mulai mengeluarkan ponsel, siap membuat catatan.
Kening Cakra berkerut dalam, berusaha mengingat. "Pakaiannya biasa. Nggak mencurigakan sama sekali. Tiga orang pakai helm, sedangkan yang narik tangan Raga pakai masker. Aku nggak bisa mengenali muka mereka."
"Perawakan? Sesuatu yang unik?"
Cakra menggeleng. "Sorry, Don. Waktu itu aku cuma mikir bagaimana caranya menyelamatkan Raga."
Bahu Doni yang tegap meluruh. Semangatnya agak luntur. Meski demikian, dia sangat tahu bagaimana hubungan Cakra dan Raga. Mereka saling memiliki untuk waktu yang lama. Kejadian serupa itu tentu bisa menumpulkan daya pikir dalam sekejap, sekaligus mengguncang mental.
Doni mengganti pertanyaan. "Lo sudah telepon polisi? Ke sini sama siapa?"
"Aku ke sini karena ada orang yang manggilin ambulans. Pas banget TKP-nya dekat rumah sakit." Cakra berdecak menyesal.
Doni menepuk bahu temannya dua kali. "It's okay. Di sini lo jadi korban, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri." Pria itu kembali fokus pada ponselnya. "TKP-nya di dekat warung penyet langganan lo? Berarti tempat yang biasa?" Doni menjentikkan jari antusias saat mendapat anggukan. "Gue hubungi polisi dulu untuk mengamankan TKP. Siapa tahu ada CCTV yang menangkap gambar pelaku."
"Mobil!" pekik Cakra ikut-ikutan bersemangat. "Mobilku masih ada di sana. Aku sudah jaga-jaga pasang dashcam depan dan belakang sejak kejadian Ratna hampir dirampok. Kamu bisa periksa–" Semangat Cakra meluruh begitu saja. Dia meraba-raba kantung celana, lalu mengerang. "Asu! Kunci mobilku juga diambil."
Doni ikut-ikutan memaki. "Shit! Bisa-bisa kita keduluan si pelaku!"
Cakra mencekal lengan Doni. Tatapannya tampak berapi-api. "Don, aku kasih izin kamu bobol mobilku. Bagaimana pun caranya, kamu harus bisa dapatkan rekaman itu."
***
Para pembaca budiman, voment yuk! 😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro