Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35 | Taktik Baru Ratna

Nomor tidak dikenal:

"Perempuan murahan seperti kamu ternyata masih ada yang mau. Kita lihat bakal kuat berapa lama kamu bertahan di pernikahan baru."

Sudah berkali-kali membacanya pun, Ratna masih tidak paham dari mana orang sinting ini tahu. Baru semalam Cakra melamarnya, itu pun di rumah, dan siang ini muncul pesan aneh masuk ke ponsel. Dibanding ketakutan, Ratna justru kesal. Mengapa tidak ada sedikit pun sesuatu yang baik untuknya bertahan lama? Belum ada 24 jam Ratna merasa berbunga-bunga, ada orang jahat yang dengan tega merusak harinya.

Sebagai tindakan preventif, Ratna terpaksa membatalkan jadwal kencannya hari ini, tanpa memberi tahu pesan sinting tersebut pada Cakra. Ratna mengambil cuti setengah hari untuk mendatangi kantor pengacara. Doni yang baru kembali dari kegiatan di luar kantor terkejut mendapati kliennya sudah menunggu di ruangannya.

"Boleh saya periksa HP Bu Ratna?" tanya Doni setelah mendengar keseluruhan cerita Ratna.

Ratna menyerahkan ponselnya pada Doni. Wanita itu mengira Doni akan memeriksa sekali lagi isi kotak pesannya. Namun, rupanya Doni malah membolak-balik ponsel Ratna, kemudian mematikannya.

"HP Bu Ratna memang biasa sepanas ini?"

"Sepertinya ada masalah di baterai. Maklum, saya belum servis HP sejak beberapa tahun lalu."

"Bisa saja masalahnya bukan di baterai." Doni meletakkan ponsel kliennya di meja. Tatapan pria itu tertancap di sana. "Kalau Ibu mengizinkan, saya mau memasukkan ponsel ini sebagai barang bukti. Kita periksakan di bagian forensik."

Kening Ratna berkerut-kerut saat bertanya. "Memang ada yang salah dengan HP-nya? Bukan cuma dengan isi pesannya?"

"Saya curiga HP Bu Ratna disadap."

Ratna seperti baru saja mendengar petir di siang bolong. Pikirannya tidak sampai ke sana. Akan tetapi, Ratna yakin Doni tidak asal bicara ketika membuat dugaan seperti itu.

"Ponsel yang cepat panas menandakan ada suatu sistem yang terus-terusan bekerja ekstra. Nggak heran, daya ponsel cepat turun. Kalau memang ada virus atau ... apa pun, biasanya bisa kita deteksi sendiri. Tapi, saya ragu program itu bisa terbongkar tanpa usaha yang keras. Masalah kita saja sudah berlarut-larut begini tanpa menemui titik terang. Pelakunya pasti orang hebat." Doni menjawab pertanyaan Ratna.

Raut muka Ratna mengeras. "Nggak bisa dipastikan dulu ke tukang servis HP? Siapa tahu nggak ada virusnya."

"Saya tidak mau gegabah dengan mendatangi tukang perbaikan biasa. Salah penanganan, jangan-jangan pelaku malah bisa meledakkan HP atau menghilangkan bukti pakai program jarak jauh. Itu kemungkinan yang paling ingin kita hindari. Jadi, lebih baik HP ini kita masukkan sebagai barang bukti, sekaligus sebagai jaminan. Barang siapa yang merusak barang bukti, bakal dapat hukuman karena telah menghalangi proses penegakan hukum."

Penjelasan Doni terdengar masuk akal. Pelakunya pasti bukan orang biasa. Namun, Ratna punya alasan mengapa untuk kesekian kalinya dia memiliki pendapat yang berseberangan dengan Doni. Ratna tak bisa membiarkan ponselnya dijadikan barang bukti.

"Kenapa ... kenapa Pak Doni ... bisa berpikir HP saya disadap?"

Doni prihatin melihat kliennya bicara terbata-bata seperti itu. Doni beranjak menuju dispenser dan kembali dengan segelas air mineral. Dengan sopan, Doni meletakkan gelas itu di sebelah cangkir teh Ratna yang isinya tinggal setengah.

"Minum dulu, Bu," usul Doni. Setelah kliennya lebih tenang, Doni lanjut bicara, "Menurut cerita ibu, lamaran dan pembahasan soal pernikahan itu pertama kali tercetus tadi malam. Belum ada yang tahu selain Bu Ratna dan Cak– Pak Cakra." Doni terbatuk kecil karena menyematkan sapaan 'pak' di depan nama sahabatnya. "Orang lain bisa mengetahui hal itu kemungkinan besar karena hasil mencuri dengar. Media yang paling mudah adalah ...," Doni mengerling pada ponsel Ratna.

"Apa nggak mungkin lewat benda lain?"

"Ada kemungkinan lain, yaitu rumah Pak Cakra disadap. Tapi, saya sangat mengenalnya. Pak Cakra anti memasukkan orang asing ke rumah. Makanya, jarang ada tamu." Doni mengamati bagaimana jemari Ratna saling meremas di pangkuan. Jarang-jarang kliennya ini menunjukkan sisi rapuh. "Kecuali ada peristiwa pembobolan rumah Pak Cakra atau rumah tetangga di kanan, kiri, belakang, saya ragu alat penyadapnya ditanam di rumah."

Ketika mengangkat tatapan, Doni langsung menemukan wajah pucat Ratna. Wanita itu hanyut dalam pemikirannya sendiri, tetapi Doni dapat mengendus keanehan darinya. Bila ingin segera menyelesaikan kasus, Ratna pasti tak ragu untuk menyerahkan ponsel demi kemajuan penyelidikan.

"Apa ada sesuatu di ponsel yang tidak boleh saya lihat?"

Pertanyaan Doni tepat sasaran. Ratna tak bisa mengiakan begitu saja. Apa yang tersimpan di sana, berusaha Ratna kubur dalam-dalam. Namun, kalau ponselnya dijadikan barang bukti, apa yang dia simpan bukan lagi menjadi milik pribadi.

"Apa kita bisa menggunakan pendekatan lain?" Ratna balik bertanya. "Saya tahu dari Cakra. Beberapa hari lalu Haiyan menolak menjadi saksi untuk kasus lainnya." Ratna menegakkan punggung. Kedua tangannya terkepal di atas lutut. "Tolong biarkan saya bertemu dengan Haiyan dan bicara padanya. Kita coba pendekatan yang itu dulu untuk menggulingkan Dewa."

Kecurigaan Doni kian besar. "Saya kira Bu Ratna punya kondisi di mana sebaiknya nggak–"

"Saya mau mencoba," potong Ratna cepat. "Ini menyangkut hidup saya, hidup Cakra, dan rencana kehidupan kami ke depannya. Saya tidak mau menyerah begitu saja."

Doni menghela napas panjang. Dia menimbang-nimbang apakah sebaiknya memberi tahu Cakra tentang hal ini. Namun, melihat bagaimana Ratna mendatangi kantornya sendirian, tidak bersama Cakra, Doni berasumsi Cakra tidak mengetahui ancaman bahaya yang mengintai.

"Baiklah," kata Doni menyanggupi. "Saya hubungi Pak Haiyan dulu untuk mengatur janji temu."

"Malam ini," sambar Ratna. "Saya harus bertemu dengannya secepat mungkin."

"Saya usahakan."

"Dan tolong jangan bilang bahwa saya sendiri yang akan datang menemuinya."

Doni benar-benar terjepit. Karena frustrasi, kliennya sampai meminta pertemuan dengan syarat yang menyusahkan. Doni menebak Haiyan pasti akan merasa dicurangi, apalagi Doni tahu keinginan kuat Haiyan untuk tidak berurusan lagi dengan Ratna.

"Tolong, Pak Doni. Cuma Bapak yang bisa menolong saya sekarang," pinta Ratna bersungguh-sungguh.

***

"Lho, Ayah?" Raga sekali lagi memeriksa bahwa ayahnya datang sendirian. Anak itu melongok ke balik punggung Cakra, mengamati halaman rumahnya sendiri dari seberang, bahkan sengaja keluar ke teras rumah Citra untuk mengamati lebih cermat.

"Kamu cari apa?"

"Tante Ratna," jawab Raga. "Ayah bilangnya bakal telat jemput aku karena mau usaha jadikan Tante Ratna ibu sambung aku. Terus, sekarang Tante Ratna mana?"

Cakra terbahak-bahak. Dia mengacak rambut Raga yang sudah agak panjang. "Ayah nggak jadi jalan-jalan. Tante Ratna ada acara dadakan."

"Berarti Tante Ratna belum jadi ibu sambungku?"

"Nggak semudah itu. Ada banyak yang harus diurus biar Ayah bisa menikah," balas Cakra, masih ada sisa tawa dalam suaranya.

Raga merengut. Dirinya merasa dicurangi.

"Karena Tante Ratna lagi nggak ada, bagaimana kalau kita jalan-jalan berdua?" Cakra menawarkan diri. "Mau makan penyetan lagi?"

"Nggak sama Tante Ratna?"

"Berikutnya kita makan bareng-bareng, bertiga." Cakra meraih ransel dan membantu Raga memakainya. Tak berhenti sampai situ, Cakra meletakkan sepatu Raga tepat di depan kaki putranya. "Ayo, kita siap-siap!

Kakak Cakra keluar dari dalam rumah sambil menggendong anak perempuannya. "Nggak pamitan? Mau jemput ibu barunya Raga, ya?"

"Eh, iya. Ini mau pamitan, Mbak," balas Cakra sambil meringis. "Raga, salam dulu sama Budhe. Kamu tunggu Ayah di mobil."

Sepeninggal Raga, Cakra mendapat tatapan menyelidik khas Citra. Dari gelagatnya, kemungkinan besar Citra sudah tahu dari Raga, atau justru tahu dari hasil menguping percakapan Raga dan Cakra di depan pintu tadi.

"Aku sama Ratna bakal merencanakan pernikahan. Semalam aku dan Ratna ngobrol banyak, Mbak. Keinginan Mbak supaya aku cepat-cepat menikah lagi bakal terwujud."

"Sudah yakin sama Ratna?" Citra sedikit berayun-ayun untuk menenangkan anaknya. "Dia cewek pertama yang kelihatannya bikin kamu yakin untuk menikah."

Cakra mengangguk senang. "Dia nggak cuma bikin aku yakin, Raga juga yakin."

"Iya, sih. Raga aneh banget, bisa cepat dekat begitu sama Ratna." Mimik muka Citra berubah jadi seperti sedang menjahili adik satu-satunya. "Kalau Raga sudah mengizinkan, end game aja, sih. Berarti skor Ratna nol satu sama anak klien kamu yang dulu. Siapa, tuh, namanya? Hana?"

Cakra mendengus. "Cerita lama. Hana hari ini menikah."

"Seriusan? Kamu mau datang? Sama Ratna dan Raga?"

Cakra tertawa. Baginya, pertanyaan Citra adalah lelucon basi. "Ngapain? Aku sudah mendelegasikan ke junior di kantor. Hana juga pasti nggak nyaman kalau aku tiba-tiba muncul di acara pernikahannya. Yah, meskipun sebenarnya aku memang lupa total sama undangan pernikahannya, sih."

Citra berdecak. Matanya menyipit mengamati Cakra. "Kamu nggak kelihatan menyesal sama sekali. Sudah kena pelet Ratna, nih." Citra tertawa karena adiknya lagi-lagi tertawa. "Ya, sudah. Mbak tunggu kabar baik dari kamu dan Ratna. Sebaiknya cepat menikah, sebelum mama dan papa tahu kalau kamu selama ini menampung Ratna tinggal di bawah atap yang sama."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro