2 | Melihat dari Dua Sisi
Sebulan telah terlewati. Cakra kini berdiri di teras gedung pengadilan agama. Angin yang meniup rambutnya membuat pria itu menoleh ke area taman. Tatapannya jatuh pada pagar tembok rendah pembatas taman di bawah pohon rindang. Dia masih bisa melihat gambaran dirinya duduk berteduh di sana bersama seorang wanita.
Sialnya, hingga kini si wanita menghilang bagai uap. Kabarnya saja tak sampai ke telinga Cakra.
Cakra berusaha keras tak melakukan petualangan ke masa lalu. Mungkin saja Ratna membutuhkan waktu yang tak sebentar untuk menata hidup setelah sepuluh tahun terkurung dalam pernikahan neraka. Itu wajar, pikir Cakra menenangkan hati.
"Kamu punya pekerjaan mapan, uang yang memadai, dan nggak ada tanggungan anak. Kenapa kamu nggak bisa buru-buru lepas dari Dewa?"
Cakra ingat dengan benar. Dia pernah melontarkan pertanyaan itu pada Ratna, tepat sebelum persidangan terakhir dimulai. Jawaban yang dia terima hanyalah senyum tipis, tanpa kata-kata.
Pernikahan bukan sesuatu yang magis bagi orang yang pernah gagal di dalamnya. Pepatah itu tercipta lantaran hasil refleksi pekerjaan Cakra. Ratna hanya salah satu contoh dari ribuan kasus perceraian yang pernah Cakra tangani. Selain itu, Cakra juga menambahkan bumbu dari pelajaran hidupnya sendiri.
Ponsel di saku celana Cakra bergetar, menepis kekhawatirannya akan Ratna. Panggilan masuk dari Ria mengingatkan Cakra bahwa klien mereka sudah tiba lebih awal di tempat perjanjian. Tanpa berlama-lama, Cakra segera mengambil langkah lebar. Pekerjaan Cakra hari ini belum tuntas jika akta cerai di tangannya tidak sampai ke tangan si empunya.
"Terima kasih."
Ucapan itu keluar dari bibir seorang wanita yang isi cangkirnya tinggal setengah. Keterlambatan Cakra tidak mengusik. Alih-alih raut kesal, wanita itu justru menyunggingkan senyum manis di bibir tipisnya.
Cakra menghela napas lega. Dia tidak mengecewakan klien.
"Dengan begini, saya bisa melindungi anak-anak dari ayahnya." Wanita itu mengedip-ngedipkan mata demi menghalau genangan air yang terkumpul di sana. Sekali lagi dia mengangguk kecil ke arah pengacara yang menemaninya di tiap persidangan. "Terima kasih banyak, Pak Cakra."
Cakra sudah sering mendengar ucapan terima kasih atas bantuannya merusak rumah tangga orang lain. Di sisi lain, dia menyelamatkan pihak yang merugi dalam pernikahan. Perceraian tidak selalu berarti buruk. Beberapa orang membutuhkan kebebasan sedangkan pernikahan dirasa sebagai kekangan yang menyesakkan. Dua sisi pernikahan inilah yang menjadi sumber penghidupan Cakra sehari-hari.
Cakra tidak tahu pasti rata-rata tiap harinya ada berapa banyak pasangan yang menikah atau bercerai. Akan tetapi, akhir-akhir ini kasus perceraian lebih banyak mampir ke atas meja kerjanya. Dengan demikian, Cakra menganggap ada lebih banyak orang yang sadar bahwa kebahagiaan bisa didapat meski harus mengorbankan janji suci yang telah terucap di hadapan Tuhan masing-masing.
Seperti kasus Ratna. Ah, wanita itu terlalu membutakan Cakra. Setiap kasus perceraian seolah-olah menjadi bel supaya Cakra memikirkan Ratna. Cara pandang unik wanita itu membuat Cakra tak pernah lagi menggampangkan perihal perpisahan.
Cakra tidak berlama-lama tinggal di coffee shop. Setelah pekerjaannya dengan klien selesai, Cakra kembali ke mobil. Masih banyak waktu tersisa sebelum pukul empat. Rupanya hari ini dia tidak ditakdirkan lembur. Sebelum pulang, Cakra memutuskan mampir ke pusat perbelanjaan. Kewajiban Cakra selain bekerja sebagai pengacara adalah memastikan roda kehidupan rumah tetap berputar.
"Cakra, kan? Wah, benaran, Cakra!"
Cakra refleks menoleh ketika mendengar sapaan ramah ditujukan padanya. Wajah semringah menyambut Cakra. Laki-laki yang lengan kemejanya digulung sampai siku itu lebih dulu mendekat dan mengajak bersalaman.
"Sendirian aja, Yan?" sapa Cakra tak kalah ramah.
"Nggak," jawab Haiyan. Dengan gerakan dagu, laki-laki berkulit sawo matang itu menunjuk ke suatu arah. "Sama keluarga, tuh. Mumpung lagi bisa pulang cepat, aku sekalian nemenin ibunya anak-anak belanja."
Cakra ingin sekali melupakan Ratna yang mungkin juga sudah melupakannya. Akan tetapi, pertemuannya dengan Haiyan justru memperburuk keadaan. Tanpa Haiyan, Cakra dan Ratna tidak akan saling terhubung. Dalam hati Cakra bertanya-tanya, apakah Haiyan mengetahui kabar terkini terkait Ratna. Pasalnya, dulu Haiyan terlihat seperti pendukung utama dalam proses perceraian Ratna. Namun, sepotong percakapan bulan lalu dengan Ratna membuat kesangsian Cakra membesar.
"Buna belikan masing-masing satu. Jangan tarik-tarikan!"
Seruan bernada tinggi mengacaukan obrolan basa-basi para ayah. Di depan rak aneka biskuit, Cakra melihat dua anak kembar ribut berebut makanan. Wanita bertubuh mungil yang Cakra tebak sebagai ibu anak-anak itu tampak kewalahan.
Haiyan mengikuti arah pandang Cakra, lantas segera melerai putra-putranya supaya tidak membuat kekacauan lebih jauh lagi. "Kalian ikut Yana aja, ya," kata Haiyan sambil menggandeng keduanya di masing-masing tangan. "Nih, ada Om Cakra. Ayo, pada salim!"
"Halo, Om!"
"Danish, salim cium tangan yang benar. Bukan dadah-dadah!" Haiyan menyodorkan tangan kanan anaknya ke arah Cakra. "Daniel, ayo salim dulu!" katanya pada anak yang lain.
Cakra mengulum senyum. Dia pernah berada di masa yang sama dengan Haiyan. Menangani anak merajuk sering kali bikin kepala cenat-cenut.
"Kalau nggak mau, nggak usah dipaksa," ujar Cakra saat putra sulung Haiyan tak kunjung mengulurkan tangan sesuai harapan sang ayah. Cakra mengacak rambut ikal kedua anak kembar identik itu. "Kalau lihat lewat Youtube, anak-anak kamu kayak masih kecil. Ternyata sudah pada besar, ya."
"Lagi pada fase rewel, Cak. Lumayan susah bikin mereka jinak. Kasihan istriku kalau lagi jaga mereka sendiri."
Cakra tak bisa menghalau bayang-bayang Raga saat masih seusia Daniel dan Danish. Anaknya pun suka rewel. Tidak hanya Cakra yang dibuat pusing. Seluruh keluarga Cakra yang ikut mengasuh Raga dibikin sakit badan mengikuti kemauannya. Raga baru menjadi lebih tenang setelah masuk usia sekolah.
"Oh ya, kamu sendirian, Cak? Anakmu nggak diajak?"
Cakra membalas sembari menggeleng, "Begitu sekolah selesai, dia langsung pulang ke rumah. Paling sekarang Raga lagi main sama sepupunya."
Haiyan menggerakkan kepalanya naik dan turun. Bibirnya terbuka, tetapi kembali menutup. Dia berdeham untuk mengulur waktu. "Pekerjaan lancar?" tanyanya penuh arti setelah berhasil merangkai kata. "Dengar-dengar, ada kasus besar mampir di HAD Law Firm."
Mata Cakra menyipit. Sebagai sesama pengacara, tak mengherankan bila Haiyan dapat mengendus kasus besar apa sampai di meja siapa. Namun, setelah melihat gerak-geriknya yang sedikit gugup, Cakra paham akan ke mana Haiyan membawa percakapan ini.
"Kasus besar? Mungkin ada, di meja pengacara lainnya," sahut Cakra pura-pura tak peduli.
Kekehan kaku keluar dari bibir Haiyan. "Oh iya, lupa. Kamu lebih sering berurusan sama kantor pengadilan agama."
Dugaan Cakra tepat. Haiyan tidak tahu apa-apa soal Ratna. Maka dari itu, Haiyan berusaha mengorek informasi darinya.
Obrolan tidak berlangsung lama. Istri Haiyan mendekat sambil mendorong troli belanja. Cakra menyapanya. Sejujurnya, ini kali pertama Cakra bertatap muka dengan Naya, istri Haiyan. Mereka pernah bertukar pesan singkat, yang untungnya tidak berlanjut. Sebagai pengacara, Cakra jadi tidak perlu terlibat lebih jauh dalam urusan rumah tangga Haiyan-Naya.
Interaksi Haiyan dan istri tertangkap oleh mata jeli Cakra. Karena terbiasa menangani kasus antar pasangan, meski ruang lingkup kerjanya tidak terbatas pada kasus sejenis itu, Cakra tahu suami istri di depannya sama-sama canggung. Salah satunya berusaha terlalu keras atas dasar menebus perasaan bersalah. Cakra yang paham situasi segera pamit undur diri.
Setelah tiba di depan rak sikat gigi, diam-diam Cakra kembali menoleh ke arah keluarga kecil Haiyan. Sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. Dia bisa melihat bahasa tubuh penuh cinta saat telapak tangan Naya menepuk-nepuk pelan punggung bawah suaminya yang berakting sakit pinggang setelah menggendong si kembar bersamaan di dua lengan.
Canggung, tetapi masih cinta. Cakra memprediksi Haiyan tidak membutuhkan bantuannya untuk mediasi prahara rumah tangga paling tidak selama beberapa waktu ke depan.
Dari sekilas gambaran hubungan Haiyan dan istrinya, Cakra berhasil menepis dugaan buruk tanpa dasar yang sempat terajut. Jika terlihat masih mencintai istrinya, tidak mungkin Haiyan berbahagia atas lepasnya status istri dari Ratna. Satu hal yang ingin Cakra yakini adalah bahwa temannya itu tidak melibatkan perasaan berlebih saat mengusulkan perceraian pada Ratna.
Tanpa sadar Cakra menghela napas panjang. Untuk apa dia repot-repot memikirkan urusan rumah tangga orang lain?
Cakra melengos. Dia mengambil dua buah sikat gigi berbeda ukuran untuk dirinya sendiri dan Raga. Tidak ada sikat gigi ketiga dalam genggamannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro