18 | Coba-Coba
Gairah di antara dua anak manusia mulai memuncak. Ratna sama sekali tak diberi kesempatan untuk meloloskan desahan. Semua ucapannya ditelan bulat-bulat dalam belitan lidah yang panas.
Demi membebaskan diri dari gelombang di seluruh tubuh yang kian menggila, Ratna menekan bahu lawan mainnya ke bawah. Sayangnya, bukannya melepaskan, Cakra malah menangkap sinyal itu sebagai ajakan untuk melanjutkan permainan. Ciuman Cakra menjalar, menyasar pada tempat lain yang sebenarnya lebih berbahaya daripada di sepasang bibir.
"Cakra, sebentar." Ratna mengerang kewalahan. Dia meminta Cakra untuk berhenti. Namun, permintaan Ratna tak kunjung dituruti. "HP aku bunyi."
Cakra akhirnya mengangkat wajah. Dia mengamati ceruk leher Ratna yang memerah akibat ulahnya. Tatapannya bergulir pada bibir wanita itu. Rupanya Cakra terlalu kuat melumat hingga bibir Ratna membengkak.
"HP aku," kata Ratna sambil menunjuk ponsel di atas nakas. Dia tak bisa meraihnya karena terkurung oleh lengan kokoh Cakra. "Tolong," lanjut Ratna memohon.
Cakra menyeringai. Ciuman ringan kembali mendarat di bibir Ratna sebagai penutup. Setelah itu, Cakra menjatuhkan diri di sebelah wanitanya dan mengambilkan ponsel.
Selagi Ratna membaca pesan masuk yang berdatangan, Cakra mengamati wanita itu dari samping. Sejak tadi tatapan lembutnya tak kunjung sirna. Jantung Cakra seperti meledak-ledak karena perbuatan mereka barusan.
Ciuman hangat berubah menjadi ciuman panas. Seandainya Ratna tidak meminta berhenti, mungkin saat ini mereka sedang sibuk melucuti pakaian masing-masing.
Diam-diam Cakra menggigiti bagian dalam bibir bawahnya. Agak kebas. Karena ciuman mereka bukan cuma lama, tetapi juga ganas, tak heran bibir Cakra jadi begini. Namun, Cakra tidak menyesal. Dia masih ingin beradu bibir bersama Ratna.
Apakah ciuman bisa membuat seseorang kecanduan? Sepertinya Cakra harus mengakui bahwa dia telah menjadi pecandu.
"Pihak apartemen barusan kasih kabar. Pintu apartemenku sudah diperbaiki." Ratna menyibak selimut dan menurunkan kaki ke lantai. "Aku mau ke sana."
Cakra mendelik tak terima pada perubahan suasana di antara mereka. "Lho, kamu belum jadi tidur."
"Karena siapa, coba?" Ratna mengerling kesal pada Cakra yang masih berbaring. "Aku menghabiskan …," Ratna memberi jeda untuk melihat penunjuk waktu di ponsel, "... lima menit meladeni kemauan kamu."
Cakra terkekeh. Pria itu kian berani menggoda Ratna. "Memang kamu nggak mau?"
"Kita itu teman, Cak!" Ratna mengatakannya tanpa melihat lawan bicara.
"Bukannya ciuman tadi jadi segel hubungan kita yang baru?" Cakra berbaring miring, lantas menyangga kepalanya dengan sebelah lengan. "Mau diulang aja? Biar kamu bisa memastikan perasaan."
"Cakra!"
Ratna melempar bantal yang langsung mengenai kepala Cakra. Cakra mengaduh. Saat berhasil menyingkirkan benda empuk itu dari depan wajahnya, Cakra bisa melihat Ratna sedang merapikan peralatan tulis di meja.
Di pandangan orang lain mungkin sikap Ratna barusan dapat diartikan sebagai penolakan. Namun, Cakra punya pendapat sendiri. Untuk saat ini, Ratna hanya sedang mencerna keadaan.
Hubungan pertemanannya dengan Ratna memang baru seumur jagung. Terlebih, Ratna adalah tipe orang yang memiliki cara berpikir rumit. Cakra tak mau buru-buru memaksakan suatu hubungan jika hal itu justru akan merenggangkan apa yang sudah tersaji di awal.
"Sebelum pacaran, mau coba-coba dulu, nggak?" Cakra tiba-tiba melempar pertanyaan. Karena mendapat pelototan Ratna, Cakra segera menambahkan. "Maksudku, coba saling mengenal dengan beberapa kali jalan bareng. Kalau sama-sama suka, kita bisa lanjut pacaran."
Mata Ratna menyipit curiga. Wanita itu berusaha menerka-nerka. "Bukannya kamu dapat desakan dari orang tua untuk cari istri? Kamu pasti nggak butuh hubungan main-main, kan?"
"Siapa yang bilang hubungan kita main-main?" Cakra justru membalik pertanyaan. "Anggap saja proses ini sebagai penjajakan awal. Meski hubungannya tidak bernama, aku tetap bakal berusaha keras di hubungan ini."
Ratna tidak mengerti kapan Cakra menjadi aneh seperti sekarang. Apakah Cakra berubah sebelum mereka berciuman, atau setelahnya? Ratna sama sekali tidak menyangka bahwa hanya dengan satu kali ciuman, dinding tinggi di antara mereka tiba-tiba saja merendah. Selain itu, bagaimana bisa Cakra menjadi sesantai sekarang setelah apa yang mereka lakukan?
"Kamu seyakin itu sama aku?" Ratna mulai sangsi. Dia tak mau terbawa suasana.
Ciuman hanyalah ciuman. Ratna yakin sekali tidak ada perasaan lebih yang terbentuk. Dirinya murni terbawa suasana, juga karena sedang merasa kesepian dan menginginkan kehangatan.
"Ciumanku tadi buktinya." Cakra tersenyum mendapati raut terkejut di wajah Ratna. "Aku nggak sembarangan kasih ciuman."
Ratna refleks mengusap bibir. Warna merah muda menghiasi pipi dan ujung telinganya. Di mata Cakra, Ratna benar-benar menggemaskan.
"Jadi, kamu mau–"
Perkataan Cakra tersela oleh dering ponsel Ratna. Kali ini ada telepon masuk. Sekejap mata segala rona jengah menghilang dari wajah Ratna. Ratna melirik Cakra sebelum menjawab panggilan.
Samar-samar Cakra dapat mendengar nada bicara serius Ratna. Wanita itu juga memanggil nama Doni. Cakra jadi berpikiran yang tidak-tidak. Apakah ada bencana lain yang menimpa Ratna? Sampai-sampai Ratna bicara secara tersembunyi dan memunggungi Cakra.
"Ada apa?" tanya Cakra begitu Ratna mengucap salam penutup. "Pelakunya tertangkap? Ada saksi mata? Doni berhasil menemukan petunjuk baru?"
"Bukan, kok." Ratna terkekeh. Wanita itu geleng-geleng kepala melihat wajah panik Cakra. "HP kamu mati, jadi Doni telepon aku. Dia mencak-mencak bilang nggak sanggup jaga dua anak sendirian."
Sial! Cakra melupakan Doni. Raga dan Lintang sedang dititipkan pada temannya itu. Setelah mendapat kabar terkait Ratna, Cakra langsung melesat ke hotel tempat Ratna menginap.
"Ayo, kamu juga siap-siap," kata Cakra sambil berlalu ke depan cermin. Dia sibuk menata rambutnya yang sempat Ratna acak-acak selagi sesi panas mereka berlangsung. "Kamu malam ini tidur di rumahku."
"Kenapa? Aku bisa perpanjangan kamar hotel, kok."
"Lebih aman, Ratna," balas Cakra lembut sembari melempar tatapan melalui pantulan cermin. "Aku bakal antar kamu ambil barang-barang lainnya di apartemen setelah kakakku pulang dari acara kencan."
"Aku belum bilang setuju sama rencana kamu, lho, Cak," balas Ratna.
Dasar Ratna si wanita mandiri! Dia benar-benar memaksakan mau sendiri. Cakra yang keheranan cuma bisa menatap balik sambil mengangkat kedua alis.
Walaupun begitu, Cakra akui Ratna sebenarnya sudah sedikit berubah. Nada dan gaya bicaranya melembut. Cakra mendapat celah untuk terus menyentuh hatinya.
"Kamu boleh berpikir dan kasih keputusan setelah ketemu Raga nanti." Cakra mengusap kedua lengan Ratna ke atas dan bawah, lantas membubuhkan kecupan di keningnya. "Aku ke toilet dulu. Begitu aku keluar, kamu sudah harus siap. Nanti Doni ngomel lagi, pecahlah perang dunia ketiga."
Ratna dibuat ternganga oleh tindakan dan ucapan Cakra. Bisa-bisanya pria itu melakukan hal manis, tetapi sambil membicarakan urusan toilet. Namun, gaya santai Cakra justru menjadi daya tarik tersendiri.
Tangan Ratna menempel di kening, lalu turun ke bibir. Jantungnya berdebar-debar tak karuan. Ratna harus mengakui Cakra adalah pencium andalan. Dia dapat mengingat bagaimana lihainya pria itu menggerakkan bibir dan lidah, merayu Ratna supaya memberi balasan. Akan tetapi, kini efek ciuman di kening jauh lebih besar Ratna rasakan.
Isi hati Ratna berhasil dibuat berantakan.
Ratna menimbang-nimbang. Apakah sebaiknya dia mengikuti saran Cakra untuk saling mengenal?
Perlahan wajah Ratna memerah lagi. Wanita itu merasakan pusaran aneh di perut bawahnya setelah mengingat wajah Cakra pernah berada begitu dekat, tepat di depan wajah Ratna. Tak bisa memungkiri, Ratna membayangkan hal seronok, tadi dan kini.
Pertanyaan lainnya melintas di pikiran Ratna. Apakah gaya pacaran orang dewasa yang sama-sama telah mengenal kehidupan ranjang akan berbeda? Ratna membutuhkan jawaban.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro