16 | Kesalahpahaman
Alih-alih menggandeng tangan Lintang, sesungguhnya Doni tampak seperti tengah terseret. Langkah kaki anak lincah itu membuat Doni ikut-ikutan tak bisa diam. Ini pertemuan pertama Doni dengan Lintang. Namun, anak itu langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, hingga tak ingin melepaskan om barunya barang semenit pun.
"Gue nggak nyangka, Cak. Tempat yang lo maksud kafe, tuh, tempat beginian," kata Doni, agaknya mengeluh.
Cakra tergelak. Rencananya berhasil. Ada sepasang tangan lain yang bisa dia manfaatkan untuk meringankan beban mengasuh anak di akhir pekan.
Sesungguhnya, kafe yang mereka datangi kini lebih tepat dibilang sebagai tempat bermain anak. Ada banyak wahana permainan yang pasti menarik bagi Raga dan Lintang. Karena Doni menghubunginya secara kasual, Cakra menganggap mereka tidak akan membicarakan urusan pekerjaan. Bicara sambil menemani anak-anak bermain bukanlah masalah besar.
"Lo nggak lihat outfit gue? Gue sudah dandan ganteng, woy!" Doni masih mengoceh. "Eh, eh, hati-hati!" Dengan sigap, Doni menangkap tubuh Lintang yang hampir saja jatuh.
Doni berani membanggakan diri karena pada kenyataannya dia memang mempersiapkan pakaian sebaik mungkin. Dia memakai kaus putih di balik jaket denim. Untuk bawahan, Doni memilih jin berwarna gelap. Doni bahkan menyemprotkan wewangian maskulin di tubuhnya. Selain untuk membicarakan suatu hal dengan Cakra, Doni punya misi sampingan mencari gebetan.
Akhir pekan adalah waktu yang baik untuk bersantai. Berjaga-jaga sedikit tentu tak apa. Siapa yang tahu bila Doni bakal bertemu jodohnya di tempat menongkrong? Maka dari itu, Doni harus selalu siaga menunjukkan sisi dirinya yang memesona.
"Nggak usah dandan juga sudah ganteng," balas Cakra cuek.
Ayah satu anak itu memutar-mutar bola plastik di tangannya. Cakra menerawang ke kejauhan. Dia melihat Raga telah menemukan teman baru. Raga dan temannya bersama-sama meluncur di perosotan dengan ribut.
"Jijay!" Doni menampik pujian Cakra. Kepalanya celingukan ke kanan dan kiri. "Kalau ada yang dengar ucapan lo barusan, bisa-bisa kita dikira pasangan gay."
Cakra tersenyum jahil. Dia melempar bola dan menggendong Lintang. Saat melewati Doni, Cakra main-main mencolek dagu temannya.
"Minum dulu, Sayang."
"Anjing!" Doni berdecak kesal. Namun, dia tetap mengikuti langkah temannya ke area cafe and resto.
Cakra memesankan makanan dan minuman untuk mereka berempat. Dia tahu diri dan tahu terima kasih. Karena Doni sudah bersedia mengekori Lintang selama setengah jam, Cakra-lah yang membayar semua pesanan.
"Tumben nggak pelit," ledek Doni.
"Sedekah," balas Cakra berkelakar. "Hitung-hitung sambil membantu kehidupan pengacara yang keseringan ambil kasus pro bono."
"Anjing!" Doni lagi-lagi berdecak. Meski sering memberi bantuan hukum cuma-cuma pada orang tak mampu, bukan berarti kariernya akan berhenti di titik itu terus.
"Jangan mengumpat, Sayang. Ada Lintang."
Doni melotot. Mulutnya terbuka. Bisa-bisanya Cakra bercanda seperti itu di depan mbak kasir. Setelah Cakra berlalu, Doni buru-buru memberi tanda pada si mbak supaya tak ada yang salah paham. Dia membuat garis miring di jidat dengan telunjuk, kemudian menunjuk punggung Cakra.
Cakra-lah yang gila. Bukan Doni.
"Lintang duduk di sini aja. Makan dulu." Cakra agak kewalahan menangani bocah di gendongannya. "Eh, mau ke mana?"
Lintang sempat memberontak ingin kembali masuk ke tempat mandi bola, tetapi langsung diam ketika Doni menyodorkan makanan ke depan mulutnya. Cakra tersenyum miring. Karena Lintang sudah menemukan pawangnya, Cakra bebas melahap makanan tanpa ada gangguan.
"Kamu cocok jadi baby sitter, Don. Kapan mau berkeluarga?" Cakra benar-benar sedang dalam mode menyebalkan hari ini.
"Seandainya dapat calon istri semudah menemukan kasus, gue sudah kayak lo. Anak gue seusia Raga kali."
"Wah, mainnya pakai jurus julid, nih!" Cakra membalas main-main. Karena sudah kenal lama dengan Doni, sejak di bangku perkuliahan, Cakra tak lagi sakit hati. "Memang sesusah apa, sih, cari istri?"
Doni berdecak. "Taktik gue beda, Cak. Gue mainnya nggak crot di dalam."
"Lambemu!" Cakra mendelik. Dia menepuk bibir setelah tersadar. "Maaf, Lintang. Om bicara nggak benar."
Doni yang duduk di samping Lintang mengusap kedua telinga bocah itu main-main. Lintang mendongak. Dia tertawa senang. Dalam pikirannya, Lintang merasa Doni sedang mengajak bermain.
"Refleksilah! Buktinya, lo nggak cepat menikah lagi," balas Doni tak kalah kejam.
"Aku punya anak, Don. Calon istriku nanti bakal langsung punya anak, sudah besar pula. Nggak semua orang bisa menerima itu."
Doni mengangguk paham. Dia menyuap makanannya sendiri sembari sesekali menyuapi Lintang. Sesungguhnya, Doni sedang mengulur waktu.
"Kasus perceraian lo nggak terlalu pelik, sih," kata Doni sambil mengamati tingkah temannya. "Beda sama beberapa orang. Gue punya kenalan cewek. Alasan cerainya adalah KDRT berat, sampai-sampai dia pernah operasi patah tulang. Tapi, saat di persidangan, dia nggak mau buka kartu kebejatan suaminya. Dia menggugat cerai dengan alasan penelantaran. Karena suaminya nggak datang di pengadilan, persidangan cerai itu cepat diproses, jadi putusan perceraian verstek."
Tangan Cakra mengambang di udara. Gulungan spaghetti di ujung garpunya meluncur turun. Degup jantung Cakra perlahan meningkat.
Doni melanjutkan ceritanya karena tidak mendapat balasan Cakra. "Kenalan gue ini berharap hidupnya bakal happy setelah berpisah dari si suami jahanam. Tapi, ternyata masalah baru muncul. Suaminya mulai mengirim pesan-pesan aneh yang mengindikasikan stalking. Awalnya, kenalan gue cuma dapat penguntitan biasa, tapi semakin lama pesan itu berisi ancaman. Ancamannya–"
"Kenapa kamu cerita ini?" sela Cakra. Nada bicaranya sangat serius. Sorot matanya menjadi tajam.
Kisah yang dibawakan Doni adalah cerita hidup Ratna. Lebih spesifik lagi, kasus perceraian itu selesai di tangan Cakra. Karena mengingat saat ini Ratna menjadi klien temannya, Cakra dapat mengendus taktik terselubung Doni.
"Kalem, Bro!" Doni memasang wajah tak berdosa. "Lo nggak mau dengar cerita gue? Gue bisa cerita hal lainnya."
"Kalau kamu bicara panjang lebar kayak tadi dengan tujuan membantu kenalanmu, aku mau dengar," kata Cakra sambil menyingkirkan piring ke samping. Tangan Cakra bersedekap di atas meja. "Tapi, kalau kamu menjadikannya sebatas bahan pembicaraan santai, lebih baik kamu tutup mulut."
Doni mengangkat alis. Cakra berkali-kali lipat lebih serius dibandingkan ketika Doni datang berkonsultasi membawa kasus lainnya. Ada tambahan perasaan personal yang Cakra tunjukkan atas kasus Ratna. Ajaibnya, Cakra bahkan tidak kebingungan bagaimana Doni bisa tahu kebenaran hubungan Cakra-Ratna yang pernah dimanipulasi.
Cakra seolah sudah menantikan kesempatan ini. Kesempatan di mana dirinya terlibat dalam kasus Ratna.
"Gue gagal menjebloskan mantan suami kenalan gue ini karena kekurangan bukti," lanjut Doni tak kalah serius. "Seperti kebanyakan kasus cyberstalking, pelaku yang awalnya mengganggu lewat perantara media sosial, sekarang makin berani menunjukkan taringnya."
"Maksudnya?"
Doni mempersempit jarak dengan cara memajukan tubuh bagian atas. Tarikan Lintang di bajunya tak Doni indahkan. Pria itu berbisik tepat di samping telinga Cakra, kali ini secara terus terang.
"Semalam terjadi pembobolan di apartemen Bu Ratna." Doni kembali menegakkan punggung dan memandangi wajah pucat Cakra. "Terjadi tindak pidana lain yang lebih berat seolah-olah pelaku marah karena sebelumnya gue dan kenalan gue ini membawa kasusnya ke kepolisian," lanjutnya kembali memakai nama samaran.
"Sekarang Ratna di mana? Keadaannya gimana? Siapa yang jagain Ratna?"
Cakra tak peduli lagi. Secara blak-blakan dia menyebut nama Ratna di muka umum.
Rentetan pertanyaan Cakra menunjukkan perasaan kalut. Karena Doni tak kunjung menjawab, Cakra segera meraih ponsel untuk menghubungi Ratna. Cakra berpikir keras. Kemarin siang dia mengantar Ratna pulang ke apartemennya. Kalau begitu, apakah Ratna berada di tempat kejadian saat pembobolan itu terjadi?
"Gue tahu lo khawatir, tapi gue butuh jawaban lo," ujar Doni sambil merebut ponsel dari tangan temannya. "Apa lo punya bukti yang bisa gue pakai untuk memenjarakan Dewa?"
"Bukti kayak gimana?" Cakra tak bisa berpikir jernih. Dia gatal ingin segera mencari tahu kabar Ratna.
"Apa lo pernah jadi saksi mata kekerasan yang dilakukan Dewa? Atau mungkin, lo pernah mendengar ancaman keluar dari mulutnya? Petunjuk sekecil apa pun bisa gue pakai."
Determinasi Doni menyala-nyala dalam matanya. Cakra mengerutkan kening sebagai balasan. Meskipun Cakra memiliki bukti yang Doni maksud, Doni tidak bisa menggunakannya sembarangan. Permintaan Ratna supaya Cakra menutup mulut atas segala kebenaran di balik kasus perceraiannya terpatri kuat di ingatan Cakra. Kesimpulannya, Cakra tidak bisa membantu Doni tanpa izin Ratna.
"Cakra, lo punya, kan?"
Cakra mendesah. Dia mengacak rambut frustrasi.
"Atau ...," Doni berkata hati-hati, "jangan-jangan kalian punya hubungan khusus?" Doni memojokkan Cakra yang terlihat terkejut. "Cak, gue tahu siang kemarin lo jalan bareng sama klien gue. Di apartemen yang dibobol itu, ditemukan surat yang menghina klien gue sebagai cewek gatel karena sudah dekat dengan cowok lain, padahal baru cerai sekitar satu bulan lalu."
Cakra makin tercengang. Kesalahpahaman macam apalagi ini?
"Cak," Doni menghela napas dan menyilangkan tangan di depan dada, "seandainya benar, berarti lo berhasil bikin Dewa cemburu dan makin menjadi-jadi gilanya."
Sial! Cakra tidak berpikir sejauh itu. Kalau begini terus, bisa-bisa dialah alasan Ratna berada dalam situasi tak aman.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro