Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 | Do You Love Him?

Ketidakhadiran Raga dan orang tua Cakra membuat suasana antara Cakra dan Ratna kembali kaku. Ratna tak berani membuka percakapan terlebih dahulu. Berkali-kali tangan Ratna menarik ujung kemejanya gugup. Berada di mobil berdua saja dengan Cakra bukanlah sesuatu yang melegakan bagi Ratna, terlebih setelah pria itu mengetahui kebiasaan buruk Ratna ketika mabuk.

"Aku nggak tahu kalau papa dan mama bakal nahan kamu sampai selesai waktu makan siang," ucap Cakra merasa bersalah. "Kamu benaran nggak ada jadwal sama orang lain, kan?"

"Iya. Santai."

Hening lagi.

Akhirnya, Cakra berinisiatif menyalakan radio. Lagu-lagu mengalun merdu mengisi kekosongan. Namun, saat Shiver milik Coldplay terputar, Cakra langsung memutusnya. Dia kesal. Arti dari lirik lagu menceritakan tentang cinta tak terbalas karena ada batas persahabatan. Seperti yang sekarang mungkin sedang dia alami.

"Kenapa?" tanya Ratna heran.

"Oh? Hm, nggak apa-apa," balas Cakra kikuk.

Cakra harus menghindari lagu-lagu bertema friendzone, terutama setelah dia menggunakan bayangan Ratna dalam fantasi seksualnya. Tuntutan dan isi percakapan dengan sang ayah saat di rumah pun menambah keruh pikiran Cakra. Jantung Cakra berdebar tak biasa memikirkan kejelasan hubungannya dengan Ratna di masa depan.

Sejak dulu Cakra peduli pada wanita yang berusia terpaut dua tahun di atasnya itu. Akan tetapi, dia tidak pernah merasakan euforia salah tingkah hanya karena menghabiskan waktu berdua di dalam mobil. Sensasi aneh seperti ini sudah lama sekali tak Cakra rasakan.

Dari kursi sebelah pengemudi, Ratna bisa membaca gerak-gerik Cakra. Sejak bertemu tatap dengan orang tua Cakra, Ratna mengetahui kikukan pria itu. Apakah ada sesuatu yang dia lewatkan saat di rumah Cakra tadi?

"Oh ya, omongan kakak iparku waktu makan siang bersama tolong jangan terlalu dipikirkan." Cakra menyeletuk.

Ratna mengangkat alis. "Ucapan yang mana?"

"Tentang kecocokan kita berdua," Cakra melirik ke arah Ratna yang rupanya sedang memandangnya, "sebagai pasangan."

"Oh, itu!" Ratna mengangguk kecil. "Tenang saja. Aku nggak lagi berada di posisi butuh pasangan. Aku nggak bakal mikirin hal-hal begitu."

Hati Cakra mencelus. Harapannya tenggelam. Cakra hanya berbasa-basi, tetapi dirinya justru ditolak tanpa tedeng aling-aling.

"Aku salah ngomong, ya?" Ratna bergerak sedikit maju supaya bisa memperhatikan wajah Cakra lebih cermat.

"Jangan terlalu maju! Bahaya," kilah Cakra. Tangan kirinya terentang di bahu Ratna sebagai proteksi. Hampir saja kepala temannya itu terantuk dashboard karena mobil sedang melewati polisi tidur.

Keheningan kembali menerpa. Selalu begitu, padahal selama ini percakapan Ratna dan Cakra semulus jalan tol baru jadi. Tidak patah-patah seperti yang sekarang terbentuk.

"Keluarga aku," Cakra berusaha menciptakan percakapan lagi, "mereka selalu excited tiap lihat aku dekat sama cewek. Mereka berharap aku cepat-cepat menikah lagi supaya Raga bisa punya ibu sambung. Tapi, yah, menjalin hubungan sebagai duda beranak satu tentu nggak mudah."

"Aku pendatang baru di dunia ini. Jadi, aku belum tahu banyak." Ratna meringis melihat respons kebingungan lawan bicaranya. "Maksud aku, di dunia setelah cerai, sebuah konstruksi sosial yang dibangun oleh stigma masyarakat, seolah-olah janda dan duda adalah ras baru dari spesies manusia dan layak dipandang aneh."

Banyolan satire ala Ratna tak pernah gagal menghibur Cakra. Pria itu terkekeh. Di sebelahnya, Ratna ikut tersenyum lebar.

"Ras manusia terkuat di bumi versi aku adalah para orang tua tunggal yang berjuang untuk anaknya." Ratna menepuk bahu Cakra dua kali. "Kamu sudah berusaha keras untuk Raga. Aku tahu itu."

"Thanks …," Cakra memiringkan kepala dan melirik sekilas, " … I guess?"

Ratna tersenyum tipis. "Aku bicara ini karena bisa meraba-raba. Sebenarnya, bukan mau kamu untuk mematahkan harapan keluarga dengan tidak segera berumah tangga. Dari cara kamu memperlakukan Raga, aku yakin alasan utamanya adalah Raga."

Cakra malah melempar candaan. "Kadang-kadang kalau kita lagi ngobrol, aku merasa kayak lagi bicara sama cenayang."

"I am not." Ratna mengangkat bahu. "Aku ini cuma seorang pengacara yang lengser jadi tim legal di perusahaan kelas menengah."

Dengusan kecil keluar dari hidung Cakra. Dia tahu Ratna sedang merendah. Profesi yang mengutamakan kepuasan klien, dalam hal ini pasti berurusan dengan manusia, tentu membutuhkan kepekaan rasa.

"Keluarga kamu asyik dan baik. Jangan terlalu membenci mereka, Cak!" Ratna meringis. "Ini pertama kalinya aku lihat keluarga tiga generasi yang akrab banget. Raga disayang keluarga besar kamu. Pasti seru punya keluarga rukun kayak gitu."

"Keluarga kamu kayak gimana?" Cakra tidak bisa tidak bertanya. Dia penasaran.

"Keluarga aku kaku banget. Serius semua. Mungkin karena aku anak tunggal, mereka jadi cuma punya satu tumpuan. Terus, anak ceweknya ini memilih cerai sebelum bisa punya anak." Ratna tertawa, tetapi tawanya tidak lepas. "Nggak heran kalau mereka kecewa banget sama aku dan pilihanku."

"I am sorry to hear that."

"Bukan masalah besar." Ratna mengibas tangan. "Mereka cuma belum paham, belum bisa melihat dari kacamata anaknya. Aku merasa jauh lebih bahagia setelah bercerai, kok."

Cakra menarik garis senyum. Dalam kasus Ratna, wanita itu sebenarnya telah bercerai bertahun-tahun sebelum disahkan oleh pengadilan. Rumah tangga Ratna tidak bisa memberi kebahagiaan. Tidak ada bedanya dengan hidup melajang.

"Kemarin malam kamu bawa-bawa nama Dewa waktu mabuk. Kamu ketemu lagi sama mantan suamimu itu?"

Ratna melempar tatapan ke luar jendela. Dia meremas pelan sabuk pengaman yang melintang di dadanya. Pikirannya kembali dilempar ke masa satu hari lalu, pada momen pertemuannya kembali dengan Dewa di kantor polisi.

"Aku coba konfrontasi Dewa supaya mau mengakui perbuatannya, tapi dia membantah dan bilang nggak pernah cari kabarku sama sekali setelah bercerai. Dia bawa pengacara. Anehnya, pihak Dewa kayak sudah persiapan seandainya dipanggil kepolisian. Mereka menyiapkan alibi dan penyangkalan bahwa Dewa sama sekali nggak terlibat dalam kasusku. Aku sama Doni gagal bikin status dia naik jadi tersangka."

Cakra menyediakan sepasang telinga. Sebagai teman yang baik, inilah bentuk perhatian yang Cakra berikan pada Ratna.

Ratna melanjutkan, "Masalahnya nggak berhenti sampai situ. Dewa justru menantang balik. Dia minta supaya aku bawa Haiyan sebagai saksi kalau berani. Dia tahu aku melaporkan kejadian ini setelah nama Haiyan disebut dalam salah satu pesan yang aku terima."

"Do you love him?"

Pertanyaan itu sangat ambigu. Benar-benar keluar dari konteks.

Cakra membeliak dan memaki diri sendiri. Kenapa mendengar nama Haiyan keluar dari bibir Ratna membuat Cakra gusar?

"Dewa?" Ratna agaknya kagok dengan pertanyaan nyeleneh itu. "We loved each other. Dalam perjalanannya, kita kehilangan rasa dan jadi …," Ratna memilih tidak melanjutkan, "... kamu, kan, tahu cerita lengkapnya, Cak."

"Bukan itu." Kepalang tanggung, sekalian saja Cakra menuntaskan perasaan ingin tahunya. "Maksud aku, Haiyan. Do you love him?"

Ratna dibuat kicep beberapa saat. Keningnya berkerut. Meski begitu, keringat dinginnya mulai merembes dari telapak tangan. "Haiyan sudah berkeluarga, Cakra. Dia punya istri dan anak. Pertanyaan kamu ngaco, deh!"

Cakra hanya mengangguk dan tertawa main-main. Alasan yang diberikan Ratna tidak menjawab pertanyaannya.

Kini Cakra tahu bagaimana wanita di sampingnya bisa menangani kelakuan keluarga Cakra dengan tepat dan tak tergoyahkan. Ratna kebal terhadap perjodohan tersirat yang Aster dan Arya gaungkan. Alasan yang paling tepat yaitu ada sosok lain yang mendiami sudut hati Ratna. Tentu saja Ratna tidak begitu terusik dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan yang dilayangkan keluarga Cakra.

Bagi Ratna, Cakra tak lebih dari seorang teman. Namun, entah mengapa Cakra tak suka dengan pikiran itu.

Yuk, beri like dan komen kalau kamu suka dengan buku ini! Share juga ke teman-teman kamu ya 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro