1 | Nasib si Kotak Rahasia
"Jiancuk!" Seorang pria tua bertubuh kurus kering mengangkat sebelah sepatu belelnya ke udara. "Lonthe tolol!"
Pintu ruangan terbuka dua detik sebelum aksi anarki terjadi. Jeda waktu singkat tersebut berhasil menciptakan keheningan mencekam bagi para penonton, tak terkecuali Cakra. Pengacara bermata bulat itu gagal menutup mulut saat melihat sepatu melayang dan mendarat tepat di kening kliennya. Meski si pelempar bertubuh kurus, rupanya tolakan tenaga yang tersalur pada sepatu sukses membuat si klien mendongak dan mengaduh.
Kekacauan tidak dibiarkan berlarut-larut. Dua petugas keamanan segera meringkus si pelaku. Dari umpatan kasar dalam bahasa Jawa yang Cakra dengar, bapak itu marah pada istrinya karena digugat cerai tanpa pemberitahuan. Cakra memahami kegusaran si bapak, tetapi dia jauh lebih gusar lagi karena kliennya mengalami cedera.
"Bu Ratna nggak apa-apa?" tanya Ria, junior Cakra.
Cakra melihat Ratna sedari tadi langsung menutupi kening menggunakan telapak tangan. Cakra sampai meringis membayangkan rasa sakitnya kena timpuk. Terlebih lagi, Cakra sempat mendengar bagaimana kerasnya bunyi sol sepatu menghantam tulang dahi Ratna.
"Lanang, tolong carikan es batu atau air dingin!" Cakra memerintah juniornya yang lain.
"Saya nggak apa-apa, kok. Ini cukup dibersihkan di kamar mandi," kilah Ratna. "Nggak usah beli es segala! Duh, jadi repot begini!"
Lanang berada dalam kebingungan. Klien adalah segalanya. Dia ingin menuruti apa yang Ratna katakan. Namun, tatapan Cakra dari balik punggung Ratna terlalu menusuk. Lanang kembali teringat bahwa tugasnya sebagai anak magang sebelum menuruti klien adalah menuruti senior. Laki-laki itu segera berlalu melaksanakan titah Cakra begitu Ratna berbalik badan menuju kamar kecil.
Sepuluh menit berlalu. Ratna terlonjak kaget mengetahui Cakra menunggunya di lorong toilet. Pria itu menenteng barang bawaan baru di tangan kanan. Tidak ada Ria maupun Lanang bersamanya.
"Kompres dulu," ucap Cakra santai sambil mengangkat tas plastik berisi botol mineral dingin ke samping kepala. "Chill aja, Na. Ini nggak repot. Ria sama Lanang juga sudah aku suruh balik ke kantor duluan buat urus kerjaan berikutnya."
Ratna mengangkat kedua alis keheranan. Tanpa membalas ucapannya, dia berjalan mendahului Cakra dan tiba di ruang tunggu yang ramai. Sejauh mata memandang, benar-benar tidak ada Ria dan Lanang. Ratna langsung menurunkan tingkat formalitasnya karena yakin kini dia tinggal berdua saja dengan Cakra.
Cakra berkata, "Ayo, cari tempat duduk! Kalau kelamaan, percuma airnya sudah nggak dingin lagi. Kasihan Lanang."
"Cak, jangan di sini, deh!" Ratna berkali-kali menyisir poni supaya rapi menutupi dahi. "Aku malu. Orang-orang pasti masih ingat aku ini korban lemparan sepatu salah sasaran."
Ucapan Ratna menghadirkan ringisan di bibir Cakra. Pria itu mengedikkan dagu sebagai ajakan pada Ratna untuk melipir dari banyak tatapan saksi mata. Sayangnya, kursi di luar ruang tunggu pun penuh.
Cakra agak tidak percaya ketika Ratna justru mengajaknya berteduh di bawah pohon rindang, masih di pelataran gedung Pengadilan Agama Surabaya. Wanita itu tak terlihat ragu sedikit pun saat memilih duduk di bata berlapis semen pembatas area taman. Itu bahkan bukan tempat duduk sungguhan. Akan tetapi, Cakra akhirnya mengikuti saat Ratna menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya.
"Benjol, nggak?" tanya Cakra.
Ratna menerima uluran botol dingin berlapis sapu tangan sambil mengucap terima kasih. Wanita itu meraba-raba luka di keningnya sebelum menempelkan kompresan di sana. Bola matanya bergulir seperti sedang menilai sesuatu.
"Nggak terlalu," jawab Ratna. Dia mendengus geli melihat anggukan lega Cakra. "Kamu kayaknya jago untuk urusan benjol-benjol begini. Ini, nih, zaman sekarang jarang banget orang bawa sapu tangan. Tisu dirasa lebih praktis." Ratna berkata sembari mengibaskan sapu tangan di tangannya.
"Punya anak bikin pengalamanku nambah. Daripada bawa satu pak tisu, lebih mudah bawa sapu tangan." Cakra buru-buru melanjutkan saat Ratna tiba-tiba terdiam. "No offense. Tanpa punya anak, ilmu dasar pertolongan pertama juga bisa dipelajari sendiri."
Si lawan bicara memahami maksud Cakra. Dia mengibaskan sebelah tangannya yang bebas sebagai isyarat bahwa itu adalah hal kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Terlebih lagi, Ratna tidak tersinggung sedikit pun. Pada kenyataannya, Ratna memang tidak memiliki anak. Wajar sekali bila dia tidak mengetahui satu atau dua hal ketimbang Cakra.
"Aku nggak apa-apa, kok," balas Ratna ketika Cakra terus-menerus menatapnya. Wanita itu tersenyum kecil dan menunjuk dahi. "Kecuali memar di sini, nggak ada lagi yang perlu kamu khawatirkan."
"Oke." Cakra membuang muka ke arah lain.
Ratna sosok wanita tegar yang membuat Cakra tak jarang berdecak salut. Menurut penilaian Cakra, Ratna sangatlah mampu menghadiri rangkaian sidang perceraian seorang diri. Pasalnya, Ratna adalah pengacara aktif, meskipun lebih sering bergelut di bidang hukum bisnis. Walau awalnya beralasan butuh bantuan pengacara lain karena tak tahu seluk-beluk proses perceraian, sesungguhnya Ratna-lah yang menyetir proses persidangan cerai kali ini.
Sayangnya, otak cerdas Ratna tidak jauh lebih unggul dari pengamatan jeli Cakra. Beberapa hari sebelum sidang terakhir, pria itu menyingkirkan rekan timnya sejenak dan merancang pertemuan tersendiri dengan Ratna. Di situlah Cakra mengetahui kenyataan besar di balik sesederhana kasus perceraian.
Cakra jadi mengerti alasan Ratna berjaga-jaga memakai jasanya, sebab melawan pihak besar pasti membutuhkan persiapan yang tak sedikit. Akibat mengetahui terlalu banyak rahasia, Ratna sudah mewanti-wanti agar Cakra menutup mulut. Hak dan kewajiban Cakra terkurung kode etik. Namun, rasa kemanusiaan Cakra tak bisa menampik bahwa di balik senyum setegar karang yang terpasang di wajahnya, Ratna hanyalah orang biasa yang membutuhkan perlindungan.
Cakra kembali mengamati lekat-lekat wanita yang terlihat enggan membalas tatap matanya. Udara lembab dan terik matahari adalah santapan sehari-hari bagi masyarakat Kota Pahlawan. Akan tetapi, dengan menyaksikan cara berpakaian Ratna yang benar-benar tak membiarkan banyak permukaan kulitnya terbuka, orang pasti bakal makin kegerahan. Terlebih, rambut panjang Ratna yang tergerai menutupi leher dan sebagian sisi wajah membuat perasaan orang yang melihat kian sesak.
Ada sesuatu yang disembunyikan. Cakra tahu, tetapi tak mau pikirannya menjelajah terlalu jauh.
"Kamu bakal kabarin orang itu?" tanya Cakra berhati-hati, berusaha memecah keheningan.
"Nggak, tapi kalau nanti Iyan …," Ratna menggeleng pelan dan merevisi, " … maksudku, Haiyan. Kalau nanti Haiyan tanya ke kamu soal kabar aku, tolong kasih tahu aku bakal baik-baik saja setelah bercerai."
"You will," Cakra berujar optimis, "you will, Ratna."
Ratna menurunkan alat kompres yang tidak berguna lagi karena sudah tak dingin. Dia memutar bola mata main-main, lantas membuat tawa kecil Cakra lolos dari bibir. Cuma Ratna yang belum ada setengah jam diputuskan menjanda, tetapi bisa duduk santai berdampingan dengan pria lain, bahkan berhasil membuatnya kegirangan.
"Peruntungan capricorn lagi bagus hari ini. Benar-benar hari yang baik untuk bercerai."
Tawa Cakra melebar. Guyonan Ratna berisi tragedi yang diselimuti komedi, benar-benar sesuai seleranya.
"Masih percaya zodiak?" balas Cakra. Dia suka melihat raut wajah puas Ratna yang tak luntur walau sudah berada di luar ruang persidangan.
"Banyak orang percaya sama cinta. Kenapa aku nggak boleh percaya zodiak? Dua-duanya, kan, abstrak."
"Masuk akal," sahut Cakra manggut-manggut.
Terjadi kekosongan yang menenangkan. Cakra tidak canggung sama sekali duduk tanpa bersuara bila yang berada di sampingnya adalah Ratna.
"Cakra, makasih, ya," ucap Ratna setelah menarik napas panjang. "Selama ini kamu bukan cuma jadi pengacaraku, tapi juga jadi temanku. Oh, seharusnya aku malah minta maaf, ya? Aku nggak sadar bikin hubungan profesional ini terkesan terlalu personal."
Kelopak mata Cakra melebar tak terima. "Jangan minta maaf! Aku nggak keberatan."
Kepala Ratna setengah tertunduk. Dia melipat rapi sapu tangan Cakra dan mengembalikannya pada sang empu. "Kalau begitu, cukup makasih?" tanyanya.
Cakra mengangguk mantap. Ada kejanggalan dalam cara bicara Ratna. Di balik pulasan senyum tipisnya, Ratna seperti menyimpan kesedihan dan keresahan. Akan tetapi, Cakra urung membuat masalah. Dia tak mau membuat Ratna makin tidak nyaman dengan pertanyaan lanjutan.
Kebersamaan mereka berakhir saat taksi pesanan Ratna datang. Cakra membukakan pintu untuknya. Sebelum benar-benar berpisah, entah mendapat ilham dari mana, Cakra justru mengangsurkan kembali sapu tangan miliknya yang sedikit lembab akibat terkena embun air dingin.
"Ini maksudnya apa?" tanya Ratna.
"Kamu berkeringat," sahut Cakra sebelum Ratna bisa bertanya apalagi menolak. "Balikin kapan-kapan aja kalau kamu ada waktu luang."
Ratna melempar tatapan meledek. Namun, dia tetap menerimanya.
"By the way, kayak yang aku bilang tadi, aku bakal baik-baik aja." Ratna melambaikan selembar kain warna biru muda di tangannya. "Kamu nggak perlu urus aku seniat ini."
"Yah … refleks."
Ratna terkekeh. "Setelah keluar dari gerbang gedung pengadilan, aku mau nulis buku baru. Buku lama bakal aku bakar." Ratna meringis. Dari sela-sela giginya keluar desisan kecil. "Jadi, aku harap kamu nggak terluka dan bisa menerima keputusanku."
Saat pertama kali mendengarnya, Cakra berpikir positif bahwa kalimat Ratna memiliki arti baik. Tugas dari seseorang yang baru bercerai tentu saja membuka lembaran baru kehidupan, kemudian menjalani hidup sebagai orang lajang. Namun, ternyata Ratna memaknainya terlalu dalam.
Buku lamanya benar-benar dibakar. Semua kenangannya, baik dan buruk, berusaha dilenyapkan. Ratna menjauhi segala hal yang berkaitan dengan si mantan suami, termasuk pengacara yang membantunya bercerai.
Cakra ikut tergusur. Selembar sapu tangan biru muda tak pernah kembali padanya.
***
Tekan tombol ‘bintang’ dan tinggalkan komentar. Nantikan keseruan di bab berikutnya BESOK! 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro